Sabtu, 25 Juli 2015

apa itu etnomusikologi..?

Bruno Nettl
_____________________________

1

Apa itu Etnomusikologi?






Mendefinisikan etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, sebab di kalangan mereka yang menyebut dirinya sebagai etnomusikolog, terdapat perbedaan antara apa yang telah mereka lakukan, yang kini sedang dilakukan, dan apa yang menurut mereka seharusnya dilakukan. Guna tujuan-tujuan praktis, kiranya terlalu sederhana ketika mengatakan para etnomusikolog di masa lalu adalah mereka yang mempelajari musik di luar peradaban Barat, dimana sebagian kecilnya termasuk musik rakyat Eropa. Dengan demikian, para etnomusikolog bekerja dalam sebuah wilayah yang merupakan perbatasan antara musikologi secara umum dan juga antropologi budaya. Musikologi, yang didefinisikan sebagai sebuah bidang yang meliputi studi ilmiah dan objektif terhadap berbagai jenis musik dan dari berbagai pendekatan, sesungguhnya memusatkan perhatian musik peradaban urban Barat, yakni musik Eropa yang memiliki tradisi tulis. Dan ketika para musikolog konvensional bergelut juga dengan musik dari berbagai kebudayaan lain, mereka seringkali menarik diri dari bidang ini (musikologi) dan beralih menjadi etnomusikolog, dimana mereka terkadang dianggap sebagai spesialis musikologis lain, tapi mereka juga terkadang dianggap terpisah dari bidang ini namun masih memiliki keterkaitan. Para antropolog, khususnya mereka yang berkosentrasi pada studi kebudayaan, menyatakan bahwa seluruh kebudayaan di dunia adalah wilayah studi mereka; akan tetapi kenyataannya sejauh ini mereka terutuma menghabiskan waktu dan ruang dalam publikasi mereka tentang kebudayaan-kebudayaan di luar peradaban Barat. Oleh karena itu para etnomusikolog, apapun definisi mereka (dan sejumlah definisi ini didiskusikan di bawah), apa yang telah mereka kerjakan, di satu sisi, merupakan musikolog khusus yang menyelidiki musik eksostis dan, di sisi lain, merupakan antropolog yang menyelidiki musik sebagai fokusnya selain aspek-apek lain kebudayaan manusia, juga di luar peradaban Barat
Para etnomusikolog didukung oleh dua disiplin induk ini, dan pekerjaan mereka terutama berangkat dari metode-metode yang dikembangkan dalam musikologi dan antropologi budaya. Terlepas dari permasalahan dimana para sejarawan musik relatif terlambat mengakui pentingnya data etnomusikologis, peran yang dimainkan oleh etnomusikologi dalam musikologi umumnya sangat besar. Jelas, konstribusi utamanya adalah kemampuan memenuhi kebutuhan para musikolog untuk memahami semua musik, yakni, semua musik manusia dan bahkan (jika ada) fenomena musikal dalam dunia hewan. Jika memang ada, penting kiranya bahwa fenomena yang disebut terakhir, meskipun tidak termasuk dalam antropologi (yang didefinisikan sebagai studi terhadap manusia) diam-diam juga menjadi perhatian para etnomusikolog, sebab kemungkinan kebudayaan-kebudayaan eksotis dan perilaku non-manusia memiliki elemen-elemen yang sama. Satu-satunya elemen yang benar-benar umum di sini, tentu saja, keanehan dalam kaitannya dengan peradaban Barat. Pada akhir abad ke-19, para musikolog merasa perlu untuk memiliki data tentang musik dari kebudayaan-kebudayaan lain jika mereka berkeinginan untuk memahami musik sebagai sebuah fenomena yang universal. Para psikolog musik—dan sejumlah siswa yang mempelajari musik etnis pada awalnya berasal dari kelompok ini—juga merasakan pentingnya penggunaan bahan-bahan dari berbagai kebudayaan lain untuk menguatkan temuan-temuan mereka.
Akan tetapi, para musikolog di abad ke-20 lebih mengarah sebagai ahli dalam musik Barat. Para musikolog abad ke-19 kemungkinan lebih tertarik pada musik sebagai sebuah fenomena universal daripada para penerus mereka di abad ke-20, yang memandang bahwa perlu dan penting untuk berkonsentrasi pada aspek-aspek yang sangat khusus dari tradisi musik Barat. Etnomusikologi terlihat hanya memberikan sedikit kontribusi untuk penelitian yang khusus ini, namun demikian, etnomusikologi memainkan sebuah peran. Hubungan musik Barat dengan musik-musik Eropa tetangganya—musik dari Timur Dekat (Near East), dengan tradisi musik Yahudi, musik India, dll.—dan musik-musik lainnya, ikatan antara musik budaya tinggi (cultivated music) atau musik urban dengan musik-musik yang tidak memiliki budaya tulis, musik rakyat, cukup dekat pada beberapa periode dalam sejarah. Musik seni Eropa selalu bertukar materi dengan tradisi kerakyatan yang ada di wilayah geografisnya, dan berbagai pengaruh benua lain di Eropa kemungkinan menjadi lebih kuat daripada yang umumnya diakui. Untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh ini, guna mendeskripsikan berbagai gaya dan praktek musik dimana mereka bermula, metode-metode etnomusikologi adalah perangkat yang dibutuhkan. Sebagai contoh yang umum, studi mengenai asal-usul polifoni Eropa, yang dalam tradisi fine art diduga berasal dari abad-abad pertengahan, melibatkan musik-musik non-Barat yang memiliki gaya-gaya polifonik yang dapat dianalogikan atau mirip dengan yang ada di Eropa pada abad pertengahan. Studi ini juga melibatkan pengetahuan tentang berbagai gaya musik yang kemungkinan mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan, serta pengetahuan akan musik rakyat (yang ada saat itu, atau yang ada setelah masa itu) yang diduga dapat menyebabkan pertukaran berbagai gagasan dan materi-materi musikal. Banyak contoh yang mengindikasikan potensi dan tugas etnomusikologi di masa lalu terhadap studi sejarah musik budaya tinggi Barat (Western cultivated music); studi tentang polifoni abad pertengahan adalah salah satunya. Data tentang berbagai gaya musik non-Barat dan musik rakyat selalu tersedia untuk interpretasi yang tepat dari musik Barat.
Hal serupa juga dapat dilakukan untuk kebutuhan informasi musik dalam antropologi. Musik adalah salah satu dari beberapa fenomena kebudayaan yang universal, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki musik. Meskipun gaya musik di dunia amat sangat beragam, terdapat homogenitas dalam perilaku musikal sehingga identifikasi musik menjadi mungkin dan sederhana. Oleh karena itu, penting kiranya bagi seorang antropolog untuk juga mengetahui sesuatu tentang perilaku musikal dari masyarakat jika ia bermaksud untuk mengungkapkan sebuah kebudayaan tertentu secara utuh. Ini terutama ditekankan bagi kebudayaan-kebudayaan—dan sebagian besar kebudayaan—dimana musik memainkan peran yang penting dalam kosmologi, filosofi, dan kehidupan seremonial.
Musik terkadang digunakan sebagai bukti untuk teori-teori dalam antropologi. Temuan E.M. von Hornbostel tentang penalaan panpipe di Brazil yang identik dengan penalaan di sejumlah wilayah Oseania, agaknya mengindikasikan kontak budaya prasejarah antara wilayah-wilayah ini—sebuah permasalahan yang sedang dibicarakan. (Penting kiranya untuk dicatat bahwa penafsiran Hornbostel ini menjadi sesuatu yang kontroversial; akan tetapi ini tetap merupakan sebuah contoh klasik tentang data musikal dalam tugas yang dijalankan oleh etnomusikologi.)
Berbagai studi akulturasi, yakni, hasil dari kontak yang intim antara kebudayaan-kebudayaan yang bertetangga, dapat lakukan lewat studi terhadap musik (lihat Wachsmann 1961; Merriam 1955; dan Bab 8). Pengukuran statistik dalam antropologi budaya dilakukan dengan menggunakan fenomena musikal, yang lebih memudahkan untuk menghitung daripada menggunakan apspek-aspek kebudayaan lainnya, misalnya religi, organisasi sosial, dan sebagainya (lihat Merriam, 1956). Akhirnya—mungkin ini adalah alasan lain terkait asosiasi dekat musik dengan statistik dalam antropologi budaya—ada kemungkinan pembedaan antara isi musik (musical content) dan gaya musik (musical style), yakni, antara komposisi-komposisi spesifik dan berbagai karakteristik yang terdapat pada bagian-bagian dalam reperotar mereka (lihat Bab 6). Teori dan penelitian etnomusikologis sangat dipengaruhi oleh kenyataan ini. Kiranya mungkin bagi komposisi-komposisi individual, misalnya lagu-lagu, untuk berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan berubah dalam proses perpindahan tersebut, serta mungkin pula untuk berbagai ciri gaya—tipe-tipe bentuk, tangganada, ritme—untuk berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan masuk ke dalam lagu-lagu yang telah ada. Pembedaan ini, yang dapat lebih mudah dibuat dalam musik dan bentuk-bentuk seni lainnya daripada hal-hal lain dalam kebudayaan, membuat data musikal digunakan secara khusus oleh antropolog dalam menginterpretasikan fenomena budaya.
Terlihat bahwa etnomosikologi sangat dekat dengan musikologi sejarah dan antropologi budaya. Dan ketika para etnomusikolog memiliki berbagai perbedaan terkait definisi bidang dan dalam fokus mereka, kemungkinan tidak ada yang menyangkal akan pentingnya dua wilayah studi yang berkaitan ini dalam pekerjaan mereka. Peran etnomusikologi dalam dua bidang lainnya—folklor dan linguistik—juga harus disebutkan. Secara jelas, musik dalam tradisi lisan (dan ini adalah bahan mentah utama) merupakan sebuah bagian penting dari folklor, yang mencakup berbagi aspek kebudayaan yang hidup dalam tradisi lisan, dan terutama yang meliputi kratifitas artistik. Dan karena musik merupakan sebuah bentuk komunikasi yang dalam beberapa hal berkaitan dengan bahasa, bidang etnomusikologi yang mempelajari musik dunia, dapat mengkontribusikan dan masuk ke dalam bidang linguistik, yang mempelajari bahasa-bahasa dunia. Kedua disiplin ini berhubungan dekat terutama dalam mempelajari hubungan kata-kata dan musik dari lagu-lagu.


Lingkup Etnomusikologi

Guna tujuan-tujuan praktis, kita dapat mengatakan bahwa etnomusikologi bergelut terutama dengan tiga jenis musik. Karakteristik utama bidang ini dan sejarahnya kemungkinan adalah musik dari masyarakat-masyarakat non-literasi, yakni yang tidak mengembangkan sistem membaca dan menuliskan bahasa-bahasa mereka, dan, sejalan dengan itu, memiliki kehidupan yang relatif sederhana. Sachs (1962) menyanggah pandangan ini—seperti halnya sejumlah sarjana lain—karena ia meyakini ada atau tidak adanya tulisan tidak menyebabkan perbedaan besar di antara tipe-tipe kebudayaan. Masyarakat-masyarakat yang termasuk dalam kategori non-literasi meliputi Indian Amerika, Negro Afrika, Oseania, Aborigin Australia, dan berbagai suku di berbagai penjuru Asia. Kebudayaan-kebudayaan ini seringkali disebut dengan “primitif,” akan tetapi istilah ini tidak dapat benar-benar digunakan karena secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka dekat dengan tahap awal dalam sejarah manusia (dimana tidak dapat dibuktikan sejauh mana kebudayaan ini dikaitkan dengan tahapan ini) atau sangat sederhana (dimana tidak selalu benar, misalnya sejumlah kebudayaan non-literasi memiliki organisasi sosial yang sangat kompleks, ritual-ritual yang sangat rumit, seni, dan tentu saja, gaya musik dan adat-istiadat yang meliputi musik). Selanjutnya, anggota-anggota dari berbagai masyarakat non-literasi yang menguasai sebuah bahasa dunia seperti bahasa Inggris (dan individu-individu seperti ini meningkat jumlahnya) tidak menyukai ketika mereka disebut sebagai “primitif” dalam berbagai tulisan tentang mereka. Oleh karena itu istilah “primitif” secara perlahan-lahan mulai menghilang dari  literatur antropologi dan etnomusikologi. Istilah “pra-literasi” juga pernah digunakan, akan tetapi ini merugikan karena merugikan karena secara tidak langsung menyatakan sesuatu yang evolusioner, dengan rangkaian yang pasti menuju ke literasi. Istilah “tribal” (kesukuan) juga ditemui, tetapi sulit digunakan karena secara tidak langsung menyatakan  jenis struktur sosial dan politik tertentu dimana ini dimiliki oleh sebagian besar kebudayaan non-literasi, tetapi tidak seluruh kebudayaan non-literasi. Jika sebuah kebudayaan tidak memiliki organisasi tribal (kesukuan), kemungkinan musiknya dimasukkan dalam materi-materi lain yang dibicarakan, yang disebabkan karena ketiadaan tradisi tulis. Kiranya sulit untuk mendefinisikan kebudayaan-kebudayaan “tribal.” Dan oleh karena itu istilah “non-literasi,” meskipun tidak semenarik ungkapan seperti “tribal” dan “primitif,” sepertinya merupakan istilah yang paling deskriptif bagi kelompok atau masyarakat-masyarakat yang diasosiasikan sangat dekat dengan etnomusikologi.
Kategori musik kedua yang selalu dimasukkan dalam lingkup etnomusikologi adalah musik dari kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia dan Afrika Utara—Cina, Jepang, Jawa, Bali, Asia Tenggara, India, Iran, dan negara-negara yang menggunakan bahasa Arab. Ini adalah kebudayaan-kebudayaan yang memiliki musik yang mapan (cultivated music) yang dalam banyak hal dapat disamakan dengan musik dalam peradaban Barat, dicirikan dengan kompleksitas gaya yang tinggi, dengan bertumbuhnya musisi-musisi kelas profesional, serta adanya notasi dan teori musik. Kebudayaan-kebudayaan ini telah memiliki tulisan-tulisan tentang musik selama berabad-abad sehingga memungkinkan digunakannya pendekatan historis seperti yang digunakan oleh sejarawan musik Barat. Sesungguhnya tidak ada satupun dari bangsa-bangsa ini yang menggunakan notasi musik sekompleks dan seeksplisit di Barat, dan kehidupan musikal, bahkan di wilayah-wilayah urban (perkotaan) sekalipun, umumnya hidup dalam tradisi lisan dimana individu-individu mempelajari musik dengan cara mendengarkannya dan belajar tanpa menggunakan notasi tertulis. Oleh karena itu sulit kiranya untuk membuat batasan yang jelas antara musik kebudayaan-kebudayaan non-literasi dengan kebudayaan-kebudayaan tinggi oriental. Kunst menyebut yang terakhir ini sebagai “tradisional” (Kunst 1959:1), dan literatur etnomusikologis, tanpa memberikan klasifikasi yang lebih mendalam, hanya menyebut wilayah yang sangat luas ini sebagai “oriental.”
Kategori ketiga—dan ini tidak diterima oleh semua etnomusikolog—adalah musik rakyat, yang didefinisikan sebagai musik dalam tradisi lisan yang ditemui di berbagai wilayah yang didominasi oleh kebudayaan-kebudayaan tinggi. Dengan demikian tidak hanya peradaban Barat yang memiliki musik rakyat, tetapi juga bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Cina, dan lain-lain, tetapi tentu saja Barat memainkan peran yang besar dalam penelitian. Musik rakyat umumnya dibedakan dari musik masyarakat-masyarakat non-literasi karena memiliki wujud yang dekat dengan musik yang mapan (cultivated music) dimana keduanya saling bertukar materi dan musik rakyat mendapat pengaruh yang besar. Musik rakyat dibedakan dari musik yang mapan (cultivated music) atau musik urban atau musik fine art karena ketergantungannya terhadap tradisi lisan, bukannya notasi tertulis, dan, secara umum, dengan eksistensinya di luar institusi-institusi seperti gereja, sekolah, atau pemerintahan. Dan ini diterima sebagai bagian dalam etnomusikologi oleh banyak sarjana karena gaya-gayanya, meskipun berhubungan dengan musik seni Barat, tetap cukup berbeda sehingga mungkin untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang unik, manifestasi-manifestasi eksotik musik yang membentuk inti dari etnomusikologi.


Pendekatan-Pendekatan dalam Etnomusikologi

Seperti disiplin-disiplin baru pada umumnya, etnomusikologi berhadapan dengan berbagai kritik (self-criticism) dan inspeksi terhadapnya (self-inspection). Sejak tahun 1950, sejumlah artikel ditulis terkait berbagai permasalahan dalam pendefinisian lingkup etnomusikologi. Ketika tulisan-tulisan ini berkesan kontroversi, para penulisnya tidak banyak memperdebatkan tentang batas-batas luar serta apa yang menjadi penekanan dalam bidang ini; kecuali beberapa diantara mereka, sepakat tentang lingkup dari etnomusikologi. Sebagian besar dari mereka bersedia untuk memasukkan seluruh kebudayaan di dunia, termasuk peradaban Barat, tetapi mereka menaruh minat yang lebih pada musik non-Barat dan musik rakyat. Berbeda halnya dengan Jaap Kunst (1959:1), yang menekankan peran tradisi lisan sebagai ciri yang membedakan. Curt Sachs, dalam sub-judul karya generalnya tentang etnomusikologi (Sachs 1959), mengkhususkan bahwa Musik der Fremdkulturen (musik dari kebudayaan-kebudayaan asing) merupakan bahan yang dipelajari dalam apa yang tetap ia sebut sebagai vergleichende Musikwissenschaft (musikologi komparatif—istilah awal etnomusikologi). Marius Schneider (1957:1) yang berkebangsaan Jerman mengkhususkan pada musik non-Eropa, dan menekankan pentingnya pekerjaan komparatif dalam pendefinisian bidang ini. Rhodes (1956) cenderung mendukung sikap yang demikian.
Kendatipun demikian, Kolinski (1957:1-2) mengemukakan bahwa wilayah geografis bukan merupakan pendekatan umum yang membedakan bidang kita. Ia meyakini bahwa etnomusikologi telah mengembangkan sebuah sudut pandang yang dihasilkan dari studi terhadap berbagai kebudayaan yang beragam, tetapi juga dapat diterapkan pada musik seni Barat. Gagasan bahwa subjek dari bidang ini harus dibatasi secara geografis, yakni hanya dunia non-Barat, menuai berbagai keberatan dan kritik. Akan tetapi terlepas dari dukungan banyak sarjana terkait keinginan untuk memasukkan musik seni Barat, haruslah diakui bahwa seorang sarjana dapat cukup objektif hanya dengan mempelajari kebudayaan di luar milik mereka sendiri. Dengan mempelajari budayanya sendiri, ia kemungkinan akan berada dalam kondisi dimana terlalu banyak prasangka dan asosiasi-asosiasi personal untuk menjadi objektif—ini diyakini banyak etnomusikolog. Oleh karena itu diharapkan musik Barat diselidiki dalam gaya etnomusikologis oleh sarjana Afrika atau Asia, sementara para sarjana Barat dapat tetap terus mengkhususkan pada kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
Selanjutnya, Merriam (1960) menekankan perlunya penggunaan metode-metode etnomusikologis secara universal. Seeger (“Whither Ethnomusicology?”, p. 101) meyakini bahwa para sejarawan musik Barat telah merampas nama “musikologi,” yang seharusnya tetap diteruskan bagi mereka yang sekarang disebut dengan para etnomusikolog. Para sejarawan tersebut selanjutnya dianggap sebagai spesialis dalam bidang yang lebih luas, katakanlah, seusia dengan para sejarawan musik Cina. Ketika sebuah kasus digunakan untuk membenarkan pendapat ini, tidak banyak pendapat terkait penerimaannya dalam keterlibatan para sarjana. Akhirnya, Chase (1958:7) mendefinisikan etnomusikologi sebagai “studi musik manusia kontemporer” (musical study of contemporary man), termasuk orang Barat; tetapi tampaknya dalam definisi tersebut ia mengabaikan studi historis musik mapan (cultivated music) yang selalu dipelajari dalam bidang ini, serta penggunaan bukti-bukti arkeologis dalam kebudayaan-kebudayaan non-literasi.
Dalam hal penekanan, sebagian besar etnomusikolog sepakat bahwa struktur musik dan konteks budayanya sama-sama harus dipelajari, dan keduanya harus diketahui agar penyelidikan yang dilakukan memadai. Dalam penelitian yang dilakukan sebelum tahun 1930, analisis dan deskripsi musik lebih memberatkan pada pendekatan-pendekatan lain. Semenjak tahun 1950, di satu sisi, para etnomusikolog Amerika yang berlatar belakang antropologi tampak condong pada studi budaya musik secara lebih detail terhadap musik itu sendiri. (Merriam 1960:109-10) mengemukakan enam wilayah utama yang harus diperhatikan oleh mereka yang mempelajari sebuah budaya musik, selain musik itu sendiri: (1) instrumen, (2) lirik-lirik dalam lagu, (3) tipologi dan klasifikasi musik lokal, (4) peran dan status para musisi, (5) fungsi musik dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya, serta (6) musik sebagai aktifitas kreatif. Merriam juga menekankan pentingnya penelitian lapangan, yakni, kebutuhan etnomusikolog untuk mengumpulkan bahan mentah dan mengobservasinya dalam kondisi “hidup” agar mereka dapat bekerja secara efektif. Lagipula, kemungkinan tidak ada seorang pun yang membantah pentingnya penelitian lapangan. Kendatipun demikian, kira-kira sebelum tahun 1940, harus diakui bahwa sejumlah sarjana tidak mau atau tidak dapat pergi ke lapangan, dan apa yang mereka lakukan adalah pekerjaan komparatif di laboratorium. Diasumsikan juga bahwa mereka yang melakukan penelitian lapangan terkadang menghabiskan waktu di rumah untuk mengolah musik yang dikumpulkan oleh orang lain—kemungkinan umumnya para antropolog—yang dapat merekam tetapi tidak dapat menganalisis musik. “Para etnomusikolog di belakang meja” ini, senada dengan Merriam (1960:113), semakin menjadi penting. Kini, dapat dikatakan bahwa penelitian lapangan yang pokok dapat digantikan dengan pengumpulan dan studi deskriptif para sarjana di negara-negara berkembang, misalnya peneliti lapangan Amerika di Kongo dapat digantikan oleh orang Kongo yang bekerja di wilayahnya sendiri. Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa seorang etnomusikolog yang benar-benar melakukan studi lapangan akan sulit melakukan pekerjaan komparatif. Dan jika ia digantikan oleh peneliti lapangan lokal (native fieldworker), lalu apa fungsinya? Dapat dikatakan bahwa, selain penelitian lapangan, pendekatan luas dan komparatif yang dilakukan di belakang meja, merupakan sebuah kontribusi yang sangat esensial dari etnomusikologi. Senada dengan Seeger (“Whither Ethnomusicology?”, p. 104), “siapa yang akan mendalami hasilnya? Dialah Hornbostel, dengan keobjektifannya yang tinggi dan besar, dan dengan menggunakan dua teknik secara bersamaan (lapangan dan komparatif) akan memberikan kita pemahaman tentang musik umat manusia.” Pada satu sisi, beberapa orang dengan serius menolak pernyataan Merriam bahwa pemhaman utama terhadap musik tergantung pada pemahaman tentang kebudayaan masyarakat (Merriam 1964: 113).
Sejak tahun 1953, sekelompok etnomusikolog Amerika mencoba untuk mencapai pemahaman melalui apa yang dikemukakan oleh Merriam dengan menceburkan diri mereka ke dalam kebudayaan-kebudayaan asing sebagai musisi-musisi aktif. Asumsi dasar dari kelompok ini, yang dipimpin oleh Mantle Hood, dalam beberapa hal menyamakan gaya musik dari sebuah kebudayaan dengan bahasa, sehingga dengan kontak yang lama dengan sebuah budaya musik, seorang etnomusikolog dapat menjadi sepadan dengan musisi lokal. Butuh pembelajaran dan praktik untuk mempelajari bahasa kedua di luar bahasa yang dimiliki agar dapat menjadi bilingual, maka butuh waktu dan kontak yang sering dengan kebudayaan musik lain untuk menjadi bi-musikal (Hood 1960). Sejumlah etnomusikolog yang belajar dengan guru-guru lokal (native masters) menjadi cakap seperti halnya orang Siam, India, musisi-musisi Jepang. Seorang anggota dari kelompok itu menjadi seorang spesialis hanya dalam satu atau dua budaya musik asing. Pendekatan ini sangat berhasil, akan tetapi tampaknya mengesampingkan kemungkinan pendekatan komparatif yang luas, karena seorang Barat tidak lagi dapat menjadi cakap dalam berbagai budaya musik daripada ketika ia belajar untuk berbicara banyak bahasa asing secara sempurna. Konsep bi-musikalitas juga digunakan oleh apara etnomusikolog dari negara-negara non-Barat yang tujuannya tidak hanya studi objektif terhdap musik mereka, melainkan membentuk sebuah budaya musik dimana elemen-elemen Barat dan lokal dipadukan. Pendekatan ini kemungkinan dapat disebut dengan “etnomusikologi terapan,” dapat disepadankan dengan “antropologi terapan,” yang berfungsi untuk membantu kelompok-kelompok non-Barat melalui proses akulturasi dengan peradaban Barat. Sebuah pernyataan yang lebih komprehensif terkait sikap Hood diterbitkan pada tahun 1963 (Hood 1963). Di sini Hood juga mengamati sejarah etnomusikologi di Amerika.
Selanjutnya, tampak bahwa bidang etnomusikologi memiliki inti—musik dari kebudayaan-kebudayaan non-literasi, musik masyarakat-masyarakat oriental yang sedang berkembang, serta musik rakyat dari Barat dan peradaban-peradaban oriental—yang umumnya diterima sebagai bidang kompetensinya, dan ketidaksepaktan hanya ada terkait pendefinisian batas-batas luar bidang ini dan dalam penentuan apa yang menjadi fokus perhatian dan pendekatan. Kita dapat menyimpulkan kesepakatan pendapat bahwa etnomusikologi, dalam kenyataan dan dalam teori, adalah bidang studi yang mempelajari musik dunia, dengan menekankan kepada musik di luar kebudayaan peneliti, dari sudut pandang deskriptif dan komparatif. Penelitian lapangan dan analisis laboratorium, struktur musik dan latar belakang kebudayaan, perbandingan luas dan spesialisasi yang lebih sempit yang diasosiasikan dengan dikembangkannya bi-musikalitas, studi sinkronik dan diakronik—kesemuanya relevan dan penting. Dengan demikian, dalam semua pendekatan, objektifitas, penghindaran terhadap penilaian yang didasarkan pada latar belakang budaya peneliti, dan diterimanya musik sebagai sebuah bagian dari kebudayaan adalah hal-hal yang esensial.
Akhirnya, kita dapat menanyakan lagi apakah para etnomusikolog seharusnya berurusan dengan musik dari budaya tinggi Barat; dan jika ini dilakukan ini, bagaimana membedakan mereka dari sejarawan musik Barat “biasa.” Jawaban saya secara personal untuk pertanyaan pertama tidak terlalu tegas, “ya.” Pertanyaan kedua akan dijawab sebagian dalam buku ini. Secara singkat, jawabannya adalah bahwa para sejarawan musik Barat berkonsentrasi pada sejumlah aspek budaya musik, dan terkadang mereka menerimanya sebagai sesuatu yang benar. Sebuh pendekatan etnomusikologis terhadap musik Barat akan menyertakan peran musik dalam kebudayaan, berbagai permasalahan praktek pertunjukan, notasi deskriptif versus notasi pra-deskriptif, berbagai prosedur dan metode untuk mendeskripsikan musik (yang hampir tidak tersentuh dalam musik Barat). Kesulitan mempelajari kebudayaan-kebudayaan musik asing telah memaksa para etnomusikolog untuk mengembangkan metode-metode guna menjamin objektifitas dan kritis terhadap bukti. Sejarawan musik Barat, yang merupakan anggota dari kebudayaan yang dipelajarinya, tidak selalu mempersoalkan objektifitas, dan pendekatan kritik dalam publikasi-publikasi mereka sangat terasa dibandingkan dengan pendekatan ilmiah. Selanjutnya, potensi utama kontribusi terhadap studi musik Barat adalah teknik-teknik yang telah mereka kembangkan dalam studi kebudayaan-kebudayaan musik lainnya.
Berbagai Kecenderungan dalam Sejarah Etnomusikologi

Sebuah sejarah yang definitif dapat sulit dituliskan untuk sebuah bidang studi, seperti halnya etnomusikologi, dimana ini merupakan sebuh bidang yang baru dan mayoritas eksponennya masih hidup dan tetap aktif. Beberapa pengamatan singkat terkait sejarah etnomusikologi telah hadir; Sachs (1962:5-32), Kunst (1959), dan Nettl (1956:26-44) termasuk di sini. Sejarah ini sebenarnya merupakan pokok dari buku ini dan hadir dalam aspek-aspeknya yang beragam dalam tiap bab. Tugas kita adalah menyimpulkan berbagai kecenderungan ideologis dalam sejarah etnomusikologi, yang terkadang tidak mudah sebab lebih banyak sarjananya ada pada masa kini daripada masa lalu: kontribusi-kontribusi total serta sebagian besar sudut pandang mereka menjadi sulit untuk dievaluasi sebab terjadi perubahan pandangan-pandangan serta kontribusi-kon-tribusi penting mereka kemungkinan digantikan oleh kontribusi lain yang lebih signifikan. Sejumlah kecenderungan dapat dirasakan di negara-negara berbeda pada waktu yang berbeda-beda pula, dan munculnya sarjana-sarjana terkadang memicu perubahan mendadak dalam kecenderungan-kecenderungan ini karena begitu sedikit orang-orang dalam bidang studi ini. Kendatipun demikian, sejumlah tendensi tertentu telah terwujud, dan pengaruh dari berbagai disiplin telah menyebabkan terjadinya pergeseran fokus serta perhatian yang bermanfaat dalam bidang ini.
Sebagai sebuah bidang studi yang bergelut dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan non-Barat, etnomusikologi merupakan sebuah disiplin lawas; akan tetapi sebagai sebuah bidang studi dengan metode-metode modern dan peralatan serta sebuah nama, etnomusikologi relatif baru. Dalam beberapa hal keberadaan etnomusikologi dapat ditarik dari digunakannya materi musik rakyat, dan bahkan materi musik Asia, yang dinilai sangat eksotik, oleh para komposer dipenghujung Abad Pertengahan dan Renaissance. Kaum humanis dan rasionalis abad ke-18 dipastikan merupakan semangat awal ketertarikan modern terhadap berbagai aspek perilaku manusia, dan dalam hal ketertarikan seseorang akan sesuatu di luar kebudayaannya sendiri. Sejarah etnomusikologi juga tidak terlepas dari Jean Jacques Rousseau, yang menulis ensiklopedi musik terkenal yang memuat contoh-contoh musik rakyat, musik Cina, dan musik Indian Amerika, diterbitkan pertama kali pada tahun 1767. Berbagai deskripsi tentang musik oriental telah ditulis oleh para misionaris pada penghujung abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dan minat terhadapmusik rakyat Eropa cukup mencolok dalam dunia kesarjanaan di Eropa pada abad ke-18, khususnya di Inggris dan Jerman.
Kemungkinan kita dapat menganggap berbagai deskripsi tentang musik Cina oleh para misionaris Perancis (du Halde, Amiot) serta pengumpulan lagu rakyat Jerman oleh para filsuf dan filolog (seperti Herder dan Grimm bersaudara) sebagai bagian dari tradisi kultural yang sama. Meskipun kedua kelompok ini berbeda latar belakang, namun jelas bahwa keduanya dimotivasi oleh rasa perhatian terhadap nilai materi musik yang asing bagi mereka. Mengherankan kiranya mendapati para misionaris, yang tujuannya adalah menghadirkan kebudayaan dan religi Barat di Timur, melakukan hal yang sebaliknya, yakni membawa musik Oriental (Timur) ke Barat. Kecuali itu, diduga bahwa para penyair masa Romantik menaruh perhatian pada lagu-lagu dari masyarakat pedesaan. Berbagai koleksi individual seperti Herder (lihat Pulikowski 1933) dan risalah teoretis tentang folklor oleh mereka yang oleh Dorson (1955) disebut sebagai kelompok ahli folkor Inggris pertama dengan cepat menimbulkan dampak yang berarti terhadap perkembangan etnomusikologi. Akan tetapi, di satu sisi, sesungguhnya tidak begitu banyak hubungan antara para kolektor lagu rakyat pada Abad ke-19, para misionaris seperti Amiot, dan para sejarawan musik Barat yang juga mempelajari Timur, misalnya Kiesewetter, dan di sisi lain, hubungan antara para pendiri disiplin etnomusikologi.
Meskipun etnomusikologi biasanya, secara tersirat, dianggap jauh lebih muda daripada musikologi sejarah, dalam pengertian modern terkait nama mereka, dua bidang ini bermula pada dekade yang sama. Musikologi umumnya dianggap dimulai pada tahun 1855 dengan terbitnya Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft, yang dipelopori oleh Philipp Spitta, Friedrich Chrysander, dan Guido Alder. Para sarjana ini membedakan antara sejarah musik dan hal yang agaknya lebih ilmiah serta beberapa cara pendekatan saintifik terhadap musikologi, yang tidak hanya mencakup sejarah musik Barat tetapi juga berbagai aspek “musikologi sistematik”—teori musik, akustika, psikologi musik, serta studi sinkronik terhadap musik dari kebudayaan-kebudayaan non-Barat. Volume kedua Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft memuat tonggak bersejarah dalam etnomusikologi: studi yang dilakukan Carl Stumpf terhadap lagu-lagu Indian Bella Coola (Stumpf 1886), yang oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai terbitan etnomusikologis yang sesungguhnya karena ini merupakan sebuah studi gaya musik dari suatu suku dengan penekanan pada struktur tangganada dan melodi (lihat juga Bab 2).
Jaap Kunst (1959:2-3) tidak menganggap Stumpf sebagai etnomusikolog pertama yang sesungguhnya, tetapi lebih menempatkan A.J. Ellis pada posisi terhormat ini. Karya besar Ellis (Ellis 1885) tidak berselang lama dari karya Stumpf dan menunjukkan dekatnya waktu antara lahirnya musikologi sejarah dan etnomusikologi. Kunst menganggap Ellis sebagai tokoh penting karena kontribusinya dalam hal metodologi—apa yang disebut sebagai sistem cent dalam pengukuran interval ditemukan olehnya—daripada karena penyelidikan terhadap gaya musik individual atau kebudayaan. Siapapun dari sarjana ini yang dianggap sebagai pendiri bidang kita yang sesungguhnya, yang pasti bidang ini dimulai pada tahun 1880-an, yakni saat dimana musikologi sejarah juga dimulai.
Etnomusikologi tidak berkembang dari sebuah disiplin; akan tetapi, dari beberapa disiplin yang menyatu, kurang lebih pada saat yang bersamaan, namun kemungkinan tidak bersamaan pada musik berbagai kebudayaan non-Barat. Carl Stumpf kemungkinan dapat dianggap sebagai wakil dari bidang psikologi, dimana salah satu pembahasannya tentang permasalahan tesebut diterbitkan secara luas, dan baik dirinya maupun Erich M. von Hornbostel yang terkenal itu bekerja di “institut psikologi” Universitas Berlin. A.J. Ellis adalah seorang filolog dan ahli matematika. Walter Fewkes adalah seorang antropolog; sementara Frans Boaz, antropolog yang memiliki pengaruh besar terhadap para etnomusikolog Amerika, membawa metode-metode dari bidang studinya yang pertama, yakni geografi dan fisika, ke dalam bidang studinya saat ini. Para sejarawan musik Barat yang menonjol pada saat yang bersamaan dengan hadirnya terbitan-terbitan etnomusikologis pertama—Adler, Spitta, Chrysander—menaruh perhatian dan pengakuan terhadap cadang baru dari disiplin mereka, akan tetapi kontribusi dan pengaruh mereka terhadap cabang disiplin baru ini relatif kecil. Masa-masa setelah itu, dan bahkan selama tahun 1940-an dan 1950-an, para etnomusikolog yang berasal dari kalangan sejarawan musik terlihat lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari para antropolog dan ahli folklor, dan ketika bidang musik tidak lagi mengkontribusikan sarjana terhadap bidang ini, kemungkinan besar, yang ada adalah para musisi praktek atau komposer ketimbang sejarawan.
Banyaknya disiplin yang mengkontribusikan personil membuat etnomusikologi menjadi sebuah bidang studi yang hanya memiliki sedikit metodologi yang terpusat. Kita tidak dapat mengatakan bahwa satu tradisi secara tunggal membentuk metode kita. Sebuah bidang studi yang bertujuan besar, yakni untuk memahami seluruh musik di dunia dalam konteks budayanya, perlu untuk mengambil pengalaman dari berbagai bidang studi. Keragaman asal-usul kita merupakan sebuah kelebihan dan bukan kekurangan, bahkan pada saat-saat dimana keadaan ini merupakan penghalang bagi komunikasi yang jelas. Akan tetapi, pada masa awal etnomusikologi, pentingnya para sarjana yang berorientasi psikologis dan matematis memiliki konsekuensi yang luas. Secara karakteristik, apa yang diperkenalkan oleh Ellis bahwa interval-interval harus diukur secara objektif, dan penemuannya terhadap sistem cent dimana tiap jarak paruh nada (halftone) dibagi menjadi masing-masing 100 bagian yang sama (cent) mendorong deskripsi yang objektif terhadap tangganada.
Pentingnya penemuan perekaman suara terhadap perkembangan etnomusikologi tidak terperikan. Semenjak dilakukannya rekaman paling awal, mereka yang mempelajari musik non-Barat mulai menggunakan metode yang bagus ini untuk mengawetkan suara dari sebuah pertunjukan musik, sebagai cara untuk mengumpulkan bahan mentah mereka dan untuk membantu dalam analisisnya. Umumnya diyakini bahwa rekaman-rekaman pertama terhadap musik non-Barat dilakukan oleh Walter Fewkes, yang membuat silinder-silinder Edison untuk lagu-lagu Zuni dan Indian Passamaquoddy pada tahun 1889. Rekaman fonografis terhadap musik etnis dilakukan oleh pra sarjana Amerika lainnya, misalnya Frances Densmore, dan tidak lama setelah rekaman Fewkes itu dimulai, seorang pelopor berkebangsaan Jerman, yakni Carl Stumpf, juga menerbitkan sebuah hasil studi musik Indian (Stumpf 1892) yang berdasarkan atas materi-materi rekaman. Perlunya menggunakan rekaman dalam studi musik non-Barat tak pelak lagi bagi mereka yang melakukan studi tersebut. Mereka dihadapkan pada suara yang terdengar kacau-balau, yang tidak memiliki makna musikal bagi telinganya yang berorientasi musik Barat, sehingga mereka butuh berulang kali mendengarkan agar memungkinkan mereka untuk mereduksi kadar yang tidak dikenal menjadi sesuatu yang dapat diterima dalam pikirannya sebagai sebuah sistem. Dalam wilayah musik rakyat, kebutuhan berbagai studi yang berdasarkan atas rekaman tidak serta-merta menjadi umum setelah itu. Mereka yang mempelajari musik rakyat berpikiran bahwa yang dihadapi adalah jenis musik yang gayanya telah akrab dengan mereka melalui pergaulan dengan musik mapan Barat (Western cultivated music), dan karena lagu-lagu rak-yat telah ditulis dan diterbitkan dalam berbagai kumpulan selama beberapa dekade. Akan tetapi keadaan ini tidak lagi ada hingga Béla Bártok (yang notasi-notasinya, berdasarkan atas rekaman, sangat berbeda dari yang diperkenalkan dalam kumpulan-kumpulan lagu rakyat komersial) menunjukkan bahwa metode-metode etnomusikologis dalam penotasian musik menghasilkan sebuah halaman tentang musik yang terlihat cukup berbeda dari halaman-halaman dalam kumpulan-kum-pulan lagu rakyat lawas, serta mulai mempublikasikan studi-studi saintifiknya tentang musik rakyat Hungaria dan Eropa Timur lainnya, hingga lagu rakyat Eropa secara rutin mulai menjadi bagian dalam berbagi proses perekaman lapangan dan pentranskripsian.
Setelah praktek rekaman menjadi mapan pada peralihan abad ke-19, banyak individu yang bukan dari bidang musik atau tidak menaruh perhatian khusus pada musik mulai membuat rekaman-rekaman terhadap musik dalam kebudayaan-kebudayaan yang dekat dengan mereka. Menjadi jelas bahwa proses-proses kolonisasi dan pembaratan (Westernization) berbagai masyarakat cukup menimbulkan perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan musik di dunia, dan banyak gaya musik menghilang seketika. Ini juga berlaku di Eropa dan Amerika utara, dimana urbanisasi dan industrialisasi menjadi ancaman yang memungkinkan hilangnya gaya-gaya musik rakyat. Inilah yang mendorong para antropolog dan ahli folklor melakukan perekaman musik, dan karena pekerjaan perekaman ini tidak membutuhkan keahlian khusus tentang musik, sejumlah besar silinder, dan kemudian, piringan-piringan, dibuat dan diserahkan kepada para etnomusikolog, yang bekerja di laboratorium untuk kepentingan transkripsi dan analisis. Besarnya materi yang dikumpulkan tidak semuanya langsung dapat ditangani oleh para etnomusikolog, sehingga pembuatan tempat penyimpanan arsip menjadi hal yang penting.
Gagasan untuk memiliki tempat untuk penyimpanan, pengolahan, pengklasifikasian dan pembuatan katalog untuk rekaman-rekaman etnomusikologis menjadi utama dalam bidang ini dan mengarah kepada pengembangan sebuah wilayah pengetahuan dan keahlian khusus dalam etnomusikologi. Arsip, dalam sebuah pengertian, sama dengan perpustakaan dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang juga menjadi hal penting dalam penelitian.
Tempat arsip yang paling terkemuka di Eropa adalah Phonogramm archiv di Berlin, yang didirikan pada tahun 1900 oleh Carl Stumpf dan Otto Abraham terutama untuk menyimpan silinder-silinder yang dibawa oleh para etnolog Jerman. Selama beberapa dekade, lembaga arsip ini berfungsi sebagai model bagi lembaga-lembaga arsip yang didirikan di tempt-tempat lain, khususnya di Amerika Serikat, dimana seseorang yang dahulu merupakan asisten di arsip Jerman, yakni George Herzog, kemudian membangun membangun tempat seperti itu di Universitas Columbia untuk koleksi-koleksi serupa yang pada tahun 1948 dipindahkan ke Universitas Indiana. Semenjak Perang Dunia II, peran utama di kalangan lembaga-lembaga arsip dipegang oleh lembaga yang dipimpin oleh Herzog, yang dikenal dengan Archives of Folk and Primitive Music (dimana pada tahun 1954 kemudian dipimpin oleh George List), dan oleh Library of Congress’s Archive of Folk Song. Terkait sejarah berbagai lembaga arsip di Eropa, lihat terbitan-terbitan Folklore and Folk Music Archivist, serta karangan-karangan Kunst (1959), Herzog (1936), dan Hornbostel (1933). Sejarah tentang arsip adalah sesuatu yang menarik sehingga sebuah volume seluruhnya disediakan untuk permasalahan ini: kita hanya dapat menyebutkan institusi-institusi individual yang paling penting.
Sebagian besar lembaga arsip memiliki rekaman-reka-man sebagai minat mereka yang utama; berbagai informasi tentang latar belakang  (lihat Bab 3) rekaman-rekaman tersebut juga termasuk, tetapi notasi-notasi biasanya bukan merupakan bagian dari koleksi, meskipun di arsip Universitas Indiana serta Phonogrammarchiv Berlin memiliki daftar publikasi yang didasarkan atas rekaman-rekaman yang mereka miliki. Kendatipun demikian, sejumlah arsip lagu rakyat Eropa sebagian besar terdiri dari transkripsi, dan baru belakangan menambahkan rekaman-rekaman dalam koleksi mereka. Kemungkinan yang paling menonjol dari lembaga-lembaga arsip ini adalah Deutsches Volksiedarchiv di Freiburg-im-Breisgau. Di sini disimpan manuskrip-manuskrip serta rekaman berbagai versi/terjemahan lirik dan musik dari lagu-lagu rakyat Jerman. Berbagai kekurangan dari koleksi manuskrip jika dibandingkan dengan rekaman didiskusikan pada Bab 4 buku ini. Akan tetapi, arsip seperti yang ada di Freiburg memberikan keuntungan, yakni memungkinkan dilakukannya pembuatan indeks dan katalog dengan seksama karena materi yang dimiliki daripada koleksi yang hanya terdiri dari rekaman. Arsip di Freiburg memiliki sejumlah katalog dan indeks, yang memungkinkan dilakukannya identifikasi lagu-lagu sesuai tipe, tempat dikumpulkan, frase pertama nada-nadanya, nada-nada yang berkaitan dengan musik rakyat Eropa di luar Jerman, sumber-sumber tercetak, dan sebagainya. Tipe pembuatan katalog seperti ini tidak memiliki dampak yang besar pada arsip-arsip yang berkonsentrasi pada musik-musik non-Barat, akan tetapi ini meningkat menjadi salah satu aspek dalam pengarsipan etnomusikologis. Secara ringkas, kita harus menekankan bahwa perkembangan arsip telah menjadi sesuatu yang amat penting. Pada tahun 1960-an, arsip-arsip di berbagai negara, regional dalam negara besar seperti di Amerika Serikat, serta kelembagaan yang lebih sederhana benar-benar menjamur; dan salah satu tugas etnomusikologi di masa mendatang mengarah pada orientasi bagian (piece) individual dari musik, daripada—seperti yang diharapkan sejumlah kalangan—mengarah pada perilaku musikal dari berbagai kebudayaan. Dan kenyataan ini sejalan dengan latar belakang pengembangan arsip serta penekanannya terhadap pengidentifikasian dan diciptakannya berbagai pendekatan terhadap karya spesifik dari musik. Kenyataan bahwa arsip, pada satu tataran, mengabaikan konteks budaya dari musik kemungkinan merupakan sesuatu yang relatif diabaikan dari fase penting ini dalam etnomusikologi hingga belakangan ini.


Etnomusikologi di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, sejak tahun 1900 etnomusikologi telah memiliki posisi yang relatif lebih menonjol jika dibandingkan dengan di Eropa. Kami telah menyinggung kegiatan-kegiatan perekaman pertama oleh Walter Fewkes, yang belakangan menjadi direktur Bereau of American Ethnology (sebuah institusi yang selama abad ini mensponsori banyak penelitian tentang musik Indian termasuk kegiatan rekaman besar-besaran yang dilakukan Frances Densmore). Para siswa Amerika yang mempelajari kebudayaan non-Barat seketika itu mulai menyadari bahwa musik adalah sebuah aspek perilaku manusia yang benilai dalam kebudayaan apapun; akan tetapi rekan-rekan mereka dari Eropa, dengan beberapa pengecualian menunjukkan kurangnya ketertarikan terhadap musik di luar perekaman-perekaman lapangan—yang tentu saja merupakan sebuah kontribusi berharga. Di Amerika Serikat, sejumlah antropolog menjadi aktif dalam studi rekaman-rekaman, transkripsi, analisis, dan sebagainya. Dan institusi-institusi antropologis adalah salah satu yang mendukung para sarjana yang bergelut dengan musik non-Barat. Kemungkinan ini terkait dengan sikap Frans Boaz, seorang imigran Jerman yang umumnya dianggap sebagai tokoh yang memunculkan pendekatan antropologi yang berbeda di Amerika dengan penekanan pada penelitian lapangan, mendeskripsikan kebudayaan-kebudayaan secara utuh, serta perhatian dalam hal psikologi. Boas sendiri melakukan rekaman lapangan di pantai barat laut Amerika Serikat dan Kanada, serta membuat sejumlah transkripsi. Ia juga melatih sejumlah peneliti yang kemudian menjadi sarjana yang menonjol (antara lain George Herzog), dan yang kemudian fokus pada peran seni dalam karya-karya mereka. Tradisi berlatar belakang antopologis ini dalam etnomusikologi Amerika (berlawanan dengan latar belakang musikologis yang umum di Eropa) berlangsung hingga tahun 1950-an. Tentu saja pernyataan bahwa tradisi ini seharusnya tidak dilakukan secara harafiah menginikasikan adanya sebuah tendensi; banyak yang tidak demikian, dan banyak pula sarjana individual yang berada pada posisi netral. Halam hubungannya dengan para sarjana lain, etnomusikolog (senada dengan Sachs 1962:15) “berada pada posisi netral antara musikologi dan etnologi.” Akan tetapi dalam satu tataran ini menyebabkan etnomusikologi dipenuhi oleh orang-orang yang berasal dari salah satu disiplin tersebut di atas, yang kemudian menemukan berbagai hal menarik dan penting.
Para etnomusikolog Amerika yang mendekati lapangan mereka sebagai antropolog, tentu saja, seringkali masuk dari bidang musik ke dalam antropologi. Beberapa diantara mereka merupakan musisi praktek (terutama para musisi jazz) yang berkeinginan untuk mempelajari akar bidang seni mereka yang berasal dari seni rakyat dan non-Barat. Sejumlah lainnya adalah para siswa sejarah musik Barat yang mempelajari musik dari kebudayaan-kebudayaan lain karena kepentingan akademis seperti tuntutan untuk mengambil pelajaran “musikologi komparatif.” Lainnya merupakan para siswa antropologi, yang ketika mendengarkan contoh-contoh musik Afrika menjadi terdorong untuk mengeksplorasi musik eksotis lebih jauh dengan berbekal pelajaran piano yang dulu pernah mereka ikuti. Secara karakteristik, mereka adalah musisi yang ketika masa studinya memperoleh rangsangan antropologi, yang kemudian melakukan pendekatan dalam etnomusikologi sebagai seorang antropolog. Kiranya jarang seorang siswa yang mempelajari kebudayaan, sebagai siswa tingkat sarjana, sejak awal menunjukkan ketertarikan terhadap musik dan mulai mengembangkan pengetahuan tentang musik yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan etnomusikologis yang detail. Kemungkinan keahlian musik yang dibutuhkan untuk keperluan transkripsi dan analisis harus sudah dimiliki lebih dini, atau paling tidak sedikit demi sedikit dari buku yang tentunya juga membutuhkan beberapa jam latihan di laboratorium. Hingga belakangan ini, antropolog Amerika yang tidak memiliki latar belakang musik terkadang menghindari melakukan studi musik selain membuat rekaman-rekaman sederhana di lapangan. Oleh karena itu, ketika mereka melihat pentingnya musik dalam kebudayaan dan mendukung para etnomusikolog dalam lingkungan mereka, para antropolog Amerika sendiri tidak begitu aktif dalam menjelaskan perilaku musikal. Akan tetapi, ada sejumlah pengecualian yang perlu dicatat, dan ini hanya merupakan sebuah tendensi. Sejak tahun 1940-an, terdapat sejumlah upaya, terutama oleh Melville J. Herskovits, Alan P. Merriam, Richard A. Waterman, dan lain-lain, yang mendukung para antropolog yang tidak memiliki latar belakang musik untuk secara langsung mempelajari paling tidak aspek-aspek tertentu dari perilaku musikal yang tidak membutuhkan analisis musik secara teknis (lihat Merriam 1960).
Kecenderungan-kecenderungan serupa juga terlihat dalam institusi-institusi Eropa pada tahun 1950-an. Akan tetapi dalam sebagian besar kasus, para sarjana Eropa benar-benar merupakan musikolog terlatih yang belakangan beralih ke etnomusikologi dan menggali informasi antropologis yang dibutuhkan ketika mereka telah menjadi sarjana-sarjana yang matang. Sebagai sejarawan musik, mereka seringkali beralih kepada musik seni dari bangsa-bangsa Asia, meskipun mereka juga menunjukkan perhatian terhadap kebudayaan-kebudayaan non-lite-rasi. Setelah tahun 1950-an, para etnomusikolog Amerika terutama merupakan siswa yang mempelajari apa yang mereka sebut sebagai “musik primitif dan musik rakyat.”
Sejak awal tahun 1950-an, tiga kecenderungan penting telah mengubah gambaran disiplin ini. Kemungkinan yang paling jelas dari tiga kecenderungan penting ini adalah konsep bi-musikalitas sebagai sebuah cara untuk bergelut secara ilmiah dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan lain, serta melakukan pertunjukan aktif dan bahkan mengkomposisi musik dalam idiom budaya lain sebagai sebuah cara untuk mempelajari esensi gaya dan perilaku musikal budaya tersebut. Konsep yang pertama kali dikembangkan oleh Mantle Hood di University of California Los Angeles ini berdampak besar terhadap musisi-musisi di Amerika Serikat serta menyebabkan disiplin etnomusikologi mulai keluar dari jurusan-jurusan antropologi dan ditempatkan dalam jurusan-jurusan musik, dimana tindakan ini sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang sembrono. Para mahasiswa dari aliran pemikiran baru ini terjun ke lapangan tidak sebagai seorang etnografer sepenuhnya, melainkan sebagai seseorang yang akan belajar, dan para mahasiswa ini antara lain bermaksud mencari guru-guru lokal yang kompeten untuk mengajari mereka seni-seni musik yang dimiliki, seperti halnya guru-guru lokal itu mengajari murid-murid setempat. Tentu saja, pendekatan ini tampak terlalu sederhana ketika masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan yang telah memiliki cara khusus untuk membicarakan masalah musik, sebuah sistem teori musik, dan tradisi pengajaran musik. Ini umumnya ditemui dalam kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia. Para murid Mantle Hood mulai mengajar etnomusikologi di sejumlah lembaga pendidikan tinggi, sehingga musik oriental mulai memainkan peran yang lebih besar dalam etnomusikologi sejalan dengan dipraktekkannya musik-musik tersebut di Amerika. Pendekatan yang lebih tradisional, yakni yang bersifat antropologis, terus berjalan dengan pendekatan baru dalam etnomusikologi, akan tetapi para antropolog pun, misalnya David P. McAllester, sangat terpengaruh dengan gagasan bahwa pertunjukan aktif, seperti halnya observasi pasif, sangat berguna dalam mempelajari budaya musik di luar latar belakang budaya peneliti. Perlu kiranya ditambahkan bahwa ketika pendekatan dengan pertunjukan atau bi-musikalitas sangat membantu, seorang mahasiswa yang baru saja diterima sebagai musisi lokal Indian atau Jepang, sesuai dengan sifatnya, belumlah menjadi seorang etnomusikolog, karena mereka belum memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan tentang musik dunia: para mahasiswa itu baru mempersiapkan diri mereka untuk memberikan kontribusinya di waktu mendatang.
Kecenderungan kedua pada tahun 1950-an adalah meningkatnya perhatian etnomusikolog terhadap musik kontemporer dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kecenderungan untuk melihat materi yang “murni” atau “otentik”, yang belum memperoleh pengaruh dari musik Barat secara bertahap memunculkan sikap bahwa materi musik seperti inilah yang merupakan objek yang harus dipelajari, dan dugaan terkait kapan atau sejauh mana musik-musik ini terpengaruh oleh budaya-budaya musik lain, tidaklah menjadi kriteria yang tercakup dalam studi etnomusikologis, meskipun ini merupakan permasalahan penting. Ketertarikan terhadap berbagai proses pengaruh musik Barat menjadi terhambat untuk studi musik-musik non-Barat, dan, akhirnya, dalam studi etnomusikologis terhadap budaya tinggi Barat, minat ini tampak semakin meningkat. Di sini, etnomusikologi selanjutnya diikuti oleh kecenderungan antropologi Amerika, sejalan dengan berbagai pandangan bahwa metode-metode antropologis harus digunakan untuk mempelajari budaya milik antropolog sendiri, tidak hanya budaya-budaya di luar budaya antropolog. Sejak Perang Dunia II, para antropolog di Amerika Serikat mencurahkan tenaga lebih banyak untuk mengkaji budaya Amerika (lihat, misalnya, terbitan khusus American Anthropologist, vol. 57, no. 6, 1955), dan para peneliti dengan latar belakang budaya lain mulai bekerja dalam budaya mereka sendiri. Munculnya kesarjanaan musik yang demikian juga terjadi di negara-negara dengan masyarakatnya yang non-literasi sehingga memungkinkan mahasiswa etnomusikologi (di negara-negara tersebut) untuk bekerja dalam budayanya sendiri. Seperti halnya para antropolog yang menjadi bertabrakan dengan para sosiolog, sejarawan, psikolog musik, dan lain sebagainya keika mengikuti minat ini, para etnomusikolog dapat berjalan dengan saudara mereka, para sejarawan musik Barat kontemporer, psikolog musik, dan lainnya. Akan tetapi para etnomusikolog di Amerika Serikat umumnya sangat merasa bahwa berbagai metode dan pendekatan yang mereka pelajari untuk menghadapi musik di luar kebudayaan mereka akan sangat berguna ketika diaplikasikan pada musik seni Barat, dan metode-metode ini dapat mengungkap hal-hal yang umumnya tidak dapat dilakukan oleh para musikolog. Apakah ini benar tampaknya perlu dilihat kembali; akan tetapi, terutama dalam wilayah perbandingan dan berbagai studi yang melibatkan musik sebagai sebuah konsep universal, sudut pandang etnomusikolog akan berguna. Seperti halnya yang dilakukan sejumlah etnomusikolog pertama yang mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang asing bagi mereka karena keinginan untuk mencari tahu tentang perilaku musikal manusia secara umum, yang tidak dapat dilakukan dengan berangkat dari kebudayaan para etnomusikolog itu, etnomusikolog modern, yang tetap bertujuan untuk mempelajari budaya musik manusia, merasa perlu juga untuk memasukkan kebudayaan paling kompleks dalam studi mereka, bersama-sama dengan budaya-budaya non-barat dan budaya-budaya kerakyatan (folk cultures) yang secara tradisional memang merupakan bagian dari disiplin ilmu ini.
Kecenderungan ketiga adalah penyelidikan budaya musik tanpa analisis dan deskripsi gaya musik, tetapi melalui penelitian lapangan, dimana peran musik dan aktifitas musikal individual diteliti. Dampak antropologi dalam sikap ini telah disebutkan di atas. Kita seharusnya juga melihat faktor lain, bertumbuhnya industri rekaman yang tiba-tiba, sehingga tersedia rekaman-rekaman komersial dari musik non-Barat dan musik rakyat dalam jumlah besar, yang umumnya memiliki kualitas sebagai hasil penelitian yang sempurna. Salah satu dampak dari menjamurnya rekaman-rekaman ini adalah perasaan frustasi pada sebagian etnomusikolog yang harus menghabiskan berjam-jam untuk menotasikan sebuah lagu, dan perasaan bahwa mungkin untuk menganalisis bagian yang cukup berarti dari perilaku musikal tanpa perlu menggunakan notasi. Dengan demikian munculnya rekaman yang bersifat massa cenderung melemahkan jenis studi yang detail terhadap bagian-bagian individual dari musik, dan menguatkan kecenderungan, yang telah ada dalam antropologi, yakni lebih condong mendeskripsikan perilaku musikal daripada gaya musik. Ketika penekanan dilakukan pada konteks budaya dari sebuah musik, diharapkan tidak terjadi penurunan yang substansial dalam studi teknis musik itu sendiri.
Tiga kecenderungan penting pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dijelaskan di sini sangat tampak di Amerika Utara. Para etnomusikolog Eropa umumnya tetap melakukan berbagai tradisi kokoh yang dikembangkan pada tahun 1920-an; dan kontribusi-kontribusi mereka besar. Minat terhadap tipologi musik, terhadap hubungan antara musik rakyat dan musik seni, serta terhadap persebaran geografis gaya musik antara lain merupakan fokus dalam etnomusikologi Eropa semenjak Perang Dunia II. Akan tetapi sejak tahun 1955, hubungan dan saling ketergantungan antara para sarjana Eropa dan Amerika, seperti dalam hal teori dan metode, telah bertumbuh dengan mantap.


Bibliografi

Chase, Gilbert (1958). “A Dialectical Approach to Music History.” Ethnomusicology 2:1-8.
Dorson, Richard M. (1955). “The First Group of British Folklorists.” Journal of the Society of Arts 1885.
Herzog, George (1936). Research in Primitive and Folk Music in the United States: A Survey. Washington: American Council of Learned Societies, Buletin 24.
Hood, Mantle (1957). “Training and Research Methods in Ethnomusicology.” Ethnomusicology Newsletter 11:2-8.
_______ (1960). “The Challenge of Bi-Musicality.” Ethnomusicology 4:55-59.
Hornbostel, Erich M. von (1933). “Das Berliner Phoogrammarchiv.” Zetschrift für Vergleichende Musikwissenscahft 1:40-47.
Kolinski, Mieczyslaw (1957). “Ethnomusicology: Its Problem and Methods.” Ethnomusicology Newsletter 10:1-7.
Kunst, Jaap (1959). Ethnomusicology, edisi ketiga. The Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-66.
Merriam, Alan P. (1955). “The Use of Music in the Study of a Problem in Acculturation.” American Anthropologist 57:28-34.
_______ (1960). “Ethnomusicology: Discussion and Defitinion of the Field.” Ethnomusicology 4:107-114.
Merriam, Alan P., dan Linton C. Freeman  (1956). “Statistical Classification in Anthropology ….” American Anthropologist 58:464-472.
Nettl, Bruno (1956). Music in Primitive Culture. Cambridge: Harvard University Press. Bacaan yang disarankan, Bab 1.
_______ (1961). Reference Materials in Ethnomusicology. Detroit: Information Service.
Pulikowski, Julian von (1933). Geschichte des Begriffes Volkslied in Musikalischen Schrifttum. Heidelberg: C. Winter.
Rhodes, Williard (1956). “Toward a Definiton of Ethnomusicology.” American Anthropologist 58:457-463.
Sachs, Curt (1959). Vergleichende Musikwissenscahft: Musik der Fremdkulturen. Edisi Kedua. Heidelberg: Quelle und Meyer.
_______  (1962). The Wellsprings of Music. The Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-16.
Schneider, Marius (1957). “Primitive Music,” dalam Egon Wellesz, ed. Ancient and Oriental Music. London: Oxford University Press (New Oxford History of Music, Vol. I), pp. 1-82.
Seeger, Charles (1961). “Semantic, Logical and Political Considerations Bearing Upon Research in Ethnomusicology.” Ethnomusicology 5:77-81.
Stumpf, Carl (1886). “Leider der Bellakula Indianer.” Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft 8:127-144.
Wachsmann, Klaus P. (1961). “Criteria for Acculturation,” dalam International Musicological Society, Report of the 8th Congress, New York 1961. Kassel: Baerenreiter, pp. 139-149.
“Whither Ethnomusicology?” (1959). Panel Discussion. Ethnomusicology 3:99-105.












