Selasa, 10 Februari 2015

Prosesi Upacara Appanaung Ri Je'ne Merupakan Sungbangsi Buat Masyarakat Di Balang Bonto Manai Kab. Takalar

            Sulawesi selatan merupakan pulau yang mempunyai keaneka ragaman budaya, sampai saat ini di berbagai daerah mempunyai kebiasaan-kebiasan lama yang masih dilaksanakan sebagai salah satu pelestarian budaya kususnya pada kesenian.
Appanaung Ri Je’ne dapat di artikan sebagai berikut: NAUNG artinya turun, APPA merupakan kata untuk menyebutkan pelaksanaan/perlakuan, RI sebagai kata yang menunjukkan tempat sama artinya dalam bahasa indonesia (di-), sedangkan JE’NE artinya air. Apa bila diartiakan secara keseluruhan Appanaung Ri Je’ne adalah menurunkan sesuatu ke dalam air.
Appanaung Ri Je’ne sebagai salah satu kegiatan yang sampai saat ini masih dilaksanakan. kebiasaan-kebeisaan tersebut sudah dianggap sebagai suatu kewajiban dalam pelaksanaan prosesi perkawinan ataupun sunatan dimana prosesi tersebut masih sangat disakralkan karena dianggap sebagai tradisi nenek moyangnya .
 pelaksanaan diatas sudah jarang ditemukan di daerah-daerah lainnya mungkin saja diakibatkan karena adanya perbedaan baik dari segi aktifitas ataupun dari segi  keberadaan lingkungan, ketika kita melihat dari sebuah aktifitas masyarakat yang terdapat di Balang maka sangatlah berbeda dengan aktifitas masyarakat yang ada di daerah Bajeng, meskipun sama dalam satu kabupaten yaitu takalar. Letak perbedaan aktifitas masyarakat sangatlah berpengaruh dengan lingkungan, dapat kita lihat dari segi mata pencaharian sebagai suatu tindakan dalam mempertahan kelangsungan hidup.
Daerah Balang merupakan daerah pinggir pantai sehingga aktifitas masyarakat tersebut lebih dominan pada mata pencaharian di laut, misalnya seperti memproduksi garam, menambang rumput laut, serta nelayan seperti mencari ikan dan lain-lain yang ada dilaut. Sementara daerah yang jauh dari pantai aktifitas untuk mata pencahariannya otomatis berbeda misalnya menanam jagung dan berternak serta segala hal yang dapat mempertahankan hidupnya sebagai masyarakat yang bermukim di daerah daratan,


  Lingkungan Sebagai Latar Belakang Terbentuknya Perilaku Masyarakat
            Dapat dilihat bahwa perbedaan seni juga sangat berpengaruh terhadap lingkungannya seperti yang dikatan plato dalam teori memesis bahwa seni adalah tiruan dari realita, artinya perbedaan seni sangatlah berperngaruh terhadap realita,  yang lebih spesifik adalah aktifitas masyarakat dalam lingkungannya.
Dari perbedaan lingkungan dari berbagai daerah di sulawesi selatan sebagai salah satu yang melatar belakangi terjadinya keragaman budaya, budaya yang merupakan kebiasaan masyarakat tidaklah hadir dalam sebuah ruang yang kosong. Tetapi hadir dalam suatu parameter sosial dan lingkungan dimana mereka berada (kontruksi dan reproduksi kebudayaan oleh Prof.D.Irwan Abdullah hal: 81).
Manusia melengkapi dirinya dengan aspek kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep intruksi untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan tindakan-tindakan tertentu dalam pengertian ini maka budaya berfungsi sebagai alat yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan, kebudayaan bukanlah yang dibawah lahir melainkan di peroleh melalu sosial dan lingkungannya ( koentjaranigrat 1986).
Appanaung Ri Je’ne merupakan salah satu tradisi masyarakat di Balang yang di anggap sebagai salah satu cara untuk menghargai alam sebagai wadah dimana hidupnya berkelangsungan (mata pencahariannya). Prosesi tersebut biasanya dilaksanakan saat melaksankan hajatan pesta perkawinan atau sunatan.
Menurut daeng liwang seorang warga desa tersebut, appanaung ri je’ne merupakan cara menghargai alam dan roh halus yang berada di air. Ketika tidak melaksanakan maka sering terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Seperti kesurupan atau dalam bahasa makassar napattauki. Menurut mereka alam juga mempunyai kekuatan dan butuh di hargai, mereka menganggap bahwa alam adalah mata pencaharian untuk  memenuhi kebutuhan dalam kelangsungan hidupnya. mereka tidak menganggap bahwa ini merupakan paham animisme yang menyembah alam, mereka sama sekali tidak menyembah selain tuhan hanya saja sebatas penghargaan terhadap alam yang tidak jauh beda dengan penghargaan terhadap manusia lainnya.

    Pelaksanaan Appanaung Ri Je’ne     
             Dalam pelaksanaan tersebut terdapat beberapa persyaratan yang berupa sesajian diantaranya: leko’ (dau siri), Rappo (pinang), leko’ pandang ( daun pandan) kemudian dibungkus kain putih. Jika ditinjau dari segi rasionalnya maka persyaratan tersebut tidaklah jauh beda dengan persyaratan seperti ammuntuli korong tigi (menjemput daun pacar)  artinya jika pihak keluarga yang punya hajatan menyambut korongtigi, mereka membawa kue sebagai suatu bentuk penghargaan terhadap bapak imam, kalau dalam bahasa makassar appakala’biri.
Persyaratan kemudian dibawa ke pinggir laut atau ke air yang mengalir  dengan iringan gendang puik-puik pola atau tunrung yang paling sering digunakan adalah renjang-renjang dan pakanjara ketika sampai ketempat tujuan. Sampai saat ini belum ada data yang pasti tentang pola gendang yang mutlak digunakan dalam acara prosesi tersebut, setelah sampai ketempat yang dianggap sakral barulah dihayutkan sesajian mengguanakan lapisan batang pisang atau dalam bahasa makassar masa unti.
Disisi lain sesajian dihanyutkan juga pada orang tertentu atau orang berpengalaman (angrong bunting), karena sebelum dihanyutkan juga ada tahapan tertentu yang harus dilakukan, seperti mantra atau semacamnya yang hanya diketahui oleh angrong bunting . Prosesi tersebut dilaksanakan setelah atau sebelum ammuntuli korong tigi dan prosesnya pun hampir sama, yang berbeda hanyalah tempatnya.

      Appanaung Ri Je’ne diluar Aspek Ritual
       Masih dilaksanakannya prosesi  Appanaung Ri Je'ne merupakan suatu kebanggaan buat masyarakaat di Balang karena masih sanggup mempertahankan  tradisi-tradisi kebiasaan lamanya, ini merupakan konserfatif kesenian yang juga dapat disebut sebagai pedagogi  kumulatif atau pembelajaran yang terus menerus buat anak-anaknya  inilah sebuah pembelajaran bagaimana cara menghargai alam, Sebagaimana kita ketahui bahwa perilaku atau aktivitas manusia itu tidak muncul dengan sendirinya melainkan adanya rangsangan stimulus terhadap lingkungan atau msayarakat disekitarnya.
Suatu keunikan dalam Appanaung Ri Je’ne ini karena masih bisa bertahan dalam era global dimana masih sanggup berdampingan dengan pemahaman islam sebagai satu kesatuan yang sama-sama penting di butuhkan dalam kehidupan manusia. 
Jika ditinjau dari sisi lain ini bukan semata-mata sebagai penghargaan terhadap alam namun juga sebagai salah satu wadah penghasilan terhadap pemain gendang, selama masih dilaksanakan maka pemain gendang masih mempunyai wadah untuk mata pencahariannya. Eksistensi gendang dalam prosesi tersebut tidak jauh beda dengan ekstensi gendang pada upacara lainnya, seperti misalnya akkorong tigi/mapaccing (malam pacar) gendang berfungsi untuk mengiringi keluarga yang akan memberikan doa  kepada pengantin atau sunatan, prosesi ini juga sama, cuman saja gendang hanya mengiri sepanjang perjalanan menuju tempat yang disakralkan.
Dari beberapa sudut pandang diatas yang sebagai bukti bahwa sebuah perilaku suatu masyarakat tidaklah di bentuk ruang yang kosong, dalam artian perilaku tersebut mempunyai dampak positif dari  terhadap masyarakatnya.

 Musik In culture Sebagai konflik Dalam upacara Appanaung Ri Je’ne

Beberapa waktu lalu penulis menyaksikan langsung konflik antara pemusik dan tuan rumah sebagai pelaksana prosesi tersebut. Di dalam musik ada namanya musik model in culture atau konsep tentang sebuah musik, namun kenyataan musik tidak selalu sesuai dengan konsep. Perlu disadari bahwa perbedaan lingkungan juga terdapat perbedaan konsep musik, pemusik yang berlatar belakang budaya yang pada dasarnya berbeda dengan kebiasaan masayarakat dimana prosesi Appanaung Ri je’ne itu berlangsung, memang sangat membutuhkan keterbukaan dalam artian pemusik perlu penyesuaian dan mengikuti kebiasaan masyarakat dimana mereka akan bermusik.

Memainkan musik sebagai iringan atau arak-arakan “menuju” tempat pelaksaan prosesi upacara ritual berbeda dengan musik saat “pelaksanaan” prosesi berlangsung. Jika saja pemusik menyamakan pola tabuhannya maka dapat terlihat konflik sebagai berikut:
 
Penolakan musik secara tegas  dalam pelaksaan prosesi ritual disebut ( virtual rejection of an impinging music) penolakan ini terjadi karena hambatan khusus yaitu penolakan secara ekologi (prof. Shin Nakagawa Musik dan Kosmos). “Pelaksana” upacara membutuhkan  adanya penekan energi musik saat prosesi ritual berlangsung, biasanya yang dibutuhkan pola tabuhan yang agak keras seperti pakanjara.
 Sekarang apa hubungannya musik keras (pakanjara) dengan Musik lambat (Renjang-Renjang) terhadap “Pelaksana’’ prosesi ritual tersebut..?

 Tore Sognesferst, seorang master in music dari akademy of music melakukan penelitian tentang pengaruh musik terhadap denyut jantung. Setelah subjec diperdengarkan dengan musik yang sangat lambat ternyata denyut nadi  berkurang 5 denyut di setiap menitnya.
Sedangkan  Galvvanic skin respose mengatakan bahwa pada subjec yang mendengarkan musik dengan irama keras dan cepat suhu kulit lebih rendah dari pada suhu normal.
Hal diatas membuktikan bahwa adanya pengaruh musik terhadap emosional manusia, setelah emosional ini terjadi maka jhohan mengatakan bahwa dalam mendengarkan musik kadang terjadi sugesti bunyi yang besifat individualis. (Lihat jhohan, terapi musik hal: 65)
Respon emosional inilah yang menutut untuk memainkan musik pakanjara setelah pelaksanaan berlangsung, jika respon emosional pelaksana prosesi ritual sudah terpenuhi maka sugesti terhadap musik juga berlangsung sehingga  mengenai kebutuhan ekologi dapat berjalan dengan lancar.


Minggu, 08 Februari 2015

PENGENALAN TANDA BACA NOT BALOK DALAM MUSIK PERKUSI

Apa Itu Seni Musik?
kata seni berasal dari kata "SANI" yang kurang lebih artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/ seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan "ART" (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan.

Musik (berasal dari bahasa Yunani ‘musiké atau bahasa Latin ‘musica’ merupakan pengekspresian, pengungkapan, perwujudan, ekspresi dalam kehidupan manusia. Musik adalah ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritme dari nada-nada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional.

A. Ritme
Ritme atau irama dalam pengertian yang luas terdapat pada setiap jenis seni, baik suara, seni tari, maupun seni drama. Secara umum ritme atau irama didalam seni merupakan pertentangan antara sifat – sifat yang kuat dan lemah yang selalu berulang silih berganti secara teratur sehingga menimbulkan kesan atau rasa senang bagi pengamatnya.
Dalam seni tari ritme dapat terbentuk dengan adanya perbedaan lembut dan keras. Dalam seni musik, ritme mengandung dua pengertian, yaitu pengertian secara umum, dan secara kusus.
Secara umum, ritme adalah silih bergantinya panjang-pendeknya suara nada, perbedaan keras-lembutnya suara, dan.pengertian ritme secara khusus adalah panjang-pendeknya suara yang datang berulan-ulang serta tersusun secara teratur.
Perlu diketahu bahwa suatu karakter dalam music yang paling dapat terlihat pada bentuk ritme. Ritme dalam music yang dapat membedakan suatu gengre atau karakter suatu musik.

B. Birama
Birama atau metrum (moat) atau sukat adalah ketukan-ketukan yang datang berulang-ulang secara teratur dalam waktu yang sama. Penulisan ulangan-ulangan ketukan antara yang satu dengan yang berikutnya di batasi oleh garis tegak lurus yang disebut garis birama.
C. Pengertian Notasi Balok Notasi balok adalah Sistem penulisan lagu atau karya musik lainnya yang dituangkan dalam bentuk gambar. Gambar-gambar yang melambangkan bunyi tersebut dituliskan dalam Not balok sesuai dengan tinggi-rendah dan sifat bunyi yang dilambangkan.
Dalam materi not balok kita mengenal beberapa istilah yang terdapat didalam materii-materi not balok, seperti garis paranada, tanda kunci, birama, garis birama, bar, dan garis penutup. Perhatikan gambar berikut.

1. Garis Paranada adalah lima garis lurus yang berjajar mendatar dan berjarak sama. Paranada digunakan untuk menaruh lambang-lambang bunyi sesuai dengan sifat nada yang dilambangkan.



  

2. Birama adalah ruang gerak melody yang teratur dalam sebuah lagu atau karya musik lainnya. dalam contoh diatas dituliskan birama 4/4 artinya dalam setiap ruas birama bernilai empat ketuk dengan satuannya adalah not 1/4. Arti 4/4 bagian atas atau yang disebut dengan pembilang adalah jumlah ketukan dalam satu birama, sedangkan angka dibawa garis atau disebut dengan penyebut yang artin not ¼ yang menjadi satu ketuk.

 Garis birama adalah garis yang dituliskan secara tegak lurus dengan paranada yang berfungsi untuk membatasi antar ruas birama yang satu dengan ruas birama yang lainnya.

D. Bentuk dan Nilai Not.
Sebuah not dapat mempunyai nilai 1/2 ketuk, 1 ketuk, 2 ketuk, 4 ketuk dan sebagainya. Hal ini tergantung dari birama yang dipergunakan sebagai satuan ketuknya.

E. Bentuk Dan nilai tanda Diam


Bila dibaca bentuk dan nilai Not serta tanda Diam kurang lebih adalah seperti yang ditunjukan pada gambar dibawah ini.

 

F. Tanda Titik.
Tanda titik ditempatkan di belakang not balok. Nilai tanda titik adalah setengah dari not di depannya. Bila not di depannya adalah not penuh (PENUH) = 4 ketuk, maka tanda titik bernilai setengah (1/2) = 2 ketuk dan seterusnya.


