Selasa, 10 Februari 2015

Prosesi Upacara Appanaung Ri Je'ne Merupakan Sungbangsi Buat Masyarakat Di Balang Bonto Manai Kab. Takalar

            Sulawesi selatan merupakan pulau yang mempunyai keaneka ragaman budaya, sampai saat ini di berbagai daerah mempunyai kebiasaan-kebiasan lama yang masih dilaksanakan sebagai salah satu pelestarian budaya kususnya pada kesenian.
Appanaung Ri Je’ne dapat di artikan sebagai berikut: NAUNG artinya turun, APPA merupakan kata untuk menyebutkan pelaksanaan/perlakuan, RI sebagai kata yang menunjukkan tempat sama artinya dalam bahasa indonesia (di-), sedangkan JE’NE artinya air. Apa bila diartiakan secara keseluruhan Appanaung Ri Je’ne adalah menurunkan sesuatu ke dalam air.
Appanaung Ri Je’ne sebagai salah satu kegiatan yang sampai saat ini masih dilaksanakan. kebiasaan-kebeisaan tersebut sudah dianggap sebagai suatu kewajiban dalam pelaksanaan prosesi perkawinan ataupun sunatan dimana prosesi tersebut masih sangat disakralkan karena dianggap sebagai tradisi nenek moyangnya .
 pelaksanaan diatas sudah jarang ditemukan di daerah-daerah lainnya mungkin saja diakibatkan karena adanya perbedaan baik dari segi aktifitas ataupun dari segi  keberadaan lingkungan, ketika kita melihat dari sebuah aktifitas masyarakat yang terdapat di Balang maka sangatlah berbeda dengan aktifitas masyarakat yang ada di daerah Bajeng, meskipun sama dalam satu kabupaten yaitu takalar. Letak perbedaan aktifitas masyarakat sangatlah berpengaruh dengan lingkungan, dapat kita lihat dari segi mata pencaharian sebagai suatu tindakan dalam mempertahan kelangsungan hidup.
Daerah Balang merupakan daerah pinggir pantai sehingga aktifitas masyarakat tersebut lebih dominan pada mata pencaharian di laut, misalnya seperti memproduksi garam, menambang rumput laut, serta nelayan seperti mencari ikan dan lain-lain yang ada dilaut. Sementara daerah yang jauh dari pantai aktifitas untuk mata pencahariannya otomatis berbeda misalnya menanam jagung dan berternak serta segala hal yang dapat mempertahankan hidupnya sebagai masyarakat yang bermukim di daerah daratan,


  Lingkungan Sebagai Latar Belakang Terbentuknya Perilaku Masyarakat
            Dapat dilihat bahwa perbedaan seni juga sangat berpengaruh terhadap lingkungannya seperti yang dikatan plato dalam teori memesis bahwa seni adalah tiruan dari realita, artinya perbedaan seni sangatlah berperngaruh terhadap realita,  yang lebih spesifik adalah aktifitas masyarakat dalam lingkungannya.
Dari perbedaan lingkungan dari berbagai daerah di sulawesi selatan sebagai salah satu yang melatar belakangi terjadinya keragaman budaya, budaya yang merupakan kebiasaan masyarakat tidaklah hadir dalam sebuah ruang yang kosong. Tetapi hadir dalam suatu parameter sosial dan lingkungan dimana mereka berada (kontruksi dan reproduksi kebudayaan oleh Prof.D.Irwan Abdullah hal: 81).
Manusia melengkapi dirinya dengan aspek kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep intruksi untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan tindakan-tindakan tertentu dalam pengertian ini maka budaya berfungsi sebagai alat yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan, kebudayaan bukanlah yang dibawah lahir melainkan di peroleh melalu sosial dan lingkungannya ( koentjaranigrat 1986).
Appanaung Ri Je’ne merupakan salah satu tradisi masyarakat di Balang yang di anggap sebagai salah satu cara untuk menghargai alam sebagai wadah dimana hidupnya berkelangsungan (mata pencahariannya). Prosesi tersebut biasanya dilaksanakan saat melaksankan hajatan pesta perkawinan atau sunatan.
Menurut daeng liwang seorang warga desa tersebut, appanaung ri je’ne merupakan cara menghargai alam dan roh halus yang berada di air. Ketika tidak melaksanakan maka sering terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Seperti kesurupan atau dalam bahasa makassar napattauki. Menurut mereka alam juga mempunyai kekuatan dan butuh di hargai, mereka menganggap bahwa alam adalah mata pencaharian untuk  memenuhi kebutuhan dalam kelangsungan hidupnya. mereka tidak menganggap bahwa ini merupakan paham animisme yang menyembah alam, mereka sama sekali tidak menyembah selain tuhan hanya saja sebatas penghargaan terhadap alam yang tidak jauh beda dengan penghargaan terhadap manusia lainnya.