Jeff Todd Titon
_____________________________

2

Mengenal Penelitian Lapangan






Epistemologi adalah lapangan penyelidikan yang membahas asal-usul, sifat, dan batas-batas pengetahuan manusia (lihat Rorty, 1979:140). Dengan demikian, epistemologi bagi etnomusikologi adalah persoalan yang terkait dengan asal-usul, sifat, dan batas-batas pengetahuan manusia yang berhubungan dengan musik dalam kehidupan manusia. Sebuah epistemologi bagi etnomusikologi berusaha untuk menjawab dua pertanyaan mendasar: Apa yang dapat kita ketahui tentang musik, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya?
Belum lama ini, transkripsi musik merupakan ciri yang membedakan disiplin kita, bukan hanya sebatas cara yang ditempuh (Hood, 1982 [1971]; McAllester, 1989), melainkan sebuah praktek yang turun-temurun. Transkripsi mengungkapkan apa yang dapat kita ketahui tentang musik dan bagaimana kita mengetahuinya. Musik dijadikan sebagai objek, dikumpulkan, dan direkam agar dapat ditranskripsikan. Transkripsi—yakni, mendengarkan sebuah musik dan menuliskannya dalam notasi Barat—tidak hanya sebatas sebuah pekerjaan yang menuntut keahlian tetapi juga sesuatu yang “menguraikan” pengalaman agar menjadi hidup, menghilangkan dunia yang hidup, dan mentransformasikan apa yang telah berlalu (bunyi) ke dalam sebuah representasi yang dapat dianalisis secara sistematis serta kemudian dibandingkan dengan transkripsi-transkripsi lainnya untuk dapat menarik generalisasi dan menguji berbagai hipotesis yang berkaitan dengan asal-usul dan evolusi musik. Saat ini yang utama dalam etnomusikologi bukan lagi transkripsi, melainkan penelitian lapangan. Penelitian lapangan tidak lagi dilihat secara mendasar sebagai pengamatan dan pengumpulan (meskipun memang mencakup hal-hal tersebut), melainkan sebagai jalan untuk memperoleh pengalaman dan memahami musik (lihat Titon, 1992 [1984]:xvi). Penelitian lapangan yang baru membawa kita kepada pertanyaan seperti apakah membuatmusik bagi seseorang dan untuk mengetahui musik sebagai pengalaman yang hidup.
Apa yang telah dilakukan oleh sebagian besar etnomusikolog tersebut telah dilakukan dalam bidang musik sebelum diterapkan dalam etnomusikologi. Pada akhir tahun 1960-an, ketika mengawali studi formal etnomusikologi di University of Minnesota, saya menjadi bagian dari sebuah komunitas musik blues yang diketuai oleh Lazy Billy Lucas, seorang campuran Afrika Amerika yang lahir dai Arkansas dan berkarir sebagai penyanyi blues di St. Louis dan Chicago sebelum akhirnya hijrah ke Twin Cities pada awal 1960-an. Pemain harmonika bernama Mojo Buford yang bergabung dalam band milik Muddy Waters, pemain bass Jojo Wiliams, pemain gitar Sonny Boy Rogers, dan pemain piano serta penyanyi Leonard “Boby Doo” Caston juga mengunjungi apartemen milik Billy yang merupakan pusat komunitas ini, dan kami bermain musik bersama, menyantap ayam goreng sebagai menu makan malam yang disajikan Billy (ia pemasak yang hebat), meminum bir Fox Deluxe, dan kamipun berteman. Saya menjadi kenal dengan mereka, istri-istri mereka, serta kekasih-kekasih mereka, dan kami menghabiskan waktu bersama, kemudian, dalam seminar Alan Kagan tentang etnomusikologi, saya belajar tentang penelitian lapangan yang menekankan pada pengamatan terhadap orang dan pada pengumpulan data melalui wawancara-wawancara yang terstruktur, sebuah metode yang berasal dari seorang antropolog bernama Bronislaw Malinowski ketika meneliti di pulau Trobriand semasa Perang Dunia ke-I.
Ketika memikirkan rekan-rekan pemain blues, saya terhenyak, apakah saya telah melakukan penelitian lapangan dengan mereka. Kenapa tidak? Begitulah pikiran saya, dan saya melanjutkan mewawancarai Bill untuk sebuah proyek kelas. Tentu saja, saya telah “mengobservasi” Bill dalam waktu yang lama (dan sebaliknya). Saya tidak mengalami kesulitan berbicara dengan mereka terkait kehidupan dan karir mereka, terutama karena mereka merasa bahwa hal ini akan menghasilkan sesuatu, misalnya yang akhirnya menyebabkan sekelompok penggemar blues asal Perancis memproduksi dua rekaman LP untuk musik Bill (Titon, 1969; Lucas, 1971, 1972). Dalam wawancara-wawancara tersebut, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti dimana mereka lahir, pekerjaan apa yang digeluti oleh keluarga mereka, kapan mereka pertama kali belajar musik, bagaimana perkembangan karir musik mereka, dan lain sebagainya; dan mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Saya mengungkap sejarah lisan dan berkeinginan untuk menemukan berbagai fakta dalam kehidupan mereka. Istilahnya, saya sedang mengumpulkan data. Hasilnya, hubungan saya dengan mereka bertambah satu dimensi lagi; saya menjadi seseorang yang mungkin dapat mempromosikan mereka, menolong mereka dalam karirnya, hingga hanya sebatas seorang anak muda diantara orang-orang tua dan mencoba belajar musik dari mereka. Disamping persahabatan, kini saya dan mereka menjadi lebih saling mengenal.
Dalam penelitian lapangan yang saya lakukan, saya diarahkan untuk merasakan berbagai hubungan yang terbentuk, tidak hanya sebatas mengamati dan mengumpulkan. Selanjutnya, saya juga menyadari bahwa wawancara terstruktur tidak selalu berguna untuk memperoleh pemahaman yang terbaik. Penyanyi sekaligus pemain gitar blues Son House datang ke Twin Cities untuk mengadakan sebuah konser, dan saya memperoleh waktu selama satu jam bersamanya lengkap dengan sebuah alat rekam. Saya menyiapkan pertanyaan-pertanyaan, tetapi saya memutuskan untuk memulai dengan memutarkan sebuah rekaman blues dari tahun 1920 yang dimainkan oleh rekannya, Charley Patton, dan berharap memperoleh bantuan darinya guna menguraikan lirik-lirik lagu Patton (House kemudian mengatakan bahwa anda bisa berjongkok dan tidak akan pernah paham sepatah katapun yang ia nyanyikan). House mendengarkan tape, dan saya bersiap untuk mulai melontarkan berbagai pertanyaan, tetapi sebelum saya sempat melakukannya, ia mulai berbicara dan mengenang “Papa Charley” dan masa-masa itu. Saya menjadi lupa dengan pertanyaan-pertanyaan saya dan mendengarkan saja apa yang ingin ia ungkapkan. Ia menceritakan sebuah kisah panjang dan terperinci tentang bagaimana ia “memperoleh agama” ketika tinggal di delta sungai Mississippi. Ia juga berbicara tentang masa-masa lalu, tentang wiskhey buruk yang mereka buat dan minum, serta menceritakan juga sebuah kisah ketika ia dipenjara selama satu malam karena ia tidak memberi jalan kepada sebuah bus besar yang akan mendahuluinya ketika sedang mengemudi pulang dalam keadaan mabuk. Ia menceritakan kepada saya bagaimana tuan tanahnya yang berkulit putih memohon kepada sheriff dan hakim untuk membebaskannya, meskipun biaya pembebasan dari sang majikannya itu kemudian dialihkan menjadi hutang dalam pembagian hasil panen. Ketika mengisahkan cerita itu ia memainkan peran bos dan sheriff. Boss (House berbisik-bisik): “Biarkan dia keluar dari sini, ia bekerja sangat baik dengan traktornya. Saya membutuhkannya pada Senin pagi.” Hakim (House berbisik): “Baiklah, kami akan memberi tahu bahwa ia harus membayar sejumlah denda.” House (suara normal): “Lihat, itulah cara mereka bersepakat satu dengan yang lainnya” (Titon, 1976).
Saya larut dan terus duduk mendengarkan, ingin mengetahui lebih banyak lagi. Ketika House berhenti menceritakan kisah hidupnya, saya mengarahkan/mengendalikannya melalui serangkaian pertanyaan sejarah oral, berharap untuk mendapatkan lebih banyak lagi cerita; akan tetapi kini ketika saya mengendalikan percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan, House merasa tidak bebas lagi. Dan setelah dimulainya proses panjang dimana saya merenungkan jenis-jenis pengetahuan yang berbeda muncul dari wawancara terstruktur yang merupakan bagian dari penelitian lapangan kuno, versus kisah-kisah kehidupan yang diceritakan untuk mempengaruhi pendengar atau teman dalam sebuah situasi “kehidupan nyata”, yang selanjutnya tidak dapat dijabarkan sebagai penelitian lapangan, dimana teks-teksnya saya yakin akan menjadi bernilai, bukanlah sebagai sebuah bentuk pengumpulan data, melainkan sesuatu untuk mencapai pemahaman (Titon, 1980).
Sejak abad ke-19, filsafat di benua Eropa umumnya membedakan dua jenis pengetahuan: penjelasan dan pemahaman (Dallmayr & McCarthy, 1977). Eksplorasi merupakan khas dari ilmu-ilmu sains, dan pemahaman identik dengan ilmu humaniora. Kita akrab dengan metode saintifik untuk menarik kesimpulan, hipotesis dan eksperimen; penjelasan-penjelasan saintifik dalam bentuk terkuatnya mengekspresikan sebagai hukum-hukum alam yang universal, misalnya hukum gravitasi. Penjelasan memberikan jenis pengetahuan yang memungkinkan dilakukannya prediksi dan kontrol (Carnap, 1966). Di sisi lain, pemahaman menghadirkan sebuah jenis pengetahuan yang berbeda. Jika penjelasan diarahkan kepada objek-objek, pemahaman ditujukan kepada orang-orang. Jika penjelasan diarahkan kepada hukum, pemahaman diarahkan pada kesepakatan (agreement), terkadang, meskipun tidak selalu, melalui pengalaman (Gadamer, 1992 [1975]; Schutz, 1962). Penjelasan diperoleh melalui analisis pema-haman diperoleh melalui interpretasi. Penjelasan adalah suatu jenis “pengetahuan-bahwa” (knowledge-that), sementara pemahaman adalah sebuah bentuk “pengetahuan-dari” (knowledge-of). “Pengetahuan-bahwa” secara khusus terkait dengan para filsuf Amerika dan Inggris penganut positivis abad ini, karena dalam pandangan mereka, semua pengetahuan-proposisi yang bermakna dapat diungkapkan dalam bentuk proposional seperti “saya mengetahui bahwa …” (tentu saja, tidak semua proposisi pengetahuan-bahwa” bermakna dalam sebuah arti positivis). “Pengetahuan-dari” pemahaman, di sisi lain, lebih karakteristik dari pandangan terdahulu: Pengetahuan dari berbagai subjek, diungkapkan dalam pernyataan seperti ”saya mengetahui teman saya yang bernama William” atau “ia mengetahui pekerjaan pipa” atau “kamu mengetahui etnomusikologi” (Rorty, 1979: 141).
Sebagian besar tulisan tentang etnomusikologi sebagai disiplin akademis cenderung menjelaskan berbagai teori ilmu dimana musik dianggap sebagai suatu jenis bahasa (lihat, misalnya, Nettl, 1964; Hood, 1982 [1971]; Kunst, 1959; Myers, 1992). Etnomusikologi disebut-sebut diawali pada tahun 1880-an ketika bidang ini menjadi sebuah proyek saintifik. Pada saat itu, bidang ini tidak disebut sebagai etnomusikologi, melainkan musikologi komparatif, merefleksikan hubungan dekat dengan berbagai disiplin serupa seperti filologi (linguistik komparatif). Sosok yang umumnya dianggap sebagai pendiri etnomusikologi adalah Alexander Ellis, yang mengadakan pengukuran terhadap interval-interval musik dalam musik-musik non-Barat yang telah dipilih. Umumnya orang Eropa berpikiran bahwa musik-musik ini sedikit banyak “sumbang” (out of tune) Ellis, menunjukkan tradisi terbaik etnomusikologi yakni relativisme, dengan hipotesisnya yang lain: bahwa berbagai modus dan tangganada dari bangsa-bangsa lain memiliki polanya sendiri, berbeda dengan yang ada di Eropa Barat, tetapi berhubungan dengan ketentuan-ketentuan mereka sendiri. Pengukuran interval-interval memperkuat hipotesisnya. Signifikannya, Ellis adalah seorang yang cacat nada, dan melibatkan seorang asisten untuk melakukan pengukuran. Artinya, Ellis tidak memperoleh pengalaman tentang interval-interval musik dan mengandalkan peralatan di luar dirinya untuk melakukan hal tersebut.
Aplikasi penjelasan teori ilmu pengetahuan yang paling jelas bagi etnomusikologi datang melalui teori-teori musik berbasis linguistik. Baik musikologi komparatif maupun folklore musik mengandalkan filologi (linguistik komparatif) untuk metode-metode mereka. Pada abad ini linguistik berubah, tetapi apakah dalam musikologi sistematis Charles Seeger, entnomusikologi transformasional John Blacking, rekan-rekan etnomusikologibkognitf kita di Eropa, atau semiotika entnomusikologi Jean-Jaques Nattiez, gagasan bahwa musik diperlukan dan harus dipelajari sebagai sistim seperti bahasa sangat berpengaruh dalam membentuk disiplin kita, sesuatu yang mempengaruhi karya-karya tulisan saya dan yang lain. Sebagai sebuah paradigma, etnomusikologi memperoleh pengaruh besar dari antropologi—bagaimana pun juga, Society for Ethnomusicology mulanya direncanakan dalam pertemuan American Anthropological Association—dan antropologi linguistik salah satu dari empat bidang Antropologi Tradisional di Amerika. (Arkeologi, Antropologi fisik, Antropologi budaya, dan diluar ketiga bidangnya)
Di sisi lain, teori-teori ilmu yang lebih berdasar atas pemahaman dari pada penjelasan, mendapati pembela mereka yang tidak begitu besar artinya dalam tradisi filsafat, yakni diawali oleh Dilthey dan termasuk pula Husserl, Sartre, Heidegger, Schutz, Merleau-Ponty, Gadamer, dan Ricoeur. Tradisi ini, sebuah alternatife baik bagi positivism Anglo-Amerika maupun strukturalisme Eropa, terutama meliputi dua jenis aktifitas: fenomenologi dan hermeneutika. Fenomenologi menekankan pada kesegaran, konkrit, dunia yang ditangkap oleh panca indra, dan berusaha untuk menjadi dasar pengetahuan dalam dunia pengalaman. (lihat Ihde, 1986 [1977]). Hermeneutika berasal dari sebuah cara menginterpretasikan kitab suci, tetapi kemudian menjadi sebuah metode untuk menginterpretasikan teks secara umum. Beberapa tahun belakangan, Paul Ricoeur berupaya mengintergrasikan dua hal tersebut—fenemologi dan hermeneutika—menjadi apa yang disebutnya sebgai hermeneutika fenomenologi. Bagi Ricoeur, tindakan apapun yang memiliki tujuan dapat dianggap atau dibaca sebagai sebuah teks, dengan demikian, sebuah pertunjukan, misalnya, dapat dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan teks (1981b). Glifford Geertz menggunakan formulasi ini, menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan “sebuah kumpulan teks”, dan karya-karya yang dihasilkan yang berpengaruh besar terhadap etnomusikologi Amerika lima belas tahun yang lalu dan seterusnya. Meskipun banyak karya saya sejak tahun 1980-an bersarkan hermeneutika fenomenologi, kini saya menjadi lebih kritis dengan kecendrungan poststrukturalis untuk mengtekstualisasikan segala hasil termasuk pengalam musik, dan saya telah mengemukakan bahwakita telah menetang Ricoeur, bahwa berbagai tindakan berarti yang dialami seperti musik misalnya, tidak dibaca sebagai teks (Titon, 1995). Dengan kata lain, saya menyarankan bahwa kita merubah metafora yang kita gunakan untuk melakukan interpretasi. Dunia tidak seperti sebuah teks untuk dibaca, tetapi untuk dialami seperti halnya pertunjukan musik. Saya akan menyisakan ini  sebagai karangan mendatang.
Etnomusikologi, dalam pandangan saya, empat paradigma, atau seperangkat asumsi dasar pada abad belakangan, dimana musikologi komperatif adalah paradigma yang pertama. Paradigma yang kedua, dalam bahasa Inggris, dikenal dengan folklor musik. Ini secara khusus meliputi pengumpulan, pentraskripsian, analisis, dan membandingkan, ditambah dengan sebuah ideologi nasional, sebuah etnografi yang menekankan pada survei konteks sosial, sebuah dimensi etis yang meliputi pelestarian gagasan musik untuk menjadi tradisional berkembangnya di dunia luar, serta sebuah aspek edukasi dimana musik menjadi bagian kurikulum sekolah umum dan juga ditawarkan bagi kalangan dewasa. Pengumpulan, pengklasifikasian, dan karya-karya analitis Bela Bartok dan Constantin Braiiloion mewakili folklor musik.
Paradigma ketiga adalah etnomusikologi itu sendiri, yang diasosiasikan dengan kelahiran Society for Ethnomusicology pada tahun 1950-an, yang didukung oleh American Anthropology, dengan menitikberatkan pada penelitian lapangan dan masuk ke dalam kebudayaan, tidak hanya sebatas survei; selain itu, para etnomusikolog cenderung tidak mempercayai generalisasi komparatif yang luas dan justru menghasilkan monograf yang didasarkan atas studi-studi terperinci dari kebudayaan-kebudayaan musik tertentu. Para etnomusikolog juga tidak mempercayai nasionalisme, menolaknya karena merupakan bentuk etnosentrisme, dan mereka tidak menekankan pada pelestarian; agaknya, fokus mereka adalah alkulturasi dan perubahan. Para etnomusikolog juga tidak mendapat antusiasme yang banyak dari pendidikan di sekolah-sekolah umum, mereka berpikir bahwa mereka adalah sarjana (belakangan Alan Merriam menggunakan untuk membukakan rekan-rekan musik dunianya dalam pendidikan musik sebagai musikologi bak-pasir) .” Sudut pandang penduduk asli” adalah
Benih untuk fase keempat kita, yang hingga kini belum dinamai, ditebarkan oleh para etnomusikolog yang membawa para seniman-seniman asli ke universitas-universitas di Amerika untuk mengajar ansambel-ansambel non-Barat bagi para mahasiswa sehingga mereka dapat memperoleh pengalaman musikal yang mendalam. Saya menyebut paradigm baru ini sebagai studi tentang orang-orang yang bermusik (the study of people making music) (Titon, 1989, 1992 [1984]), akan tetapi mungkin juga disebut dengan studi tentang orang-orang yang memiliki pengalaman musik (the study of people experiencing music). Selain itu, ketika dicermati kembali, jelas bahwa paradigma keempat ini berasal dari sebuah generasi yang ditransformasikan oleh berbagai politik pada tahun 1960-an; pergerakan kaum wanita, gerakan perdamaian, serta pergerakan hak-hak rakyat. Karena keadaan yang demikian terus saja muncul, fase keempat ini menjadi sulit untuk dideskripsikan secara sistematis, tetapi sejumlah konsekuensinya tampak jelas. Penitikberatan yang lebih condong pada pemahaman (daripada terhadap penjelasan) pengalaman tentang orang-orang yang menciptakan musik (termasuk kita sendiri) merupakan puncaknya. Perhatian lainnya meliputi refleksifitas dan sebuah peningkatan dalam representasi naratif yang deskriptif, interpretif, dan evokatif (lihat, misalnya, Kisliuk, 1991); berbagi wewenang dan kewenangan dengan “para informan” (yang kini dianggap sebagai guru, konsultan, teman, dan sebagainya) (lihat von Rosen, 1992; Guilbault, 1993); sebuah perhatian terkait sejarah dan dengan berbagai persoalan kekuatan hubungan-hubungan (relationships), etika-etika, identitas, dan keyakinan; sebuah pendekatan dekonstruktif terhadap berbagai konsep batas seperti ras dan etnisitas; perhatian yang dekat terhadap bagaimana kelas dan gender terdapat dalam berbagai budaya musik; skeptisisme terhadap budaya ilmu pengetahuan dan keterkaitan dengan kaum feminis dan berbagai perspektif dunia ketiga; kesediaan untuk menjelajahi berbagai media, seperti museum, festival, film, video, serta hiperteks, untuk menggambarkan orang-orang yang membuat musik; dan kleterlibatan aktif sebagai penasihat musik dan budaya yang mencoba untuk membantu orang-orang dalam berbagai budaya-musik yang telah bekerja dengan kita agar memperoleh penghidupan yang lebih baik sehingga musik mereka dapat berkembang (Sheehy, 1992). Semua penekanan ini terimplikasi dalam “penelitian lapangan baru” dan umumnya muncul akibat perhatian terhadap hubungan manusia daripada sekedar pengumpulan informasi. penelitian lapangan yang baru tidak meninggalkan bunyi-bunyi musik serta berbagai struktur musik, hanya kini memposisikan hal-hal tersebut sebagai “teks” (subjek interpretasi) dalam sebuah lingkarang hermeneutik (Ricoeur, 1981a). Bunyi musik tetap didokumentasikan, dan jika struktur musik merupakan sebuah aspek penting dari pengalaman musik, seperti yang seringkali terjadi, maka hal tersebut perlu dianalisis dan diinter-pretasikan sebagai bagian matrix makna. Pelaku penelitian lapangan baru juga tidak meninggalkan dokumentasi; dokumentasi justru meningkat. Akan tetapi doku-mentasi juga diposisikan ulang, dan kini dilihat secara refleksif sebagaib sebuah hasil intersubjektif daripada sekedar laporan dan analisis tentang sesuatu yang disaksikan.
Jika kita memperluas sejarah disiplin kita untuk mencakup tipe-pemahaman berbagai teori, maka pasti kita juga akan menyertakan tulisan-tulisan para penjelajah dunia dan misionaris-misionari pertama di dunia yang memahami musik penduduk asli yang terbentuk dari perjumpaan dengan musik tersebut. Jean de Lery, misalnya, seorang misionaris abad ke-19, mengisahkan dalam sebuah tulisan bagaimana “hatinya tertarik” oleh musik penduduk asli Amerika, dan ia menulis kisahnya ini dengan penekanan ke arah pengalaman (Harrison, 1973). Dalam peninjauan kembali sejarah, kita akan menekankan “bimusikalitas” (Hood, 1963, 1982 [1971]), dan mempertimbangkan sifat pengetahuan yang muncul dari berbagai hubungan manusia melalui penelitian lapangan. Karya awal David McAllester tentang suku Navajo dan berbagai nilai budaya akan sangat penting (1973 [1954]; lihat juga Mitchell, 1978), dan berbagai artikel Kenneth Gourlay tentang penelitian etnomusikologis menjadi pernyataan-pernyataan teoretis awal yang pokok (1978; 1982).
Pendekatan kita, apakah kita lebih menyukai penjelasan atau pemahaman, jelas akan tergantung pada pikiran kita tentang apa itu musik. Dalam pandangan saya, musik adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, merupakan fenomena budaya. Berbagai konstruksi budaya yang beragam memungkinkan orang-orang untuk mengalami musik sebagai bunyi-bunyi yang terpola, objek-objek estetis, unsur ritual, bahkan sebagai sesuatu dalam wujudnya sendiri. Akan tetapi untuk mengatakan bahwa musik merupakan sebuah fenomena yang dikonstruksi secara kultural tidak berarti bahwa musik tidak memiliki eksistensi di dunia, seperti yang umumnya diketahui, saya mengalami dunia saya melalui kesadaran saya, dan saya mengalami musik sebagai sebuah bagian dari dunia kehidupan saya.
Pada bagian tulisan ini selanjutnya, saya mengajukan jawaban-jawaban fenomenologis dan refleksif untuk pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dapat kita ketahui tentang musik, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya. Saya memulai dengan menguji pengalaman-pengalaman musik seperti yang ada dalam kesadaran saya. Saya melanjutkan dengan menguji pengalaman-pengalaman penelitian lapangan. Akhirnya, saya mendiskusikan sejumlah strategi interaktif untuk menghadirkan pengalaman-pengalaman ini sehingga dapat memperluas pemahaman kita tentang musik. Tentu saja, tidak ada fenomenologi tunggal. Fenomena transendental Husserl secara signifikan berbeda dari fenomenologi eksistensial Heidegger, yang berbeda dari hermeneutik fenomenologi Ricoeur. Namun demikian, mereka mendukung sebuah tradisi dan memikliki asumsi-asumsi umum dan penekanan tertentu. Selanjutnya, saya akan menarik kesimpulan tanpa berusaha merepresentasikan berbagai versi tunggal fenomenologi dari tradisi ini. Tentu saja, saya tidak menemui versi tunggal apapun dari hal tersebut yang memuaskan secara keseluruhan.
“Fenomenologi menuntut fenomena diselidiki sebagai sesuatu yang muncul menjadi kesadaran” (Stewart & Mickunas, 1990: 91) Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu: dalam hal ini, kesadaran musik. Bagaimana saya menyadari musik? Bagaimana saya ada “di dunia” ketika kesadaran saya adalah kesa-daran musik? Pertama, tentu saja, musik merupakan sebuah pengalaman dari musik tersebut, dan hal ini dimediasi secara kultural; jelasnya, pengalaman saya tentang musik berbeda dengan orang lain yang berasal dari kebudayaan lain, bukan orang lain dalam kebudayaan saya sendiri. Dan saya mengalami berbagai musik yang berbeda sepanjang hidup. Tetapi untuk saat ini, saya akan menyertakan kesadaran terkini tentang musik, baik secara general maupun dalam kasus tertentu.
Saya mengambil manusia menciptakan musik (people making music) sebagai pardigma kasus musik “ada di dunia” (being-in-the-world). Bagi saya, menciptakan musik belumlah lengkap ketika saya melakukannya seorang diri; akan menjadi kompleks ketika dalam sebuah kelompok, saya menciptakan musik dengan orang lain. Anda mungkin atau mungkin tidak merasakan hal yang sama. Tapi saya akan mengambil penciptaan musik yang dilakukan oleh orang lain sebagai kasus dalam paradigma saya. Saya memilih kuartet string, gamelan, dan sebuah band blues, serta musik tua dari gereja Baptis Reguler, atau sebuah ansambel genderang dari Ghana, tetapi untuk melakukan pengujian, saya memilih penciptaan musik dalam band string lawas, dengan biola, banjo, dan gitar—sebuah puncak pengalman yang saya cari dan saya temui secara sadar.
Saya menjelaskan pengalaman ini secara fenomenologis. Keinginan mendorong saya untuk menciptakan musik. Keinginan ini merupakan sebuah kemunculan yang efektif, sisa dari kesenangan yang muncul dari pengalaman-penga-laman saya yang terdahulu dengan musik dan tari yang membuat saya mencari tahu mengapa hal itu merupakan sesuatu yang lebih baik. Adalah sebuah keunikan ketika keduanya melebur menjadi satu: sebuah keunikan yang melebur. Mengetahui orang-orang menciptakan musik diawali dengan pengalaman musik saya. Ketika memainkan biola, banjo, atau gitar dengan orang lain, saya men-dengar-kan musik; saya merasakan musik itu hadir; saya bergerak, secara internal; saya bergerak, secara eksternal. Selanjutnya, musik menguasai diri saya. Saya merasa musik merupakan sebuah kekuatan yang berpengaruh dalam diri saya. Berkaitan dengan hal ini, saya berbicara seperti halnya para fenemenolog, yang menyebutnya sebagai “sikap yang wajar” (natural attitude), cara sehari-hari yang normal di dunia, bukan sebuah cara analitis melainkan sebuah cara untuk menya-darkan diri sendiri. Saya merasa bahwa musik memasuki diri saya dan menggerakkannya. Dan kini musik menjadi bertambah keras, membesar hingga hal-hal yang lain seolah adalah hal-hal yang tidak mungkin, semuanya mati. Tubuh saya sendiri pun menghilang. Tidak ada analisis; tidak ada lagi kesadaran diri. Matinya hal-hal tersebut merupakan reduksi fenomenologis, yang disebut oleh Husserl sebagai epoche. Ini merupakan sebuah bentuk suspensi yang radikal. Saya tidak lagi merasa terpisah; melainkan, saya merasa diri sama menjadi “musik yang ada di dunia.” Sesungguhnya musik membalikkan hasrat kepada diri saya sendiri. Artinya, memiliki hasrat membawa saya kepada diri saya sendiri, menghadirkan kembali kesadaran diri saya. “Saya” yang kembali; saya menyadari kembali diri saya, saya melihat bahwa saya bersama mereka yang lain musik, musik yang saya dengar.
Ketika saya melihat diri saya dan orang-orang lain menciptakan musik yang saya dengar itu, saya ingin mengetahui orang-orang lain yang juga ada di situ. Bagi kami, untuk memahami orang lain kita harus mengetahui orang lain tersebut. Bagaimana kita bisa mengetahui orang lain? Siapakah anda? Jika anda menjadi objek, saya akan mendatangi anda seperti objek-objek lain yang sudah saya ketahui. Akan tetapi, anda adalah seseorang yang menciptakan musik, dan saya mendatangi anda sebagai seseorang (lihat Code, 1991: 37). Kita mencari tahu orang lain melalui pengalaman. Melalui hal-hal yang umum, misalnya pengala-man intersubjektif, kita memasuki dunia interpretasi. Interpretasi beralih dari bunyi menjadi musik, dari sesuatu menjadi sesuatu yang bermakna.
Ketika kesadaran saya dipenuhi oleh musik, saya berada di dalam dunia musikal. Pikiran saya yang berpengalaman mengatakan bahwa saya “berada dalam dunia” musik ketika saya membuat musik, mendengarkan musik, dan bergerak karena musik yang memenuhi diri saya. Saya menyebutnya sebagai menjadi musikal, dan ini merupakan sebuah model yang menghadirkan diri saya sebagai sesuatu yang berbeda dari biasanya, berbagai bentuk pengalaman sehari-hari, dari bentuk pengalaman diri saya yang sadar, dan dari bentuk pengalaman saya yang dibuat menjadi objektif.
Saya memberikan dasar untuk mengetahui musik—yakni, pengetahuan tentang musik—dalam menjadi musikal. Dengan kata lain, saya melihat sebuah epistemologi musik yang didasari oleh sebuah pemisahan dan cara objektifikasi “menjadi ada di dunia,” tidak juga dalam cara yang refleksif, cara berada di dunia yang penuh kesadaran diri, tidak pula yang disebut oleh para fenomenolog sebagai “perilaku alami” atau cara berada di dunia sehari-harinya. Akan tetapi, saya berpikir bahwa menjadi musikal merupakan ontologi khsus dan bahwa untuk mengetahui musik kita perlu memulai dari menjadi musikal.
Dengan kata lain, saya menggiatkan pengetahuan musik dalam praktek musik, bukan dalam praktek ilmu pengetahuan, atau linguistik, atau analisis introspektif. Dalam kasus paradigma saya terkait masuk ke dalam dunia musikal, saya membatasi secara sosial dengan orang-orang lain yang menciptakan musik dan ketika musik dihadirkan secara penuh ke dalam kesadaran saya, yakni musik dari kelompok tersebut secara utuh, bukan musik “saya” yang sederhana, meski-pun pada saat puncak saya dapat merasakannya jika semua hal ini datang kepada saya.
Hal ini membawa kita kepada pengalaman ketika melakukan penelitian lapangan, yang untuk hal ini juga merupakan sebuah pengalaman diri sendiri dengan orang lain. Bagi banyak etnomusikolog, penelitian lapangan merupakan sesuatu yang intersub-jektif dan transformatif secara personal. Seperti banyak kolega saya yang lain, saya mengalami penelitian lapangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan transkripsi, analisis, interpretasi, dan representasi, meskipun hal-hal ini adalah sesuatu yang pasti dalam penelitian lapangan itu sendiri, melainkan merupakan sebuah kesempatan refleksif dan sebuah dialog yang sedang berlangsung dengan teman-teman saya dimana, antara lain, mengulangi “pekerjaan” saya secara terus-menerus sebagai pekerjaan “kami” (lihat juga von Rosen, 1993; Hutchinson, 1993). Terkait resiko dari ketidaksopanan, saya mengajukan sebuah contoh terkini: sebuah surat dari seorang teman lama di Gereja Baptis Reguler yang mengatakan, “Terima kasih atas cara yang anda berikan kepada kami untuk melihat diri kami sendiri” (Elwood Cornett, surat kepada Jeff Todd Titon, 18 Agustus, 1993). Dan sebaliknya saya juga berterima kasih kepada mereka. Berbagai pengalaman penelitian lapangan saya biasanya benar-benar hidup; saya menjadi benar-benar sadar dengan berbagai peran yang saya miliki, serta identitas-identitas; saya merasakan kasih sayang, persahabatan, dan kegelisahan. Tentu saja, sebagian besar wujud dari pengetahuan etnomusikologis, tidak termasuk ekspresi dari pengalaman penelitian lapangan, tetapi sebuah pendekatan fenomenologis terhadap berbagai perwujudan menuntut pencakupannya dan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang dijalankannya.
Sebuah pandangan refleksif terhadap berbagai tipe hubungan dalam penelitian lapangan mengungkap bhwa para pelaku penelitian lapangan, dan mereka yang menjadi sasaran penelitian lapangan, membawa identitas-identitas ke dalam sebuah pertemuan dan memainkan berbagai peran (Titon, 1985). Dengan memainkan peran, saya tidak bermaksud untuk mengungkapkan secara tidak langsung tentang ketidakaslian, akan tetapi lebih untuk menggunakan konsep seperti yang dikembangkan olh sorang sosiolog bernama Erving Goffman, untuk menunjukkan bagaimana orang-orang berperilaku secara sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia postkolonial, ketika melakukan pengumpulan semata dianggap sbagai sesuatu yang sifatnya skploitatif, dan ketika sejumlah orang tidak bersikap koopertif ketika dikunjungi oleh para etnomusikolog, adalah naif jika kita berpikir bahwa hubungan yang ideal di lapa-ngan selalu berujung pada ikatan pertemanan. Terkadang sebuah hubungan yang bersifat kontrak, baik secara eksplisit maupun eksplisit, dimana orang membantu orang lain adalah sesuatu yang lebih efektif. Terkadang perpaduan antara pertemanan dan kontrak diam-diam adalah bentuk yang paling efektif. Dalam peran lain yang lebih sering pada penelitian lapangan baru, para etnomusikolog menjadi siswa dan “informan” menjadi guru atau orang tua yang bijaksana. Peran yang jarang dan tidak biasa meliputi perlawanan, kecurangan, kebohongan, dan memata-matai—hal yang tidak etis di bawah berbagai keadaan, tapi menjadi rasional ketika didasari oleh pemahaman bahwa budaya musik  harus dipahami dan kemudian diungkap merupakan hal yang haram dan merusak (lihat Pillay, 1994; Kings-bury, 1988).
Sebuah epistemologi fenomenologis muncul dari pengalaman-pengala-man musik dan penelitian lapangan yang kita lakukan, dari mengenal orang-orang yang menciptakan musik. Jika kita meyakini bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya pengalaman dan produk intersubjektif dari interaksi-interaksi sosial kita, maka apa yang dapat kita ketahui muncul dari hubungan-hubungan kita dengan orang lain, baik di lapangan maupun di tengah-tengah kolega kita dimana kita hidup dan bekerja, dan hubungan-hubungan ini memiliki sebuah aspek yang ineluctable dari diri mereka. Berbagai dokumen (teks) yang kami gunakan di lapangan membutuhkan kesiapan tertentu untuk membuka hubu-ngan-hubungan dengan mereka—catatan-catatan lapangan, foto-foto, rekaman-rekaman—yang mengingatkan kita, ketika kita tidak lagi di lapangan.
Ketika kita bersama-sama dengan para teman, dokumen-dokumen muncul—dalam keadaan yang terbaik, dan ketika tidak dapat menggunakan cara ini—tidak begitu objektif tetapi merupakan perluasan dari hubungan-hubungan kita. Akan tetapi ketika kita kembali dari lapangan, di universitas, di perpustakaan, atau mengkaji seorang diri, terutama apabila rekan-rekan kita berada jauh, artefak-artefak lapangan ini memiliki peran berbeda. Pertukaran pengalaman memunculkan memori-memori kita tentangnya. Seperti sebuah foto yang diambil dari brosur yang dibawa dari liburan di luar negeri, tetapi artefak-artefak tersebut merupakan dokumenter sekaligus pembangkit ingatan. Mereka berlalu di dalam nostalgia. Dalam kehadirn mereka tersebut, saya mengetahui ketiadaan orang-orang, saya mengalami kesendirian dan berbagai keinginan. Tugas saya adalah untuk menghadirkan kembali budaya musik dimana saya telah meneliti, tidak hanya untuk para siswa dan kolega saya, tetapi juga untuk orang-orang dalam budaya musik itu. Saya mencari bentuk-bentuk untuk representasi dari pengalaman-pengalaman sebelum saya dalam ingatan, dan memunculkan para pencipta musik yang saya kenal. Dengan demikian, saya menghadirkan mereka juga untuk diri saya. Representasi konvensional yang menghadirkan pengalaman-pengala-man itu bagi saya merupakan etnografi musik naratif; dua bentuk lainnya yang akan saya bicarakan adalah film etnografis dan hiperteks/multimedia.
Tentu saja, naratif merupakan cara yang umum digunakan untuk mengisahkan berbagai pengalaman bagi kita dan orang lain, dan dengan demikian hal tersebut memunculkan sebuah bentuk konvensional dalam representasi berbobot fenomenologis dari para pencipta musik. Baiknya, sebuah naratif dalam etnografi deskriptif budaya musik mengundang pembaca untuk berbagi, secara imajinatif, dalam berbagai pengalaman yang dihadirkan. Karangan Anthony Seeger yang berjudul Why Suyá Sing terutama berasal dari kekuatan interpretifnya serta kekuatan naratif dari tulisan tersebut (1987b). Tentu saja, tidak keseluruhan buku tersebut bersifat naratif. Bagi Seeger dan mereka yang menulis etnomusikologi naratif, etnomusikologi menjadi sebuah genre berbobot—pengalaman dimana naratif meliputi informasi latar belakang, interpretasi dan analisis, serta dimana pengetahuan muncul dari pengalaman: seseorang menunjukan bagaimana sese-orang harus dimengerti (lihat juga Feld, 1990; Rice, 1994). Naratif bukanlah sesuatu yang baru dalam etnomusikologi. Bagian naratif dalam buku berjudul The Ethnomusicologist karangan Mantle Hood (1982 [1971]) dan kisah-kisah Bruno Nettl dalam buku The Study of Ethnomusicology (1983) antara lain merupakan karangan-karangan etnomusikologi naratif. Selanjutnya, interpretasi naratif berdasarkan pengalaman juga meningkat dalam antropologi budaya. Begitu banyak contohnya. Culture and Truth karangan Renato Rosaldo, misalnya, diawali dengan artikelnya yang terkenal berjudul “Grief and a Headhunter’s Rage” (1989:1-21). Rosaldo tidak dapat memahami bagaimana kesedihan dan kemarahan “berjalan bersamaan dalam cara pembuktian diri” bagi orang Ilongot di Filipina hingga ketika istrinya wafat saat “ia berjalan sepanjang jalan setapak bersama dua orang teman, saat ia kehilangan jejak dan jatuh ke jurang sedalam 65 kaki dan hanyut di sungai yang ada di bawahnya. Saya menjadi marah segera setelah menemukan jasadnya. Bagaimana bisa ia meninggalkan saya? Bagaimana ia bisa menjadi sebodoh itu hingga jatuh? Saya mencoba untuk menangis. Saya menangis, tetapi kemarahan membendung air mata saya” (1989:9). Rosaldo telah mengalami percampuran antara kesedihan dan kemarahan dirinya sendiri sebelum ia merasa benar-benar memahami kebudayaan Ilongot.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Clifford Geertz, menulis etnografi yang baik membutuhkan kemampuan retorika yng besar, dan hal tersebut memaksa kita untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa kita benar-benar penulis, bukan reporter. Akan tetpi jika kita adalah penulis, kita beresiko untuk mengganti ketertarikan pembaca dari para pencipta musik yang kita tulis untuk diri kita sendiri. Etnografi biografis yang bersifat naratif memicu pertentangan dengan apa yang kita sebut kemurahan diri dan sesuatu yang tidak profesional; istilah populernya adalah “ruang pengakuan dosa” (confessional), yang mengindikasikan permasalahan displecement (pemindahan). Etnografi naratif tidak perlu mengalihkan ketertarikan dari para pencipta musik kepada kesadaran penulis. Malahan, seorang penulis dapat mengerjakan sesuatu dengan keahlian penuh dan memainkan peran sebagai seorang pemain, yakni seseorang yang partisipasinya tidak penting selama kejadian tersebut, tetapi yang terefleksi setelah kejadian tersebut sebagai sebuah interpretasi. Hal inilah yang dilakukan oleh Geertz dalam karangannya yang terkenal tentang adu ayam di Bali, meskipun seseorang dapat berhenti sejenak pada metode penulisan Geertz yang memperkirakan makna dan berharap perkiraanya tersebut akan sama dengan pandangan orang Bali. Pengantar dan bab pertama buku Powerhouse for God juga ditulis sebagai etnografi naratif, yang dengan hati-hati juga menggunakan rekaman, foto, catatan lapangan, dan pengumpulan kembali berbagai pengalaman saya untuk mencuptakan kembali dan memunculkan suasana percakapan makan siang serta perayaan kedatangan (Titon, 1988). Akhirnya, etnogrfi naratif sangat sesuai untuk menunjukkan seorang etnomusikolog dalam dialog dengan para pencipta musik.
Gambar-gambar film dan suara yang disinkronisasi merupakan cara konvensional yang dipahami untuk menggambarkan para pencipta musik dan untuk menempatkan para penonton pada posisi observer. Kekuatan yang ditimbulkan film sangat lur biasa: kita merasa seperti sedang melihat sebuah kenyataan. Tentu saja, kiranya mungkin untuk meninggalkan aspek-aspek pengalaman dalam film dengan membuat film yang menirukan buku datau membuat film yng menghadirkan pengalaman saintifik, seperti yang banyak diusahakan dalam pembuatan film etnomusikologis. Akan tetapi, pendekatan fenomenologis dalam pembuatan film berusaha untuk menyertakan penonton dengan memunculkan dan mereflek-sikan berbagai pengalaman dan hubungan yang ditemui dalam komunitas musikal. Hubungan antara pembuat film dan penonton dapat terwujud dalam satu bentuk dari tiga bentuk yang ada: pembuat film dapat menempatkan diriny sendiri dlam posisi yang benar-benar berwenang, biasanya melalui narator yang seolah mengetahui semuanya; pembuat film dapat berangkat, seperti hantu, dari film, menunjukkan bahwa penonton hanya melihat semata pada tindakan dan mendengarkan sesuatu secara diam-diam; atau pembuat film, dalam filmnya tersebut, dapat berinteraksi dengan subjek-subjek dan penonton, dan kedaunya dapat merefleksikan makna dari film tersebut. Jelas kiranya bahwa interaktifitas dan refleksifitas sangat sesuai dengan pemahaman pengalaman yang muncul dari penelitian lapangan dan penciptaan musik (van Rosen dan Francis, 1992; von Rosen, 1993).
Hiperteks dan multimedia merupakan wujud representasi ketiga yang bagi saya tampak seperti sebuah pengadilan bagi bias pengalaman terhadap para pencipta musik. Mengingat sebuah teks naratif merupakan sebuah bacaan linear, hiperteks dapat menjadi sebuah struktur jaringan yang memungkinkan pembaca untuk memilih jalannya masing-masing melalui informasi yang terkumpul. (Landow, 1992). Sebuah komputer tidak dibutuhkan untuk hiperteks, tetapi sebuah komputer memungkinkan hiperteks menjadi sangat efisien. Hiperteks interaktif memungkinkan pembaca (dalam istilah fiksi hiperteks penulis bernama Michael Joyce, disebut “authors-who-are-to-be”) untuk berkomentar informasi yang ada dan dengan demikian mengubahnya bagi pembaca berikutnya. Multimedia sering-kali distukan dengan hiperteks untuk menghadirkan rekaman suara, gambar, serta film. Sebuah hiperteks yang dibuat secara teliti dapat merepresentasikan pengertian serta ambiguitas dari pengalaman atas pengetahuan yang didapat dari penelitian lapangan. Sebagai contoh, dalam tumpukan hyper-card Davenport, seorang pembaca mendengarkan suara biola dan ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut sangat mirip (Titon, 1991). Sebuah jalur menarah pad analisis musik, dan transkripsi menunjukkan kesamaan nada-nada, tetapi jalur lainnya mengarahkan pemain biola itu sendiri dan demontrasinya bahwa nada-nada tersebut berbeda. Representasi ini meninggalkan pembaca untuk menyelesaikan paradox. Atau tidak menyelesaikan-nya. Perkembangan yang lebih jauh adalah fiksi hiperteks.
Tidak semua proyek hipermedia memungkinkan interaktifitas yang bermakna. Banyak hiperteks “pendidikan” tidak lebih dari sekedar kumpulan teks dan konteks raksasa dengan hubungan-hubungan yang efisien, lebih diorganisasi secara hirarkis daripada yang ada dalam semacam kebiasaan jaringan. Pengalaman lingkungan hipermedia pendidikan yang demikian tidak cukup berbeda dari pengalaman di perpustakaan, dimana seseorang mencari penjelasan. Akan tetapi pengalaman seperti jaringan lebih seperti tahap awal memainkan sebuah permainan: seseorang berusaha memahaminya.
Dalam bab ini saya meneruskan apa yang biasanya kita lakukan dalam menjelaskan bunyi musik, konsep, dan perilaku daripada memahami pengalaman musikal. Dan pengetahuan kita yang paling memuaskan seringkali masih diperoleh melalui pengalaman penciptaan musik dan berbagai hubungan yang muncul selama penelitian lapangan. Bagi saya tampak bahwa cara kita untuk menjadi musikal, dan dalam cara kita melakukan penelitian lapangan, kita, seperti halnya subjek-subjek (masyarakat) yang kita pelajari terbuka bagi transformasi melalui pengalaman. Lebih jauh lagi, ketika kami menanyakan teman-teman musikal kami ter-kait sudut pandang “penduduk asli” (native) atau mendengarkan apa yang mereka katakan, mereka sangat sering berbicara terkait pengalaman perorangan dan pemahaman daripada memberikan penjelasan sistematis.
Jika memang demikian adanya, maka sebuah epistemologi atas berbagai praktek etnomusikologis terkait penciptaan musik dan penelitian lapangan sebagai kasus paradigma dari keberadaan kita di dunia, bukan hanya sekedar pengumpulan, transkripsi, dan analisis sebagai paradigma kasus, akan menempatkan pengetahuan yang muncul dari pengalaman kita dan orang lain. Dan dalam representasi eksternal kita dari pengalaman tersebut, kita mencari bentuk-bentuk tersebut yang menghasilkan pemahaman terbaik. Jika kita harus mengatur representasi tidak konvensional yang demikian sebagai fiksi atau pertunjukan musik, karena hal ini tidak tersedia bagi para sarjana, paling tidak untuk saat ini, naratif tidak memerlukan penulisan non-fiksi yang berpusat pada diri, lebih interaktif dan refleksif daripada sekedar kewenangan atau film observasional semata, dan seperti jaringan, hipermedia interaktif menjanjikan berbagai bentuk representasi yang membawa pema-haman baik kepada kita, dalam proses transformasi mereka, dan kepada mereka yang kita cari untuk berkomunikasi. Saya tidak berharap mengeluarkan secara bersamaan dengan berbagai penjelasan sebagai sebuah bentuk pengetahuan, hanya untuk mengistimewakan pemahaman. Saya sangat berbahagia menerima bahwa untuk mempraktekan transkripsi dan analisis, serta untuk mencari tahu terkait berbagai persoalan meliputi struktur musik, sejarah, dan geografi. Sebuah epistemologi pengetahuan yang muncul dari ada di dunia musik mengedepankan pengalaman dan pemahaman, akan tetapi hal terebut tidak mungkin dilakukan tanpa penjelasan-penjelasan karena kita juga mengalami pengetahuan dalam artian penjelasan, dan kita meletakkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana masa depan penelitian lapangan? Seperti yang telah kita tegaskan, apabila etnomusikologi kontemporer berhenti secara epistemologis pada penelitian lapangan, maka tantangan poststrukturalis terhadap penelitian lapangan harus dijawab jika disiplin ini terus berlanjut. Memang, telah terjadi sejumlah penghapusan dalam etnomusikologi. Kritik ini berada di atas beberapa dasar, tiga diantaranya merupakan sentral. Yang pertama adalah kekuasaan, yang familiar sejak akhir tahun 1960-an, dimana usaha berbasis penelitian lapangan berhenti padaketidakseimbangan kekuatan, dan dengan demikian meliputi kekuasaan pelaku penelitian lapangan yang tidak sah. Dengan kata lain, pelaku penelitian lapangan tidak memiliki hak legitimasi untuk menghadirkan informan mereka, untuk tujuan mereka yang tidak netral—karir para etnomusikolog menunggangi representasi-representasi ini. Para informan adalah orang dengan yang pantas memiliki kewenangan, dan mereka seharusnya orang yang menulis—atau tidak menulis—teks-teks etnomusikologis. Yang kedua adalah bahwa pelaku penelitian lapangan memainkan sebuah versi pencarian yang heroik, meskipun mereka tidak merealisasikan hal ini. Konsekuensinya adalah bahwa etnografi musik terjerumus ke dalam pola tunggal—pencarian naratif, implisit maupun eksplisit. Permasalahannya adalah bahwa pencarian pola, bukannya kehidupan musik dari budaya yang sedang dipelajari, mengatur reprsentasi dan interpretasi data. Dengan demikian, sebagai contoh, budaya-budaya musik dipandang sebagai sebuah utopia dan distopia, dan para etnomusikolog menjadi pahlawan-pahlawan, pahlawan yang memiliki kekurangan, atau tokoh yang tak berwibawa (lihat misalnya, Hood 1982 [1971], dimana ia menuliskan pentingnya peran etnomusikolog dalam membantu membuat gong ageng). Lebih dari itu, sebagai seorang pahlawan dalam pencarian, etnografer jarang mengklaim kewenangan untuk merepresentasikan budaya musik lainnya: pahlawan tersebut memiliki agenda yang berbeda. Yang ketiga adalah tingkatan dasar-dasar epistemologis. Pemikiran post-strukturalis menolak eksistensi otonomi diri. Gagasan bahwa penelitian lapangan merupakan sebuah pertemuan antara diri dengan orang lain dianggap hanya sebuah khayalan, padahal orang lain dianggap sebagai objektifikasi yang dirasionalisasikan.
Tidak ada tantangan poststrukturalis maupun berbagai jawaban yang dapat dilihat sebagai rincian yang pantas disini. Akan tetapi permulaan sebuah jawaban epistemologis dapat ditemukan dalam tulisan tentang fenomenologis penciptaan musik terdahulu. Ketika menciptakan musik, saya mengalami bahwa diri saya menghilang; saya merasa musik memenuhi diri saya dan saya menjadi musik yanga ada di dunia. Akan tetapi saya mengalami kembalinya pengenalan terhadap diri saya. Dalam berbagi kedaan di berbagai budaya musik di dunia, engalaman menciptakan musik merupakan pengalaman mengenali diri sendiri di tengah-tengah orang lain. Ini merupakan pengalaman yang benar-benar bersifat komunal, dan saya meyakininya. Saya meyakini bahwa representasi yang berlandaskan pengalaman ini akan mulai menjawab tantangan poststrukturalis dengan menggabungkan gagasan para etnomusikolog dengan apa yang mereka miliki, sehingga menjadi sesuatu yang cukup otonom. Diri yang otonom memainkan mitos-mitos heroik. Memunculkan diri di sisi lain berkaitan dengan diri itu sendiri, terjaring dalam resiprositas. Keterkaitan merupakan sebuah nilai yang menantang ktirik masyarakat kontempo-rer modern. Saya berkeinginan untuk meninjau nilai ekologis dan hubungan dekatnya dengan penciptaan musik serta penelitian lapangan dengan landasan bahwa kelangsungan hidup lebih dari apa yang menjadi ketergantungan etnomusikologi.


Bibliografi

Carnap, Rudolph. 1966. An Introduction to the Philosophy of Science. New York: Harper Torchbooks.
Code, Lorraine. 1991. What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge. Ithaca: Cornell University Press.
Dallmayr, Fred R., & Thomas A. McCarthy. 1977. Understanding and Social Inquiry. Notre Dame: Notre Dame University Press.
Feld, Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. Edisi Kedua. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Gadamer, Hans-Georg. 1992 [1975]. Truth and Method. Edisi Kedua yang direvisi. New York: Crossroad.
Gourlay, K. A. 1978. ‘‘Towards a Reassessment of the Ethnomusicologist’s Role in Research.’’ Ethnomusicology 22(1):1–35.
Guilbault, Jocelyne 1993. Zouk: World Music in the West Indies. Chicago: University of Chicago Press.
Harrison, Frank, ed. 1973. Time, Place and Music: An Anthology of Ethnomusicological Observation, c. 1550 to c. 1800. Amsterdam: Frits Knuf.
Hood, Mantle. 1963. ‘‘Music, the Unknown,’’ dalam Frank L. Harrison, Mantle Hood, & Claude V, Palisca. Musicology. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, pp. 215-326.
_______. 1982 [1971]. The Ethnomusicologist. New Edition. Kent: Kent State University Press.
Ihde, Don. 1986 [1977]. Experimental Phenomenology: An Introduction. Albany: State University of New York Press.
Kingsbury, Henry. 1988. Music, Talent, and Performance: A Conservatory Cultural System. Philadelphia: Temple University Press.
Kisliuk, Michelle. 1991. ‘‘Confronting the Quintessential: Singing, Dancing, and Everyday Life Among Biaka Pygmies (Central African Republic).’’ Disertasi Ph.D., New York University.
Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology: A Study of Its Nature, Its Problems, Methods, and Representative Personalities to Which Is Added a Bibliography. Edisi Ketiga. The Hague: Martinus Nijhoff. [Pertama kali diterbitkan dengan judul Musicologica pada tahun 1950 oleh Royal Tropical Institute, Amsterdam.]
Landow, George. 1992. Hypertext. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Lucas, William. 1971. Lazy Bill Lucas. Wild 12MO1. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
_______. 1972. Lazy Bill and His Friends. Lazy 12MO2. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
McAllester, David P. 1973 [1954]. Enemy Way Music: A Study of Social and Esthetic Values as Seen in Navaho Music. Cambridge, Mass.: Peabody Museum of American Archaeology and Ethnology, Harvard University; New York: Kraus Reprint.
_______.  1989. Videotaped seminar, Brown University.
Mitchell, Frank. 1978. Navajo Blessingway Singer. Tucson: University of Arizona Press.
Myers, Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology,’’ dalam Helen Myers, ed. Ethnomusicology: An Introduction. New York: W. W. Norton.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: Free Press of Glencoe.
_______. 1983. The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press.
Pillay, Jayendran. 1994. ‘‘Indian Music in the Indian School in South Africa: The Use of Cultural Forms as a Political Tool.’’ Ethnomusicology 38(2):281–301.
Rice, Timothy. 1994. May It Fill Your Soul: Experiencing Bulgarian Folk Music. Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, Paul. 1981a. ‘‘What Is a Text? Explanation and Understanding,’’ dalam  John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences. Terjemahan John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 145–164.
_______. 1981b. ‘‘The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text,’’ dalam  John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences. Terjemahan John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 197-221.
Rorty, Richard. 1979. Philosophy and the Mirror of Nature.  Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Rosaldo, Renato. 1993 [1989]. Culture and Truth: The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
von Rosen, Franziska, & Michael William Francis. 1992. River of Fire. 1/2 in. VHS Videotape. Lanark, Ontario, Canada: Franziska von Rosen.
von Rosen, Franziska. 1992. ‘‘Micmac Storyteller: River of Fire—The Co-Creation of an Ethnographic Video.’’ Canadian Folk Music Journal 20:40–46.
Schutz, Alfred. 1962. Collected Papers. The Hague: Martinus Nijhoff.
_______. 1976. ‘‘Son House: Two Narratives.’’ Alcheringa: Ethnopoetics NS 2(1):2–9.
Seeger, Anthony. 1987b. Why Suya´ Sing: A Musical Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy, Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36(3):323–36.
Stewart, David, and Algis Mickunas. 1990. Exploring Phenomenology. 2nd ed. Athens: Ohio University Press.
Titon, Jeff Todd. 1969. ‘‘Calling All Cows: Lazy Bill Lucas.’’ Blues Unlimited 60:10–11 (Mar. 1969), 61:9–10 (Apr. 1969), 62:11–12 (May 1969) 63:9–10 (June 1969).
_______. 1980. ‘‘The Life Story.’’ Journal of American Folklore 93:276–92.
_______. 1985. ‘‘Role, Stance, and Identity in Fieldwork Among Folk Baptists and Pentecostals in the United States.’’ American Music 3:16–24.
_______. 1988. Powerhouse for God: Speech, Chant, and Song in an Appalachian Baptist Church. Austin: University of Texas Press.
_______. 1989. ‘‘Ethnomusicology as the Study of People Making Music.’’ Paper delivered at the annual conference of the Northeast Chapter of the Society for Ethnomusicology, Hartford, Connecticut, April 22.
_______. 1991. The Clyde Davenport HyperCard Stack. [Tersedia via anonymous ftp di Internet dari EthnoForum sejak 1992. Untuk informasi bagaimana mengunduhnya, kirimkan e-mail ke ethmus-l@umdd.umd.edu].
_______. 1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3): 315–22.
_______. 1995. Early Downhome Blues. Edisi Kedua. Chapel Hill: University of North Carolina Press.























Kay Kaufman Shelemay
_____________________________

3

Etnomusikolog, Metode Etnografis,
dan Transmisi Tradisi






Dengan cara apapun mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, peneliti lapangan dan subjek adalah yang pertama dan yang utama. Saling berbagi identitas membuat penelitian lapangan, dengan berbagai permasalahan dan pencapaiannya, sebagai sebuah model belajar yang saling menguntungkan.

(George & Jones, People Studying People, 1980:3)

Umumnya persoalan etnomusikologis terkait transmisi tradisi dimaksudkan untuk mendokumentasikan dan menginterpretasikan cara dimana musik dikomunikasikan dari waktu ke waktu dalam sebuah latar tertentu, serta memperhatikan dinamika interpersonal dan teknologi komunikasi dari proses ini.[1] Kendatipun demikian, saya tidak akan memfokuskan penyelidikan terhadap bagaimana para membawa tradisi, tidak juga terhadap materi-materi yang ada dalam tradisi ini. Akan tetapi, saya akan merefleksikan dan mendiskusikan peran etnomusikolog yang menjadi sebuah bagian dari transmisi tradisi tersebut ketika mereka berada dalam pencarian dokumen terkait proses transmisi.[2]
Saya akan mendekati permasalahan ini dengan mengambil contoh dari pengalaman saya ketika berada di lapangan dan kisah rekan-rekan saya dalam literatur. Saya berharap untuk mengarahkan diskusi ini di luar apresiasi terkait dampak dari “pengetahuan relasional” (Rosaldo 1993 [1989]:206-8)[3] terhadap interpretasi dan penulisan etnografis untuk mengupas lebih dalam suatu jenis resiprositas dan tindakan yang bedasar, yang uniknya seringkali tumbuh dari proses penelitian etnomusikologis. Saya akan menunjukkan bahwa sebuah pendirian teoretis idiosinkratik dan metodologi kerja meningkatkan pertumbuhan penelitian etnomusikologis dan kemungkinan besar berakar dari hubungan etnomusikologi dengan berbagai disiplin lain meskipun dipermasalahkan.
Kiranya penting untuk memberikan gambaran perspektif disipliner secara singkat, dimana saya akan kembali ke permasalahan ini kemudian. Dalam kaitannya dengan sejaah intelektual dan pelatihan para penelitinya, etnomusikologi seringkali dibentuk oleh dunia-dunia yang saling bertentangan, yakni musikologi sejarah dan antropologi. Bagi musikolog sejarah, transmisi tradisi seperti sebuah aspek implisit dari aktifitas mereka yang meninggalkan penelitian secara cermat. Siapapun yang benar-benr musikolog sejarah akan mengakui bahwa ia terlibat dalamkeberlanjutan tradisi yang dipelajari.Dari kelahirannya pada tahun 1885 sebagai bagian dari bidang yang lebih besar—yakni keilmuwanan musik, termasuk musikologi komparatif di dalamnya, musikologi sejarah memiliki tambahan penting terkait misi keilmuwanannya, yakni penemuan/pene-muan kembali, interpretasi, dan pengabadian musik-musik dari tradisi musik seni Eropa-Amerika. Memang, Masyarakat Musikologis Amerika (American Musicological Society) setiap tahunnya menganugerahkan penghargaan Noah Greenberg “untuk merngsang keterlibatan aktif para ilmuwan dan pelaku [musik] dengan memberikan penghargaan dan mendukung berbagai [pemikiran yang dinilai dapat] sumbangan besar terhadap kesadaran pertunJukan secara historis dan untuk studi historis praktek-paktek pertunjukan” (American Musicological Society Directory 1993:7). Konferensi tahunan organisasi ini mengutamakan resital-resital khusus dan berbagai konser untuk komposisi-komposisi, bukan sebaliknya, selalu mendengarkan dan menyajikan.[4] Dengan demikian, manuskrip-manuskrip musik diselamatkan hanya dengan mengumpulkan kembali manuskrip yang berserakan, direkonstruksi, disunting, dan ditampilkan oleh para musikolog sejarah sebagai bahan pelajaran. Mengutip harapan Josep Kerman terhadap keilmuwanan musik dalam buku berjudul Contemplating Music, “setiap terbitan musik yang sifatnya ilmiah adalah undangan bagi seorang pemusik, dan musikolog seharusnya sadar untuk bersusah payah, mempengaruhi, mengkonsultasikan, serta merencanakan/men-dalangi … konser-konser ketika mereka diberikan sebuah kesempatan” (1985:185).
Tentu saja, polemik sentral di kalangan para musikolog sejarah vis-à-vis dengan aksi pertunjukan dan peran yang mereka miliki dalam mentransmisikan (dan bahkan menemukan kembali) tradisi tampaknya menjadi pusat dari persoalan yang lebih besar terkait otentisitas dan kreatifitas dalam tindakan merekonstruksi musik dan praktek pertunjukan.[5] Para musikolog secara umum tidak mempermasalahkan apakah mereka seharusnya aktif dalam proses pentransmisian tradisi musik; mereka agaknya lebih mempermasalahkan untuk menjawab seberapa dekat mereka dengan perjalanan historis dan dalam cara apa pertanyaan-pertanyaan muncul dari ketiadaan sumber mereka. Sebagian besar etnomusikolog dididik sebagai mahasiswa pada jurusan-jurusan musik yang beroperasi di bawah sistem yang baru saja dijelaskan di atas, tempat yang sama dimana sebagian besar profesor dalam bidang etnomusikologi menemukan lembaga sebagai rumah mereka.   
Interaksi yang lama antara dokumentasi yang sifatnya ilmiah dengan aksi pertunjukan telah berpengaruh pada teori etnomusikologis, yang paling sering disebut dengan “bi-musikalitas”, yang dikembangkan oleh Mantle Hood. Sebaga- pendiri dari program Etnomusikologi di UCLA, Hood merasakan bahwa “melatih telinga, mata, dan suara, hasilnya diyakini akan menambah pemahaman kajian teoretis yang nyata. Hood juga memperhatikan bahwa pelatihan dan penyajian/pertun-jukan dalam musik Barat membatasi para etnomusikolog untuk mempelajari tradisi-tradisi lainnya. Hood tidak hanya menulis tentang pentingnya menjadi bi-musikal (atau multimusikal) dan mengumpulkan/mem-peroleh pengalaman musik lintas-budaya melalui pertunjukan. Ia menetapkan sebuah kurikulum etnomusikologi yang melibatkan para pelaku asli, yang didatangkan ke UCLA untuk mengarahkan mahasiswa dalam sejumlah tradisi musikal. Para mahasiswa petama Hood pergi untuk mencari program-program lain di Wesleyan, Michigan, Seattle, dan tempat-tempat lain. Menjadi bi-musikal kemudian seolah merupakan keharusan bagi para etnomusikolog, yang mempertebal kemampuan bi-musikal mereka dengan menjadi partisipan sesungguhnya dalam sebuah partisipasi observasi di lapangan.
Sebaliknya, meningkatnya kemungkinan terlibatnya antropolog dalam transmisi tradisi memunculkan  sebuah respon yang cukup berlawanan dari para musikolog sejarah. Para antropolog secara umum juga tidak mengarah pada persoalan ini secara eksplisit; hanya yang paling belakangan, revisi Dasar-dasar Tanggung Jawab Profesional American Anthropological Assosiation (1990) memperkuat dan menyesuaikan pernyataan akan pertanggungjawaban terhadap “orang-orang yang hidup dan  berbagai kebudayaan yng dipelajari oleh para antropolog,” untuk pertama kalinya menyebutkan kemungkinan “konsekuensi positif dan negatif  dari berbagai aktifitan [para natropolog] dan publikasi-publikasi dari hasil aktifitas ini (Fluehr-Lobban 1991:274).[6] Tentu saja, meskipun catatan menunjukkan bahwa para etnomusikolog dan dididik secara antropologis juga telah secara aktif berpartisipasi dalam pertunjukan musik di lapangan, mereka telah sangat sering memastikan resiprositas dan/atau untuk menguji pemahaman mereka terkait data musik yang telah mereka kumpulkan. Mengutip sebuah contoh dari studi etnomusikologis yang dilaksanakan oleh seorang ilmuwan yang berlatar belakang pendidikan antropologi, Steven Feld mengijinkan dirinya sendiri untuk menyajikan sebuah “pria lagu” yang berasal dari kebudayaannya dalam suku Kaluli (ia memainkan rekaman Charlie Parker) (Feld 1990 [1982]:11). Feld juga menciptakan dan menampilkan lagu-lagu untuk rekan penelitiannya guna menguji hipotesis tentang “keterbatasan atas bentuk” (p. 13).
Bahkan, hingga kini para etnomusikolog yang berlatar belakang pendidikan antropologi terpengaruh pernyataan Hood. Dalam sebuah studi yang mendukung “antropologi musikal,” Anthony Seeger agaknya melampaui Feld dalam hal menyatu dengan pertunjukan musik guna tujuan-tujuan heuristik. Seeger mempersembahkan bukunya yang berjudul Why Suyá Sing (1987b) “untuk mengenang lagu-lagu yang kita nyanyikan,” dan menjelaskan secara cukup detail terkait gaya-gaya musik dari   bluegrass hingga lagu-lagu Afrika yang ia dan Judy Seeger ajarkan kepada Suyá. Dalam beberapa hal, Seeger mengakui bahwa ia menggubah lagu-lagu rakyat yang ia pelajari dari pamannya, Pete Seeger, “untuk menyesuaikan dengan pola yang dianggap mudah oleh Suyá” (Seeger 1987b:20). Untuk menghormati permintaan Suyá terkait publikasi rekaman musik kolaborasi mereka (pp. 23-24),[7] kegiatan Seeger kenyataannya begitu dekat dengan jenis partisipasi etnomusikologis dalam transmisi tradisi yang saya cari untuk dibahas di sini.
Dengan demikian, aktifitas etnomusikologis dalam transmisi tradisi muncul dari komitmen musikologis dengan pelestarian tradisi musik yang dipadukan dengan perhatian antropologis dalam melihat resiprositas dan tanggung jawab sosial. Terlepas dari berbagai implikasi disipliner dan pengetahuan/pema-haman terhadap nilai-nilai dari bidang studi yang berbeda, diskusi tentang peran peneliti lapangan dalam transmisi tradisi mengungkap sebuah aspek kesungguhan sifat manusia dari fieldwork dan pada saat yang bersamaan memunculkan persoalan etika-etika penelitian etnografi yang telah sedikit dibicarakan.[8] Sebagian besar pembicaraan tentang etika cenderung berpusat pada hubungan-hubungan interpersonal baik selama fieldwork dilakukan atau setelahnya, dan hanya secara insidental ditujukan terhadap dampaknya pada tradisi musik itu sendiri.
Etnografi dan Transmisi

Perhatian saya terhadap permasalahan ini awalnya tidak muncul pada tingkat teoretis. Akan tetapi, sebuah pengalaman di lapangan beberapa tahun yang lalu mendorong saya ke arah serangkaian pemikiran baru terkait peran etnomusikolog. Saya akan menjelaskan peristiwa etnografis secara cukup detail beserta konteksnya yang lebih luas, yang memungkinkan untuk membawa pemikiran ini dalam gambaran yang nyata.
Satu dekade yang belum lama berlalu, saya melakukan penelitian lapangan  dalam masyarakat Yahudi keturunan Syria yang tinggal di Brooklys, New York. Proyek ini berawal dari pekerjaan kelompok bersama para mahasiswa saya di Universitas New York dan komunitas orang Syria (lebih rinci dalam Shelemay 1988). Saya melanjutkan penelitian ini seorang diri semenjak proyek kelompok ini berakhir pada tahun 1986 dan memperluas cakupannya hingga meliputi penelitian lapangan terhadap orang Yahudi Syria di Meksiko dan Israel.
Sejumlah latar dibutuhkan sebagai kerangka diskusi berikut. Sekitar tujuh puluh tahun setelah migrasi mereka dari Aleppo ke Dunia Baru, sebuah komunitas Yahudi Syria yang berjumlah lebih dari 30.000 jiwa di wilayah New York menyambung keberadaan identitas Yahudi Arab yang terekspresikan, sebagian, melalui berbagai aspek pertunjukan musik. Repertoar musik pokoknya adalah sekumpulan himne paraliturgis yang disebut dengan pizmonim (tunggal: pizmon), yang telah digubah, menggunakan teks berbahasa Yahudi dan melodi-melodi Arabik. Nada-nada pizmon diadopsi dari lagu-lagu populer dalam tradisi musik Arab, sebaliknya teks-teks Yahudi mengandung perumpamaan-perumpamaan dari kitab suci dan liturgi, serta maksud-maksud terselubung serta juga ada yang dipersembahkan kepada individu-individu anggota komunitas. Lagu-lagu yang multivokal dan berbagai kenangan dihadirkan lewat beberapa alur teks yang terpisah dan nada-nada menjadi bahan analisis sosial dan sejarah yang menarik, tetapi bukan itu permasalahan kita di sini. Fokus dari proyek penelitian awalnya adalah pizmonim yang muncul secara langsung para anggota komunitas yang mengetahui akan hal ini (pizmonim) dan jika memungkinkan, mereka ingin merekam hingga sebanyak 500 lagu yang masih ada. Kelompok proyek penelitian terdahulu merekam pertunjukan hampir sebanyak 200 pizmonim, dan menyimpan seluruh salinannya di arsip komunitas, dimana para anggota dari kelompok penelitian itu juga membantu dalam membuat katalog dan menyusunnya.

Gambar 7-1. Program dalam Konser Pizmon untuk menghormati Meyer “Mickey” Kairey. 14 Maret 1990, Shepardic Community Center, Brooklyn, New York.

Peristiwa yang disoroti terkait persoalan transmisi ini diadakan dalam komunitas Syria pada tanggal 14 Maret 1990, dan diadakan dalam rangka menghormati Meyer “Mickey” Kairey, seorang pria berusia enam puluhan, yang selama bertahun-tahun menjadi panutan dalam kehidupan religius komunitas Syria. Salah satu kegiatan Mickey Kairey yang paling diingat adalah pengajaran pizmonim-nya bagi para pemuda Syria. Mickey Kairey memainkan peran penting sebagai salah satu pendamping penelitian dalam proyek pizmonim dan pada berbagai kesempatan yang membutuhkan keahliannya.[9]
Konser ini, yang dibanjiri oleh kurang lebih 350 orang, diadakan di Pusat Komunitas Shepardy (Shepardhic Community Center) di Brooklyn, yakni pusat kelembagaan komunitas Yahudi Syria. Programnya[10] meliputi dua “rangkaian” pizmonim yang berbeda, yang dinyanyikan oleh sekelompok koor pemuda diiringi dengan sebuah ansambel instrumen-instrumen timur tengah, dan yang ketiga, penampilan lagu-lagu solo yang dibawakan oleh Isaac Cabasso (paman Mickey) serta ia sendiri (Mickey), seorang pemimpin nyanyian yang dicintai oleh komunitasnya. Puncak acara sore itu adalah pemberian serifikat berbingkai yang berukuran besar untuk Mickey, memuat sekitar 1.000 tanda tangan muridnya yang ia latih antara tahun 1955 hingga 1990. Lihat halaman 195 untuk contoh ucapan selamat dalam sebuah buku persembahan yang dibuat oleh berbagai keluarga sebagai ungkapan terima kasih atas peran Mickey dalam transmisi pizmonim.
Di tengah acara, dihadirkan presentasi audio-visual tentang kehidupan dan karya Mickey. Film tersebut menlusuri perjalanan karir Mickey, termasuk gambar-gambar sinagoge serta guru dan pelatih pizmonim-nya, Eliyahu Menaged. Ada juga gambar-gambar keluarganya, berbagai foto ketika ia dalam dinas militer semasa Perang Dunia II, serta koleksi yang sangat banyak, yang menunjukkan kecintaannya terhadap berbagai jenis musik, termasuk Stan Kenton dan berbagai Big Band dari tahun 1940-an. Film-film itu menunjukkan bagaimana Mickey melatih para pemuda untuk Bar Mitzvah mereka, diiringi dengan komentar dan rekaman-rekaman yang dibuat oleh para peserta pelatihan ini. Tiba-tiba, dalam rekaman itu terdengar suara saya yang sedang melontarkan sebuah pertanyaan tentang pizmon; jelas suara itu diambil dari sebuah rekaman dalam kegiatan yang diadakan sekitar lima tahun yang lalu ketika Mickey mengajarkan pizmonim kepada saya dan para mahasiswa saya. Meskipun konser itu secara terbuka merayakan peran individu dalam transmisi tradisi, dalam hal ini sumbangan besar Mickey Kairey dalam transmisi pizmonim, saya tidak menyangka bahwa saya menjadi bagian dari pengalaman Mickey seperti halnya ia menjadi bagian dalam pengalaman saya. Etnomusikolog telah terlibat ke dalam pengalaman Mickey dan komunitasnya, sebuah hubungan yang sangat kecil dalam rangkaian transmisi dari masa lalu ke masa depan mereka.[11]
Jika saya memiliki sejumlah keraguan bahwa kehadiran secara etnomusikologis menjadi sebuah faktor di balik transmisi tradisi, mereka telah menghilangkan keraguan ini secara cukup kebetulan dalam sebuah wawancara yang saya lakukan sesaat setelah konser. Seorang penyanyi muda Syria, yang saya ajak diskusi terkait penghidupan kembali nyanyian pizmon, meyakini bahwa pizmon hadir di tengah generasi muda komunitas Syria saat ini. Lebih jauh ia menunjukkan bahwa sebuah katalis untuk usaha penghidupan kembali pizmon adalah peristiwa-peristiwa seperti konser sore tadi, bahwa sebuah genre pertunjukan telah dimunculkan pada awal proyek kelompok (komunikasi pribadi, B. Zalta, 16 Maret 1991).
Jelas, proyek musik Syria telah menjadi sebuah usaha penelusuran, bukan hanya sekedar perekaman musik dan berbagai sejarah tradisi dalam sebuah arsip. Enam tahun setelah dicetuskan, usaha ini telah meresap baik ke dalam aktifitas komunitas maupun ingatan individu. Pada persimpangan antara kehidupan dan pertemuan dengan keilmuwanan formal ini, berbagai hubungan institusional, seperti yang muncul antara Pusat Komunitas Shepardy dengan Universitas New York berkaitan dengan hak cipta dan kesepakatan royalti untuk rekaman yang kami produksi bersama (Shelemay & Weiss 1985) serta sebuah jaringan pertemanan dekat secra individual yang kompleks antara saya, beberapa mahasiswa saya, dan skitar dua lusin orang dalam komunitas Yahudi Syria.
Setelah melihat kembali jurnal saya, surat-surat selama proyek, dan sisa-sisa lain dari hubungan kami yang cukup lama, saya mendapati contoh lain dari aktifitas saya yang secara langsung bersentuhan dengan proses, personil, dan berbagai politik transmisi. Berikut akan saya berikan beberapa contoh secara singkat.


Gambar 7-2. Penghargaan dalam Booklet Persembahan bagi Meyer “Mickey” Kairey yang disebarkan pada tanggal 14 Maret 1990, Shepardic Community Center.

Pada bulan Juni 1986, saya diminta menulis surat untuk Kantor Pelayanan Imigrasi Amerika Serikat terkait kedatangan seorang penyanyi tamu dari Israel, yang berharap sinagoge Syria terbesarnya di Brooklyn dapat  dibangun pada sebuah tempat secara permanen. Disini saya memanfaatkan kewenangan saya sebagai seorang profesor dan menggunakan pengetahuan yang saya miliki tentang tradisi untuk membantu komunitas ini terkait sebuah hal yang sangat penting bagi mereka. Kenyataannya, sebagai seorang etnomusikolog, saya benar-benar cukup memperhatikan peristiwa ini, karena tradisi musik Aleppo yang ada di Brooklyn adalah sesuatu yang berbeda, yang berada di bawah tekanan dan mengalami perubahan yang benar-benar signifikan karena masuknya para penyanyi kelahiran Israel berbakat yang membawa aliran-aliran tradisi Shepardy yang berbeda. Dalam surat saya, saya secara sengaja menghilangkan informasi ini dan secara sadar memainkan sebuah peran yang secara langsung berpengaruh dalam sebuah arah dimana secara pribadi bertentangan dengan saya namun diinginkan oleh komunitas tersebut.
Pada tahun 1987, saya diminta oleh seorang pemimpin komunitas tersebut untuk memberikan informasi yang dapat menumbuhkan perhatian di kalangan pendeta lokal terkait begitu banyak melodi yang digunakan dalam pizmonim Syria merupakan melodi-melodi sekuler dan/atau bahkan berasal dari [nyanyian] Kristen atau Islam. Secara khusus permasalahan ini misalnya terletak pada pizmon “Mifalot Elohim,” yang meminjam melodi dari nyanyian Kristen yang sangat dikenal, yakni “Oh Tannenbaum.” Kiranya hampir dapat dipastikan bahwa kesangsian ajaran nabi tentang persoalan yang lebih luas sebagain dipicu oleh publikasi rekaman kami dua tahun yang lalu serta kolaborasi setelahnya yang dikenal sebagai “proyek musik Syria.” Untuk menanggapi permintaan ini, saya memberikan informasi tentang beberapa kontroversi, melodi-melodi yang dipinjam, dan menyertakan sebuah pemikiran yang dapat digunakan dalam membenarkan/menilai tradisi:

Saya tidak berpikir tentang sumber-sumber asli dari melodi-melodi ini yang seharusnya menjadi perhatian anda dan komunitas anda. Ada sebuah tradisi dalam musik Yahudi (baik sakral maupun sekuler) dalam hal meminjam melodi-melodi dari masyarakat yang ada di sekitar. Tradisi ini tersebar luas di lingkaran Ashkenazic seperti halnya dalam tradisi pizmonim anda, hanya saja sumber dari melodi-melodinya berbeda karena perbedaan latar geografis. Musik selalu merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan di sekitarnya dan yang saya tahu tidak ada tradisi yang “murni” dan tidak meminjam berbagai hal dari mereka yang telah melakukan kontak [dengan kebudayaan itu]. Ekspresi musikal yang sangat alami adalah yang ditransmisikan dari orang ke orang melewati batas-batas geografis, sosial, dan budaya. (Kay K. Shelemay, surat tertanggal 9 Juni 1989 untuk seorang anggota komunitas Syria)

Selanjutnya, dalam kasus ini, saya menjelaskan proses transmisi guna menilai/membenarkan, dan akhirnya, untuk melestarikan/melindungi tradisi.
Publikasi dari pizmonim yang direkam, mencakup pizmonim pilihan yang diambil dari rekaman-rekaman selama tahun pertama proyek bersama kami, menimbulkan hasil yang tidak dibayangkan.[12] Rekaman ini dipilih oleh American Folklife Center untuk Selected List-nya (American Folk Music and Folklore Recordings: A Selected List 1985), yang juga memenangkan penghargaan dari asosiasi nasional komunitas Yahudi pusat. Kedua penghargaan ini merupakan sebuah kebanggan bagi mereka yang terlibat di dalam proyek ini. Kendatipun demikian, publikasi dari rekaman ini, serta “konser tahunan pizmon yang pertama” yang diadakan kuang lebih bersamaan, yakni tahun 1985, memunculkan persepsi di luar komunitas bahwa para pria Syria yang terlibat dalam kegiatan musik merupakan sebuah grup musik.[13]
Interaksi saya dengan individu-individu ini di luar kegiatan rekaman formal dan wawancara meningkat ketika kami mulai memperoleh berbagai undangan dari intitusi kebudayaan di wilayah itu dn berbagai universitas: Secara umum, pria Syria diminta untuk tampil dan saya diminta untuk memberikan kuliah atau pengantar panjang untuk menjelaskan musik yang dinyanyikan. Para pria yang bekerja dengan saya tampak cukup nyaman dengan keadaan ini meskipun jelas tidak seimbang; tentu saja, mereka mengundang saya untuk berbicara dalam konser pizmon yang pertama dan menunjukkan kepada sponsor bahwa saya berpartisipasi ketika mereka menerima undangan pertama untuk tampil di luar komunitas.
Kini saya menyadari bahwa ini baru merupakan awal meningkatnya peran aktif saya dalam proses transmisi, yang menyertakan ketergantungan pertemanan antara saya dengan beberapa orang dalam komunitas.Sebuah peristiwa yang sangat penting adalah yang diadakan pada tanggal 15 November 1987, dimana saya diundang untuk memberikan sebuah perpaduan antara kuliah/konser di sebuah pusat komunitas yang terletak di Lower East Side of Manhattan. Ketika memulai bagian ini dengan pembicaraan yang menjelaskan tradisi musik Syria, para peserta orang tua yang umumnya berasal dari para imigran Yahudi keturunan Eropa Timur terlihat sangat gelisah. Setiap kali saya menyebutkan hubungan antara tradisi Yahudi-Syria dengan musik Arab dan menggunakan istilah “Arab,” sebagian dari para peserta berdesis/mencemooh.[14] Setelah beberapa kali terjadi hal ini, Moses Tawil, pemimpin dari para pria Syria yang kn menyanyikan pizmonim, berdiri dari bangkunya, berdiri di belakang saya dan berbicara lewat mikrofon: “Kita adalah orang-orang sibuk, dan tidak seharusnya berada di sini,” katanya dengan berempati. “Kita tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh Profesor Kay dan ingin mendengarkannya. Mohon untuk tenang.”
Saya tidak dapat mengatakan bahwa teguran dari Tawil memperbaiki tingkah para peserta—saya tetap menganggap ini sebagai satu-satunya pengalaman terburuk dalam melakukan kuliah umum—akan tetapi itu merupakan sebuah saat yang sangat penting terkait kehangatan dan ikatan antara saya denga orang Syria saat ini. Setelah peristiwa itu, saya menerima berbagai undangan untuk perayaan-perayaan keluarga, Bar Mitzvah, ulang tahun pernikahan, serta perayaan-perayaan liburan. Kami menjadi lebih dekat, dan selanjutnya saya dipanggil untuk memainkan sebuah peran dalam pengabadian tradisi.
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh para etnomusikolog dengan terlibat dalam penelitian dengan tradisi-tradisi musik yang hidup beserta mesyarakat pemiliknya, mereka secara sengaja maupun tanpa disadari terlibat dalam proses-proses dan berbagai politik transmisi tradisi. Terkadang intervensi mereka mendukung kesinambungan; terkadang mereka juga menyebabkan perubahan. Saya meyakini bahwa interaksi-interaksi ini tidak dikonseptualisasikan secara formal, sebagai tindakan yang ilmiah, tetapi relatif dilakukan secara tidak sadar pada tingkatan yang lebih personal sebagai studi pergeseran tradisi yang hampir tidak jelas kedudukannya dalam sebuah ruang relasional yang terletak antara keilmiahan dan kehidupan. Sebagai hubungan-hubungan “di lapangan” yang matang dari formalitas ilmuwan/informan terdahulu (jika ada ketersediaan waktu dan akses yang besar) menjadi sesuatu yang lebih kolektif dan personal, peneliti lapangan tidak dapat menghindari pergerakan melewati manajemen modal kultural ke dalam negosiasi hubungan-hubungan manusia di lapangan.


Transmisi dan Tradisi

Sejalan dengan meninjau kembali peran aktif saya yang unik dalam pro-ses-proses transmisi dalam komunitas Syria, saya melihat kembali proyek-proyek fieldwork lainnya yang pernah saya lakukan—beberapa kali proyek penelitian urban dan pedesaan di Ethiopia, sebuah perpaduan pengalaman pengarsipan/etno-grafis dalam sebuah sinagoge Amerika di Houston, sebuah pengalaman yang dapat dikatakan tidak sukses selama enam bulan bergelut dengan sebuah kelompok usik baru di kota New York—dan mencari pola-pola serupa (peran aktif dalam proses-proses transmisi). Tentu saja, pola-pola seperti itu ada dan saya hanya dapat berpendapat bahwa pola-pola yang demikian merupakan suati kelaziman, lebih dari apa yang diakui oleh para etnomusikolog pada umumnya. Berikut ini saya akan mengidentifikasi dan mendiskusikan secara singkat tiga hal dimana peneliti lapangan seringkali terlibat dalam proses transmisi: memelihara tradisi, mengenang tradisi, dan menengahi tradisi. Tidak disangsikan kemungkinan hal-hal selain ketiga ini, dan sebuah pengalaman etnografis dapat merupakan perpaduan ketiganya sekaligus. Sebagai bagian dari proses definisi, lebih jauh saya akan memberikan sejumlah contoh berdasarkan pengalaman saya dan yang terkumpul dari literatur etnomusikologis. Hampir tak dapat diabaikan, situasi-situasi ini tak dapat dielakkan pada titik pertemuan kehidupan dan keilmiahan—situasi ini bermula ketika studi terhadap sebuah tradisi menjadi bagian dari kehidupan tradisi itu sendiri dan berbagai hubungan di lapangan semakin diperdalam menjadi sebuah model yang lebih interaksional.


Memelihara Tradisi

Jika berbagai aspek catatan para etnomusikolog terkait proses transmisi umumnya diakui, maka dapat diduga bahwa aktifitas pekerjaan etnomusikologis pada satu tingkatan adalah memelihara. Meskipun etika pemeliharaan merupakan bagian proses etnografis yang tidak dipermasalahkan, dan berbagai paradigma lawas mengarahkan para ilmuwan terdahulu untuk mencari dan mempelajari tradisi-tradisi tertentu sebelum tradisi-tradisi tersebut “menghilang,” kiranya jelas bahwa proses mempelajari tradisi musik itu sama halnya dengan berpartisipasi dalam sebuah tindakan pemeliharaan.
Seringkali peran etnomusikolog sebagai pemelihara tradisi diakui atau bahkan diharapkan oleh orang-orang dalam tradisi tersebut. Mengambil satu contoh dari literatur, Barbara Smith mencatat bagaimana ia mempelajari tarian-tabuhan genderang bon dalam masyarakat imigran Jepang di Hawaii, menjadi anggota dari sebuah perkumpulan, dan “menabuh genderang” dalam tarian bon pada suatu musim panas (1987:211). Beberapa hari setelah kedua kalinya ia menampilkan tarian bon, ia mengatakan bahwa seorang anggota komunitas tersebut berkomentar: “Sekarang aman jika kita mati, karena jika Profesor Smith bermain genderang maka artinya selalu akan ada seseorang yang membunyikan genderang untuk jiwa kita” (p. 211). Smith kemudian menceritakan bahwa permainan genderang yang ia lakukan mendorong sejumlah anak muda untuk belajar memainkannya dan bahwa pemain genderang tidak akan habis setelah itu!  
Ada berbagai contoh dimana seorang “informan” secara terang-terangan membebani “etnomusikolog” dengan tanggung jawab mentransmisikan tradisi. Sebuah contoh yang jelas terjadi ketika saya melakukan pekerjaan dalam masyarakat Beta Israel (Falasha) di bagian utara Ethiopia. Suatu hari, seorang pendeta tua Beta Israel memerhatikan saya dengan seksama dan berkata: “Dalam dua puluh lima tahun, hanya anda yang akan mengetahui orang-orang kami yang bersembahyang” (Shelemay 1989:xviii). Ia mengakui sebuah kenyataan proses transmisi di dalam komunitasnya sendiri dan menyadarkan saya terkait tanggung jawab untuk memelihara tradisi.
Ini menyadarkan saya bahwa pemeliharaan bukan hanya sebuah pertumbuhan seperti dalam paradigma keilmiahan saat ini, tetapi paling tidak dalam keadaan-keadaan tertentu, sebuah pengakuan terhadap realita perubahan musik dan sebuah bagian dari kontrak implisit antara entomusikolog dengan masyarakat pemiliki tradisi. Kontrak/keter-ikatan ini akan menjadi cukup krusial dalam kasus penelitian seorang “insider”, ketika seorang sarjana memiliki keseluruhan atau sebagian identitas yang ia pelajari.
Contoh tarian-tabuhan genderang bon yang dikutip terdahulu juga menyoroti sebuah jenis pemeliharaan yang tidak saya alami secara pribadi,[15] tetapi merupakan sesuatu yang sangat umum ditemui di lapngan. Meskipun seluruh etnomusikolog mentransmisikan pengetahuan melalui berbicara dan merekam musik, lebih jauh lagi berbagai transmisi tradisi musik dapat dilakukan melalui menghadirkan kembali (re-creating) pertunjukan itu sendiri. Dalam cara ini, unit studi sifat performatif yang dimiliki etnomusikolog memungkinkan terjadinya replikasi, baik sebelum maupun setelah masa penelitian etnografis. Banyak etnomusikolog kini mengajarkan musik yang mereka pelajari ketika berada di lapangan. Meskipun seseorang dapat memandang aktifitas ini sebagai sebuah sumbangan, saya meyakini bahwa tidak secara umum dianggap demikian oleh masyarakat pemilik tradisi tersebut atau oleh etnomusikolog. Agaknya, hal tersebut dapat juga dilihat sebagai bagian dari proses seorang manusia melintasi sebuah dunia ekspresi yang benar-benar pribadi. Bagaimana seseorang dapat membaca deskripsi John Miller Chernoff tentang akusisinya tentang teknik permainan genderang Ghana (1979) dan tidak mengakui bahwa, seperti gurunya, melakukan musik ini sebagai “sebuah kenangan jasmaniah?” (Connerton 1989).[16] Teori-teori seperti :bi-musikalitas” yang dikemukakan oleh Mantle Hood memungkinkan lebih dari sekedar masuk ke dalam pembelajaran musik; secara implisit ini mengarahkan etnomusikolog menuju pemeliharaan, replikasi, dan transmisi tradisi secara aktif.[17]


Mengenang Tradisi

Meskipun kita cenderung mengkoseptualisasikan transmisi dengan hal-hal komunal dan sosial, kenyataannya proses ini berjalan dengan sangat personal dan idiosinkratik, sumber dari tradisi menjadi guru (informan, atau lebih tepatnya, rekan penelitian), sementara seorang siswa yang menerimanya (etnomusikolog). Kecenderungan etnomusikologi untuk melihat mulai dari individu hingga kelompok yang berpadu dengan tradisi-tradisi antropologis yang telah berlangsung lama dalam hal menutupi subjek penelitian, bermuara pada sedikitnya kemungkinan penelusuran terkait pengenangan (memorializing) dalam litertur kita. Akan tetapi, ada beberapa contoh. Bruno Nettl menulis sebuah ode untuk guru-guru favoritnya (1984) dimana ia mendiskusikan dan mengenang orang yang dulu pernah ia sebut dengan informan.[18] Demikian juga, otobiografi Frank Mitchell yang berjudul Navajo Blessingway Singer, merupakan bagian dari “sebuah realisasi akan harapan Frank bahwa buku tentang hidupnya ini akan terus hidup” serta sebuah rasa “kesatuan keluarga” yang muncul dari kebersamaannya dengan para editornya selama bertahun-tahun (Mitchell 1978:5). Frisbie dan McAllester mengakui bahwa hubungan mereka dengan Frank Mitchell adalah sesuatu yang penuh dengah kasih, yang berawal dari pengembangan laporan terdahulu, melalui pekerjaan berbgai proyek, hingga menjadi sebuah persahabatan yang berlangsung lama dengan kewajiban mutual dan tanggung jawab (p. 5). Jadi bukanlah suatu kebetulan jika buku ini dipersembahkan untuk mengenang Frank Mitchell.


Memediasi Tradisi

Navajo Blessingway Singer juga membawa kita kepada mode transmisi ketiga—mediasi (mediation). Selain untuk mengenang Frank Mitchell, Frisbie dan McAllester menjadi penengan antara antara dirinya degan dunia yang lebih luas: “Frank, tentu saja, merupakan penulis Navajo Blessing Singer. Tugas kami adalah mengumpulkan data, menyunting narasi dan, dengan dukungan para interpreter yang cakap, mengalih-bahasakannya ke dalam bahasa Inggris” (Mitchell 1978:8). Artinya, setiap kali seorang sarjana mengutip atau menafsirkan sebuah wawancara atau percakapan, ia menengahi/mem-perantarai tradisi. Sejumlah peneliti pada kenyataannya seringkali merujuk pada diri mereka sendiri sebagai perantara. Alan Lomax tidak menganggap dirinya seorang “yang membangkitkan kembali sebanyak mereka yang ada di tengah-tengah [tradisi tersebut],” merasakan bagian penting dari tanggung jawabnya untuk “menemukan penyanyi rakyat terbaik … dan mendengarkan mereka di manapun” (dikutip dalam Sheehy 1992:329). Beth Lomax Hawes lebih menekankan hal tersebut dalam komentarnya pada pertemuan Folk Arts Panel tahun 1981: “Itu benar, kita adalah orang yang usil!” (Titon 1992:316).
Memediasi dapat terwujud dalam berbagai bentuk dan kemungkinan tidak terbatas hanya pada wilayah antara komunitas dengan outsider. Selain “menengahi” orang-orang Syria yang merupakan rekan penelitian saya, berbicara untuk memperkenalkan pertunjukan mereka kepada penonton yang tidak familiar dengan repertoar pizmon, saya juga diminta untuk memikul peran ini dalam komunitas tersebut. Dalm sebuah acara perkumpulan keluarga besar Tawil dan beberapa ratus keluarga Syria lainnya di Passover, sebuah resor wisata di pegunungan Catskill pada akhir tahun 1980-an, Moses Tawil meminta saya untuk memberikan sebuah kuliah umum tentang tradisi musik Yahudi-Syria; sebagian besar peserta dalam ceramah itu adalah orang Yahudi Syria. Dengan demikian, mediasi tidak hanya sekedar menyampaikan sesuatu untuk mereka di luar tradisi tersebut, tetapi juga berpartisipasi dalam menumbuhkan kesadaran sebuah tradisi di dalam komunitas pemilik tradisi itu sendiri.[19]
Berdasarkan ini, saya menyarankan bahwa banyak (jika tidak seluruh etnomusikolog) memelihara, mengenang, dan memediasi tradisi-tradisi berdasarkan kebiasaan yang wajar, terutama karena apa yang saya istilahkan dengan “bracketed performativeness” dari bahan-bahan yang mereka pelajari. Baik di dalam lapangan maupun setelah keluar dari lapangan, secara tegas ini bukanlah persoalan teoretis. Seseorang mempelajari musik dengan melakukan dan mengingatnya secara berulang-ulang, baik melalui pertunjukan langsung (live) ataupun rekaman. Data etnomusikologis dalam domain (wilayah) musikal dapat direplikasi melalui cara tertentu dimana jenis-jenis data etnografis lainnya tidak dapat demikian. Dengan demikian, saya menyatakan bahwa keterlibatan etnomusikolog dalam transmisi tradisi merupakan sebuah aspek lawas dan mendalam dari sebuah proses penelitian etnomusikologis, yang terutama muncul karena sifat datanya.
Dari perspektif disipliner, di sini kita berhadapan dengan identitas etnomusikolog yang bercabang, yang terbentuk dari komitmen-komitmen musikologis hingga pertunjukan dan keterlibatan prinsip-prinsip antropologis. Ketegangan antara pendekatan-pendekatan ini terkadang muncul di permukaan dalam literatur, menggugah seorang tokoh di masa lalu dalam bidang ini menuliskan bahwa etnomusikolog “tidak mencari pengalaman estetis bagi dirinya sendiri sebagai tujuan utama (meskipun kemungkinan secara personal ini dihasilkan dari studi-studinya), tetapi untuk menemukan/merasakan makna dari pengalaman estetis orang lain dari sudut pandang pemahaman perilaku manusia” (Merriam 1964:25). Dalam tulisan etnomusikologis yang muncul belakangan, terdapat pengakuan secara eksplisit terkait keterlibatan bersama di lapangan. Dalam kata-kata seorang etnografer:

Tidak ada pengganti dalam penelitian lapangan etnomusikologis bagi kedekatan yang melahirkan pengalaman musik bersama. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang menyenangkan dan sebuah metode yang bagus. Menjadi seorang penikmat yang apresiatif adalah bentuk penting dari pertukaran musikal. Nikmatilah rasanya menjadi seseorang yang kembali belajar; membentuk sebuah hubungan dengan para musisi terkemuka adalah suatu pendekatan yang umum dan berhasil dalam etnomusikologi (Myers 1992:31).

Akan tetapi jika “bermain” di lapangan harus berangkat dari metode yang baik, oleh karenanya para etnomusikolog membutuhkan panduan untuk situasi yang sarat dengan permasalah etis dan praktis. Beralih ke perspektif lainnya, tampak bahwa para etnomusikolog dan mereka yang terlibat dalam proses transmisi dapat mempertimbangan butir-butir berikut:

·      Jika kita terikat secara eksplisit maupun implisit untuk memelihara apa yang telah diajarkan orang kepada kita, kita harus mendokumentasikannya dengan baik dan selalu menyimpannya sebagai arsip.
·      Pekerjaan kita harus ditentukan waktunya (lama penelitian), yang menungkinkan kita untuk melakukan dialog dengan orang-orang yang masih hidup dan dengan berbagai kenangan yang sangat bermakna dari mereka yang telah tiada.
·      Kita harus menghormati kepercayaan dan melindunginya ketika diperlukan, tetapu juga harus siap untuk mengakui keahlian dan kesenimanan ketika mereka terbuka dan memberikannya degan cuma-cuma.
·      Kita harus berbagi hasil dari tugas kita, apakah dengan memberikan hasil-hasil rekaman, memberikan bahan-bahan untuk digunakan dalam komunitas dan/atau oleh individu-individu dalam komunitas itu, atau melalui pembagian finansial yang diperoleh, misalnya dari royalti.
·      Jika penelitian lapangan adalah sebuah pencarian/penye-lidikan yang humanistis, maka kita harus mengapus apa yang disebut dengan “dikotomi yang keliru,” kesalahan yang memisahkan penelitian akademis dengan sektor pekerjaan publik. Kita harus memikul tanggung jawab tidak hanya sebagai dampak dari tindakan kita memasuki lapangan, tetapi untuk hubungan kita yang terus-menerus dengan lapangan yang kita datangi serta para guru setelah kita “meninggalkan” mereka (yakni, penelitian yang tidak berkelanjutan).
·      Jika kita sebaya/seumur dengan mereka yang saat itu menjadi guru kita, maka kita harus terlibat dalam proses-proses kolaboratif. Sebaliknya, kolaborasi dapat membantu mengurangi kekuatan-kekuatan yang tidak seimbang dan memastikan kesepadanan antara tujuan-tujuan etnografis dengan kepekaan individu atau komunitas.
·      Kita harus mengakui secara lebih terbuka bahwa dalam berbagai situasi, ilmuwan yang memasuki lapangan saat itu dianggap seseorang yang memiliki otoritas (kekuasaan/kewe-nangan) dan memposisikan sejumlah kekuatan yang pasti akan terlibat dalam mengejar kehidupan yang nyata dari masyarakat yang diteliti. Kita wajib untuk menggunakan pengetahuan dan kekuatan, karena sudah semestinya demikian, dalam hal-hal terpenting dari orang-orang yang kita pelajari.
·      Terkadang, kita akan berhadapan dengan situasi-situasi dimana tujuan-tujuan kita tidak sama dengan tujuan komunitas itu atau dimana kita dipercaya untuk menyimpan bahan-bahan sehingga secara eksplisit kita menanggung beban untuk emnjaga kerahasiaan. Dalam contoh yang jarang ini, tindakan kita yang terbaik adalah dengan diam atau menarik diri. Kita perlu untuk memelihara sebuah tempat dalam tradisi pedagogik oral dimana kita dapat berdiskusi tentang kegagalan dan keterbuangan.

Akhirnya, pengakuan bahwa penelitian lapangan merupakan sebuah permasalahan dalam hubungan-hubungan manusia menawarkan sebuah jalan melalui semak belukar persoalan yang mengelilingi proses etnografis dan berpotensial menggangu peran peneliti lapangan. Ini tampaknya sama dengan sebuah tren baik dalam etnomusikologi maupun antropologi, yakni untuk mengembangkan sebuah teori yang diungkapkan secara praktis (practice-informed theory).
Sebagian besar dari kita menyadari bahwa kita tidak melakukan studi terhadap konsep/barang mati yang disebut dengan “kebudayaan” atau sebuah tempat yang disebut “lapangan,” melainkan menghadapi arus individu-individu yang sesudah itu kita berhubungan dengan mereka dalam cara-cara yang baru. Dengan mengambil apa yang disebut Arjun Appadurai dengan “deteritorialisasi,” saya menyarankan bahwa hubungan-hubungan manusia kemungkinan merupakan sisa yang paling pasti dari lapangan adalah apa yang disebut dengan lokal, stabil, dan terikat (Appadurai 1991:192). Kita dapat mulai dengan mengajar dan mempraktekkan etnografi yang mengakui realitas kebersamaan dan interaksi, yang didasarkan pada hubu-ngan-hubungan yang dapat dinegosiasikan.


Bibliografi

American Musicological Society Directory. 1993. Philadelphia: American Musicological Society.
Appadurai, Arjun. 1991. ‘‘Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational Anthropology.’’ Dalam Recapturing Anthropology: Working in the Present, disunting oleh Richard G. Fox, 191–210. Santa Fe, N.Mex.: School of American Research Press.
Chernoff, John Miller. 1979. African Rhythm and African Sensibility: Aesthetics and Social Action in African Musical Idioms. Chicago: University of Chicago Press.
Connerton, Paul. 1989. How Societies Remember. Cambridge: Cambridge University Press.
Dyen, Doris. 1982. ‘‘New Directions in Sacred Harp Singing.’’ Dalam Folk Music and Modern Sound, disunting oleh William Ferris & Mary L. Hart, 73–79. Jackson: University Press of Mississippi.
Feld, Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. 2nd ed. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Fluehr-Lobban, Carolyn, ed. 1991. Ethics and the Profession of Anthropology: Dialogue for a New Era. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Georges, R. A., & M. O. Jones. 1980. People Studying People: The Human Element in Fieldwork. Berkeley: University of California Press.
Hood, Mantle. 1982 [1971]. The Ethnomusicologist. New Edition. Kent: Kent State University Press.
Kerman, Joseph. 1985. Contemplating Music: Challenges to Musicology. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Lomax, John Avery, comp. 1910. Cowboy Songs, and Other Frontier Ballads. Pengantar oleh Barrett Wendell. New York: Sturgis and Walton.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press.
Mitchell, Frank. 1978. Navajo Blessingway Singer, disunting oleh Charlotte Frisbie & David McAllester. Tucson: University of Arizona Press.
Myers, Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction, disunting oleh Helen Myers. New York: W. W. Norton.
Neuman, Daniel. 1980. The Life of Music in North India: The Organization of an Artistic Tradition. Detroit: Wayne State University Press.
Nettl, Bruno. 1983. The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press.
_______. 1984. ‘‘In Honor of Our Principal Teachers.’’ Ethnomusicology 28 (2): 173–85.
Rosaldo, Renato. 1993 [1989]. Culture and Truth: The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
Seeger, Anthony and a comunidade indígena Suyá. 1982. Música Indigena: A arte vocal dos Suyá. 12 inch LP disc with liner notes. São João del Rei: Edições Tacape 007, serie ethnomusicologia. Reissued with revised notes on CD as volume 75 of Music of the Earth: Fieldworkers’ Sound Collections, Tokyo: JVC Video Software Division, 1992.
_______. 1987. Why Suyá Sing: A Musical Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy, Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3):323–36.
Shelemay, Kay Kaufman. 1988. ‘‘Together in the Field: Team Research Among Syrian Jews in Brooklyn, New York.’’ Ethnomusicology 32(3):369–84.
_______. 1989. Music, Ritual, and Falasha History. East Lansing: Michigan State University Press.
Shils, Edward. 1981. Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Slobin, Mark. 1992a. ‘‘Ethical Issues.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction, disunting oleh Helen Myers, 329–36. New York: W. W. Norton.
Smith, Barbara Barnard. 1987. ‘‘Variability, Change, and the Learning of Music.’’ Ethnomusicology 31 (2):201–20.
Taruskin, Richard. 1982. ‘‘On Letting the Music Speak for Itself: Some Reflections on Musicology and Performance.’’ Journal of Musicology 1 (3):338–49.
Tick, Judith, ed. 1993. A Suite for Four Strings and Piano by Ruth Crawford. Madison, Wisc.: A-R Editions.
Titon, Jeff Todd. 1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3):315–22.











Helen Myers
_____________________________

4

Penelitian Lapangan






Mendefinisikan etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan Dalam penelitian lapangan, kita membuka wajah manusia dari etnomusikologi. Apakah kita memilih sebuah kampung terpencil di India, komunitas pedesaan di Eropa, kota yang dihuni oleh orang Nigeria atau etnis-etnis yang hidup berdampingan di kota besar seperti Tokyo atau Paris, apakah kita mempelajari keluarga kita sendiri atau sebuah suku yang asing, negeri kita sendiri atau sebuah tempat yang eksotis, penelitian lapangan merupakan pekerjaan personal yang dituntut dari seorang etnomusikolog. Penelitian lapangan juga merupakan tahap paling kritis dalam penelitian etnomusikologis—laporan pandangan mata, dimana semua hasil akan berangkat darinya. Rintangan besar dari usaha etnomusikologis ini juga sekaligus merupakan hal yang sa-ngat memikat, dan tidak sedikit sarjana yang tertarik de-ngan disiplin ilmu ini karena pesona dan mistisme dari penelitian lapangan. Tantangannya cukup banyak, diduga-atau tidak diduga, bisa saja membosankan namun dapat juga sangat artistik. Kekuatan dan kelemahan para etnomusikolog diuji ketika kita beradaptasi dengan cara hidup yang asing guna mendokumentasikan budaya musing yang tidak dikenal. Situasi penelitian lapangan yang demikian memunculkan perasaan janggal dan membuat etnomusikolog terkadang kehilangan orientasi, sebuah realitas yang membi-ngungkan karena seharusnya sebuah pekerjaan yang berhasil berangkat dari kealamian, kejujuran, sepenuh hati, dan kadangkala dengan perilaku yang spontan. Para sarjana yang berhasil melewati permasalahan-permasalahan ini membuktikan bahwa mereka menggunakan rencana yang cerdik, menikmati penelitian, dan menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang yang diteliti.

Etnomusikolog Australia, Alice Moyle, merekam pemain didjeridu di Oenpelli, wilayah Barat Laut, Dataran Arnhem, 1962.
Penelitian lapangan merupakan salah satu karakteristik ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi dan etnomusikologi. Ini merubah kebiasaan lama, yakni pekerjaan ‘di belakang meja’, dimana para musikolog mentranskripsi dan menganalisis bahan yang direkam oleh para etnolog. Para mahasiswa etnomusikologi kini diharap menceburkan diri secara total dalam sebuah kebudayaan yang asing bagi mereka, umumnya selama satu tahun atau lebih, dan memperoleh pengalam musik dari tangan pertama dalam berbagai latar yang berbeda. Selama penelitian lapangan, etnomusikolog mengumpulkan berbagai sumber primer: berbagai observasi yang dituangkan dalam catatan lapangan, merekam musik dan wawancara, foto, film, serta bahan-bahan video. Berbeda halnya dengan musikolog sejarah yang mengumpulkan data sedikit demi sedikit dari arsip-arsip dan perpustakaan, etnomusikolog harus mengumpulkan dan mendokumentasikan materi dari para informan yang hidup. Para etnomusikolog yang bekerja dalam kebudayaan-kebudayaan yang nyaris tidak memiliki rekaman-rekaman tertulis harus mengandalkan metode-metode yang dirancang untuk menyelidiki sejarah lisan. Untuk kebudayaan-kebudayaan yang telah memiliki rekaman tertulis, peneliti lapangan harus mempelajari sumber-sumber historis, mengumpulkan pernyataan-pernyataan dari para informan tentang praktik musikal, dan kemudian membandingkan teks dan hasil wawancara tersebut dengan perilaku yang diamati sehari-hari.
Beberapa dekade yang lalu, penelitian lapangan seolah merupakan sebuah ritus peralihan yang harus dijalani para mahasiswa, dengan hanya sedikit hal yang diajarkan. Ketika dituntut yang namanya objektifitas, kenyataannya penekanan diletakkan pada wawasan, intuisi, ketertarikan personal, kejadian-kejadian yang kebetulan, dan keberuntungan. Karena topiknya bersifat individual dan personal, para sarjana enggan menulis dengan jujur tentang pengalaman-pengalaman mereka di lapangan. Catatan-catatan lapangan dan buku harian, transkripsi-transkripsi wawancara serta catatan aktifitas sehari-hari jarang dipublikasikan (beberapa pengecualian antara lain Slotkin, 1952; buku harian Bronislaw Malinowski yang diterbitkan anumerta, 1967; dan Merriam, 1969, ‘The Ethnographic Experience’; dan sebuah antologi potret-potret para informan di Casagrande, 1960). Mulai tahun 1960-an dan 1970-an, wujud tulisan-tulisan tentang pengalaman pribadi penelitian lapangan juga dipublikasikan (Powdermaker, 1966; Henry dan Saberwal, 1969; Freilich, 1970; Golde, 1970; Spindler, 1970; Anderson, 1971; Wax, 1971 dan 1977; Mead, 1972; Blacking, 1973; Jones 1973; Pelto dan Pelto, 1973; Foster dan Kemper, 1974; Béteille dan Madan, 1975; Clarke, 1975; Geertz, 1976; Honingmann, 1976; Freilich, 1977; dan Dumont, 1978). Gerakan ini makin pesat pada tahun 1980-an, seolah seperti sebuah pendulum yang berayun-ayun pada titik terjauhnya, dan sebutan sebagai pendukung subjektifitas mulai dilontarkan kepada para psikoanalisis sebelum penelitian lapangan dan pengakuan lewat autobiografi para sarjana (dalam antropologi, Barley, 1983; Turner dan Bruner, 1986; Whitehead dan Conoway, 1986; dalam etnomusikologi, Berliner, 1978; Keil, 1979; dan Gourlay, 1978, yang menilai peran etnomusikolog di lapangan).
Teks etnografis kemudian dikupas sebagai sebuah bagian dari literatur yang sesungguhnya, dalam bentuk dan gayanya, dan cukup lama diakui, dan dilihat kembali untuk menghidupkan humanisme baru ini (Bruner, 1986; Clifford dan Marcus, 1986). Perdebatan mengarah pada teka-teki epistemologis yang disebut ‘refleksifitas’, dimana para antropolog berupaya mengevaluasi dan mengukur dampak mereka terhadap topik yang juga mereka pelajari. Tindakan observasi antropologis merupakan sesuatu yang menonjol, tidak dapat mengubah perilaku mereka yang diamati; ‘lensa antropologis’ ini juga menjadi objek pnyelidikan (Mills, 1973; Peacock, 1986). Ironisnya, para sarjana yang bekerja dalam bidang ilmu fisika telah lama menerima penyimpangan ini, terutama elemen subjektif yang melekat pada metode saintifik (banyak penemuan dihasilkan dari kebetulan atau keberuntungan) dan elemen interaksi personal dengan data, termasuk hal-hal menakutkan yang memenuhi diri, misalnya ahli geologi yang berteriak keras ‘avalanche’ (salju longsor) di sebuah gunung yang bersalju (Kuhn, 1962; Popper, 1959, 1963, 1972; Myers, 1981).


Definisi: Penelitian Lapangan, Lapangan, Informan,
Pertunjukan dan Rekaman

Penelitian lapangan dapat didefinisikan sebagai ‘mengamati orang-orang in situ; menemukan mereka apa adanya, tinggal dengan mereka dengan peran yang, ketika diterima oleh mereka, memungkinkan terjadinya pengamatan yang lebih dekat terhadap perilaku-perilaku tertentu mereka, dan melaporkannya lewat cara yang bermanfaat bagi ilmu sosial namun tidak membahayakan mereka yang sedang diamati’ (Hughes, 1960, p.v.).


Laura Boulton sedang merekam para penyanyi Haiti pada tahun 1938.

Di manakah lapangan? Lingkup penyelidikan etnomusikologis luas dan beragam seperti luas dan beragamnya dunia musik itu sendiri. Studi-studi terdahulu berfokus pada bentuk-bentuk tradisi kerakyatan nasional dalam bentuk lisan, masyarakat-masyarakat pedesaan di luar negeri si peneliti, dan musik dari masyarakat-kasyarakat yang kemudian disebut ‘eksotis’ atau ‘primitif’, yakni, mereka yang hanya memiliki sedikit kontak dengan orang Barat. Sistem-sistem musik klasik Oriental, objek yang sangat mempesona selama berabad-abad, tetap menjadi subjek yang populer dalam etnomusikologi modern. Pada tahun 1990-an, bidang ini sarat berbagai topik, mulai dari studi-studi terhadap kelompok-kelompok etnis terpencil di wilayah-wilayah pedalaman Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, hingga masyarakat yang telah mengalami modernisasi, pembaratan (Westernization), kehidupan musik urban, musik populer dan industri musik. Bagi etnomusikolog, lapangan dapat berarti sebuah wilayah geografis atau linguistik; sebuah kelompok etnis (kemungkinan tersebar di sebuah wilayah yang luas); sebuah kampung, kota, pinggiran kota, kota besar; padang pasir atau hutan belantara; hutan hujan tropis atau kawasan tundra di Arktik.
Situasi setiap lapangan memiliki keunikan, tetapi semua proyek penelitian memiliki ciri-ciri umum. Pertama adalah informan—orang yang memberikan informasi. Istilah ini memiliki sejumlah konotasi yang bermasalah, dan banyak sarjana lebih memilih untuk menggunakan istilah kolega, teman, responden, partisipan, yang diwawancarai, sumber, atau guru. Kurang lebih, informan adalah istilah yang digunakan sangat luas dalam ilmu sosial, yakni bagi orang-orang di lapangan yang menceritakan tentang kehidupan dan musik mereka.
Kedua, semua penelitian lapangan meliputi pertunjukan, baik pertunjukan musik maupun pertunjukan budaya (berbagai ritual dan upacara kehidupan tradisional), serta pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan khusus untuk para peneliti lapangan (percakapan-percakapan informal, wawancara, dan sesi perekaman).
Ketiga adalah rekaman, dalam bentuk catatan lapangan tertulis, rekaman musik, kaset-kaset wawancara, foto, serta rekaman film dan video 16 mm. Berbagai kelengkapan yang dibutuhkan di lapangan—buku, perekam, instrumen musik—juga merupakan sebagian dari bentuk koleksi ini. Kesulitan utama dalam etnomusikologi adalah pemeliharaan dan dokumantasi rekaman-rekaman, transportasinya ke lapangan, dan selanjutnya pemrosesan dari lapangan ke rumah lalu masuk arsip (dan seringkali kembali lagi ke lapangan untuk mengecek dan pendokumentasian lebih jauh). Selama penelitian lapangan, menggunakan kereta atau bus lokal, berdesakan dengan orang-orang desa dan hewan ternak mereka, para pedagang asongan dan barang dagangan mereka, ibu-ibu yang menyuapi bayinya, anak balita yang menghisap buah-buahan, orang tua yang berjongkok di gang antar kursi dan bagasi penumpang yang diletakkan semrawut di atas atap bus, menyebabkan kesulitan dalam membawa perlengkapan etnomusikologis. Di tempat pemeriksaan bandara, yang cukup ketat dan dibatasinya bobot bagasi, membawa barang-barang yang retan ini menjadi semakin sulit; ketika berhasil tiba dengan selamat di rumah, ini akan menjadi harta, kenikmatan, serta sumber dari semua analisis kita. Etnomusikolog profesional kemudian menjadi cakap dalam memindahkan segala jenis benda ini dari desa A ke kota B, lalu ke kota C kemudian ke arsip D (untuk penggandaan sebelum berangkat dari tempat penelitian), lalu ke bandara E ke bandara F (kota tempat asal/rumah), kemudian ke arsip G (untuk penggandaan atau penyimpanan di tempat asal)—ratusan pita rekam dan kaset, film peka cahaya (untuk perjalanan ke luar negeri) dan film peka cahaya (perjalanan dalam negeri), instrumen-instrumen musik, alat perekam, mikrofon, baterai dan pengisi baterai, serta lain sebagainya. Pekerjaan ini sangat membutuhkan pikiran dan kemampuan pengorganisasian yang cakap.
Panduan-panduan untuk metode lapangan yang paling awal datang dari disiplin antropologi. Dalam Argonauts of the Western Pacific (1922), antropolog Anglo Polandia bernama Bronislaw Malinowski (1884-1942) mengemukakan sejumlah persoalan mendasar: hubungan teori dan metode, strategi penelitian induktif versus deduktif; observasi partisipasi; pentingnya membuka pikiran dan mengkritisi diri sendiri; hubungan antara data-data yang tidak berkaitan; perbedaan antara observasi dengan mengetahui secara mendalam, perbedaan antara observasi ilmiah dan gagasan-gagasan yang diekspresikan oleh informan lokal (data ‘emik’dan ‘etik’); keterisolasian petualangan antropologi, dan frustasi, kegelisahan, serta keputusasaan karena terkejut dengan budaya yang dihadapi (culture shock): ‘Bayangkan diri anda tiba-tiba dikelilingi oleh semua perlengkapan anda, sendirian di sebuah pantai tropis yang dekat dengan sebuah kampung penduduk asli’, tulis Malinowski, ‘sementara kapal atau sampan yang membawamu sudah berlayar menjauh dan hilang dari pandangan’ (p. 4).
Keterisolasian dalam penelitian lapangan ini, menurut Malinowski:

memutus seseorang dengan lingkungan orang kulit putihnya, dan meninggalkannya sedekat mungkin dengan para penduduk asli, yang hanya akan tecapai dengan berkemah di kampung mereka … untuk bangun setiap pagi dan menunjukkan diri pada mereka (pp. 6-7).

Seperti kebiasaan dalam ilmu fisika, Malinowski merekomendasikan pendekatan deduktif dalam penelitian lapangan, dimana latihan tentang teori dan metode yang diperoleh oleh mahasiswa digunakan untuk memandu, tetapi tidak untuk mendominasi observasi dan pengumpulan data yang sistematis:

Seorang etnografer tidak hanya harus menebar jala di tempat yang tepat, dan menunggu hasilnya. Ia harus menjadi seorang pemburu yang aktif, dan mengendalikan buruan ke arah sarangnya yang tidak dapat dijamah dan mengikutinya … Latihan yang baik dalam teori, dan kebebasan terkait hasil akhirnya, tidaklah identik dengan beban dari ‘gagasan-gagasan yang dipertimbangkan sebelumnya’. Jika seseorang melakukan sebuah ekspedisi, ingin membuktikan hipotesis tertentu, namun ia tidak dapat mengubah pandangan-pandangannya secara konstan dan membuangnya begitu saja di bawah tekanan bukti yang ada, jelas bahwa pekerjannya sia-sia. Tetapi permasalahan yang lebih besar adalah ketika ia membawa teori itu ke lapangan, membiasakan membentuk teorinya dari fakta-fakta di lapangan, dan mencari fakta yang menegaskan teori, merupakan sesuatu yang lebih baik bagi pekerjaannya. Gagasan-gagasan yang dipikirkan sebelumnya merupakan sesuatu yang bersifat merusak dalam pekerjaan saintifik apapun, tetapi membayangkan berbagai permasalahan yang akan dihadapi merupakan sesuatu yang baik bagi seorang ilmuwan, dan berbagai permasalahan inilah yang akan diungkap pertama-tama oleh sorang observer dalam kajian-kajian teoretisnya (pp. 8-9).


Perencanaan

Memilih Topik  Karena seluruh dunia merupakan wilayah kita dan disiplin ilmu kita hanyalah sebagian kecilnya, dimana sebagian besar musik yang belum dipelajari, maka untuk memilih sebuah permasalahan dalam etnomusikologi bukanlah hal yang sulit. Ironisnya, beragam topik yang unik dan wilayah penelitian yang tersebar di seluruh penjuru dunia memunculkan kebingungan bagi seseorang yang baru. Berikut adalah beberapa saran dalam melakukan pemilihan topik.
Pertama, ketertarikan pribadi: pilihlah topik yang anda sukai dan yang akan terus menarik bagi anda dan imajinasi anda selama penelitian berlangsung maupun setelah itu. Topik yang selalu memunculkan permasalahan baru (open-ended topic) adalah topik yang terbaik. Saya memilih proyek doktoral tentang musik kaum imigran India di Trinidad karena memiliki potensi menjadi topik yang open-ended; penyelidikan yang saya lakukan membawa pada berbagai permasalahan dan proyek penelitian baru (Myers, 1984). Penelitian pos-doktoral yang saya lakukan membawa saya ke wilayah timurlaut India, kampung halaman nenek-moyang para informan saya yang berasal dari India Barat; penelitian ini selanjutnya mengarahkan saya pada terhadap kelompok-kelompok orang India serupa di Fiji dan Mauritius, dimana para orang India tersebut juga dibawa oleh Inggris selama diberlakukannya sistem tenaga kerja kontrak, yakni antara tahun 1835-1919. Memilih topik penelitian doktoral dengan cermat—dirumuskan dengan baik, berfokus tajam dan berada dalam domain teoretis yang lebih luas—dapat menjadi fase pertama untuk pekerjaan yang dapat dilakukan seumur hidup. Kesinambungan dari sebuah proyek bergantung pada kemampuan bahasa yang dimiiki oleh peneliti, bibliografi repertoar musik; ini penting untuk menarik badan-badan pendanaan; serta pula dapat kembali dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana lokal.
Berbagai proyek etnomusikologi umumnya bergelut de-ngan permasalahan tunggal, atau sebuah perkampungan, wilayah-wilayah yang saling berdekatan, klompok etnis urban, musi individual atau genre. Pra etnomusikolog dengan kecenderungan antropologis memilih budaya-budaya musik yang menampakkan berbegai persoalan teoretis: wilayah kebudayaan dalam musik Indian Amerika Utara (Nettl, 1954), strukturalisme dalam masya-rakat dan musik orang Indian Brazil (Seeger, 1987), estetika dalam masyarakat Navajo (McAllester, 1954), dan model-model linguistik struktur dalam dan struktur permukaan dalam musik Venda (Blacking, 1971). Para sarjana yang lebih dipengaruhi oleh musikologi memfokuskan perhatian pada struktur-struktur musik (penelitian Hood tentang patet [modus] dalam musik Jawa, 1954), berbagai genre (survei yang dilakukan Wade terhadap vokal khyāl di India Utara, 1984), repertoar-repertoar instrumental (penelitian Berliner tentang mbira [lamellaphone] Shona, 1978), atau reprtoar keseluruhan dalam sebuah kelompok etnis (etnografi Capwell tentang orang Baul di Bengal, 1986). Sejak tahun 1950-an, studi-studi umumnya dibatasi hanya pada satu kebudayaan; studi lintas-budaya, yang merupakan fokus penelitian para sarjana Jerman pada abad ke-19, bukanlah hal yang umum, meskipun para sarjana senior telah membuat tulisan-tulisan reflektif seperti ‘Two Cities’ milik Nettl (1985), yakni sebuah perbandingan kehidupan musikal di Madras dan Teheran. Menjaga kelangsungan hidup musik yang menuju ambang kepunahan merupakan hal penting bagi etnomusikologi.
Studi-studi ulang (restudies—seorang sarjana menelusuri kembali apa yang pernah dikaji oleh sarjana lainnya) sangat umum ditemui dalam antropologi, seperti perdebatan Robert Redfield-Oscar Lewis tentang desa Tepoztlán di Meksiko, pengujian ulang yang dilakukan oleh Reo Fortune terhadap data Margaret Mead tentang peran sosial dalam masyarakat Arapesh di New Guinea, serta debat Ward Goodenough-John Fisher tentang pola residensi pasca-pernikahan dalam masyarakat yang medniami sebuah atol di Pasifik (Agar, 1980). Dalam etnomusikologi, studi ulang berpotensi khusus memperdalam kajian historis guna memahami tradisi lisan; studi-studi yang demikian juga memberikan sudut pandang baru terhadap wilayah-wilayah yang selama ini telah terasosiasi dengan interpretasi dari sarjana-sarjana tertentu (belum pernah ada dua orang peneliti memiliki perspektif yang sama). Peran interpretasi ganda terutama penting bagi studi budaya ekspresif, tetapi secara lebih sempit, yakni kalangan etnomusikologi akademis, kegunaan studi ulang belum ditempatkan secara semestinya.

Mungkin atau Tidaknya Penelitian Dilakukan Dalam memilih sebuah topik, mahasiswa harus melihat semua aspek kemungkinan.
Keilmiahan: Apakah topik yang di[ilih relevan dengan persoalan-persoalan teoretis terkini dalam etnomusikologi? Dapatkan kepentingan intrinsiknya yang merupakan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dibuktikan? Apakah pelajaran yang anda dapatkan dalam etnomusikologi, antropologi, sejarah dan repertoar musik memungkinkan untuk melakukan penelitian ini? Apakah anda memiliki akses terhadap sumber-sumber literatur dan sumber-sumber musikal yang relevan (perpustakaan dan arsip)? Apakah anda mengetahui bahasa setempat atau bermaksud mempelajarinya di lapangan?
Politis: Dapatkah visa yang dibutuhkan dan ijin penelitian diperoleh untuk penelitian ini? Berbagai langkah harus dilalui untuk memperoleh ijin penelitian resmi dan tersedia cukup waktu bagi instansi-instansi pemerintah untuk menyetujuai proposal. Apakah anda memilih topik yang sensitif secara politis atau di wilayah gografis yang sensitif? Kemungkinan proyek yang demikian ditunda hingga waktu yang tepat.
Fisik: Apakah studi yang dilakukan memiliki resiko dan membahayakan keselamatan, apakah waktu dan biaya mencukupi? Apakah dapat diperoleh dana yang mencukupi? Apakah anda memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan proyek ini? Apakah personil tersedia (terutama asisten di lapangan)?

ETIKA   Berbagai metode baru, teori, dan topik telah memunculkan berbagai permasalahan etika baru. Haruskah studi musik dilakukan olej ‘insider’—para ahli yang memiliki pengetahuan tentang bahasa, budaya, dan musik lokal—atau oleh ‘outsider’—yang menuntut adanya objektifitas dan keterbukaan pikiran? Para perintis (avant garde) dalam etnomusikologi mengembangkan kerjasama antara insider dan outsider dan membantu para seniman lokal untuk mengungkapkan kisah-kisah hidup mereka (misalnya, Frisbie & McAllester, eds., Navajo Blessingway Singer: The Autobiography of Frank Mitchell, 1978). Tuduhan imperialisme budaya, yang seringkali dilekatkan dengan peneliti orang luar, dikurangi dalam sejumlah proyek seperti yang dilakukan oleh Archives and Research Center for Ethnomusicology, Delhi, yakni sebuah organisasi yang membantu para peneliti tamu menyimpan salinan rekaman-reka-man lapangan mereka sebelum meninggalkan India (Samuādi, 1984-). Langkah positif lainnya adalah diseminasi materi-materi bidang kebudayaan—rekaman dan dokumentasi—yang dikembalikan kepada komunitas-komunitas pemiliknya, seperti yang dilakukan oleh Library of Congress Federal Cylinder Project, dimana salinan-salinan lagu tradisional (sebagian dikumpulkan beberapa dekade yang lalu dan telah lama dilupakan) dikembalikan keoada para penduduk asli Amerika (Brady dkk., 1984-).
Jika anda tidak mempelajari musik yang ada dalam masyarakat atau orang-orang kaya, bersiaplah untuk menjadi orang kaya di negara yang miskin. Tiap sarjana harus menghabiskan ribuan dolar untuk mempelajari musik, dimana uang sejumlah itu dapat digunakan untuk memberi makan mereka yang kelaparan atau untuk berobat. Pengetahuan untuk pengetahuan hanya akan memiliki sedikit asrti ketika anda menyaksikan seorang bocah sekarat; persoalan ini membutuhkan refleksi sebelum anda menjumpai orang-orang yang kelaparan dan sakit di lapangan. Saya mnghabiskan beberapa minggu yang berharga di India, bergelut dengan etika dalam mempelajari musik di sebuah negara miskin, heran mengapa tidak ada pengajar atau kolega yang memperingatkan saya terkait konflik emosi yang akan saya alami. Kemungkinan anda memang dapat menggunakan sebagian uang yang diperoleh untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, dan sebagai seorang pendatang dalam sebuah kebudayaan, anda akan terpancing untuk datang dan membantu. Akan tetapi berpikirlah cermat dan perhatikanlah kompleksnya permalahan kemanusiaan. Cara yang tepat ketika mengikuti kata hati yang demikian adalah mengalokasikan sejumlah dana untuk obat-obatan. Setelah memberikan tablet-tablet aspirin kepada para penduduk desa yang sedang terserang demam, saya baru menyadari bahwa permasalahan dapat saja muncul jika seorang pasien keadaannya semakin buruk atau meninggal setelah memakai obat yang saya berikan.
Apakah dapat membantu orang-orang yang menjadi objek studi anda atau tidak, yang pasti anda tidak boleh menyakiti mereka. ‘Statement on Professional Ethical Responsibilities’ (1983) yang dikeluarkan oleh Society for Applied Anthropology memberikan pegangan terkait persoalan-persoalan utama, yang masing-masing harus diperhatikan sebelum membuat sebuah rencana penelitian:

·      Beritahukan apa tujuan penelitian, metode-metode, serta sponsor penelitian kita kepada masyarakat yang kita teliti. Masyarakat akan ikut serta dalam aktifitas-aktifitas penelitian kita secara sukarela dan informatif. Kita sebaiknya … menjaga rahasia yang dimiliki oleh mereka yang kita pelajari … [akan tetapi mereka]  tidak boleh dijanjikan akan kadar kerahasiaan lebih dari yang realistis …
·      Jagalah martabat, integritas, dan keseimbangan komunitas yang akhirnya terpengaruh oleh penelitian kita … Hindari untuk melakukan atau merekomendasikan tindakan kepada sponsor yang kemungkinan akan berbahaya bagi kepentingan sebuah komunitas.
·      Jangan melakukan perbuatan yang mengganggu aktivitas profesi rekan-rekan peneliti ilmu sosial lainnya … jangan mengganggu arus informasi tentang hasil penelitian dan teknik-teknik praktis profesional … [dan] jangan membuat komunitas-komunitas atau agen-agen menentang rekan sejawat kita demi kepentingan pribadi.
·      Jangan mempersulit akses para mahasiswa, orang asing, atau para pemula untuk memperoleh pelatihan … Kontribusi-kontribusi para mahasiswa untuk profesi kita, termasuk penelitian dan publikasi, juga harus dipertimbangkan.
·      Berikan laporan yang akurat kepada para pekerja dan sponsor … Kita memiliki kewajiban untuk berupaya mencegah terjadinya distorsi atau penekanan terhadap hasil-hasil penelitian atau rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan oleh agen-agen terkait.
·      Berbagilah keuntungan yang kita peroleh dari pengetahuan dan kemampuan kita dalam menganalisis sistem-sistem sosiokultural kepada semua kalangan masyarakat.

Permasalahan kerahasiaan yang didiskusikan pada butir 1 merupakan hal yang ambigu dalam penelitian etnomusikologis., sebab para seniman yang menjadi objek studi kita kemung-kinan ingin mencari pengakuan atas karya mereka. Stephen Slawek bersusah payah memalsukan nama seniman yang terkenal di seluruh dunia, Ravi Shankar, dalam studinya tentang repertoar sitar Hindustani, atau yang dilakukan oleh Neil Sorell dalam studinya tentang pakar sārangī, Ram Narayan (Sorell & Ram Narayan, 1980; Slawek, 1987). Para etnomusikolog secara umum memiliki kebebasan untuk memberikan nama pada para musisi yang menjadi objek studi mereka. Seringkali para etnomusikolog mensponsori para seniman ini untuk melakukan konser di Barat. Para musisi pedesaan juga senang menyaksikan nama mereka disebutkan dalam tulisan-tulisan etnomusikologis. Kendatipun demikian, anonimitas terkadang tetap saja penting; Edward Henry menutupi nama para informannya yang merupakan orang desa di India Utara, sebab publikasi teks-teks pernikahan gāti yang sifatnya evokatif yang ditranskripsikan dapat mempermalukan mereka (1988). Bertanyalah terlebih dahulu bila perlu. Apakah para musisi menginginkan nama mereka disebutkan? Apakah mereka ingin foto-foto mereka muncul dalam publikasi anda? Apakah mereka akan memeriksa secara langsung kutipan-kutipan langsung kata-kata yang diucapkan atau transkripsi-transkripsi musik mereka: akankah kutipan-kutipan ini akan dicantumkan atas nama mereka?
Sebuah permasalahan khusus muncul ketika etnomusikolog melakukan studi ulang di sebuah dsa yang telah disebut dalam literatur antropologis yang menggunakan nama samaran. Para musisi dari desa tersebut mungkin sangat menginginkan nama asli mereka muncul, bersamaan dengan transkripsi repertoar-repertoar dan foto-foto pertunjukan, sebuah keinginan yang bertentangan dengan aspek kerahasiaan dalam studi terdahulu. Masalah yang lebih membingungkan muncul ketika para informan dari desa-desa yang pernah dijadikan objek studi berkunjung ke Barat; persoalan adalah salah satu yang tidak dapat dikesampingkan. Contohnya adalah ‘Karimpur’, nama samaran dari sebuah desa di India Utara yang diteliti sejak 1925, yang diawali oleh Charlotte dan William Wiser dan dilanjutkan setelah itu oleh beberapa antropolog Amerika (Wiser & Wiser, 1930). Wiser menyamarkan nama desa serta nama-nama para informannya. Beberpa tahun belakngan, ketika sejumlah orang dari desa tersebut berkunjung ke kota-kota besar di India dan di Barat, mereka menjadi bingung ketika melakukan kunjungan ke perpustakaan dan melihat foto-foto mereka dipajang dengan teks-teks antropologis tanpa nama-nama mereka. Seorang informan, yang bertindak sebagai asisten untuk beberapa generasi antropolog, telah mengajar di sejumlah universitas di Inggris dan Amerika tentang dampak antropologi bagi komunitasnya; ia menulis otobiografinya, yang menekankan pada kesedihan yang dialami oleh penduduk desa ketika menjadi subjek penelitian antropologis. Desa tersebut akan diberi nama apa? Haruskah para antropolog yang bekerja dengannya disebutkan? Haruskah ia menggunakan namanya sendiri sebagai judul buku tersebut? Permasalahan kerahasiaan membutuhkan berbagai solusi, tidak hanya solusi tunggal.

Latar Belakang  Para etnomusikolog senior mengingat masa-masa ketika para kandidat doktor dituntut untuk membaca seluruh bahan etnomusikologis guna ujian kualifikasi doktoral mereka. Ini tidak lagi menjadi tuntutan yang beralasan, namun calon peneliti lapangan harus menguasai literatur tentang wilayah studi mereka, baik daerah geografisnya maupun kajian-kajian teoretis yang berkaitan. Pekerjaan ini membutuhkan penelusuran interdisipliner dimana saat itu mahasiswa dapat menyusun sebuah bibliografi menyeluruh—dari etnomusikologi, antropologi, sejarah, religi, politik, dan bidang-bidang lain termasuk karangan fiksi (novel karangan V.S. Naipul merupakan sumber penting bagi mereka yang ingin mengkaji permasalahan di Trinidad). Hari-hari yang berharga di lapangan sebaiknya tidak diisi dengan bacaan yang tidak berguna atau lakukanlah pembuatan anotasi bibliografi. Untuk penelusuran sistematis, mahasiswa sebaiknya segera mengidentifikasi para sarjana terdahulu yang telah meneliti di wilayah ini. Surat menyurat dengan para ahli ini merupakan sebuah bentuk penghormatan yang bagus, mahasiswa dapat memperoleh saran serta nama-nama orang yang akan dapat membantu ketika berada di lapangan; hubungan-hubungan profesional yang menyenangkan, yang berangkat dari ketertarikan yang sama terhadap sebuah penelitian, dimulai dari cara yang sederhana ini.

Proposal Penelitian  Apakah calon peneliti berencana atau tidak untuk mencari dana penelitian, menyiapkan sebuah proposal penelitian formal sangat membantu dalam memulai sebuah proyek. Ini akan mendisiplinkan program yang akan dilakukan, terutama dalam hal penyediaan waktu, dana, dan tenaga. Melakukan rancana-rencana yang telah disusun ke dalam tulisan akan memfokuskan topik, memberikan gambaran terkait tujuan-tujuan yang terpenting, memberikan kerangka terkait relevansinya dengan etnomusikologi dan potensi kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Anda akan dipaksa untuk mengkalkulasikan anggaran dan merencanakan jadwal harian yang realistis sehingga proyek yang dilakukan dapat membuahkan hasil dan mewujudkan tujuan-tujuan intelektual anda yang sesungguhnya.
Menyiapkan proposal penelitian dapat memakan waktu berbulan-bulan. Akrabkan diri anda dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan pendanaan dalam bidang yang menjadi minat anda. Banyak universitas memiliki badan-badan dengan sistem komputerisasi untuk membantu menemukan badan pendanaan yang sesuai. Referensi panduan dasar seperti The Grants Register (1991) sangat membantu dan mudah digunakan. Ini biasanya dilihat tidak terlalu akademis, dan tampak tidak dapat membantu calon peneliti memfokuskan dan mengembangkan proposalnya.
Tulislah proposal dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Hindari jargon. Buatlah pokok-pokok yang mengarah langsung dan mudah dipahami oleh orang-orang dari bidang ilmu lain. Formulasikan judul dengan cermat dan deskripsikan secara ringkas penelitian anda melalui kata kunci dalam proposal yang akan diajukan pada komite penilai dan pengambil keputusan. Berhasil memperoleh pendanaan merupakan kemampuan khusus seperti yang dijelaskan dalam tulisan-tulisan antropologis (Pelto, 1970; Agar, 1980; Jackson, 2987).


Observasi Partisipasi

Strategi utama yang digunakan dalam penelitian lapangan etnomusikologis adalah observasi partisipasi (participant observation); peneliti tinggal dalam komunitas, ikut serta dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam aktifitas-aktifitas musikal, merekam observasi yang dilakukan dan meminta komunitas tersebut untuk menuturkan tentang diri mereka sendiri. Seorang peneliti yang berpartisipasi (participant observer) adalah orang asing yang memiliki kedudukan istimewa, seorang ‘penduduk lokal pinggiran’ (marginal native), dan memiliki akses terhadap banyak data (Freilich, 1970, 1977). Observasi partisipasi menambah validitas data, memperkuat interpretasi, memberikan pemahaman terhadap kebudayaan, dan membantu peneliti untuk memformulasikan pertanyaan-pertanyaan yang berarti. Karangan-karangan antroologis secara tradisional mengidentifikasi empat tingkatan metode observasi partisipasi: (1) partisipan penuh (aktifitas-aktifitas observer sungguh-sungguh ditutupi); (2) partisipan sebagai observer (aktifitas-aktifitas observer ‘tetap diselubungkan’); (3) observer sebagai partisipan (aktifitas-aktifitas obserfer diketahui publik); dan (4) observer penuh (puncaknya, observer berada di balik cermin searah) (Junker, 1960:35-37). Perhatikan, misalnya, peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat yang menyarankan keterbukaan proyek secara terperinci kepada masyarakat yang menjadi subjek penelitian dan para informan, maksud peneliti dan persetujuan dari para informan. Catatan-catatan demikian sebaiknya disimpan. Pilihan 1, 2 dan 4 tidaklah etis jika melihat standar yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat di atas. Keseimbangan antara partisipasi dan observasi tergantung pada kepribadian peneliti, situasi lapangan, budaya yang didatangi serta sifat penelitian. Bagian penelitian etnomusikologis umumnya, nomor 3 adalah satu-satunya pilihan.

Kepercayaan   Peneliti partisipan (participant observer) yang semakin memiliki akses terhadap domain-domain pribadi kehidupan sehari-hari komunitas seiring dengan munculnya kepercayaan dan saling mengetahui rahasia antara mereka, terutama dalam penelitian jangka panjang (survei ethnografis Raoul Maroll menunjukkan bahwa peneliti yang tinggal di lapangan lebih dari satu tahun memperoleh lebih banyak data tentang persoalan-persoalan sensitif—politik, seks, ilmu gaib [1962]). Berbagai permasalahan etika muncul seketika itu: peneliti munkin menyaksikan tindak kriminal, mendengar rencana penyelundupan obat-obatan, imigrasi ilegal. Ketika kepercayaan telah rusak, peneliti dan informasn akan dirugikan serta kemungkinan kelangsungan penelitian dapat terancam; tetapi dalam menjaga kepercayaan, peneliti tidak boleh melanggar hukum. Melanggar kerahasiaan maupun pelanggaran terhadap hukum akan merusak reputasi etnomusikologi dalam komunitas dan negara tersebut, membahayakan studi-studi yang akan dilakukan selanjutnya dan membuat para peneliti selanjutnya kesulitan mengakses tempat tersebut. Hati nurani harus digunakan untuk fakta-fakta yang mendalam. Peneliti yang bijaksana menyadari bahwa banyak saat menyakitkan yang tidak dapat ditemui dalam halaman tulisan mereka yang dicetak.

PERAN  Observasi partisipasi umumnya memperhatikan pereduksian ‘reaktifitas’—kadar perubahan perilaku masyarakat karena mereka sedang diamati. Para etnomusikolog seharusnya tidak menyalahi gagasan ini. Gangguan tidak dapat dihindari ketika seseorang mengamati kehidupan pribadi orang lainnya. Kendatipun dilakukan secara cermat, peneliti lapangan tidak akan pernah dapat lepas dari situasi setempat. Berbagai etika menentang tindakan penggangguan yang tidak terlihat: melalui perekaman terselubung (mikorofon yang disembunyikan di dalam tas), atau seolah menjadi orang pribumi. Jangan pernah biarkan rekan anda yang berasal dari desa itu melupakan bahwa anda sedang mempelajari musik mereka. Hal ini akan menjadi mudah ketika peralatan kita—mikrofon, perekam audio dan video, camera, lampu blitz—selalu membuat mereka ingat bahwa kita datang untuk mengamati apa yang bukan milik kita. Apakah orang-orang yang sedang diamati layak tidak perlu memperoleh kesempatan untuk menikmati hari minggu mereka yang terbaik? Atau mereka membutuhkannya?
Peran apapun yang disandang oleh peneliti, sikap seolah menjadi orang pribumi sangatlah berbahaya:

Pada tahun 1967, sekelompok orang kulit putih muncul lagi dari utara … mereka berjalan dengan mata yang liar mencoba melihat semuanya … Mereka adalah sekelompok antropolog, dan mereka ingin menguji berbagai teori baik yang luar biasa maupun yang dangkal pada kehidupan masyarakat di negara saya (Salinas, 1975:71-72).

Meskipun penampilan dan tingkah laku anda sesuai dengan norma-norma yang ada dalam suatu komunitas, ilmuwan sosial tetap saja merupakan orang luar (outsider). Etnomusikolog yang seolah menjadi penduduk pribumi meyakini bahwa mereka tidaklah bermaksud mengelabuhi orang pribumi. Penulis tentang Sioux, Vine Deloria Jr., tidak sulit untuk dikenali ketika menjadi antropolog di Dakota:

Antropolog mudah dikenali. Masuk ke dalam kerumunan orang. Mengajak seorang pria kulit putih yang kurus, yang mengenakan celana pendek Bermuda, jaket penerbang Angkatan Udara Amerika semasa Perang Dunia II, sebuah topi rumput Australia, sepatu tenis, serta membawa sebuah ransel yang disandang di punggungnya. Ia memiliki seorang istri yang bertubuh ramping dan seksi denga rambut terurai, dengan IQ sekitra 191, dan kosakata yang memiliki preposisi hingga sebelas suku kata … Sosok ini adalah seorang antropolog (1960:79).

Para etnomusikolog lebih beruntung daripada para antropolog dan sosiolog karena perasaan-perasaan pribadi yang kita pelajari terekspresikan secara publik dalam pertunjukan musik. Berbagai rintangan kultural menguap ketika musikolog bertemu musisi. Dalam penelitin lapangan etnomusikologis, tidak ada yang melebihi begitu intimnya berbagi pengalaman musikal. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang menyenangkan dan merupakan sebuah metode yang bagus. Menjadi pendengar yang apresiatif adalah bentuk pertukaran musikal yang sangat penting. Merasakan kembali senangnya menjadi seorang mahasiswa; membangun hubungan yang dekat dengan seorang musisi yang mahir merupakan pendekatan yang umum dan berhasil dalam etnomusikologi (Zonis, 1973; Berliner, 1978; Koning, 1980; Sorell dan Ram Narayan, 1980; Slawek, 1987). Pada tahun 1960-an, para mahasiswa mendapati adanya sistem formal terkait pembelajaran musik dalam masyarakat-masyarakat literasi di India, Jepang, Iran dan Indonesia, yang dapat dengan mudah mereka masuki (berbeda halnya dengan sistem Barat). Bimusikalitas menitikberatkan partisipasi dengan observasi yang amat minim, dan pelajaran-pelajaran musik dari seorang guru sangat memikat para mahasiswa. Kendatipun demikian, etnomusikolog yang tetap merupakan orang asing—orang luar (outsider) yang sedang mencari sesuatu di dalam—tidak akan pernah betul-betul masuk ke dalam subjeknya, yakni musik, yang pada dasarnya bersifat personal, ekspresif, artistik, emosional, bahkan ekstatis. Peneliti lapangan yang berhasil adalah yang dapat menyeimbangkan antara partisipasi dan observasi, selalu bertujuan untuk melakukan penyelidikan yang saintifik, sistematis, dan simpatetis terhadap seni musik.

LATIHAN DI RUMAH   Observasi partisipasi hanya dapat dipelajari di lapangan, akan tetapi banyak komponen keahliannya dapat dipelajari di rumah. Kemampuan bahasa adalah yang terpenting. Berusahalah untuk mempelajari bahasa yang dibutuhkan. Pelajaran-pelajaran di universitas dan perlengkapan belajar otodidak tersedia bahkan untuk bahasa-bahasa yang sulit ditemui; pelajaran-pelajaran intensif di musim panas dapat sangat berguna. Pemahaman kebudayaan akan meningkat sejalan dengan kefasihan berbahasan ketika memasuki tingkat komprehensi dan ekspresi yang lebih baik, para informan meningkatkan tingak wacana mereka, dan pengetahuan terhadap kebudayaan terbuka dengan sendirinya. (Hal yang serupa juga terjadi dalam kefasihan bahasa musikal lokal.)
Kemampuan-kemampuan observasi, ingatan dan penulisan yang lebih mendalam juga dapat dilatih di rumah. Latihan ‘kesadaran eksplisit’ yang berulang-ulang, kemampuan untuk mencatat dan mengingat kehidupan sehari-hari dengan terperinci—tidak sesederhana bunyi-bunyiannya (Spradley, 1980). Sebuah latihan: tanyakan kepada seseorang yang baru saja melihat jamnya, ‘Jam berapa sekarang?’ Ia akan melihat jamnya lagi karena secara eksplisit ia tidak menyadari jam berapa saat itu dengan sungguh-sungguh. Karangan-karangan antropologis menawarkan berbagai latihan untuk meningkatkan kemampuan observasi, ingatan dan penulisan (Agar, 1980; Spradley, 1980; Bernard, 1988). Kemampuan-kemampuan ini menunjang kesuksesan observasi partisipasi.
Bagi para etnomusikolog, kemampuan yang paling dasar adalah merekam dan memotret. Akrabilah peralatan anda sebelum terjun ke lapangan; jangan membeli barang-barang tersebut dalam perjalanan menuju tempat penelitian anda. Kamera dengan harga murah yang anda beli di New York mungkin tidak akan berfungsi (anda akan kehilangan gambar-gambar penting ketika sedang mencoba rol film jenis baru yang baru saja dijual). Perekam kaset yang anda beli dengan tawar-menawar di Singapura saat dalam perjalanan mungkin tidak memiliki baterai cadangan, tidak dapat menggunakan arus listrik langsung atau tidak sesuai dengan mikrofon anda.
Berlatihlah dengan semua peralatan anda di rumah. Jangan membawa peralatan yang belum dicoba dalam keadaan realistis di dalam dan di luar ruang tamu anda. Rekamlah percakapan yang dilakukan di meja yang anda gunakan untuk menjamu tamu. Setelah itu, bawalah peralatan rekaman anda untuk dicoba merekam sesuatu yang diam—misalnya para pengamen di stasiun bawah tanah atau pelayanan-pelayanan di gereja lokal. Selanjutnya, rekamlah peristiwa yang bergerak dengan perekam yang digantungkan di bahu anda dan mikrofon dalam posisi digenggam, sebaiknya di luar ruangan dan ada angin: sebuah parade rakyat, marching band atau pasar jalanan (dalam kasus ini si perekam akan bergerak, bukan sumber suara yang bergerak). Terakhir, rekamlah suasana yang terdapat bunyi-bunyian keras—mungkin tempat disko. Masalah-masalah yang anda antisipasi dan temukan penyelesaiannya di rumah (desah angin, isolasi headphone, pengesetan volume, dan sebagainya) akan mengurangi permasalahan saat terjun di lapangan.

TERJUN KE LAPANGAN   Sebelum memasuki lapangan, berhentilah sejenak untuk memperkirakan berbagai bias personal dan kultural dalam proyek penelitian yang akan anda lakukan. Tidak ada penelitian yang sungguh-sungguh objektif dalam etnomusikologi (ataupun bidang-bidang ilmu lainnya). Asumsi-asumsi kultural dan idiosinkrasi personal mengarahkan observasi dan mewarnai berbagai temuan kita. Sarjana yang menerima berbagai bias ini, bergelut dengannya sebagai bagian dari metodologi dan mengakui pengaruhnya dalam penelitian.
Penelitian lapangan dapat dibagi ke dalam beberapa tahay yang terprediksi: masuk, keterkejutan budaya (culture shock) dan keterkejutan kehidupan (life shock), pengumpulan data, masa-masa liburan sekaligus mengumpulkan data-data lain dengan rasa lelah, dan meninggalkan lapangan. Memasuki lapangan adalah saat yang mendebarkan, bahkan sangat mendebarkan, ditambah rasa frustasi, menakutkan, dan mengusik.
Pertama, pilihlah komunitas yang reseptif. Penelitian lapangan sarat dengan permasalahan; jika anda tidak disambut, pilihlah komunitas lainnya.
Kedua, buatlah tulisan tentang diri anda sendiri dan proyek penelitian anda, tujuan studi, lama waktu yang diberikan oleh universitas atau pemberi dana untuk tinggal di lapangan. Tulisan-tulisan ini akan membuat hubungan anda menjadi jelas dan anda tercatat secara resmi. milikilah salinan dari dokumentasi-dokumentasi tersebut dalam bahasa lokal. Juga foto anda di rumah bersama keluarga; menunjukkan anda sebagai seorang manusia sekaligus seseorang yang resmi, terutama bagi teman-teman baru di kampong yang anda datangi.
Ketiga, dalam memasuki sebuah komunitas baru, disarankan untuk bekerja dengan urutan berkenalan, kunjungan kehormatan ke lembaga-lembaga pemerintah (bahkan kepala daerah), melalui hirarki birokrasi hingga kementerian kebudayaan. Dari sini anda kemungkinan dapat memperoleh sejumlah arahan: sekolah-sekolah musik negeri, musisi-musisi profesional yang berkiblat ke Barat, agen-agen radio dan TV—semuanya penting (bahkan jika tak terencana dalam penelitian anda). Jika tujuan anda adalah wilayah pinggiran, anda membutuhkan perkenalan yang lebih jauh lagi. Saya beruntung pada saat minggu-minggu pertama saya di India karena berjumpa dengan Shri Ram Sagar Singh dari Universitas Hindu Banaras, yang tinggal di kampong tak jauh dari tempat tersebut, dan ia adalah seorang penyanyi terkemuka. Dalam waktu 24 jam saya mempelajari dan tertarik pada musik dehātī (‘kampung’), lalu ia mengumpulkan para wanita di kampung tersebut agar menyanyi untuk saya. Jika anda tidak seberuntung itu, anda dapat memilih seorang penduduk setempat untuk menemani anda pada kunjungan pertama ke sebuah kampung atau komunitas—mungkin seorang pegawai pemerintah dari kota terdekat. Pertimbangkan keuntungan dan kerugiannya: pegawai pemerintah mungkin mengintimidasi para penduduk kampung dan mencap anda sebagai seorang agen pemerintah; namun, perkenalan resmi dapat memunculkan perhatian terhadap pekerjaan anda dan bahkan penduduk kampung akan melindungi keselamatan anda.
Kiranya bijak untuk memulai dengan mendatangi orang-orang terkemuka terlebih dahulu. Ketika memasuki sebuah kampong di india, misalnya, sebaiknya kunjungilah pradhān (‘pemimpin’) terlebih dahulu dan mintalah padanya untuk mengenalkan anda kepada para musisi. Saya menggunakan metode ini selama penelitian lapangan di Distrik Gorakphur, India. Di Kampung Felicity, Trinidad, saya tiba seorang diri dan lengsung menuju ke sekolah dasar Hindu; ini merpuakan permulaan yang lebih bersifat informal, menyusuri jalanan Karibia, dengan gaya kasual dan mengasyikkan. Di Southall, London, saya hanya mendatangi sebuah kuil Hindu. Perkenalan kita dengan komunitas yang didatangi bergantung pada kebiasaan-kebiasaan setempat; mintalan saran dari para ilmuwan yang telah bekerja di wilayah itu dan orang yang memang menggeluti bidang tersebut.
Terakhir, bersiaplah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga: Siapakah anda? Apa yang anda lakukan di sini? Siapa yang membayar anda? (Apakah anda adalah seorang mata-mata?) Apa yang akan anda lakukan dengan uang yang anda peroleh dari penjualan rekaman? Mengapa orang melakukan pekerjaan ini?
Putuskan bagaimana anda harus menunjukkan diri dan jangan takut salah. Anda akan segera mengetahui mana yang sesuai (Jones, 1973). Masyarakat setempat kemungkinan akan menyandangkan sebuah peran bagi anda, seringkali yang terjadi adalah pemberian hubungan kekerabatan. Dalam masyarakat Mbuti di hutan Ituri, Zaire, Colin Turnbull dianggap sebagai anak (terlepas dari usianya yang sesungguhnya) dari sepasang suami istri yang tidak memiliki keturunan.  Perkembangannya dari anggapan sebagai anak-anak berubah dengan cepat; pada kedatangan berikutnya, ia dianggap sebagai seorang pria lajang—seorang anggota masyarakat (1986). Di Karimpur, india Utara, Charlotte Wiser, yang pertama dating ke tempat itu pada tahun 1925, dipanggil dengan sebutan dādī (ibu dari ayah); Susan Wadley, yang mendatangi tempat itu pada tagun 1968, dipanggil dengan sebutan buā (saudara perempuan ayah); ketika saya mengunjungi tempat itu pada tahun 1986, para gadis memanggil saya dengan sebutan dīdī (anak perempuan ayah).
Buatlah peta geografis lokasi yang anda datangi pada hari-hari pertama di tempat itu; berkelilinglah dengan berjalan kaki, jelajahi dan buatlah sketsa peta. Dalam lingkungan-lingkungan perkotaan, petakanlah jaringan-jaringan sosial. Bersikaplah agar tindakan anda membuat peta dan melakukan sensus tidak membuat anda dianggap sebagai mata-mata atau pengumpul pajak. (Papan alas tulis dan pensil yang anda bawa membuat orang menjadi tidak nyaman). Bersabarlah. Bersipak santai dan nikmatilah awal petualangan baru anda. Catatlah semua hal pertama yang membuat anda tertarik, yang baik ataupun yang buruk. Para etnomusikolog lebih beruntung dalam berbagai hal daripada para antropolog. Berbagai permasalahan ketika terjun ke lapangan menghilang ketika musik dimulai.
                                                       
KETERKEJUTAN BUDAYA DAN KETERKEJUTAN KEHIDUPAN   Selama bulan pertama, ketika peneliti lapangan mulai memiliki rutinitas sehari-hari, ‘keterkejutan budaya’ (cultural shock) dan ‘keterkejutan kehidupan’ (life shock) muncul.









[1]Dalam pengertian tertentu, “transmisi tradisi” adalah sesuatu yang rancu, sebab etimologi dari kata traditum yang berasal dari bahasa latin sendiri memiliki arti diteruskan dari masa lalu ke masa kini (Shils 1981:12). Saya menggunakan istilah “transmisi tradisi” untuk mengacu pada pengkomunikasian berbagai materi musik dari satu orang ke orang lainnya, baik secara oral, aural (berhubungan dengan pendengaran), atau tertulis, tanpa mempertimbangkan waktu terkait materi yang ditransmisikan. Untuk kepentingan diskusi ini, saya terutama akan memfokuskan pada peran pertunjukan musik secara langsung (live) dalam proses “transmisi tradisi” ini, selain juga pada materi-materi musik yang dimediasi dan disampaikan menggunakan teknologi seperti LP, kaset, atau CD.
[2]Bab ini, yang ditulis dengan dana beasiswa dari National Endowment for the Humanities sekitar tahun 1992-1993, merupakan pengembangan dari artikel sebelumnya yang telah diterbitkan dengan judul “The Ethnomusicologist and the Transmission of Tradition,” The Journal of Musicology 14 (1):35-51, 1996. Versi terdahulu dari tulisn ini, yang berjudul “Intersection of Life and Scholarship: Human Relations in the Field,” telah dikirim ke Universitas Brown pada tahun 1992. Saya berterima kasih kepada Gregory Barz dan Timothy Cooley, baik atas undangan merekakepada saya untuk datang ke Brown maupun untuk komentar-komentar mereka selanjutnya yang menghasilkan bab ini.
[3]Rosaldo mengemukakan bahwa “pengetahuan relasional,” yang merupakan bentuk ekspresif bersama pada “wilayah perbatasan” antara etnografer dengan “subjek,” “seharusnya tidak hanya dilihat sebagaiwilayah-wilayah transisi yang kosong secara analitis, melainkan juga sebagai tempat-tempat kreatif produksi budaya yang perlu untuk diselidiki” (Rosaldo 1993 [1989:208).
[4]Bahkan forum-forum yang membosankan seperti pertemuan-pertemuan bisnis dapat menyelenggarakan
[5]
[6]Panduan etika atau kode etik yang diadopsi oleh berbagai masyarakan antropologi di Amerika sejak tahun 1949 dicetak bersama untuk pertama kalinya dalam Fluehr-Lobban 1991:237-69.
[7]A Arte Vocal dos Suyá (1982) diterbitkan bersama oleh Seeger dan “komunitas Suyá.”
[8]Mark Slobin menekankan bahwa persoalan-persoalan etika tidak dibicarakan secara keseluruhan dalam literatur etnomusikologi hingga tahun 1970-an, dan bahwa kesadaran etika di lapangan tetap sebatas berbentuk “janin” (Slobin 1992a:331). Kendatipun demikian, diskusi Slobin tidak
[9]
[19]Bruno Nettl
_____________________________

1

Apa itu Etnomusikologi?






Mendefinisikan etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, sebab di kalangan mereka yang menyebut dirinya sebagai etnomusikolog, terdapat perbedaan antara apa yang telah mereka lakukan, yang kini sedang dilakukan, dan apa yang menurut mereka seharusnya dilakukan. Guna tujuan-tujuan praktis, kiranya terlalu sederhana ketika mengatakan para etnomusikolog di masa lalu adalah mereka yang mempelajari musik di luar peradaban Barat, dimana sebagian kecilnya termasuk musik rakyat Eropa. Dengan demikian, para etnomusikolog bekerja dalam sebuah wilayah yang merupakan perbatasan antara musikologi secara umum dan juga antropologi budaya. Musikologi, yang didefinisikan sebagai sebuah bidang yang meliputi studi ilmiah dan objektif terhadap berbagai jenis musik dan dari berbagai pendekatan, sesungguhnya memusatkan perhatian musik peradaban urban Barat, yakni musik Eropa yang memiliki tradisi tulis. Dan ketika para musikolog konvensional bergelut juga dengan musik dari berbagai kebudayaan lain, mereka seringkali menarik diri dari bidang ini (musikologi) dan beralih menjadi etnomusikolog, dimana mereka terkadang dianggap sebagai spesialis musikologis lain, tapi mereka juga terkadang dianggap terpisah dari bidang ini namun masih memiliki keterkaitan. Para antropolog, khususnya mereka yang berkosentrasi pada studi kebudayaan, menyatakan bahwa seluruh kebudayaan di dunia adalah wilayah studi mereka; akan tetapi kenyataannya sejauh ini mereka terutuma menghabiskan waktu dan ruang dalam publikasi mereka tentang kebudayaan-kebudayaan di luar peradaban Barat. Oleh karena itu para etnomusikolog, apapun definisi mereka (dan sejumlah definisi ini didiskusikan di bawah), apa yang telah mereka kerjakan, di satu sisi, merupakan musikolog khusus yang menyelidiki musik eksostis dan, di sisi lain, merupakan antropolog yang menyelidiki musik sebagai fokusnya selain aspek-apek lain kebudayaan manusia, juga di luar peradaban Barat
Para etnomusikolog didukung oleh dua disiplin induk ini, dan pekerjaan mereka terutama berangkat dari metode-metode yang dikembangkan dalam musikologi dan antropologi budaya. Terlepas dari permasalahan dimana para sejarawan musik relatif terlambat mengakui pentingnya data etnomusikologis, peran yang dimainkan oleh etnomusikologi dalam musikologi umumnya sangat besar. Jelas, konstribusi utamanya adalah kemampuan memenuhi kebutuhan para musikolog untuk memahami semua musik, yakni, semua musik manusia dan bahkan (jika ada) fenomena musikal dalam dunia hewan. Jika memang ada, penting kiranya bahwa fenomena yang disebut terakhir, meskipun tidak termasuk dalam antropologi (yang didefinisikan sebagai studi terhadap manusia) diam-diam juga menjadi perhatian para etnomusikolog, sebab kemungkinan kebudayaan-kebudayaan eksotis dan perilaku non-manusia memiliki elemen-elemen yang sama. Satu-satunya elemen yang benar-benar umum di sini, tentu saja, keanehan dalam kaitannya dengan peradaban Barat. Pada akhir abad ke-19, para musikolog merasa perlu untuk memiliki data tentang musik dari kebudayaan-kebudayaan lain jika mereka berkeinginan untuk memahami musik sebagai sebuah fenomena yang universal. Para psikolog musik—dan sejumlah siswa yang mempelajari musik etnis pada awalnya berasal dari kelompok ini—juga merasakan pentingnya penggunaan bahan-bahan dari berbagai kebudayaan lain untuk menguatkan temuan-temuan mereka.
Akan tetapi, para musikolog di abad ke-20 lebih mengarah sebagai ahli dalam musik Barat. Para musikolog abad ke-19 kemungkinan lebih tertarik pada musik sebagai sebuah fenomena universal daripada para penerus mereka di abad ke-20, yang memandang bahwa perlu dan penting untuk berkonsentrasi pada aspek-aspek yang sangat khusus dari tradisi musik Barat. Etnomusikologi terlihat hanya memberikan sedikit kontribusi untuk penelitian yang khusus ini, namun demikian, etnomusikologi memainkan sebuah peran. Hubungan musik Barat dengan musik-musik Eropa tetangganya—musik dari Timur Dekat (Near East), dengan tradisi musik Yahudi, musik India, dll.—dan musik-musik lainnya, ikatan antara musik budaya tinggi (cultivated music) atau musik urban dengan musik-musik yang tidak memiliki budaya tulis, musik rakyat, cukup dekat pada beberapa periode dalam sejarah. Musik seni Eropa selalu bertukar materi dengan tradisi kerakyatan yang ada di wilayah geografisnya, dan berbagai pengaruh benua lain di Eropa kemungkinan menjadi lebih kuat daripada yang umumnya diakui. Untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh ini, guna mendeskripsikan berbagai gaya dan praktek musik dimana mereka bermula, metode-metode etnomusikologi adalah perangkat yang dibutuhkan. Sebagai contoh yang umum, studi mengenai asal-usul polifoni Eropa, yang dalam tradisi fine art diduga berasal dari abad-abad pertengahan, melibatkan musik-musik non-Barat yang memiliki gaya-gaya polifonik yang dapat dianalogikan atau mirip dengan yang ada di Eropa pada abad pertengahan. Studi ini juga melibatkan pengetahuan tentang berbagai gaya musik yang kemungkinan mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan, serta pengetahuan akan musik rakyat (yang ada saat itu, atau yang ada setelah masa itu) yang diduga dapat menyebabkan pertukaran berbagai gagasan dan materi-materi musikal. Banyak contoh yang mengindikasikan potensi dan tugas etnomusikologi di masa lalu terhadap studi sejarah musik budaya tinggi Barat (Western cultivated music); studi tentang polifoni abad pertengahan adalah salah satunya. Data tentang berbagai gaya musik non-Barat dan musik rakyat selalu tersedia untuk interpretasi yang tepat dari musik Barat.
Hal serupa juga dapat dilakukan untuk kebutuhan informasi musik dalam antropologi. Musik adalah salah satu dari beberapa fenomena kebudayaan yang universal, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki musik. Meskipun gaya musik di dunia amat sangat beragam, terdapat homogenitas dalam perilaku musikal sehingga identifikasi musik menjadi mungkin dan sederhana. Oleh karena itu, penting kiranya bagi seorang antropolog untuk juga mengetahui sesuatu tentang perilaku musikal dari masyarakat jika ia bermaksud untuk mengungkapkan sebuah kebudayaan tertentu secara utuh. Ini terutama ditekankan bagi kebudayaan-kebudayaan—dan sebagian besar kebudayaan—dimana musik memainkan peran yang penting dalam kosmologi, filosofi, dan kehidupan seremonial.
Musik terkadang digunakan sebagai bukti untuk teori-teori dalam antropologi. Temuan E.M. von Hornbostel tentang penalaan panpipe di Brazil yang identik dengan penalaan di sejumlah wilayah Oseania, agaknya mengindikasikan kontak budaya prasejarah antara wilayah-wilayah ini—sebuah permasalahan yang sedang dibicarakan. (Penting kiranya untuk dicatat bahwa penafsiran Hornbostel ini menjadi sesuatu yang kontroversial; akan tetapi ini tetap merupakan sebuah contoh klasik tentang data musikal dalam tugas yang dijalankan oleh etnomusikologi.)
Berbagai studi akulturasi, yakni, hasil dari kontak yang intim antara kebudayaan-kebudayaan yang bertetangga, dapat lakukan lewat studi terhadap musik (lihat Wachsmann 1961; Merriam 1955; dan Bab 8). Pengukuran statistik dalam antropologi budaya dilakukan dengan menggunakan fenomena musikal, yang lebih memudahkan untuk menghitung daripada menggunakan apspek-aspek kebudayaan lainnya, misalnya religi, organisasi sosial, dan sebagainya (lihat Merriam, 1956). Akhirnya—mungkin ini adalah alasan lain terkait asosiasi dekat musik dengan statistik dalam antropologi budaya—ada kemungkinan pembedaan antara isi musik (musical content) dan gaya musik (musical style), yakni, antara komposisi-komposisi spesifik dan berbagai karakteristik yang terdapat pada bagian-bagian dalam reperotar mereka (lihat Bab 6). Teori dan penelitian etnomusikologis sangat dipengaruhi oleh kenyataan ini. Kiranya mungkin bagi komposisi-komposisi individual, misalnya lagu-lagu, untuk berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan berubah dalam proses perpindahan tersebut, serta mungkin pula untuk berbagai ciri gaya—tipe-tipe bentuk, tangganada, ritme—untuk berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan masuk ke dalam lagu-lagu yang telah ada. Pembedaan ini, yang dapat lebih mudah dibuat dalam musik dan bentuk-bentuk seni lainnya daripada hal-hal lain dalam kebudayaan, membuat data musikal digunakan secara khusus oleh antropolog dalam menginterpretasikan fenomena budaya.
Terlihat bahwa etnomosikologi sangat dekat dengan musikologi sejarah dan antropologi budaya. Dan ketika para etnomusikolog memiliki berbagai perbedaan terkait definisi bidang dan dalam fokus mereka, kemungkinan tidak ada yang menyangkal akan pentingnya dua wilayah studi yang berkaitan ini dalam pekerjaan mereka. Peran etnomusikologi dalam dua bidang lainnya—folklor dan linguistik—juga harus disebutkan. Secara jelas, musik dalam tradisi lisan (dan ini adalah bahan mentah utama) merupakan sebuah bagian penting dari folklor, yang mencakup berbagi aspek kebudayaan yang hidup dalam tradisi lisan, dan terutama yang meliputi kratifitas artistik. Dan karena musik merupakan sebuah bentuk komunikasi yang dalam beberapa hal berkaitan dengan bahasa, bidang etnomusikologi yang mempelajari musik dunia, dapat mengkontribusikan dan masuk ke dalam bidang linguistik, yang mempelajari bahasa-bahasa dunia. Kedua disiplin ini berhubungan dekat terutama dalam mempelajari hubungan kata-kata dan musik dari lagu-lagu.