G. Tempo dan Dinamika.
Cressendo < artinya lagu dinyanyikan menguat / mengeras.
De Cressendo > artinya lagu dinyanyikan melembut.
Vivace artinya gembira, hidup.
Adagio artinya amat sangat lambat.
Prestissimo artinya amat sangat cepat.
 Largheno artinya lambat.
 Di Marcia artinya seperti orang berbaris.
Maestoso artinya khidmad, agung, dan mulia.
Con brio artinya semangat bergelora.
Allegreto artinya ringan, hidup, dan gembira.
Con bravura artinya gagah.
ff = fortissimo artinya sangat keras.
pp = pianissimo artinya sangat lembut
p = piano artinya lembut

KECAPI DALAM PERKEMBANGANNYA


Kecapi adalah salah satu musik instrument tradisional daerah Sulawesi Selatan yang dikenal dalam etnis bugis makassar. Secara bentuk alat musik kecapi menyerupai bentuk perahu, alat musik dawai terdiri dari dua senar. Secara etimologis, Pakacaping diartikan sebagai pemain kecapi yang berasal dari dua suku kata yaitu pa berarti ‘pemain’ dan kata Kacaping berarti ‘instrumen kecapi .
Secara harafiah diartikan bahwa musik tradisional pakacaping adalah suatu permainan instrument kecapi yang dimainkan oleh satu orang atau lebih secaraberpasangan sambil akkelong (menyanyi) dengan cara si sila-sila atau si balibali (saling berbalas syair lagu)

 Menurut sejarahnya kecapi diciptakan oleh seorang pelaut Bugis Makassar yang telah berhari-hari berlayar di laut lepas meninggalkan gadis pujaan hatinya di darat, tiba-tiba badai datang dan tali perahu yang terikat dilayar berbunyi diterpa angin kencang. Bunyi yang amat indah menimbulkan kerinduan mendalam pada kekasih yang ditinggal.
 Begitu badai berlalu, sang pelaut mengambil sebagian tali layarnya lalu diikatkan pada dayung perahu. kemudian dipetik dengan iringan lagu Setelah kembali ke darat, dibuatlah sebuah alat bunyi yang berbentuk perahu dua tali yang dipetik dan dibuatkan syair-syair (Kelong) berpantun.
Awalnya Pakacaping merupakan permainan untuk menghibur diri sendiri di waktu senggang.

Pemain kecapi menikmati kobbi’-kobbi’na (petikan-petikannya sendiri) tanpa ada kebutuhan pendengar. Namun dalam perkembangannya Pakacaping menjadi seni pertunjukan dalam berbagi konteks adat istiadat assua’-sara’ (keramaian). hadirnya kecapi tersebut sebagai hiburan dalam konteks adat isitiadat merupakan nilai tersendiri yang dapat menunjukkan bahwa musik ini tidak seperti keberadaan kesenian lainnya yang sudah pasang surut di makan zaman. Musik
kacaping semakin diminati oleh masyarakat baik masyarakaat yang ada di daerah pelosok ataupun di perkotaan.
Musik kecapi lebih dapat di terimah oleh masyarakat karena perkembangannya mengikuti zaman. Ini dapat terlihat mulai dari segi penyajian saat ini yang lebih variatif, inovatif, dan adaktif, jika dibandingkan dengan munculnya dimasyarakat, yang dapat dikatakan masih sangat sederhana baik dari segi konteks maupun tekstualnya. Hal ini dapat yang dapat memperlihatkan bahwa musik kecapi dapat berkembang mengikuti perkembanga zaman.

B. Asal-Usul Kecapi
Musik kecapi adalah salah satu karakter budaya Sulawesi selatan yang khas. Jika ditelusuri belum ada sumber yang mutlak tentang awal penciptannya dan evolusi persebarannya. Namun ada salah satu sumber yang mengatakan bahwa, Asal mula kecapi yaitu dari Kanjillo yakni alat musik daerah yang tebuat dari kayu pilihan dan dibentuk menyerupai perahu Pinisi, bagian permukaan dibentangkan senar atau dawai yang terbuat dari kulit, sedangkan bagian kepalanya diberi tempurung sebagai ruang resinangsinya, kelapa yang sudah dibentuk agar bunyinya lebih nyaring4.Kanjilo dalam bahasa Makassar adalah nama jenis ikan yang hidup di air tawar, sungai dan rawa-rawa. Ikan didalam etnis Makassar disebut juku kanjilo ( ikan gabus). Kanjilo dikenal oleh masyarakat yang mampu berthan hidup sekalipun dalm lumpur, tetapi tidak mudah ditangkap sekalipun menggunakan tangan kosong, keunikan kanjilo tersebut sehingga namanya diambil untuk untuk diabadikan untuk menjadi nama instrument Kanjilo5.berawal dari alat musik kanjilo sehingga berubah menjadi
Kacaping atau kecapi, namun bentuknya tidak langsung menyerupai alat kecapi saat ini karena kecapi saat sudah mengalami perkembangan yang begitu pesat.

perkembangan kecapi tersebar di seluruh Sulawesi Selatan, termasuk dikalangan masyarakat etnis Makassar di kabupaten Gowa. Perkembangan instrumen kecapi terjadi di Gowa terjadi disekitar tahun 1975, yaitu dengan berdirinya SMKI (SekolahMenengah Karawitan Indonesia) Ujung Pandang yang sekarang menjadi SMK Negeri Sombaopu Gowa. Keberadaan sekolah ini berpengaruh besar terhadap perkembangan bentuk kecapi tradisional yang di daerah Gowa karena pemain kecapi di Gowa meniru bentuk instrumen kecapi model SMKI yang sudah mempunyai enam grip atau bernada diatonis. Kedua, perkembangan sistem tangga nada. Berkembangnya bentuk instrumen kecapi menjadi enam grip secara otomatis mempengaruhi nada yang ditimbulkannya sehingga instrument kecapi yang sebelumnya hanya dapat menjangkau lima nada, yaitu 1,2, 3, 5, 6 sekarang sudah bernada diatonis, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. Sangat jelas bahwa instrumen kecapi mendapatkan tambahan nada, yaitu nada 4(fa) dan nada 7 (si). Mencermati haltersebut, berarti ada perkembangan nada, yaitu dari lima nada pokok menjadi tujuh nada pokok meskipun tidak semurni nada diatonis seperti tangga nada musik barat.Ketiga, perkembangan syair lagu menurut bahasanya. Pemain kecapi di daerah kabupaten Gowa pada awalnya hanya menggunakan satu bahasa dalam melantunkan atau mengungkapkan syair lagunya, yaitu hanya menggunakan bahasa Makassar, namun pada saat ini lagu-lagu pemain kecapi telah ada yang dicampur atau dikombinasikan dengan bahasa Indonesia.

Tujuan pemain kecapi mengkombinasikan dua bahasa tersebut dalam syair lagunya tidak lain supaya lebih komunikatif dengan audiens-nya saat ini, walaupun masih etnis Makassar, akan tetapi bahasa Indonesia telah digunakan sebagai bahasa keseharian oleh kebanyakan masyarakat. Keempat, perkembangan syair lagu menurut jenis syair lagunya. Sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan bahwa saat ini syair musik tradisional pakacaping telah mencapai sekitar 21 jenis syair lagu. Hal ini dibandingkan pada era tahun
enampuluhan yang menurut pemainnya sudah menganggap lagu dulu (kelong turiolo) jika lagu pada tahun itu dilantunkan pada saat ini. Pemain kecapi senantiasa mengembangkan jenis syair lagunya karena mengikuti selera masyarakat masa kini. Jenis syair lagu musik tradisional pakacaping terus berkembang karena adanya respon pemain kecapi terhadap fenomena lingkungan sosialnya yang juga semakin kompleks perkembangannya. Hal ini juga disebabkan oleh ide penciptaan syair lagu yang berdasarkan jiwa spontanitas yang berdasarkan pengalaman individu pemain kecapi. Oleh karena itu, secara dinamis jenis syair lagu pakacaping berkembang secara terus-menerus.

C. Lagu Pakacaping
salah satu contoh lagu kecapi yang di ciptakan dengan nada-nada diatonis;
PAKACAPING
LANTANG BANGNGI KUMMURIANG
NAKUMBANGUNG MAPPIDANDANG
RILANGNGEREKKU
PAKACAPING KELONG-KELONG
NAMPAI MABELLA-BELLA
NAERANG ANGING MAMMIRI
NASI’NA KAMMA
PAKARAWANG-RAWANG KAMMA
Reff :
KO’BI’ – KO’BI’ SIKALINNA
TOKKO-TOKKONA KELONNA
MANGNGERANG NAKKU
MAPPAEMPO DINGING-DINGING

Apresiasi seni sebagai pengenalan budaya

Keanekragaman seni tradisional di bumi turatea ini memang menjadi kekayaan yang tak ternilai dan menjadi daya tarik bagi daerah-daerah lain di sulawesi selatan baik secara formal maupun dalam kapasitasnya sebagai seorang wisatawan. Namun tentu saja kekayaan budaya dan seni tradisional tersebut tidak akan menjadi apa-apa tanpa diberi pengertian tentang manfaat seni tradisional ini sebagai kekayaan budaya kepada generasi muda selanjutnya.
Perlu disadari bahwa salah satu yang menyebabkan seni tradisional apapun itu bentuknya adalah terhentinya tongkat estapet pelestarian seni tradisional tersebut kepada generasi muda selanjutnya. Dengan demikian karena tidak ada generasi pelanjut, seni itu lambat laun menua dan akhirnya mati tanpa jejak.
Sungguh disayangkan bila banyak seni tradisional kita yang mengalami nasib itu.
Begitu banyak kesnian yang dapat kita lestarikan untuk memperkenalkan kepeda masyarakat dan para generasi-genari penerus agar dapat menjadi motivasi untuk meningkatkan kreatifitas dan tetap mengenal kesenian-kesian lokal yang menjadi kekayaan budaya di bumi Turatea khususnya Desa Barana kecmatan Bangkala Barat Kabupaten Jeneponto.

Kekayaan kesenian dalam wilayah/daerah merupakan representasi keharmonisan antara suku bangsa sebagai satu kesatuan dalam suatu daerah. Berbagai pertunjukan seni tradisional di dalam tataran lokal juga dijadikan ajang silaturahmi dan bersosial antara sesama, sehingga mengukuhkan hubungan yang baik sebagai sesama warga dalam satu wilayah/daerah, selain itu kesenian juga merupakan simbol yang mempunyai makna-makna positif dalam kehidupan masyarakat yang dapat memberikan pencerahan terhadap pengapresiasi kesenian tersebut. Inilah yang menjadi rangsangan buat kami sebagai organisai (Sanggar Seni Barana) dan bekerjasama dengan organisasi lain untuk mengadakan suatu pertunjukan tari dan musik khususnya dalam kesenian lokal dengan tujuan memperkenalkan kepada masyarakat dan generasi-generasi penerus agar dapat merangsang kembali untuk mengapresiasi kesenian-kesenian lokal dengan tujuan utama sebagai penerus tongkat stapet kesenian tradisional khususnya di Desa Barana Kecamatan Bangkala Barat Kabupaten Jeneponto.


pergelaran seni tari dan musik
Oleh: (Sanggar Seni Barana)
Tema:
“Apresiasi Seni Sebagai Pengenalan Budaya”
Judul:
“Sumangana Barana”
Apresiasi seni adalah bagian dari pembelajaran tentang karya seni yang terdiri dari tiga hal yaitu: volue, empathy, feeiling.
1. Volue adalah kegiatan menilai suatu karya seni, pengalaman estetik serta fungsi dari masyarakat.
2. Empati adalah kegiatan memahami dan menghargai.
3. Feeiling adalah kegiatan yang lebih kepenghayatan karya seni agar dapat meraskan kesenangan pada karya seni.
Apresiasi seni adalah mengarahkan penafsiran pada suatu karya seni agar memiliki kemampuan dalam menikmati, menghargai jenis-jenis karya seni secara baik dan positif apresiasi tersebut yang di jadikan sebagai media untuk pengenalan kesenian yang merupakan bagian dari budaya masyarakat di Desa Barana.


1. Seni Tari
Seni tari adalah gerakan tubuh yang dikendalikan dan diatur dengan tenaga yang berbeda-beda akan membangkitkan kesan yang mendalam, bukan hanya bagi penonton, juga bagi si penari. jenis dan Peran Seni Tari dalam Konteks Masyarakat dan Budaya Seni tari sangat berhubungan dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat. Oleh karena itu, fungsi peranan, dan jenis-jenisnya pun sangat berhubungan dengan masyarakat dan budaya setempat. Bahkan dalam perkembangannya, seni tari dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan budayanya. Fungsi dan Peranan Seni Tari Sebagai suatu kegiatan, seni tari memiliki beberapa fungsi, yaitu seni tari sebagai sarana upacara, seni tari sebagai hiburan, seni tari sebagai media pergaulan, seni tari sebagai penyaluran terapi, seni tari sebagai media pendidikan, seni tari sebagai pertunjukkan, dan seni tari sebagai media katarsis.

2. Seni Musik
Berbicara mengenai musik, Alan P Merriam menyebutnya sebagai suatu lambang dari hal-hal yang berkaitan dengan ide-ide maupun perilaku suatu masyarakat (Merriam,1964:32-33). Musik merupakan bagian dari kesenian, kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat), dan merupakan salah satu kebutuhan manusia secara unviersal (Boedhisantoso) yang tidak pernah lepas dari masyarakat.
Musik merupakan salah satu dari kebudayaan, berarti musik diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan sebuah keindahan. Dapat diartikan bahwa musik memiliki fungsi dalam kehidupan manusia.

Musik Dangdut Sebagai Degradasi Gender

Dangdut adalah salah satu aliran musik yang tidak asing lagi di masyarakat, dangdut kita ketahui sebagai musik yang merakyat sejak berdirinya Negara indonesia. dangdut adalah salah satu gengre musik yang berkembang di Indonesia, gengre musik dangdut berakar dari musik melayu sekitar tahun 1940-an.
seiring dengan perkembangan zaman musik dangdut terpengaruh dengan unsur-unsur musik india dari segi permainan gendang sama seperti tabla juga pada cengkok dan harmonisasinya.
Sejak tahun 1970-an musik dangdut boleh dikatakan telah matang dengan bentuknya yang menghibur dan dikelompokkan sebagai musik populer di Indonesia. Musik “dangdut” merupakan onometope dari suara permainan tabla yang seing di sebut kendang yang khas dan didominasi dengan bunyi Dang dan Ndut sehingga penamaan tersebut dikenali hingga populer dimasyarakat.
Dari perkembangan musik dangdut sampai pula kepelosok-pelosok daerah seperti Makassar dan daerah lainnya seperti di jeneponto bagian timur kota Makassar.
Musik dangdut yang terdapat di kabupaten jeneponto lebih banyak mengalami perkembangan baik dari audio maupun visiualnya, perkembangan begitu cepat berlangsung berdasar dari ide-ide kreatif pelaku untuk meningkatkan minat pasar. Artinya perkembangan musik dangdut ini adalah salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan dari segi ekonimi, saat ini dapat kita lihat beberapa perkembangan seperti dalam penyajian dangdut dari keyboard tunggal atau di sebut elektone yang menggunakan kaset ataupun flash disk sebagai media untuk menyimpan file musik.
 penyajian musik dangdut di jeneponto rata-rata menggunakan minus one kemudian ditambah dengan variasi melodi dengan bunyi instrument yang beragam sesuai kebutuhan lagunya.
Ini salah satu cara untuk memudahkan pertunjukan tersebut, karena dari segi personil elektone hanya membutuhkan satu orang pemain, berbeda dengan orkes dangdut yang lengkap instrumentnya. Adapun perkembangan lainnya dapat kita lihat dari segi penyanyi atau biduannya yang kebanyakan adalah perempuan yang menggunakan pakaian lebih terbuka atau lebih sexy, dengan tujuan menarik minat laki-laki sebagai penontonnya.
bila ditinjau dari aspek sosial pada dasarnya laki-laki lebih mendominasi kaum wanita,dimana wanita hanya sebagai penghibur bagi laki-laki,tanpa disadari dalam pertujukan musik dangdut terdapat degradasi moral terhadap wanita untuk mencapai kebutuhan ekonomi.
 Di sini perlu penalaran bahwa didalam fenomena musik dangdut ada ketidak stabilan sistem mengenai eksistensi gender yang bersifat politik dan intektual terhadap kedudukan wanita yang dapat berdampak kemasyarakat umum .
fenomena tersebut juga membentuk paradigma masyarakat bahwa musik dangdut yang paling menghibur sehigga dalam upacara adat, musik dangdut lebih disukai dibanding musik local. Secara tidak sadar musik sebagai kebudayaan lokal juga mengalami pergeseran dimasyarakat yang akhirnya menimbulkan jarak.
secara sosiologis kebudayaan lokal merupakan suatu cara untuk melanggengkan kestabilan sistem nilai moral yang dapat melindungi suatu masyarakat atau suku bangsa tertentu. Kebudayaan lokal atau tradisi sangat berharga dan mutlak keberadaannya, ketika iya pada satu tatanan menjadi ciri karateristik yang khas untuk menandai adanya eksistensi suatu kelompok masyarakat tertentu .

Didalam penyajian karya seni adalah representasi, karena memang dalam proses pengembangan atau proses penciptaan seni bersinggungan dengan kenyataan objektif atau kenyataan dalam dirinya . Perspektif penulis dalam perkembangan musik dangdut ini lebih berfikir representasi tentang sensulitas untuk menarik minat penikmat dan merangsang imajinasi dengan cara mengesploitasi wanita atau menggunakan penyanyi wanita yang berpakaian lebih terbuka.

Berangkat dari pernyataan di atas, maka masyarakat dikabupaten jeneponto memerlukan sistem atau strategi kebudayaan untuk mencegah globalisasi yang dapat menghilangkan humanisasi manusia, demi mempertahankan kearifan lokal yang dapat menyeimbangkan moral ataupun kearifan lokal agar nilai-nilai kemanusia tetap terjalin. Ketika seniman atau pelaku musik dangdut dimasyarakat jeneponto masih mengikuti sistem perekonomian saat ini, maka suatu saat akan menimbulkan efek negatif terhadap anak-anak zaman sekarang.
Dapat dilihat di wilayah jeneponto anak-anak usia 4tahun keatas sudah banyak meniru goyang serta syair-syairnya seperti goyang Inul dan syair “buka siti joss” sudah populer di jeneponto bahkan banyak diantaranya orang tua sendiri yang mengucapkan sehingga anak-anak juga mengikutinya.

 Perlu disadari bahwa setiap individu dalam pertumbuhannya dicetak dimana dia lahir, begitu juga sebaliknya. setiap individu di sepanjang kehidupan juga memberikan sumbangan untuk mewarnai masyarakat lainnya. Tidak ada sifat manusia yang terpisah dengan lingkungan dan masyarakatnya dimana manusia itu berada. sifat manusia dibentuk dengan masyarakat dan lingkungannya .

Beberapa musik di Indonesia juga dapat meransang menimbulkan paradigma yang positif yang mengandung nasehat-nasehat atau motivasi terhadap masyarakat penikmatnya. Musik dangdut perlu di lestarikan karena salah satu musik ciri khas di Indonesia, namun jangan sampai larut dalam sistem ekonomi, saat ini pelaku musik dangdut di jeneponto banyak mengesploitasi wanita hanya untuk menuhi kebuthan ekonominya . Sistem ekonomi modernitas saat ini sangat berpengaruh terhadap paradigma masyarakat, misalnya wanita usia 16-25 tahun rata menggunakan fasilitas hidup yang mewah, seperti hp, pakaian, dan peralatan lainnya Sehingga wanita yang kurang dari segi ekonomi menganggap bahwa adalah suatu tuntutan zaman yang harus dicapai sehingga masuk dalam rana hiburan (pertunjukan musik dangdut) rela menjadikan tubuhnya sebagi media hiburan untuk mencapai kebutuhannya agar tidak terlihat ketinggalan zaman. Dalam uraian diatas timbul suatu pernyataan bahwa ekonomi modernitas saat ini menimbulkan paradigma bagi pelaku musik dangdut yang mengesploitasi wanita hanya untuk meraih keuntungan secara komersial .

DAFTAR PUSTAKA


-Hardjana Suka, 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi, Jakarta: Buku Kompas.

-S. Tunner Bryan, 2012. Teori Sosial Klasik Sampai Postmodern, Yogyakarta: Celeban Timur UH III.

-Rahim Rahman, 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Hasanuddin University

-Rahman Nurhayati, 2012. Suara-Suara Dalam Lokalitas, Makassar: Jl. Perintis Kemerdekaan.

-( Riand Ramadani, 25 tahun. Penikmat Seni Musik Dangdut, Prancak dukuh)

-(Putra Faizal, 22 tahun. Penikmat Seni Dangdut, Prancak Dukuh)

-(Andi Ahmad Alif Tengri Dolong, 22 tahun. Kontrakan Sigit sip Sewon Bantul)
Musik Dangdut Sebagai Degradasi Gender Di Jeneponto

Oleh:
Dita
1210444015
JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKANf
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

MENATAP MASA DEPAN MANGKASARAKKU

Mengenai “masa” maka perilaku sebagai manusia yang berbudaya juga sistematis, fenomena lingkungan yang menjadi latar belakang terbentuknya sebuah sistem khususnya dalam segi pengetahuan.

Sampai saat ini Makassar merupakan wilayah/kota yang mengalami perkembangan pesat khususnya pada bidang seni. Perkembangan tersebut diakibatkan oleh adanya pendidikan serta organisasi sebagai wadah pengembangan serta pelestarian kesinian local.

Ada bebera pendidikan yang berbasis pengetahuan seni salah satunya adalah SMKN 1 SOMBA OPU. sekolah menegah yang mengajarkan secara spesifik tentang seni, baik dari seni tari, karawitan (music tradisional Sulawesi selatan), teater bahkan kerajinan tangan lainnya seperti busana kecantikan. Sekolah tersebut lebih spesifik tentang bidang kesenian serta menyiapakan beberapa kejuruan terhadap bidang seni seperti yang disebutkan diatas. Dengan demikian diatas maka ini merupakan salah satu cara bagaimana melestarikan seni tradisi local dengan cara mengajarkan bagaimana tentang seni yang bersifat tradisional maupun yang besifat kreasi.

pendidikan yang berbasis seni dimakassar setiap tahunnya memunculkan karya-karya yang berbasis nilai budaya local sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi aturan untuk menyelesaikan programnya, sering di sebut ”uji kompetensi”. Disinilah dapat terlihat bahwa generasi muda ini dapat mengembangkan seni, baik seni tari, seni music (karawitan), dan yang lainnya. Pengembangan tersebut juga tidak terlepas dari tradisi serta perilaku-perilaku masyarakat yang dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam karyanya.

Yang jadi permasalahan disini, bagaimana sistem pengajaran dalam memberikan metode pengengembangan seni serta pemahaman terhadap seni tradisional dan seni bentukan (kreasi)?
sedikit tentang hasil wawancara dengan siswa kelas 3 seni tari di SMKN 1 SOMBA OPU hari senin tanggal 12-januari 2015.
Mereka mengatakan bahwa salah satu mata pelajaran yang mengajarkan tentang seni tari tradisional dan seni tari tradisi. Nama mata pelajarannya ‘’WAWASAN SENI TARI’’. Salah satu mata pelajaran yang mengajarkan tentang tari tradisi dan tari kreasi.
Setelah penulis bertanya tentang yang mana tari tradisi dan yang mana tari kreasi.
Mereka menjawab dengan pemahaman searah dan membedakan tari tradisi dan tari kreasi, berikut yang termasuk tari tradisional dan tari kereasi menurut mereka.
TARI TRADISIONAL; pakarena anida, jangang lea-lea, serejaga digandang.
TARI KREASI; paduppa, bosara,pakkuru sumanga, pattennung.
Mereka mengatakan bahwa seni tradisi pada awalnya digunakan untuk upacara ritual sementara tari kreasi memang untuk pertunjukan, Mereka memahami bahwa tari tradisional adalah tari yang disebutkan diatas.

Kita melirik tentang bagaimana andi nurhani sapada dengan karyanya tari “pakarena anida” dalam buku SENI TARI SULAWESI SELATAN Oleh; Ir. Andi WE Tenrisau Sapada, MT halaman 8.
Bu Nani menggali tari pakarena pada tahun 1951 dengan mengundang seorang angrong guru/ guru tari pakarena berna parancing dari takalar. Setelah melalui pengamatan yang cukup lama terhadap music pengirin, dan kostum serta pola interaksi antara penari dan pemusik. Ibu nani memutuskan untuk mengadakan perubahan radikal dengan upaya suatua PERTUNJUKAN yang layak.
Iringan lagu yang tidak dikenal yang menurutnya terlalu khas dan tidak bisa dinikmati oleh bukan orang Makassar digantinya dengan lagu Makassar yang popular saat itu, yaitu BUNGANNA ILANG KEBO. Dan menghilangkan senjumlah element tertentu dari bunyi gendang yang secara spontan keras dan menekankan bentuk ritme yang lebih tenang tenang sehingga music kedengaran lebih indah.
 Sedangkan beliau menggabungkan ritme gendang mandar disalah satu bagian. Kemudian memodifikasi kostum dan memilih warna baju bodo yang didasarkan tidak pada pengertian strata social tetapi lebih menekankan kepada ketertarikan keindahan.

Demikian diatas maka penulis beranggapan bahwa tari pakarena anida memang dibuat dengan tujuan bentuk pertunjukan dari segi kostum sudah keluar dari pengertian stratara social serta lagu sendiri sudah diganti menjadi bunganna ilang kebo.

Yang jadi permasalahan sekarang ketika tari pakarena anida tersebut dianggap sebagai tari tradisional yang pada dasrnya di pake untuk upacara ritual. Bagaimana ketika pemahaman itu jadi pemahaman yang mutlak buat keseluruhan masyarakat Makassar.
Penulis beranggapan pemahaman tersebut dapat menjadi pemahaman yang dapat mengaburkan keaslian serta pakarena yang terdapat di desa-desa yang digunakan sebagai salah satu rangkaian ritual itu tidak dikenal lagi sebagai salah satu kesenian tradisonal atau kebiasan lama yang mengandung nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Akibat adanya penamaan bahwa tari tradisional Makassar adalah tari pakarena anida.

Menurut soedarsono, Tari tradisional merupakan suatu hasil ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan latar belakang atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut. Dalam tari tradisional tersirat pesan dari masyarakatnya berupa pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai dan norma. Karya tari yang dihasilkan sangat sederhana baik dari sisi gerak, busana maupun iringan. Setiap karya tari tradisional tidak terlalu mementingkan kemampuan atau tehnik menari yang baik, namun lebih pada ekspresi penjiwaan dan tujuan dari gerak yang dilakaukannya.
Oleh;Dita Pahebong
Selasa 13 januari 2015 SSK (sanggar seni katangka)