    Pelaksanaan Appanaung Ri Je’ne     
             Dalam pelaksanaan tersebut terdapat beberapa persyaratan yang berupa sesajian diantaranya: leko’ (dau siri), Rappo (pinang), leko’ pandang ( daun pandan) kemudian dibungkus kain putih. Jika ditinjau dari segi rasionalnya maka persyaratan tersebut tidaklah jauh beda dengan persyaratan seperti ammuntuli korong tigi (menjemput daun pacar)  artinya jika pihak keluarga yang punya hajatan menyambut korongtigi, mereka membawa kue sebagai suatu bentuk penghargaan terhadap bapak imam, kalau dalam bahasa makassar appakala’biri.
Persyaratan kemudian dibawa ke pinggir laut atau ke air yang mengalir  dengan iringan gendang puik-puik pola atau tunrung yang paling sering digunakan adalah renjang-renjang dan pakanjara ketika sampai ketempat tujuan. Sampai saat ini belum ada data yang pasti tentang pola gendang yang mutlak digunakan dalam acara prosesi tersebut, setelah sampai ketempat yang dianggap sakral barulah dihayutkan sesajian mengguanakan lapisan batang pisang atau dalam bahasa makassar masa unti.
Disisi lain sesajian dihanyutkan juga pada orang tertentu atau orang berpengalaman (angrong bunting), karena sebelum dihanyutkan juga ada tahapan tertentu yang harus dilakukan, seperti mantra atau semacamnya yang hanya diketahui oleh angrong bunting . Prosesi tersebut dilaksanakan setelah atau sebelum ammuntuli korong tigi dan prosesnya pun hampir sama, yang berbeda hanyalah tempatnya.

      Appanaung Ri Je’ne diluar Aspek Ritual
       Masih dilaksanakannya prosesi  Appanaung Ri Je'ne merupakan suatu kebanggaan buat masyarakaat di Balang karena masih sanggup mempertahankan  tradisi-tradisi kebiasaan lamanya, ini merupakan konserfatif kesenian yang juga dapat disebut sebagai pedagogi  kumulatif atau pembelajaran yang terus menerus buat anak-anaknya  inilah sebuah pembelajaran bagaimana cara menghargai alam, Sebagaimana kita ketahui bahwa perilaku atau aktivitas manusia itu tidak muncul dengan sendirinya melainkan adanya rangsangan stimulus terhadap lingkungan atau msayarakat disekitarnya.
Suatu keunikan dalam Appanaung Ri Je’ne ini karena masih bisa bertahan dalam era global dimana masih sanggup berdampingan dengan pemahaman islam sebagai satu kesatuan yang sama-sama penting di butuhkan dalam kehidupan manusia. 
Jika ditinjau dari sisi lain ini bukan semata-mata sebagai penghargaan terhadap alam namun juga sebagai salah satu wadah penghasilan terhadap pemain gendang, selama masih dilaksanakan maka pemain gendang masih mempunyai wadah untuk mata pencahariannya. Eksistensi gendang dalam prosesi tersebut tidak jauh beda dengan ekstensi gendang pada upacara lainnya, seperti misalnya akkorong tigi/mapaccing (malam pacar) gendang berfungsi untuk mengiringi keluarga yang akan memberikan doa  kepada pengantin atau sunatan, prosesi ini juga sama, cuman saja gendang hanya mengiri sepanjang perjalanan menuju tempat yang disakralkan.
Dari beberapa sudut pandang diatas yang sebagai bukti bahwa sebuah perilaku suatu masyarakat tidaklah di bentuk ruang yang kosong, dalam artian perilaku tersebut mempunyai dampak positif dari  terhadap masyarakatnya.

 Musik In culture Sebagai konflik Dalam upacara Appanaung Ri Je’ne

Beberapa waktu lalu penulis menyaksikan langsung konflik antara pemusik dan tuan rumah sebagai pelaksana prosesi tersebut. Di dalam musik ada namanya musik model in culture atau konsep tentang sebuah musik, namun kenyataan musik tidak selalu sesuai dengan konsep. Perlu disadari bahwa perbedaan lingkungan juga terdapat perbedaan konsep musik, pemusik yang berlatar belakang budaya yang pada dasarnya berbeda dengan kebiasaan masayarakat dimana prosesi Appanaung Ri je’ne itu berlangsung, memang sangat membutuhkan keterbukaan dalam artian pemusik perlu penyesuaian dan mengikuti kebiasaan masyarakat dimana mereka akan bermusik.

Memainkan musik sebagai iringan atau arak-arakan “menuju” tempat pelaksaan prosesi upacara ritual berbeda dengan musik saat “pelaksanaan” prosesi berlangsung. Jika saja pemusik menyamakan pola tabuhannya maka dapat terlihat konflik sebagai berikut:
 
Penolakan musik secara tegas  dalam pelaksaan prosesi ritual disebut ( virtual rejection of an impinging music) penolakan ini terjadi karena hambatan khusus yaitu penolakan secara ekologi (prof. Shin Nakagawa Musik dan Kosmos). “Pelaksana” upacara membutuhkan  adanya penekan energi musik saat prosesi ritual berlangsung, biasanya yang dibutuhkan pola tabuhan yang agak keras seperti pakanjara.
 Sekarang apa hubungannya musik keras (pakanjara) dengan Musik lambat (Renjang-Renjang) terhadap “Pelaksana’’ prosesi ritual tersebut..?

 Tore Sognesferst, seorang master in music dari akademy of music melakukan penelitian tentang pengaruh musik terhadap denyut jantung. Setelah subjec diperdengarkan dengan musik yang sangat lambat ternyata denyut nadi  berkurang 5 denyut di setiap menitnya.
Sedangkan  Galvvanic skin respose mengatakan bahwa pada subjec yang mendengarkan musik dengan irama keras dan cepat suhu kulit lebih rendah dari pada suhu normal.
Hal diatas membuktikan bahwa adanya pengaruh musik terhadap emosional manusia, setelah emosional ini terjadi maka jhohan mengatakan bahwa dalam mendengarkan musik kadang terjadi sugesti bunyi yang besifat individualis. (Lihat jhohan, terapi musik hal: 65)
Respon emosional inilah yang menutut untuk memainkan musik pakanjara setelah pelaksanaan berlangsung, jika respon emosional pelaksana prosesi ritual sudah terpenuhi maka sugesti terhadap musik juga berlangsung sehingga  mengenai kebutuhan ekologi dapat berjalan dengan lancar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar