Sulawesi selatan merupakan pulau
yang mempunyai keaneka ragaman budaya, sampai saat ini di berbagai daerah mempunyai
kebiasaan-kebiasan lama yang masih dilaksanakan sebagai salah satu pelestarian
budaya kususnya pada kesenian.
Appanaung Ri Je’ne dapat di
artikan sebagai berikut: NAUNG
artinya turun, APPA merupakan kata
untuk menyebutkan pelaksanaan/perlakuan, RI
sebagai kata yang menunjukkan tempat sama artinya dalam bahasa indonesia (di-),
sedangkan JE’NE artinya air. Apa bila
diartiakan secara keseluruhan Appanaung Ri Je’ne adalah menurunkan sesuatu ke
dalam air.
Appanaung Ri Je’ne sebagai salah
satu kegiatan yang sampai saat ini masih dilaksanakan. kebiasaan-kebeisaan tersebut
sudah dianggap sebagai suatu kewajiban dalam pelaksanaan prosesi perkawinan
ataupun sunatan dimana prosesi tersebut masih sangat disakralkan karena dianggap
sebagai tradisi nenek moyangnya .
pelaksanaan diatas sudah jarang ditemukan di
daerah-daerah lainnya mungkin saja diakibatkan karena adanya perbedaan baik
dari segi aktifitas ataupun dari segi
keberadaan lingkungan, ketika kita melihat dari sebuah aktifitas
masyarakat yang terdapat di Balang maka sangatlah berbeda dengan aktifitas
masyarakat yang ada di daerah Bajeng, meskipun sama dalam satu kabupaten yaitu
takalar. Letak perbedaan aktifitas masyarakat sangatlah berpengaruh dengan
lingkungan, dapat kita lihat dari segi mata pencaharian sebagai suatu tindakan
dalam mempertahan kelangsungan hidup.
Daerah Balang merupakan daerah
pinggir pantai sehingga aktifitas masyarakat tersebut lebih dominan pada mata
pencaharian di laut, misalnya seperti memproduksi garam, menambang rumput laut,
serta nelayan seperti mencari ikan dan lain-lain yang ada dilaut. Sementara
daerah yang jauh dari pantai aktifitas untuk mata pencahariannya otomatis
berbeda misalnya menanam jagung dan berternak serta segala hal yang dapat
mempertahankan hidupnya sebagai masyarakat yang bermukim di daerah daratan,
Lingkungan Sebagai Latar Belakang Terbentuknya Perilaku Masyarakat
Lingkungan Sebagai Latar Belakang Terbentuknya Perilaku Masyarakat
Dapat dilihat bahwa perbedaan
seni juga sangat berpengaruh terhadap lingkungannya seperti yang dikatan plato
dalam teori memesis bahwa seni adalah tiruan dari realita, artinya perbedaan
seni sangatlah berperngaruh terhadap realita, yang lebih spesifik adalah aktifitas masyarakat
dalam lingkungannya.
Dari perbedaan
lingkungan dari berbagai daerah di sulawesi selatan sebagai salah satu yang
melatar belakangi terjadinya keragaman budaya, budaya yang merupakan kebiasaan
masyarakat tidaklah hadir dalam sebuah ruang yang kosong. Tetapi hadir dalam
suatu parameter sosial dan lingkungan dimana mereka berada (kontruksi dan reproduksi kebudayaan oleh
Prof.D.Irwan Abdullah hal: 81).
Manusia melengkapi
dirinya dengan aspek kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana,
aturan, resep intruksi untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan
tindakan-tindakan tertentu dalam pengertian ini maka budaya berfungsi sebagai
alat yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan, kebudayaan
bukanlah yang dibawah lahir melainkan di peroleh melalu sosial dan lingkungannya
( koentjaranigrat 1986).
Appanaung Ri Je’ne
merupakan salah satu tradisi masyarakat di Balang yang di anggap sebagai salah
satu cara untuk menghargai alam sebagai wadah dimana hidupnya berkelangsungan
(mata pencahariannya). Prosesi tersebut biasanya dilaksanakan saat melaksankan
hajatan pesta perkawinan atau sunatan.
Menurut daeng liwang
seorang warga desa tersebut, appanaung ri je’ne merupakan cara menghargai alam
dan roh halus yang berada di air. Ketika tidak melaksanakan maka sering terjadi
hal-hal yang tidak di inginkan. Seperti kesurupan atau dalam bahasa makassar napattauki. Menurut mereka alam juga
mempunyai kekuatan dan butuh di hargai, mereka menganggap bahwa alam adalah mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan
dalam kelangsungan hidupnya. mereka tidak menganggap bahwa ini merupakan paham
animisme yang menyembah alam, mereka sama sekali tidak menyembah selain tuhan
hanya saja sebatas penghargaan terhadap alam yang tidak jauh beda dengan
penghargaan terhadap manusia lainnya.
Pelaksanaan Appanaung Ri Je’ne
Dalam pelaksanaan
tersebut terdapat beberapa persyaratan yang berupa sesajian diantaranya: leko’
(dau siri), Rappo (pinang), leko’ pandang ( daun pandan) kemudian dibungkus
kain putih. Jika ditinjau dari segi rasionalnya maka persyaratan tersebut
tidaklah jauh beda dengan persyaratan seperti ammuntuli korong tigi (menjemput
daun pacar) artinya jika pihak keluarga
yang punya hajatan menyambut korongtigi, mereka membawa kue sebagai suatu bentuk penghargaan terhadap bapak imam, kalau dalam bahasa makassar appakala’biri.