Lingkup Etnomusikologi

Guna tujuan-tujuan praktis, kita dapat mengatakan bahwa etnomusikologi bergelut terutama dengan tiga jenis musik. Karakteristik utama bidang ini dan sejarahnya kemungkinan adalah musik dari masyarakat-masyarakat non-literasi, yakni yang tidak mengembangkan sistem membaca dan menuliskan bahasa-bahasa mereka, dan, sejalan dengan itu, memiliki kehidupan yang relatif sederhana. Sachs (1962) menyanggah pandangan ini—seperti halnya sejumlah sarjana lain—karena ia meyakini ada atau tidak adanya tulisan tidak menyebabkan perbedaan besar di antara tipe-tipe kebudayaan. Masyarakat-masyarakat yang termasuk dalam kategori non-literasi meliputi Indian Amerika, Negro Afrika, Oseania, Aborigin Australia, dan berbagai suku di berbagai penjuru Asia. Kebudayaan-kebudayaan ini seringkali disebut dengan “primitif,” akan tetapi istilah ini tidak dapat benar-benar digunakan karena secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka dekat dengan tahap awal dalam sejarah manusia (dimana tidak dapat dibuktikan sejauh mana kebudayaan ini dikaitkan dengan tahapan ini) atau sangat sederhana (dimana tidak selalu benar, misalnya sejumlah kebudayaan non-literasi memiliki organisasi sosial yang sangat kompleks, ritual-ritual yang sangat rumit, seni, dan tentu saja, gaya musik dan adat-istiadat yang meliputi musik). Selanjutnya, anggota-anggota dari berbagai masyarakat non-literasi yang menguasai sebuah bahasa dunia seperti bahasa Inggris (dan individu-individu seperti ini meningkat jumlahnya) tidak menyukai ketika mereka disebut sebagai “primitif” dalam berbagai tulisan tentang mereka. Oleh karena itu istilah “primitif” secara perlahan-lahan mulai menghilang dari  literatur antropologi dan etnomusikologi. Istilah “pra-literasi” juga pernah digunakan, akan tetapi ini merugikan karena merugikan karena secara tidak langsung menyatakan sesuatu yang evolusioner, dengan rangkaian yang pasti menuju ke literasi. Istilah “tribal” (kesukuan) juga ditemui, tetapi sulit digunakan karena secara tidak langsung menyatakan  jenis struktur sosial dan politik tertentu dimana ini dimiliki oleh sebagian besar kebudayaan non-literasi, tetapi tidak seluruh kebudayaan non-literasi. Jika sebuah kebudayaan tidak memiliki organisasi tribal (kesukuan), kemungkinan musiknya dimasukkan dalam materi-materi lain yang dibicarakan, yang disebabkan karena ketiadaan tradisi tulis. Kiranya sulit untuk mendefinisikan kebudayaan-kebudayaan “tribal.” Dan oleh karena itu istilah “non-literasi,” meskipun tidak semenarik ungkapan seperti “tribal” dan “primitif,” sepertinya merupakan istilah yang paling deskriptif bagi kelompok atau masyarakat-masyarakat yang diasosiasikan sangat dekat dengan etnomusikologi.
Kategori musik kedua yang selalu dimasukkan dalam lingkup etnomusikologi adalah musik dari kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia dan Afrika Utara—Cina, Jepang, Jawa, Bali, Asia Tenggara, India, Iran, dan negara-negara yang menggunakan bahasa Arab. Ini adalah kebudayaan-kebudayaan yang memiliki musik yang mapan (cultivated music) yang dalam banyak hal dapat disamakan dengan musik dalam peradaban Barat, dicirikan dengan kompleksitas gaya yang tinggi, dengan bertumbuhnya musisi-musisi kelas profesional, serta adanya notasi dan teori musik. Kebudayaan-kebudayaan ini telah memiliki tulisan-tulisan tentang musik selama berabad-abad sehingga memungkinkan digunakannya pendekatan historis seperti yang digunakan oleh sejarawan musik Barat. Sesungguhnya tidak ada satupun dari bangsa-bangsa ini yang menggunakan notasi musik sekompleks dan seeksplisit di Barat, dan kehidupan musikal, bahkan di wilayah-wilayah urban (perkotaan) sekalipun, umumnya hidup dalam tradisi lisan dimana individu-individu mempelajari musik dengan cara mendengarkannya dan belajar tanpa menggunakan notasi tertulis. Oleh karena itu sulit kiranya untuk membuat batasan yang jelas antara musik kebudayaan-kebudayaan non-literasi dengan kebudayaan-kebudayaan tinggi oriental. Kunst menyebut yang terakhir ini sebagai “tradisional” (Kunst 1959:1), dan literatur etnomusikologis, tanpa memberikan klasifikasi yang lebih mendalam, hanya menyebut wilayah yang sangat luas ini sebagai “oriental.”
Kategori ketiga—dan ini tidak diterima oleh semua etnomusikolog—adalah musik rakyat, yang didefinisikan sebagai musik dalam tradisi lisan yang ditemui di berbagai wilayah yang didominasi oleh kebudayaan-kebudayaan tinggi. Dengan demikian tidak hanya peradaban Barat yang memiliki musik rakyat, tetapi juga bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Cina, dan lain-lain, tetapi tentu saja Barat memainkan peran yang besar dalam penelitian. Musik rakyat umumnya dibedakan dari musik masyarakat-masyarakat non-literasi karena memiliki wujud yang dekat dengan musik yang mapan (cultivated music) dimana keduanya saling bertukar materi dan musik rakyat mendapat pengaruh yang besar. Musik rakyat dibedakan dari musik yang mapan (cultivated music) atau musik urban atau musik fine art karena ketergantungannya terhadap tradisi lisan, bukannya notasi tertulis, dan, secara umum, dengan eksistensinya di luar institusi-institusi seperti gereja, sekolah, atau pemerintahan. Dan ini diterima sebagai bagian dalam etnomusikologi oleh banyak sarjana karena gaya-gayanya, meskipun berhubungan dengan musik seni Barat, tetap cukup berbeda sehingga mungkin untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang unik, manifestasi-manifestasi eksotik musik yang membentuk inti dari etnomusikologi.


Pendekatan-Pendekatan dalam Etnomusikologi

Seperti disiplin-disiplin baru pada umumnya, etnomusikologi berhadapan dengan berbagai kritik (self-criticism) dan inspeksi terhadapnya (self-inspection). Sejak tahun 1950, sejumlah artikel ditulis terkait berbagai permasalahan dalam pendefinisian lingkup etnomusikologi. Ketika tulisan-tulisan ini berkesan kontroversi, para penulisnya tidak banyak memperdebatkan tentang batas-batas luar serta apa yang menjadi penekanan dalam bidang ini; kecuali beberapa diantara mereka, sepakat tentang lingkup dari etnomusikologi. Sebagian besar dari mereka bersedia untuk memasukkan seluruh kebudayaan di dunia, termasuk peradaban Barat, tetapi mereka menaruh minat yang lebih pada musik non-Barat dan musik rakyat. Berbeda halnya dengan Jaap Kunst (1959:1), yang menekankan peran tradisi lisan sebagai ciri yang membedakan. Curt Sachs, dalam sub-judul karya generalnya tentang etnomusikologi (Sachs 1959), mengkhususkan bahwa Musik der Fremdkulturen (musik dari kebudayaan-kebudayaan asing) merupakan bahan yang dipelajari dalam apa yang tetap ia sebut sebagai vergleichende Musikwissenschaft (musikologi komparatif—istilah awal etnomusikologi). Marius Schneider (1957:1) yang berkebangsaan Jerman mengkhususkan pada musik non-Eropa, dan menekankan pentingnya pekerjaan komparatif dalam pendefinisian bidang ini. Rhodes (1956) cenderung mendukung sikap yang demikian.
Kendatipun demikian, Kolinski (1957:1-2) mengemukakan bahwa wilayah geografis bukan merupakan pendekatan umum yang membedakan bidang kita. Ia meyakini bahwa etnomusikologi telah mengembangkan sebuah sudut pandang yang dihasilkan dari studi terhadap berbagai kebudayaan yang beragam, tetapi juga dapat diterapkan pada musik seni Barat. Gagasan bahwa subjek dari bidang ini harus dibatasi secara geografis, yakni hanya dunia non-Barat, menuai berbagai keberatan dan kritik. Akan tetapi terlepas dari dukungan banyak sarjana terkait keinginan untuk memasukkan musik seni Barat, haruslah diakui bahwa seorang sarjana dapat cukup objektif hanya dengan mempelajari kebudayaan di luar milik mereka sendiri. Dengan mempelajari budayanya sendiri, ia kemungkinan akan berada dalam kondisi dimana terlalu banyak prasangka dan asosiasi-asosiasi personal untuk menjadi objektif—ini diyakini banyak etnomusikolog. Oleh karena itu diharapkan musik Barat diselidiki dalam gaya etnomusikologis oleh sarjana Afrika atau Asia, sementara para sarjana Barat dapat tetap terus mengkhususkan pada kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
Selanjutnya, Merriam (1960) menekankan perlunya penggunaan metode-metode etnomusikologis secara universal. Seeger (“Whither Ethnomusicology?”, p. 101) meyakini bahwa para sejarawan musik Barat telah merampas nama “musikologi,” yang seharusnya tetap diteruskan bagi mereka yang sekarang disebut dengan para etnomusikolog. Para sejarawan tersebut selanjutnya dianggap sebagai spesialis dalam bidang yang lebih luas, katakanlah, seusia dengan para sejarawan musik Cina. Ketika sebuah kasus digunakan untuk membenarkan pendapat ini, tidak banyak pendapat terkait penerimaannya dalam keterlibatan para sarjana. Akhirnya, Chase (1958:7) mendefinisikan etnomusikologi sebagai “studi musik manusia kontemporer” (musical study of contemporary man), termasuk orang Barat; tetapi tampaknya dalam definisi tersebut ia mengabaikan studi historis musik mapan (cultivated music) yang selalu dipelajari dalam bidang ini, serta penggunaan bukti-bukti arkeologis dalam kebudayaan-kebudayaan non-literasi.
Dalam hal penekanan, sebagian besar etnomusikolog sepakat bahwa struktur musik dan konteks budayanya sama-sama harus dipelajari, dan keduanya harus diketahui agar penyelidikan yang dilakukan memadai. Dalam penelitian yang dilakukan sebelum tahun 1930, analisis dan deskripsi musik lebih memberatkan pada pendekatan-pendekatan lain. Semenjak tahun 1950, di satu sisi, para etnomusikolog Amerika yang berlatar belakang antropologi tampak condong pada studi budaya musik secara lebih detail terhadap musik itu sendiri. (Merriam 1960:109-10) mengemukakan enam wilayah utama yang harus diperhatikan oleh mereka yang mempelajari sebuah budaya musik, selain musik itu sendiri: (1) instrumen, (2) lirik-lirik dalam lagu, (3) tipologi dan klasifikasi musik lokal, (4) peran dan status para musisi, (5) fungsi musik dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya, serta (6) musik sebagai aktifitas kreatif. Merriam juga menekankan pentingnya penelitian lapangan, yakni, kebutuhan etnomusikolog untuk mengumpulkan bahan mentah dan mengobservasinya dalam kondisi “hidup” agar mereka dapat bekerja secara efektif. Lagipula, kemungkinan tidak ada seorang pun yang membantah pentingnya penelitian lapangan. Kendatipun demikian, kira-kira sebelum tahun 1940, harus diakui bahwa sejumlah sarjana tidak mau atau tidak dapat pergi ke lapangan, dan apa yang mereka lakukan adalah pekerjaan komparatif di laboratorium. Diasumsikan juga bahwa mereka yang melakukan penelitian lapangan terkadang menghabiskan waktu di rumah untuk mengolah musik yang dikumpulkan oleh orang lain—kemungkinan umumnya para antropolog—yang dapat merekam tetapi tidak dapat menganalisis musik. “Para etnomusikolog di belakang meja” ini, senada dengan Merriam (1960:113), semakin menjadi penting. Kini, dapat dikatakan bahwa penelitian lapangan yang pokok dapat digantikan dengan pengumpulan dan studi deskriptif para sarjana di negara-negara berkembang, misalnya peneliti lapangan Amerika di Kongo dapat digantikan oleh orang Kongo yang bekerja di wilayahnya sendiri. Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa seorang etnomusikolog yang benar-benar melakukan studi lapangan akan sulit melakukan pekerjaan komparatif. Dan jika ia digantikan oleh peneliti lapangan lokal (native fieldworker), lalu apa fungsinya? Dapat dikatakan bahwa, selain penelitian lapangan, pendekatan luas dan komparatif yang dilakukan di belakang meja, merupakan sebuah kontribusi yang sangat esensial dari etnomusikologi. Senada dengan Seeger (“Whither Ethnomusicology?”, p. 104), “siapa yang akan mendalami hasilnya? Dialah Hornbostel, dengan keobjektifannya yang tinggi dan besar, dan dengan menggunakan dua teknik secara bersamaan (lapangan dan komparatif) akan memberikan kita pemahaman tentang musik umat manusia.” Pada satu sisi, beberapa orang dengan serius menolak pernyataan Merriam bahwa pemhaman utama terhadap musik tergantung pada pemahaman tentang kebudayaan masyarakat (Merriam 1964: 113).
Sejak tahun 1953, sekelompok etnomusikolog Amerika mencoba untuk mencapai pemahaman melalui apa yang dikemukakan oleh Merriam dengan menceburkan diri mereka ke dalam kebudayaan-kebudayaan asing sebagai musisi-musisi aktif. Asumsi dasar dari kelompok ini, yang dipimpin oleh Mantle Hood, dalam beberapa hal menyamakan gaya musik dari sebuah kebudayaan dengan bahasa, sehingga dengan kontak yang lama dengan sebuah budaya musik, seorang etnomusikolog dapat menjadi sepadan dengan musisi lokal. Butuh pembelajaran dan praktik untuk mempelajari bahasa kedua di luar bahasa yang dimiliki agar dapat menjadi bilingual, maka butuh waktu dan kontak yang sering dengan kebudayaan musik lain untuk menjadi bi-musikal (Hood 1960). Sejumlah etnomusikolog yang belajar dengan guru-guru lokal (native masters) menjadi cakap seperti halnya orang Siam, India, musisi-musisi Jepang. Seorang anggota dari kelompok itu menjadi seorang spesialis hanya dalam satu atau dua budaya musik asing. Pendekatan ini sangat berhasil, akan tetapi tampaknya mengesampingkan kemungkinan pendekatan komparatif yang luas, karena seorang Barat tidak lagi dapat menjadi cakap dalam berbagai budaya musik daripada ketika ia belajar untuk berbicara banyak bahasa asing secara sempurna. Konsep bi-musikalitas juga digunakan oleh apara etnomusikolog dari negara-negara non-Barat yang tujuannya tidak hanya studi objektif terhdap musik mereka, melainkan membentuk sebuah budaya musik dimana elemen-elemen Barat dan lokal dipadukan. Pendekatan ini kemungkinan dapat disebut dengan “etnomusikologi terapan,” dapat disepadankan dengan “antropologi terapan,” yang berfungsi untuk membantu kelompok-kelompok non-Barat melalui proses akulturasi dengan peradaban Barat. Sebuah pernyataan yang lebih komprehensif terkait sikap Hood diterbitkan pada tahun 1963 (Hood 1963). Di sini Hood juga mengamati sejarah etnomusikologi di Amerika.
Selanjutnya, tampak bahwa bidang etnomusikologi memiliki inti—musik dari kebudayaan-kebudayaan non-literasi, musik masyarakat-masyarakat oriental yang sedang berkembang, serta musik rakyat dari Barat dan peradaban-peradaban oriental—yang umumnya diterima sebagai bidang kompetensinya, dan ketidaksepaktan hanya ada terkait pendefinisian batas-batas luar bidang ini dan dalam penentuan apa yang menjadi fokus perhatian dan pendekatan. Kita dapat menyimpulkan kesepakatan pendapat bahwa etnomusikologi, dalam kenyataan dan dalam teori, adalah bidang studi yang mempelajari musik dunia, dengan menekankan kepada musik di luar kebudayaan peneliti, dari sudut pandang deskriptif dan komparatif. Penelitian lapangan dan analisis laboratorium, struktur musik dan latar belakang kebudayaan, perbandingan luas dan spesialisasi yang lebih sempit yang diasosiasikan dengan dikembangkannya bi-musikalitas, studi sinkronik dan diakronik—kesemuanya relevan dan penting. Dengan demikian, dalam semua pendekatan, objektifitas, penghindaran terhadap penilaian yang didasarkan pada latar belakang budaya peneliti, dan diterimanya musik sebagai sebuah bagian dari kebudayaan adalah hal-hal yang esensial.
Akhirnya, kita dapat menanyakan lagi apakah para etnomusikolog seharusnya berurusan dengan musik dari budaya tinggi Barat; dan jika ini dilakukan ini, bagaimana membedakan mereka dari sejarawan musik Barat “biasa.” Jawaban saya secara personal untuk pertanyaan pertama tidak terlalu tegas, “ya.” Pertanyaan kedua akan dijawab sebagian dalam buku ini. Secara singkat, jawabannya adalah bahwa para sejarawan musik Barat berkonsentrasi pada sejumlah aspek budaya musik, dan terkadang mereka menerimanya sebagai sesuatu yang benar. Sebuh pendekatan etnomusikologis terhadap musik Barat akan menyertakan peran musik dalam kebudayaan, berbagai permasalahan praktek pertunjukan, notasi deskriptif versus notasi pra-deskriptif, berbagai prosedur dan metode untuk mendeskripsikan musik (yang hampir tidak tersentuh dalam musik Barat). Kesulitan mempelajari kebudayaan-kebudayaan musik asing telah memaksa para etnomusikolog untuk mengembangkan metode-metode guna menjamin objektifitas dan kritis terhadap bukti. Sejarawan musik Barat, yang merupakan anggota dari kebudayaan yang dipelajarinya, tidak selalu mempersoalkan objektifitas, dan pendekatan kritik dalam publikasi-publikasi mereka sangat terasa dibandingkan dengan pendekatan ilmiah. Selanjutnya, potensi utama kontribusi terhadap studi musik Barat adalah teknik-teknik yang telah mereka kembangkan dalam studi kebudayaan-kebudayaan musik lainnya.
Berbagai Kecenderungan dalam Sejarah Etnomusikologi

Sebuah sejarah yang definitif dapat sulit dituliskan untuk sebuah bidang studi, seperti halnya etnomusikologi, dimana ini merupakan sebuh bidang yang baru dan mayoritas eksponennya masih hidup dan tetap aktif. Beberapa pengamatan singkat terkait sejarah etnomusikologi telah hadir; Sachs (1962:5-32), Kunst (1959), dan Nettl (1956:26-44) termasuk di sini. Sejarah ini sebenarnya merupakan pokok dari buku ini dan hadir dalam aspek-aspeknya yang beragam dalam tiap bab. Tugas kita adalah menyimpulkan berbagai kecenderungan ideologis dalam sejarah etnomusikologi, yang terkadang tidak mudah sebab lebih banyak sarjananya ada pada masa kini daripada masa lalu: kontribusi-kontribusi total serta sebagian besar sudut pandang mereka menjadi sulit untuk dievaluasi sebab terjadi perubahan pandangan-pandangan serta kontribusi-kon-tribusi penting mereka kemungkinan digantikan oleh kontribusi lain yang lebih signifikan. Sejumlah kecenderungan dapat dirasakan di negara-negara berbeda pada waktu yang berbeda-beda pula, dan munculnya sarjana-sarjana terkadang memicu perubahan mendadak dalam kecenderungan-kecenderungan ini karena begitu sedikit orang-orang dalam bidang studi ini. Kendatipun demikian, sejumlah tendensi tertentu telah terwujud, dan pengaruh dari berbagai disiplin telah menyebabkan terjadinya pergeseran fokus serta perhatian yang bermanfaat dalam bidang ini.
Sebagai sebuah bidang studi yang bergelut dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan non-Barat, etnomusikologi merupakan sebuah disiplin lawas; akan tetapi sebagai sebuah bidang studi dengan metode-metode modern dan peralatan serta sebuah nama, etnomusikologi relatif baru. Dalam beberapa hal keberadaan etnomusikologi dapat ditarik dari digunakannya materi musik rakyat, dan bahkan materi musik Asia, yang dinilai sangat eksotik, oleh para komposer dipenghujung Abad Pertengahan dan Renaissance. Kaum humanis dan rasionalis abad ke-18 dipastikan merupakan semangat awal ketertarikan modern terhadap berbagai aspek perilaku manusia, dan dalam hal ketertarikan seseorang akan sesuatu di luar kebudayaannya sendiri. Sejarah etnomusikologi juga tidak terlepas dari Jean Jacques Rousseau, yang menulis ensiklopedi musik terkenal yang memuat contoh-contoh musik rakyat, musik Cina, dan musik Indian Amerika, diterbitkan pertama kali pada tahun 1767. Berbagai deskripsi tentang musik oriental telah ditulis oleh para misionaris pada penghujung abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dan minat terhadapmusik rakyat Eropa cukup mencolok dalam dunia kesarjanaan di Eropa pada abad ke-18, khususnya di Inggris dan Jerman.
Kemungkinan kita dapat menganggap berbagai deskripsi tentang musik Cina oleh para misionaris Perancis (du Halde, Amiot) serta pengumpulan lagu rakyat Jerman oleh para filsuf dan filolog (seperti Herder dan Grimm bersaudara) sebagai bagian dari tradisi kultural yang sama. Meskipun kedua kelompok ini berbeda latar belakang, namun jelas bahwa keduanya dimotivasi oleh rasa perhatian terhadap nilai materi musik yang asing bagi mereka. Mengherankan kiranya mendapati para misionaris, yang tujuannya adalah menghadirkan kebudayaan dan religi Barat di Timur, melakukan hal yang sebaliknya, yakni membawa musik Oriental (Timur) ke Barat. Kecuali itu, diduga bahwa para penyair masa Romantik menaruh perhatian pada lagu-lagu dari masyarakat pedesaan. Berbagai koleksi individual seperti Herder (lihat Pulikowski 1933) dan risalah teoretis tentang folklor oleh mereka yang oleh Dorson (1955) disebut sebagai kelompok ahli folkor Inggris pertama dengan cepat menimbulkan dampak yang berarti terhadap perkembangan etnomusikologi. Akan tetapi, di satu sisi, sesungguhnya tidak begitu banyak hubungan antara para kolektor lagu rakyat pada Abad ke-19, para misionaris seperti Amiot, dan para sejarawan musik Barat yang juga mempelajari Timur, misalnya Kiesewetter, dan di sisi lain, hubungan antara para pendiri disiplin etnomusikologi.
Meskipun etnomusikologi biasanya, secara tersirat, dianggap jauh lebih muda daripada musikologi sejarah, dalam pengertian modern terkait nama mereka, dua bidang ini bermula pada dekade yang sama. Musikologi umumnya dianggap dimulai pada tahun 1855 dengan terbitnya Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft, yang dipelopori oleh Philipp Spitta, Friedrich Chrysander, dan Guido Alder. Para sarjana ini membedakan antara sejarah musik dan hal yang agaknya lebih ilmiah serta beberapa cara pendekatan saintifik terhadap musikologi, yang tidak hanya mencakup sejarah musik Barat tetapi juga berbagai aspek “musikologi sistematik”—teori musik, akustika, psikologi musik, serta studi sinkronik terhadap musik dari kebudayaan-kebudayaan non-Barat. Volume kedua Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft memuat tonggak bersejarah dalam etnomusikologi: studi yang dilakukan Carl Stumpf terhadap lagu-lagu Indian Bella Coola (Stumpf 1886), yang oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai terbitan etnomusikologis yang sesungguhnya karena ini merupakan sebuah studi gaya musik dari suatu suku dengan penekanan pada struktur tangganada dan melodi (lihat juga Bab 2).
Jaap Kunst (1959:2-3) tidak menganggap Stumpf sebagai etnomusikolog pertama yang sesungguhnya, tetapi lebih menempatkan A.J. Ellis pada posisi terhormat ini. Karya besar Ellis (Ellis 1885) tidak berselang lama dari karya Stumpf dan menunjukkan dekatnya waktu antara lahirnya musikologi sejarah dan etnomusikologi. Kunst menganggap Ellis sebagai tokoh penting karena kontribusinya dalam hal metodologi—apa yang disebut sebagai sistem cent dalam pengukuran interval ditemukan olehnya—daripada karena penyelidikan terhadap gaya musik individual atau kebudayaan. Siapapun dari sarjana ini yang dianggap sebagai pendiri bidang kita yang sesungguhnya, yang pasti bidang ini dimulai pada tahun 1880-an, yakni saat dimana musikologi sejarah juga dimulai.
Etnomusikologi tidak berkembang dari sebuah disiplin; akan tetapi, dari beberapa disiplin yang menyatu, kurang lebih pada saat yang bersamaan, namun kemungkinan tidak bersamaan pada musik berbagai kebudayaan non-Barat. Carl Stumpf kemungkinan dapat dianggap sebagai wakil dari bidang psikologi, dimana salah satu pembahasannya tentang permasalahan tesebut diterbitkan secara luas, dan baik dirinya maupun Erich M. von Hornbostel yang terkenal itu bekerja di “institut psikologi” Universitas Berlin. A.J. Ellis adalah seorang filolog dan ahli matematika. Walter Fewkes adalah seorang antropolog; sementara Frans Boaz, antropolog yang memiliki pengaruh besar terhadap para etnomusikolog Amerika, membawa metode-metode dari bidang studinya yang pertama, yakni geografi dan fisika, ke dalam bidang studinya saat ini. Para sejarawan musik Barat yang menonjol pada saat yang bersamaan dengan hadirnya terbitan-terbitan etnomusikologis pertama—Adler, Spitta, Chrysander—menaruh perhatian dan pengakuan terhadap cadang baru dari disiplin mereka, akan tetapi kontribusi dan pengaruh mereka terhadap cabang disiplin baru ini relatif kecil. Masa-masa setelah itu, dan bahkan selama tahun 1940-an dan 1950-an, para etnomusikolog yang berasal dari kalangan sejarawan musik terlihat lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari para antropolog dan ahli folklor, dan ketika bidang musik tidak lagi mengkontribusikan sarjana terhadap bidang ini, kemungkinan besar, yang ada adalah para musisi praktek atau komposer ketimbang sejarawan.
Banyaknya disiplin yang mengkontribusikan personil membuat etnomusikologi menjadi sebuah bidang studi yang hanya memiliki sedikit metodologi yang terpusat. Kita tidak dapat mengatakan bahwa satu tradisi secara tunggal membentuk metode kita. Sebuah bidang studi yang bertujuan besar, yakni untuk memahami seluruh musik di dunia dalam konteks budayanya, perlu untuk mengambil pengalaman dari berbagai bidang studi. Keragaman asal-usul kita merupakan sebuah kelebihan dan bukan kekurangan, bahkan pada saat-saat dimana keadaan ini merupakan penghalang bagi komunikasi yang jelas. Akan tetapi, pada masa awal etnomusikologi, pentingnya para sarjana yang berorientasi psikologis dan matematis memiliki konsekuensi yang luas. Secara karakteristik, apa yang diperkenalkan oleh Ellis bahwa interval-interval harus diukur secara objektif, dan penemuannya terhadap sistem cent dimana tiap jarak paruh nada (halftone) dibagi menjadi masing-masing 100 bagian yang sama (cent) mendorong deskripsi yang objektif terhadap tangganada.
Pentingnya penemuan perekaman suara terhadap perkembangan etnomusikologi tidak terperikan. Semenjak dilakukannya rekaman paling awal, mereka yang mempelajari musik non-Barat mulai menggunakan metode yang bagus ini untuk mengawetkan suara dari sebuah pertunjukan musik, sebagai cara untuk mengumpulkan bahan mentah mereka dan untuk membantu dalam analisisnya. Umumnya diyakini bahwa rekaman-rekaman pertama terhadap musik non-Barat dilakukan oleh Walter Fewkes, yang membuat silinder-silinder Edison untuk lagu-lagu Zuni dan Indian Passamaquoddy pada tahun 1889. Rekaman fonografis terhadap musik etnis dilakukan oleh pra sarjana Amerika lainnya, misalnya Frances Densmore, dan tidak lama setelah rekaman Fewkes itu dimulai, seorang pelopor berkebangsaan Jerman, yakni Carl Stumpf, juga menerbitkan sebuah hasil studi musik Indian (Stumpf 1892) yang berdasarkan atas materi-materi rekaman. Perlunya menggunakan rekaman dalam studi musik non-Barat tak pelak lagi bagi mereka yang melakukan studi tersebut. Mereka dihadapkan pada suara yang terdengar kacau-balau, yang tidak memiliki makna musikal bagi telinganya yang berorientasi musik Barat, sehingga mereka butuh berulang kali mendengarkan agar memungkinkan mereka untuk mereduksi kadar yang tidak dikenal menjadi sesuatu yang dapat diterima dalam pikirannya sebagai sebuah sistem. Dalam wilayah musik rakyat, kebutuhan berbagai studi yang berdasarkan atas rekaman tidak serta-merta menjadi umum setelah itu. Mereka yang mempelajari musik rakyat berpikiran bahwa yang dihadapi adalah jenis musik yang gayanya telah akrab dengan mereka melalui pergaulan dengan musik mapan Barat (Western cultivated music), dan karena lagu-lagu rak-yat telah ditulis dan diterbitkan dalam berbagai kumpulan selama beberapa dekade. Akan tetapi keadaan ini tidak lagi ada hingga Béla Bártok (yang notasi-notasinya, berdasarkan atas rekaman, sangat berbeda dari yang diperkenalkan dalam kumpulan-kumpulan lagu rakyat komersial) menunjukkan bahwa metode-metode etnomusikologis dalam penotasian musik menghasilkan sebuah halaman tentang musik yang terlihat cukup berbeda dari halaman-halaman dalam kumpulan-kum-pulan lagu rakyat lawas, serta mulai mempublikasikan studi-studi saintifiknya tentang musik rakyat Hungaria dan Eropa Timur lainnya, hingga lagu rakyat Eropa secara rutin mulai menjadi bagian dalam berbagi proses perekaman lapangan dan pentranskripsian.
Setelah praktek rekaman menjadi mapan pada peralihan abad ke-19, banyak individu yang bukan dari bidang musik atau tidak menaruh perhatian khusus pada musik mulai membuat rekaman-rekaman terhadap musik dalam kebudayaan-kebudayaan yang dekat dengan mereka. Menjadi jelas bahwa proses-proses kolonisasi dan pembaratan (Westernization) berbagai masyarakat cukup menimbulkan perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan musik di dunia, dan banyak gaya musik menghilang seketika. Ini juga berlaku di Eropa dan Amerika utara, dimana urbanisasi dan industrialisasi menjadi ancaman yang memungkinkan hilangnya gaya-gaya musik rakyat. Inilah yang mendorong para antropolog dan ahli folklor melakukan perekaman musik, dan karena pekerjaan perekaman ini tidak membutuhkan keahlian khusus tentang musik, sejumlah besar silinder, dan kemudian, piringan-piringan, dibuat dan diserahkan kepada para etnomusikolog, yang bekerja di laboratorium untuk kepentingan transkripsi dan analisis. Besarnya materi yang dikumpulkan tidak semuanya langsung dapat ditangani oleh para etnomusikolog, sehingga pembuatan tempat penyimpanan arsip menjadi hal yang penting.
Gagasan untuk memiliki tempat untuk penyimpanan, pengolahan, pengklasifikasian dan pembuatan katalog untuk rekaman-rekaman etnomusikologis menjadi utama dalam bidang ini dan mengarah kepada pengembangan sebuah wilayah pengetahuan dan keahlian khusus dalam etnomusikologi. Arsip, dalam sebuah pengertian, sama dengan perpustakaan dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang juga menjadi hal penting dalam penelitian.
Tempat arsip yang paling terkemuka di Eropa adalah Phonogramm archiv di Berlin, yang didirikan pada tahun 1900 oleh Carl Stumpf dan Otto Abraham terutama untuk menyimpan silinder-silinder yang dibawa oleh para etnolog Jerman. Selama beberapa dekade, lembaga arsip ini berfungsi sebagai model bagi lembaga-lembaga arsip yang didirikan di tempt-tempat lain, khususnya di Amerika Serikat, dimana seseorang yang dahulu merupakan asisten di arsip Jerman, yakni George Herzog, kemudian membangun membangun tempat seperti itu di Universitas Columbia untuk koleksi-koleksi serupa yang pada tahun 1948 dipindahkan ke Universitas Indiana. Semenjak Perang Dunia II, peran utama di kalangan lembaga-lembaga arsip dipegang oleh lembaga yang dipimpin oleh Herzog, yang dikenal dengan Archives of Folk and Primitive Music (dimana pada tahun 1954 kemudian dipimpin oleh George List), dan oleh Library of Congress’s Archive of Folk Song. Terkait sejarah berbagai lembaga arsip di Eropa, lihat terbitan-terbitan Folklore and Folk Music Archivist, serta karangan-karangan Kunst (1959), Herzog (1936), dan Hornbostel (1933). Sejarah tentang arsip adalah sesuatu yang menarik sehingga sebuah volume seluruhnya disediakan untuk permasalahan ini: kita hanya dapat menyebutkan institusi-institusi individual yang paling penting.
Sebagian besar lembaga arsip memiliki rekaman-reka-man sebagai minat mereka yang utama; berbagai informasi tentang latar belakang  (lihat Bab 3) rekaman-rekaman tersebut juga termasuk, tetapi notasi-notasi biasanya bukan merupakan bagian dari koleksi, meskipun di arsip Universitas Indiana serta Phonogrammarchiv Berlin memiliki daftar publikasi yang didasarkan atas rekaman-rekaman yang mereka miliki. Kendatipun demikian, sejumlah arsip lagu rakyat Eropa sebagian besar terdiri dari transkripsi, dan baru belakangan menambahkan rekaman-rekaman dalam koleksi mereka. Kemungkinan yang paling menonjol dari lembaga-lembaga arsip ini adalah Deutsches Volksiedarchiv di Freiburg-im-Breisgau. Di sini disimpan manuskrip-manuskrip serta rekaman berbagai versi/terjemahan lirik dan musik dari lagu-lagu rakyat Jerman. Berbagai kekurangan dari koleksi manuskrip jika dibandingkan dengan rekaman didiskusikan pada Bab 4 buku ini. Akan tetapi, arsip seperti yang ada di Freiburg memberikan keuntungan, yakni memungkinkan dilakukannya pembuatan indeks dan katalog dengan seksama karena materi yang dimiliki daripada koleksi yang hanya terdiri dari rekaman. Arsip di Freiburg memiliki sejumlah katalog dan indeks, yang memungkinkan dilakukannya identifikasi lagu-lagu sesuai tipe, tempat dikumpulkan, frase pertama nada-nadanya, nada-nada yang berkaitan dengan musik rakyat Eropa di luar Jerman, sumber-sumber tercetak, dan sebagainya. Tipe pembuatan katalog seperti ini tidak memiliki dampak yang besar pada arsip-arsip yang berkonsentrasi pada musik-musik non-Barat, akan tetapi ini meningkat menjadi salah satu aspek dalam pengarsipan etnomusikologis. Secara ringkas, kita harus menekankan bahwa perkembangan arsip telah menjadi sesuatu yang amat penting. Pada tahun 1960-an, arsip-arsip di berbagai negara, regional dalam negara besar seperti di Amerika Serikat, serta kelembagaan yang lebih sederhana benar-benar menjamur; dan salah satu tugas etnomusikologi di masa mendatang mengarah pada orientasi bagian (piece) individual dari musik, daripada—seperti yang diharapkan sejumlah kalangan—mengarah pada perilaku musikal dari berbagai kebudayaan. Dan kenyataan ini sejalan dengan latar belakang pengembangan arsip serta penekanannya terhadap pengidentifikasian dan diciptakannya berbagai pendekatan terhadap karya spesifik dari musik. Kenyataan bahwa arsip, pada satu tataran, mengabaikan konteks budaya dari musik kemungkinan merupakan sesuatu yang relatif diabaikan dari fase penting ini dalam etnomusikologi hingga belakangan ini.