Persyaratan kemudian
dibawa ke pinggir laut atau ke air yang mengalir dengan iringan gendang puik-puik pola atau tunrung yang paling sering digunakan
adalah renjang-renjang dan pakanjara ketika sampai ketempat tujuan. Sampai saat
ini belum ada data yang pasti tentang pola gendang yang mutlak digunakan dalam
acara prosesi tersebut, setelah sampai ketempat yang dianggap sakral barulah
dihayutkan sesajian mengguanakan lapisan batang pisang atau dalam bahasa
makassar masa unti.
Disisi lain sesajian dihanyutkan
juga pada orang tertentu atau orang berpengalaman (angrong bunting), karena sebelum dihanyutkan juga ada tahapan
tertentu yang harus dilakukan, seperti mantra atau semacamnya yang hanya
diketahui oleh angrong bunting . Prosesi tersebut dilaksanakan setelah atau
sebelum ammuntuli korong tigi dan prosesnya pun hampir sama, yang berbeda hanyalah
tempatnya.
Appanaung
Ri Je’ne diluar Aspek Ritual
Masih dilaksanakannya prosesi Appanaung Ri Je'ne merupakan suatu kebanggaan
buat masyarakaat di Balang karena masih sanggup mempertahankan tradisi-tradisi kebiasaan lamanya, ini
merupakan konserfatif kesenian yang juga dapat disebut sebagai pedagogi kumulatif atau pembelajaran yang terus menerus
buat anak-anaknya inilah sebuah
pembelajaran bagaimana cara menghargai alam, Sebagaimana kita ketahui bahwa
perilaku atau aktivitas manusia itu tidak muncul dengan sendirinya melainkan
adanya rangsangan stimulus terhadap lingkungan atau msayarakat disekitarnya.
Suatu keunikan dalam Appanaung Ri
Je’ne ini karena masih bisa bertahan dalam era global dimana masih sanggup
berdampingan dengan pemahaman islam sebagai satu kesatuan yang sama-sama
penting di butuhkan dalam kehidupan manusia.
Jika ditinjau dari sisi lain ini
bukan semata-mata sebagai penghargaan terhadap alam namun juga sebagai salah
satu wadah penghasilan terhadap pemain gendang, selama masih dilaksanakan maka
pemain gendang masih mempunyai wadah untuk mata pencahariannya. Eksistensi
gendang dalam prosesi tersebut tidak jauh beda dengan ekstensi gendang pada
upacara lainnya, seperti misalnya akkorong
tigi/mapaccing (malam pacar) gendang berfungsi untuk mengiringi keluarga
yang akan memberikan doa kepada
pengantin atau sunatan, prosesi ini juga sama, cuman saja gendang hanya mengiri
sepanjang perjalanan menuju tempat yang disakralkan.
Dari beberapa sudut pandang
diatas yang sebagai bukti bahwa sebuah perilaku suatu masyarakat tidaklah di
bentuk ruang yang kosong, dalam artian perilaku tersebut mempunyai dampak
positif dari terhadap masyarakatnya.
Musik
In culture Sebagai konflik Dalam upacara Appanaung Ri Je’ne
Beberapa waktu lalu penulis
menyaksikan langsung konflik antara pemusik dan tuan rumah sebagai pelaksana
prosesi tersebut. Di dalam musik ada namanya musik model in culture atau konsep
tentang sebuah musik, namun kenyataan musik tidak selalu sesuai dengan konsep.
Perlu disadari bahwa perbedaan lingkungan juga terdapat perbedaan konsep musik,
pemusik yang berlatar belakang budaya yang pada dasarnya berbeda dengan
kebiasaan masayarakat dimana prosesi Appanaung Ri je’ne itu berlangsung, memang
sangat membutuhkan keterbukaan dalam artian pemusik perlu penyesuaian dan
mengikuti kebiasaan masyarakat dimana mereka akan bermusik.
Memainkan musik sebagai iringan
atau arak-arakan “menuju” tempat pelaksaan prosesi upacara ritual berbeda
dengan musik saat “pelaksanaan” prosesi berlangsung. Jika saja pemusik
menyamakan pola tabuhannya maka dapat terlihat konflik sebagai berikut:
Penolakan musik secara tegas dalam pelaksaan prosesi ritual disebut ( virtual
rejection of an impinging music) penolakan ini terjadi karena hambatan khusus
yaitu penolakan secara ekologi (prof.
Shin Nakagawa Musik dan Kosmos). “Pelaksana” upacara membutuhkan adanya penekan energi musik saat prosesi
ritual berlangsung, biasanya yang dibutuhkan pola tabuhan yang agak keras
seperti pakanjara.
Sekarang apa hubungannya musik keras
(pakanjara) dengan Musik lambat (Renjang-Renjang) terhadap “Pelaksana’’
prosesi ritual tersebut..?
Tore Sognesferst, seorang master in music dari akademy of music melakukan penelitian tentang pengaruh musik terhadap
denyut jantung. Setelah subjec diperdengarkan dengan musik yang sangat lambat
ternyata denyut nadi berkurang 5 denyut
di setiap menitnya.
Sedangkan Galvvanic
skin respose mengatakan bahwa pada subjec yang mendengarkan musik dengan
irama keras dan cepat suhu kulit lebih rendah dari pada suhu normal.
Hal
diatas membuktikan bahwa adanya pengaruh musik terhadap emosional manusia,
setelah emosional ini terjadi maka jhohan mengatakan bahwa dalam mendengarkan
musik kadang terjadi sugesti bunyi yang besifat individualis. (Lihat jhohan, terapi musik hal: 65)
Respon
emosional inilah yang menutut untuk memainkan musik pakanjara setelah pelaksanaan
berlangsung, jika respon emosional pelaksana prosesi ritual sudah terpenuhi
maka sugesti terhadap musik juga berlangsung sehingga mengenai kebutuhan ekologi dapat berjalan
dengan lancar.