Etnomusikologi di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, sejak tahun 1900 etnomusikologi telah memiliki posisi yang relatif lebih menonjol jika dibandingkan dengan di Eropa. Kami telah menyinggung kegiatan-kegiatan perekaman pertama oleh Walter Fewkes, yang belakangan menjadi direktur Bereau of American Ethnology (sebuah institusi yang selama abad ini mensponsori banyak penelitian tentang musik Indian termasuk kegiatan rekaman besar-besaran yang dilakukan Frances Densmore). Para siswa Amerika yang mempelajari kebudayaan non-Barat seketika itu mulai menyadari bahwa musik adalah sebuah aspek perilaku manusia yang benilai dalam kebudayaan apapun; akan tetapi rekan-rekan mereka dari Eropa, dengan beberapa pengecualian menunjukkan kurangnya ketertarikan terhadap musik di luar perekaman-perekaman lapangan—yang tentu saja merupakan sebuah kontribusi berharga. Di Amerika Serikat, sejumlah antropolog menjadi aktif dalam studi rekaman-rekaman, transkripsi, analisis, dan sebagainya. Dan institusi-institusi antropologis adalah salah satu yang mendukung para sarjana yang bergelut dengan musik non-Barat. Kemungkinan ini terkait dengan sikap Frans Boaz, seorang imigran Jerman yang umumnya dianggap sebagai tokoh yang memunculkan pendekatan antropologi yang berbeda di Amerika dengan penekanan pada penelitian lapangan, mendeskripsikan kebudayaan-kebudayaan secara utuh, serta perhatian dalam hal psikologi. Boas sendiri melakukan rekaman lapangan di pantai barat laut Amerika Serikat dan Kanada, serta membuat sejumlah transkripsi. Ia juga melatih sejumlah peneliti yang kemudian menjadi sarjana yang menonjol (antara lain George Herzog), dan yang kemudian fokus pada peran seni dalam karya-karya mereka. Tradisi berlatar belakang antopologis ini dalam etnomusikologi Amerika (berlawanan dengan latar belakang musikologis yang umum di Eropa) berlangsung hingga tahun 1950-an. Tentu saja pernyataan bahwa tradisi ini seharusnya tidak dilakukan secara harafiah menginikasikan adanya sebuah tendensi; banyak yang tidak demikian, dan banyak pula sarjana individual yang berada pada posisi netral. Halam hubungannya dengan para sarjana lain, etnomusikolog (senada dengan Sachs 1962:15) “berada pada posisi netral antara musikologi dan etnologi.” Akan tetapi dalam satu tataran ini menyebabkan etnomusikologi dipenuhi oleh orang-orang yang berasal dari salah satu disiplin tersebut di atas, yang kemudian menemukan berbagai hal menarik dan penting.
Para etnomusikolog Amerika yang mendekati lapangan mereka sebagai antropolog, tentu saja, seringkali masuk dari bidang musik ke dalam antropologi. Beberapa diantara mereka merupakan musisi praktek (terutama para musisi jazz) yang berkeinginan untuk mempelajari akar bidang seni mereka yang berasal dari seni rakyat dan non-Barat. Sejumlah lainnya adalah para siswa sejarah musik Barat yang mempelajari musik dari kebudayaan-kebudayaan lain karena kepentingan akademis seperti tuntutan untuk mengambil pelajaran “musikologi komparatif.” Lainnya merupakan para siswa antropologi, yang ketika mendengarkan contoh-contoh musik Afrika menjadi terdorong untuk mengeksplorasi musik eksotis lebih jauh dengan berbekal pelajaran piano yang dulu pernah mereka ikuti. Secara karakteristik, mereka adalah musisi yang ketika masa studinya memperoleh rangsangan antropologi, yang kemudian melakukan pendekatan dalam etnomusikologi sebagai seorang antropolog. Kiranya jarang seorang siswa yang mempelajari kebudayaan, sebagai siswa tingkat sarjana, sejak awal menunjukkan ketertarikan terhadap musik dan mulai mengembangkan pengetahuan tentang musik yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan etnomusikologis yang detail. Kemungkinan keahlian musik yang dibutuhkan untuk keperluan transkripsi dan analisis harus sudah dimiliki lebih dini, atau paling tidak sedikit demi sedikit dari buku yang tentunya juga membutuhkan beberapa jam latihan di laboratorium. Hingga belakangan ini, antropolog Amerika yang tidak memiliki latar belakang musik terkadang menghindari melakukan studi musik selain membuat rekaman-rekaman sederhana di lapangan. Oleh karena itu, ketika mereka melihat pentingnya musik dalam kebudayaan dan mendukung para etnomusikolog dalam lingkungan mereka, para antropolog Amerika sendiri tidak begitu aktif dalam menjelaskan perilaku musikal. Akan tetapi, ada sejumlah pengecualian yang perlu dicatat, dan ini hanya merupakan sebuah tendensi. Sejak tahun 1940-an, terdapat sejumlah upaya, terutama oleh Melville J. Herskovits, Alan P. Merriam, Richard A. Waterman, dan lain-lain, yang mendukung para antropolog yang tidak memiliki latar belakang musik untuk secara langsung mempelajari paling tidak aspek-aspek tertentu dari perilaku musikal yang tidak membutuhkan analisis musik secara teknis (lihat Merriam 1960).
Kecenderungan-kecenderungan serupa juga terlihat dalam institusi-institusi Eropa pada tahun 1950-an. Akan tetapi dalam sebagian besar kasus, para sarjana Eropa benar-benar merupakan musikolog terlatih yang belakangan beralih ke etnomusikologi dan menggali informasi antropologis yang dibutuhkan ketika mereka telah menjadi sarjana-sarjana yang matang. Sebagai sejarawan musik, mereka seringkali beralih kepada musik seni dari bangsa-bangsa Asia, meskipun mereka juga menunjukkan perhatian terhadap kebudayaan-kebudayaan non-lite-rasi. Setelah tahun 1950-an, para etnomusikolog Amerika terutama merupakan siswa yang mempelajari apa yang mereka sebut sebagai “musik primitif dan musik rakyat.”
Sejak awal tahun 1950-an, tiga kecenderungan penting telah mengubah gambaran disiplin ini. Kemungkinan yang paling jelas dari tiga kecenderungan penting ini adalah konsep bi-musikalitas sebagai sebuah cara untuk bergelut secara ilmiah dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan lain, serta melakukan pertunjukan aktif dan bahkan mengkomposisi musik dalam idiom budaya lain sebagai sebuah cara untuk mempelajari esensi gaya dan perilaku musikal budaya tersebut. Konsep yang pertama kali dikembangkan oleh Mantle Hood di University of California Los Angeles ini berdampak besar terhadap musisi-musisi di Amerika Serikat serta menyebabkan disiplin etnomusikologi mulai keluar dari jurusan-jurusan antropologi dan ditempatkan dalam jurusan-jurusan musik, dimana tindakan ini sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang sembrono. Para mahasiswa dari aliran pemikiran baru ini terjun ke lapangan tidak sebagai seorang etnografer sepenuhnya, melainkan sebagai seseorang yang akan belajar, dan para mahasiswa ini antara lain bermaksud mencari guru-guru lokal yang kompeten untuk mengajari mereka seni-seni musik yang dimiliki, seperti halnya guru-guru lokal itu mengajari murid-murid setempat. Tentu saja, pendekatan ini tampak terlalu sederhana ketika masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan yang telah memiliki cara khusus untuk membicarakan masalah musik, sebuah sistem teori musik, dan tradisi pengajaran musik. Ini umumnya ditemui dalam kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia. Para murid Mantle Hood mulai mengajar etnomusikologi di sejumlah lembaga pendidikan tinggi, sehingga musik oriental mulai memainkan peran yang lebih besar dalam etnomusikologi sejalan dengan dipraktekkannya musik-musik tersebut di Amerika. Pendekatan yang lebih tradisional, yakni yang bersifat antropologis, terus berjalan dengan pendekatan baru dalam etnomusikologi, akan tetapi para antropolog pun, misalnya David P. McAllester, sangat terpengaruh dengan gagasan bahwa pertunjukan aktif, seperti halnya observasi pasif, sangat berguna dalam mempelajari budaya musik di luar latar belakang budaya peneliti. Perlu kiranya ditambahkan bahwa ketika pendekatan dengan pertunjukan atau bi-musikalitas sangat membantu, seorang mahasiswa yang baru saja diterima sebagai musisi lokal Indian atau Jepang, sesuai dengan sifatnya, belumlah menjadi seorang etnomusikolog, karena mereka belum memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan tentang musik dunia: para mahasiswa itu baru mempersiapkan diri mereka untuk memberikan kontribusinya di waktu mendatang.
Kecenderungan kedua pada tahun 1950-an adalah meningkatnya perhatian etnomusikolog terhadap musik kontemporer dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kecenderungan untuk melihat materi yang “murni” atau “otentik”, yang belum memperoleh pengaruh dari musik Barat secara bertahap memunculkan sikap bahwa materi musik seperti inilah yang merupakan objek yang harus dipelajari, dan dugaan terkait kapan atau sejauh mana musik-musik ini terpengaruh oleh budaya-budaya musik lain, tidaklah menjadi kriteria yang tercakup dalam studi etnomusikologis, meskipun ini merupakan permasalahan penting. Ketertarikan terhadap berbagai proses pengaruh musik Barat menjadi terhambat untuk studi musik-musik non-Barat, dan, akhirnya, dalam studi etnomusikologis terhadap budaya tinggi Barat, minat ini tampak semakin meningkat. Di sini, etnomusikologi selanjutnya diikuti oleh kecenderungan antropologi Amerika, sejalan dengan berbagai pandangan bahwa metode-metode antropologis harus digunakan untuk mempelajari budaya milik antropolog sendiri, tidak hanya budaya-budaya di luar budaya antropolog. Sejak Perang Dunia II, para antropolog di Amerika Serikat mencurahkan tenaga lebih banyak untuk mengkaji budaya Amerika (lihat, misalnya, terbitan khusus American Anthropologist, vol. 57, no. 6, 1955), dan para peneliti dengan latar belakang budaya lain mulai bekerja dalam budaya mereka sendiri. Munculnya kesarjanaan musik yang demikian juga terjadi di negara-negara dengan masyarakatnya yang non-literasi sehingga memungkinkan mahasiswa etnomusikologi (di negara-negara tersebut) untuk bekerja dalam budayanya sendiri. Seperti halnya para antropolog yang menjadi bertabrakan dengan para sosiolog, sejarawan, psikolog musik, dan lain sebagainya keika mengikuti minat ini, para etnomusikolog dapat berjalan dengan saudara mereka, para sejarawan musik Barat kontemporer, psikolog musik, dan lainnya. Akan tetapi para etnomusikolog di Amerika Serikat umumnya sangat merasa bahwa berbagai metode dan pendekatan yang mereka pelajari untuk menghadapi musik di luar kebudayaan mereka akan sangat berguna ketika diaplikasikan pada musik seni Barat, dan metode-metode ini dapat mengungkap hal-hal yang umumnya tidak dapat dilakukan oleh para musikolog. Apakah ini benar tampaknya perlu dilihat kembali; akan tetapi, terutama dalam wilayah perbandingan dan berbagai studi yang melibatkan musik sebagai sebuah konsep universal, sudut pandang etnomusikolog akan berguna. Seperti halnya yang dilakukan sejumlah etnomusikolog pertama yang mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang asing bagi mereka karena keinginan untuk mencari tahu tentang perilaku musikal manusia secara umum, yang tidak dapat dilakukan dengan berangkat dari kebudayaan para etnomusikolog itu, etnomusikolog modern, yang tetap bertujuan untuk mempelajari budaya musik manusia, merasa perlu juga untuk memasukkan kebudayaan paling kompleks dalam studi mereka, bersama-sama dengan budaya-budaya non-barat dan budaya-budaya kerakyatan (folk cultures) yang secara tradisional memang merupakan bagian dari disiplin ilmu ini.
Kecenderungan ketiga adalah penyelidikan budaya musik tanpa analisis dan deskripsi gaya musik, tetapi melalui penelitian lapangan, dimana peran musik dan aktifitas musikal individual diteliti. Dampak antropologi dalam sikap ini telah disebutkan di atas. Kita seharusnya juga melihat faktor lain, bertumbuhnya industri rekaman yang tiba-tiba, sehingga tersedia rekaman-rekaman komersial dari musik non-Barat dan musik rakyat dalam jumlah besar, yang umumnya memiliki kualitas sebagai hasil penelitian yang sempurna. Salah satu dampak dari menjamurnya rekaman-rekaman ini adalah perasaan frustasi pada sebagian etnomusikolog yang harus menghabiskan berjam-jam untuk menotasikan sebuah lagu, dan perasaan bahwa mungkin untuk menganalisis bagian yang cukup berarti dari perilaku musikal tanpa perlu menggunakan notasi. Dengan demikian munculnya rekaman yang bersifat massa cenderung melemahkan jenis studi yang detail terhadap bagian-bagian individual dari musik, dan menguatkan kecenderungan, yang telah ada dalam antropologi, yakni lebih condong mendeskripsikan perilaku musikal daripada gaya musik. Ketika penekanan dilakukan pada konteks budaya dari sebuah musik, diharapkan tidak terjadi penurunan yang substansial dalam studi teknis musik itu sendiri.
Tiga kecenderungan penting pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dijelaskan di sini sangat tampak di Amerika Utara. Para etnomusikolog Eropa umumnya tetap melakukan berbagai tradisi kokoh yang dikembangkan pada tahun 1920-an; dan kontribusi-kontribusi mereka besar. Minat terhadap tipologi musik, terhadap hubungan antara musik rakyat dan musik seni, serta terhadap persebaran geografis gaya musik antara lain merupakan fokus dalam etnomusikologi Eropa semenjak Perang Dunia II. Akan tetapi sejak tahun 1955, hubungan dan saling ketergantungan antara para sarjana Eropa dan Amerika, seperti dalam hal teori dan metode, telah bertumbuh dengan mantap.


Bibliografi

Chase, Gilbert (1958). “A Dialectical Approach to Music History.” Ethnomusicology 2:1-8.
Dorson, Richard M. (1955). “The First Group of British Folklorists.” Journal of the Society of Arts 1885.
Herzog, George (1936). Research in Primitive and Folk Music in the United States: A Survey. Washington: American Council of Learned Societies, Buletin 24.
Hood, Mantle (1957). “Training and Research Methods in Ethnomusicology.” Ethnomusicology Newsletter 11:2-8.
_______ (1960). “The Challenge of Bi-Musicality.” Ethnomusicology 4:55-59.
Hornbostel, Erich M. von (1933). “Das Berliner Phoogrammarchiv.” Zetschrift für Vergleichende Musikwissenscahft 1:40-47.
Kolinski, Mieczyslaw (1957). “Ethnomusicology: Its Problem and Methods.” Ethnomusicology Newsletter 10:1-7.
Kunst, Jaap (1959). Ethnomusicology, edisi ketiga. The Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-66.
Merriam, Alan P. (1955). “The Use of Music in the Study of a Problem in Acculturation.” American Anthropologist 57:28-34.
_______ (1960). “Ethnomusicology: Discussion and Defitinion of the Field.” Ethnomusicology 4:107-114.
Merriam, Alan P., dan Linton C. Freeman  (1956). “Statistical Classification in Anthropology ….” American Anthropologist 58:464-472.
Nettl, Bruno (1956). Music in Primitive Culture. Cambridge: Harvard University Press. Bacaan yang disarankan, Bab 1.
_______ (1961). Reference Materials in Ethnomusicology. Detroit: Information Service.
Pulikowski, Julian von (1933). Geschichte des Begriffes Volkslied in Musikalischen Schrifttum. Heidelberg: C. Winter.
Rhodes, Williard (1956). “Toward a Definiton of Ethnomusicology.” American Anthropologist 58:457-463.
Sachs, Curt (1959). Vergleichende Musikwissenscahft: Musik der Fremdkulturen. Edisi Kedua. Heidelberg: Quelle und Meyer.
_______  (1962). The Wellsprings of Music. The Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-16.
Schneider, Marius (1957). “Primitive Music,” dalam Egon Wellesz, ed. Ancient and Oriental Music. London: Oxford University Press (New Oxford History of Music, Vol. I), pp. 1-82.
Seeger, Charles (1961). “Semantic, Logical and Political Considerations Bearing Upon Research in Ethnomusicology.” Ethnomusicology 5:77-81.
Stumpf, Carl (1886). “Leider der Bellakula Indianer.” Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft 8:127-144.
Wachsmann, Klaus P. (1961). “Criteria for Acculturation,” dalam International Musicological Society, Report of the 8th Congress, New York 1961. Kassel: Baerenreiter, pp. 139-149.
“Whither Ethnomusicology?” (1959). Panel Discussion. Ethnomusicology 3:99-105.












Jeff Todd Titon
_____________________________

2

Mengenal Penelitian Lapangan






Epistemologi adalah lapangan penyelidikan yang membahas asal-usul, sifat, dan batas-batas pengetahuan manusia (lihat Rorty, 1979:140). Dengan demikian, epistemologi bagi etnomusikologi adalah persoalan yang terkait dengan asal-usul, sifat, dan batas-batas pengetahuan manusia yang berhubungan dengan musik dalam kehidupan manusia. Sebuah epistemologi bagi etnomusikologi berusaha untuk menjawab dua pertanyaan mendasar: Apa yang dapat kita ketahui tentang musik, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya?
Belum lama ini, transkripsi musik merupakan ciri yang membedakan disiplin kita, bukan hanya sebatas cara yang ditempuh (Hood, 1982 [1971]; McAllester, 1989), melainkan sebuah praktek yang turun-temurun. Transkripsi mengungkapkan apa yang dapat kita ketahui tentang musik dan bagaimana kita mengetahuinya. Musik dijadikan sebagai objek, dikumpulkan, dan direkam agar dapat ditranskripsikan. Transkripsi—yakni, mendengarkan sebuah musik dan menuliskannya dalam notasi Barat—tidak hanya sebatas sebuah pekerjaan yang menuntut keahlian tetapi juga sesuatu yang “menguraikan” pengalaman agar menjadi hidup, menghilangkan dunia yang hidup, dan mentransformasikan apa yang telah berlalu (bunyi) ke dalam sebuah representasi yang dapat dianalisis secara sistematis serta kemudian dibandingkan dengan transkripsi-transkripsi lainnya untuk dapat menarik generalisasi dan menguji berbagai hipotesis yang berkaitan dengan asal-usul dan evolusi musik. Saat ini yang utama dalam etnomusikologi bukan lagi transkripsi, melainkan penelitian lapangan. Penelitian lapangan tidak lagi dilihat secara mendasar sebagai pengamatan dan pengumpulan (meskipun memang mencakup hal-hal tersebut), melainkan sebagai jalan untuk memperoleh pengalaman dan memahami musik (lihat Titon, 1992 [1984]:xvi). Penelitian lapangan yang baru membawa kita kepada pertanyaan seperti apakah membuatmusik bagi seseorang dan untuk mengetahui musik sebagai pengalaman yang hidup.
Apa yang telah dilakukan oleh sebagian besar etnomusikolog tersebut telah dilakukan dalam bidang musik sebelum diterapkan dalam etnomusikologi. Pada akhir tahun 1960-an, ketika mengawali studi formal etnomusikologi di University of Minnesota, saya menjadi bagian dari sebuah komunitas musik blues yang diketuai oleh Lazy Billy Lucas, seorang campuran Afrika Amerika yang lahir dai Arkansas dan berkarir sebagai penyanyi blues di St. Louis dan Chicago sebelum akhirnya hijrah ke Twin Cities pada awal 1960-an. Pemain harmonika bernama Mojo Buford yang bergabung dalam band milik Muddy Waters, pemain bass Jojo Wiliams, pemain gitar Sonny Boy Rogers, dan pemain piano serta penyanyi Leonard “Boby Doo” Caston juga mengunjungi apartemen milik Billy yang merupakan pusat komunitas ini, dan kami bermain musik bersama, menyantap ayam goreng sebagai menu makan malam yang disajikan Billy (ia pemasak yang hebat), meminum bir Fox Deluxe, dan kamipun berteman. Saya menjadi kenal dengan mereka, istri-istri mereka, serta kekasih-kekasih mereka, dan kami menghabiskan waktu bersama, kemudian, dalam seminar Alan Kagan tentang etnomusikologi, saya belajar tentang penelitian lapangan yang menekankan pada pengamatan terhadap orang dan pada pengumpulan data melalui wawancara-wawancara yang terstruktur, sebuah metode yang berasal dari seorang antropolog bernama Bronislaw Malinowski ketika meneliti di pulau Trobriand semasa Perang Dunia ke-I.
Ketika memikirkan rekan-rekan pemain blues, saya terhenyak, apakah saya telah melakukan penelitian lapangan dengan mereka. Kenapa tidak? Begitulah pikiran saya, dan saya melanjutkan mewawancarai Bill untuk sebuah proyek kelas. Tentu saja, saya telah “mengobservasi” Bill dalam waktu yang lama (dan sebaliknya). Saya tidak mengalami kesulitan berbicara dengan mereka terkait kehidupan dan karir mereka, terutama karena mereka merasa bahwa hal ini akan menghasilkan sesuatu, misalnya yang akhirnya menyebabkan sekelompok penggemar blues asal Perancis memproduksi dua rekaman LP untuk musik Bill (Titon, 1969; Lucas, 1971, 1972). Dalam wawancara-wawancara tersebut, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti dimana mereka lahir, pekerjaan apa yang digeluti oleh keluarga mereka, kapan mereka pertama kali belajar musik, bagaimana perkembangan karir musik mereka, dan lain sebagainya; dan mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Saya mengungkap sejarah lisan dan berkeinginan untuk menemukan berbagai fakta dalam kehidupan mereka. Istilahnya, saya sedang mengumpulkan data. Hasilnya, hubungan saya dengan mereka bertambah satu dimensi lagi; saya menjadi seseorang yang mungkin dapat mempromosikan mereka, menolong mereka dalam karirnya, hingga hanya sebatas seorang anak muda diantara orang-orang tua dan mencoba belajar musik dari mereka. Disamping persahabatan, kini saya dan mereka menjadi lebih saling mengenal.
Dalam penelitian lapangan yang saya lakukan, saya diarahkan untuk merasakan berbagai hubungan yang terbentuk, tidak hanya sebatas mengamati dan mengumpulkan. Selanjutnya, saya juga menyadari bahwa wawancara terstruktur tidak selalu berguna untuk memperoleh pemahaman yang terbaik. Penyanyi sekaligus pemain gitar blues Son House datang ke Twin Cities untuk mengadakan sebuah konser, dan saya memperoleh waktu selama satu jam bersamanya lengkap dengan sebuah alat rekam. Saya menyiapkan pertanyaan-pertanyaan, tetapi saya memutuskan untuk memulai dengan memutarkan sebuah rekaman blues dari tahun 1920 yang dimainkan oleh rekannya, Charley Patton, dan berharap memperoleh bantuan darinya guna menguraikan lirik-lirik lagu Patton (House kemudian mengatakan bahwa anda bisa berjongkok dan tidak akan pernah paham sepatah katapun yang ia nyanyikan). House mendengarkan tape, dan saya bersiap untuk mulai melontarkan berbagai pertanyaan, tetapi sebelum saya sempat melakukannya, ia mulai berbicara dan mengenang “Papa Charley” dan masa-masa itu. Saya menjadi lupa dengan pertanyaan-pertanyaan saya dan mendengarkan saja apa yang ingin ia ungkapkan. Ia menceritakan sebuah kisah panjang dan terperinci tentang bagaimana ia “memperoleh agama” ketika tinggal di delta sungai Mississippi. Ia juga berbicara tentang masa-masa lalu, tentang wiskhey buruk yang mereka buat dan minum, serta menceritakan juga sebuah kisah ketika ia dipenjara selama satu malam karena ia tidak memberi jalan kepada sebuah bus besar yang akan mendahuluinya ketika sedang mengemudi pulang dalam keadaan mabuk. Ia menceritakan kepada saya bagaimana tuan tanahnya yang berkulit putih memohon kepada sheriff dan hakim untuk membebaskannya, meskipun biaya pembebasan dari sang majikannya itu kemudian dialihkan menjadi hutang dalam pembagian hasil panen. Ketika mengisahkan cerita itu ia memainkan peran bos dan sheriff. Boss (House berbisik-bisik): “Biarkan dia keluar dari sini, ia bekerja sangat baik dengan traktornya. Saya membutuhkannya pada Senin pagi.” Hakim (House berbisik): “Baiklah, kami akan memberi tahu bahwa ia harus membayar sejumlah denda.” House (suara normal): “Lihat, itulah cara mereka bersepakat satu dengan yang lainnya” (Titon, 1976).
Saya larut dan terus duduk mendengarkan, ingin mengetahui lebih banyak lagi. Ketika House berhenti menceritakan kisah hidupnya, saya mengarahkan/mengendalikannya melalui serangkaian pertanyaan sejarah oral, berharap untuk mendapatkan lebih banyak lagi cerita; akan tetapi kini ketika saya mengendalikan percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan, House merasa tidak bebas lagi. Dan setelah dimulainya proses panjang dimana saya merenungkan jenis-jenis pengetahuan yang berbeda muncul dari wawancara terstruktur yang merupakan bagian dari penelitian lapangan kuno, versus kisah-kisah kehidupan yang diceritakan untuk mempengaruhi pendengar atau teman dalam sebuah situasi “kehidupan nyata”, yang selanjutnya tidak dapat dijabarkan sebagai penelitian lapangan, dimana teks-teksnya saya yakin akan menjadi bernilai, bukanlah sebagai sebuah bentuk pengumpulan data, melainkan sesuatu untuk mencapai pemahaman (Titon, 1980).
Sejak abad ke-19, filsafat di benua Eropa umumnya membedakan dua jenis pengetahuan: penjelasan dan pemahaman (Dallmayr & McCarthy, 1977). Eksplorasi merupakan khas dari ilmu-ilmu sains, dan pemahaman identik dengan ilmu humaniora. Kita akrab dengan metode saintifik untuk menarik kesimpulan, hipotesis dan eksperimen; penjelasan-penjelasan saintifik dalam bentuk terkuatnya mengekspresikan sebagai hukum-hukum alam yang universal, misalnya hukum gravitasi. Penjelasan memberikan jenis pengetahuan yang memungkinkan dilakukannya prediksi dan kontrol (Carnap, 1966). Di sisi lain, pemahaman menghadirkan sebuah jenis pengetahuan yang berbeda. Jika penjelasan diarahkan kepada objek-objek, pemahaman ditujukan kepada orang-orang. Jika penjelasan diarahkan kepada hukum, pemahaman diarahkan pada kesepakatan (agreement), terkadang, meskipun tidak selalu, melalui pengalaman (Gadamer, 1992 [1975]; Schutz, 1962). Penjelasan diperoleh melalui analisis pema-haman diperoleh melalui interpretasi. Penjelasan adalah suatu jenis “pengetahuan-bahwa” (knowledge-that), sementara pemahaman adalah sebuah bentuk “pengetahuan-dari” (knowledge-of). “Pengetahuan-bahwa” secara khusus terkait dengan para filsuf Amerika dan Inggris penganut positivis abad ini, karena dalam pandangan mereka, semua pengetahuan-proposisi yang bermakna dapat diungkapkan dalam bentuk proposional seperti “saya mengetahui bahwa …” (tentu saja, tidak semua proposisi pengetahuan-bahwa” bermakna dalam sebuah arti positivis). “Pengetahuan-dari” pemahaman, di sisi lain, lebih karakteristik dari pandangan terdahulu: Pengetahuan dari berbagai subjek, diungkapkan dalam pernyataan seperti ”saya mengetahui teman saya yang bernama William” atau “ia mengetahui pekerjaan pipa” atau “kamu mengetahui etnomusikologi” (Rorty, 1979: 141).
Sebagian besar tulisan tentang etnomusikologi sebagai disiplin akademis cenderung menjelaskan berbagai teori ilmu dimana musik dianggap sebagai suatu jenis bahasa (lihat, misalnya, Nettl, 1964; Hood, 1982 [1971]; Kunst, 1959; Myers, 1992). Etnomusikologi disebut-sebut diawali pada tahun 1880-an ketika bidang ini menjadi sebuah proyek saintifik. Pada saat itu, bidang ini tidak disebut sebagai etnomusikologi, melainkan musikologi komparatif, merefleksikan hubungan dekat dengan berbagai disiplin serupa seperti filologi (linguistik komparatif). Sosok yang umumnya dianggap sebagai pendiri etnomusikologi adalah Alexander Ellis, yang mengadakan pengukuran terhadap interval-interval musik dalam musik-musik non-Barat yang telah dipilih. Umumnya orang Eropa berpikiran bahwa musik-musik ini sedikit banyak “sumbang” (out of tune) Ellis, menunjukkan tradisi terbaik etnomusikologi yakni relativisme, dengan hipotesisnya yang lain: bahwa berbagai modus dan tangganada dari bangsa-bangsa lain memiliki polanya sendiri, berbeda dengan yang ada di Eropa Barat, tetapi berhubungan dengan ketentuan-ketentuan mereka sendiri. Pengukuran interval-interval memperkuat hipotesisnya. Signifikannya, Ellis adalah seorang yang cacat nada, dan melibatkan seorang asisten untuk melakukan pengukuran. Artinya, Ellis tidak memperoleh pengalaman tentang interval-interval musik dan mengandalkan peralatan di luar dirinya untuk melakukan hal tersebut.
Aplikasi penjelasan teori ilmu pengetahuan yang paling jelas bagi etnomusikologi datang melalui teori-teori musik berbasis linguistik. Baik musikologi komparatif maupun folklore musik mengandalkan filologi (linguistik komparatif) untuk metode-metode mereka. Pada abad ini linguistik berubah, tetapi apakah dalam musikologi sistematis Charles Seeger, entnomusikologi transformasional John Blacking, rekan-rekan etnomusikologibkognitf kita di Eropa, atau semiotika entnomusikologi Jean-Jaques Nattiez, gagasan bahwa musik diperlukan dan harus dipelajari sebagai sistim seperti bahasa sangat berpengaruh dalam membentuk disiplin kita, sesuatu yang mempengaruhi karya-karya tulisan saya dan yang lain. Sebagai sebuah paradigma, etnomusikologi memperoleh pengaruh besar dari antropologi—bagaimana pun juga, Society for Ethnomusicology mulanya direncanakan dalam pertemuan American Anthropological Association—dan antropologi linguistik salah satu dari empat bidang Antropologi Tradisional di Amerika. (Arkeologi, Antropologi fisik, Antropologi budaya, dan diluar ketiga bidangnya)
Di sisi lain, teori-teori ilmu yang lebih berdasar atas pemahaman dari pada penjelasan, mendapati pembela mereka yang tidak begitu besar artinya dalam tradisi filsafat, yakni diawali oleh Dilthey dan termasuk pula Husserl, Sartre, Heidegger, Schutz, Merleau-Ponty, Gadamer, dan Ricoeur. Tradisi ini, sebuah alternatife baik bagi positivism Anglo-Amerika maupun strukturalisme Eropa, terutama meliputi dua jenis aktifitas: fenomenologi dan hermeneutika. Fenomenologi menekankan pada kesegaran, konkrit, dunia yang ditangkap oleh panca indra, dan berusaha untuk menjadi dasar pengetahuan dalam dunia pengalaman. (lihat Ihde, 1986 [1977]). Hermeneutika berasal dari sebuah cara menginterpretasikan kitab suci, tetapi kemudian menjadi sebuah metode untuk menginterpretasikan teks secara umum. Beberapa tahun belakangan, Paul Ricoeur berupaya mengintergrasikan dua hal tersebut—fenemologi dan hermeneutika—menjadi apa yang disebutnya sebgai hermeneutika fenomenologi. Bagi Ricoeur, tindakan apapun yang memiliki tujuan dapat dianggap atau dibaca sebagai sebuah teks, dengan demikian, sebuah pertunjukan, misalnya, dapat dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan teks (1981b). Glifford Geertz menggunakan formulasi ini, menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan “sebuah kumpulan teks”, dan karya-karya yang dihasilkan yang berpengaruh besar terhadap etnomusikologi Amerika lima belas tahun yang lalu dan seterusnya. Meskipun banyak karya saya sejak tahun 1980-an bersarkan hermeneutika fenomenologi, kini saya menjadi lebih kritis dengan kecendrungan poststrukturalis untuk mengtekstualisasikan segala hasil termasuk pengalam musik, dan saya telah mengemukakan bahwakita telah menetang Ricoeur, bahwa berbagai tindakan berarti yang dialami seperti musik misalnya, tidak dibaca sebagai teks (Titon, 1995). Dengan kata lain, saya menyarankan bahwa kita merubah metafora yang kita gunakan untuk melakukan interpretasi. Dunia tidak seperti sebuah teks untuk dibaca, tetapi untuk dialami seperti halnya pertunjukan musik. Saya akan menyisakan ini  sebagai karangan mendatang.
Etnomusikologi, dalam pandangan saya, empat paradigma, atau seperangkat asumsi dasar pada abad belakangan, dimana musikologi komperatif adalah paradigma yang pertama. Paradigma yang kedua, dalam bahasa Inggris, dikenal dengan folklor musik. Ini secara khusus meliputi pengumpulan, pentraskripsian, analisis, dan membandingkan, ditambah dengan sebuah ideologi nasional, sebuah etnografi yang menekankan pada survei konteks sosial, sebuah dimensi etis yang meliputi pelestarian gagasan musik untuk menjadi tradisional berkembangnya di dunia luar, serta sebuah aspek edukasi dimana musik menjadi bagian kurikulum sekolah umum dan juga ditawarkan bagi kalangan dewasa. Pengumpulan, pengklasifikasian, dan karya-karya analitis Bela Bartok dan Constantin Braiiloion mewakili folklor musik.
Paradigma ketiga adalah etnomusikologi itu sendiri, yang diasosiasikan dengan kelahiran Society for Ethnomusicology pada tahun 1950-an, yang didukung oleh American Anthropology, dengan menitikberatkan pada penelitian lapangan dan masuk ke dalam kebudayaan, tidak hanya sebatas survei; selain itu, para etnomusikolog cenderung tidak mempercayai generalisasi komparatif yang luas dan justru menghasilkan monograf yang didasarkan atas studi-studi terperinci dari kebudayaan-kebudayaan musik tertentu. Para etnomusikolog juga tidak mempercayai nasionalisme, menolaknya karena merupakan bentuk etnosentrisme, dan mereka tidak menekankan pada pelestarian; agaknya, fokus mereka adalah alkulturasi dan perubahan. Para etnomusikolog juga tidak mendapat antusiasme yang banyak dari pendidikan di sekolah-sekolah umum, mereka berpikir bahwa mereka adalah sarjana (belakangan Alan Merriam menggunakan untuk membukakan rekan-rekan musik dunianya dalam pendidikan musik sebagai musikologi bak-pasir) .” Sudut pandang penduduk asli” adalah
Benih untuk fase keempat kita, yang hingga kini belum dinamai, ditebarkan oleh para etnomusikolog yang membawa para seniman-seniman asli ke universitas-universitas di Amerika untuk mengajar ansambel-ansambel non-Barat bagi para mahasiswa sehingga mereka dapat memperoleh pengalaman musikal yang mendalam. Saya menyebut paradigm baru ini sebagai studi tentang orang-orang yang bermusik (the study of people making music) (Titon, 1989, 1992 [1984]), akan tetapi mungkin juga disebut dengan studi tentang orang-orang yang memiliki pengalaman musik (the study of people experiencing music). Selain itu, ketika dicermati kembali, jelas bahwa paradigma keempat ini berasal dari sebuah generasi yang ditransformasikan oleh berbagai politik pada tahun 1960-an; pergerakan kaum wanita, gerakan perdamaian, serta pergerakan hak-hak rakyat. Karena keadaan yang demikian terus saja muncul, fase keempat ini menjadi sulit untuk dideskripsikan secara sistematis, tetapi sejumlah konsekuensinya tampak jelas. Penitikberatan yang lebih condong pada pemahaman (daripada terhadap penjelasan) pengalaman tentang orang-orang yang menciptakan musik (termasuk kita sendiri) merupakan puncaknya. Perhatian lainnya meliputi refleksifitas dan sebuah peningkatan dalam representasi naratif yang deskriptif, interpretif, dan evokatif (lihat, misalnya, Kisliuk, 1991); berbagi wewenang dan kewenangan dengan “para informan” (yang kini dianggap sebagai guru, konsultan, teman, dan sebagainya) (lihat von Rosen, 1992; Guilbault, 1993); sebuah perhatian terkait sejarah dan dengan berbagai persoalan kekuatan hubungan-hubungan (relationships), etika-etika, identitas, dan keyakinan; sebuah pendekatan dekonstruktif terhadap berbagai konsep batas seperti ras dan etnisitas; perhatian yang dekat terhadap bagaimana kelas dan gender terdapat dalam berbagai budaya musik; skeptisisme terhadap budaya ilmu pengetahuan dan keterkaitan dengan kaum feminis dan berbagai perspektif dunia ketiga; kesediaan untuk menjelajahi berbagai media, seperti museum, festival, film, video, serta hiperteks, untuk menggambarkan orang-orang yang membuat musik; dan kleterlibatan aktif sebagai penasihat musik dan budaya yang mencoba untuk membantu orang-orang dalam berbagai budaya-musik yang telah bekerja dengan kita agar memperoleh penghidupan yang lebih baik sehingga musik mereka dapat berkembang (Sheehy, 1992). Semua penekanan ini terimplikasi dalam “penelitian lapangan baru” dan umumnya muncul akibat perhatian terhadap hubungan manusia daripada sekedar pengumpulan informasi. penelitian lapangan yang baru tidak meninggalkan bunyi-bunyi musik serta berbagai struktur musik, hanya kini memposisikan hal-hal tersebut sebagai “teks” (subjek interpretasi) dalam sebuah lingkarang hermeneutik (Ricoeur, 1981a). Bunyi musik tetap didokumentasikan, dan jika struktur musik merupakan sebuah aspek penting dari pengalaman musik, seperti yang seringkali terjadi, maka hal tersebut perlu dianalisis dan diinter-pretasikan sebagai bagian matrix makna. Pelaku penelitian lapangan baru juga tidak meninggalkan dokumentasi; dokumentasi justru meningkat. Akan tetapi doku-mentasi juga diposisikan ulang, dan kini dilihat secara refleksif sebagaib sebuah hasil intersubjektif daripada sekedar laporan dan analisis tentang sesuatu yang disaksikan.
Jika kita memperluas sejarah disiplin kita untuk mencakup tipe-pemahaman berbagai teori, maka pasti kita juga akan menyertakan tulisan-tulisan para penjelajah dunia dan misionaris-misionari pertama di dunia yang memahami musik penduduk asli yang terbentuk dari perjumpaan dengan musik tersebut. Jean de Lery, misalnya, seorang misionaris abad ke-19, mengisahkan dalam sebuah tulisan bagaimana “hatinya tertarik” oleh musik penduduk asli Amerika, dan ia menulis kisahnya ini dengan penekanan ke arah pengalaman (Harrison, 1973). Dalam peninjauan kembali sejarah, kita akan menekankan “bimusikalitas” (Hood, 1963, 1982 [1971]), dan mempertimbangkan sifat pengetahuan yang muncul dari berbagai hubungan manusia melalui penelitian lapangan. Karya awal David McAllester tentang suku Navajo dan berbagai nilai budaya akan sangat penting (1973 [1954]; lihat juga Mitchell, 1978), dan berbagai artikel Kenneth Gourlay tentang penelitian etnomusikologis menjadi pernyataan-pernyataan teoretis awal yang pokok (1978; 1982).
Pendekatan kita, apakah kita lebih menyukai penjelasan atau pemahaman, jelas akan tergantung pada pikiran kita tentang apa itu musik. Dalam pandangan saya, musik adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, merupakan fenomena budaya. Berbagai konstruksi budaya yang beragam memungkinkan orang-orang untuk mengalami musik sebagai bunyi-bunyi yang terpola, objek-objek estetis, unsur ritual, bahkan sebagai sesuatu dalam wujudnya sendiri. Akan tetapi untuk mengatakan bahwa musik merupakan sebuah fenomena yang dikonstruksi secara kultural tidak berarti bahwa musik tidak memiliki eksistensi di dunia, seperti yang umumnya diketahui, saya mengalami dunia saya melalui kesadaran saya, dan saya mengalami musik sebagai sebuah bagian dari dunia kehidupan saya.
Pada bagian tulisan ini selanjutnya, saya mengajukan jawaban-jawaban fenomenologis dan refleksif untuk pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dapat kita ketahui tentang musik, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya. Saya memulai dengan menguji pengalaman-pengalaman musik seperti yang ada dalam kesadaran saya. Saya melanjutkan dengan menguji pengalaman-pengalaman penelitian lapangan. Akhirnya, saya mendiskusikan sejumlah strategi interaktif untuk menghadirkan pengalaman-pengalaman ini sehingga dapat memperluas pemahaman kita tentang musik. Tentu saja, tidak ada fenomenologi tunggal. Fenomena transendental Husserl secara signifikan berbeda dari fenomenologi eksistensial Heidegger, yang berbeda dari hermeneutik fenomenologi Ricoeur. Namun demikian, mereka mendukung sebuah tradisi dan memikliki asumsi-asumsi umum dan penekanan tertentu. Selanjutnya, saya akan menarik kesimpulan tanpa berusaha merepresentasikan berbagai versi tunggal fenomenologi dari tradisi ini. Tentu saja, saya tidak menemui versi tunggal apapun dari hal tersebut yang memuaskan secara keseluruhan.
“Fenomenologi menuntut fenomena diselidiki sebagai sesuatu yang muncul menjadi kesadaran” (Stewart & Mickunas, 1990: 91) Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu: dalam hal ini, kesadaran musik. Bagaimana saya menyadari musik? Bagaimana saya ada “di dunia” ketika kesadaran saya adalah kesa-daran musik? Pertama, tentu saja, musik merupakan sebuah pengalaman dari musik tersebut, dan hal ini dimediasi secara kultural; jelasnya, pengalaman saya tentang musik berbeda dengan orang lain yang berasal dari kebudayaan lain, bukan orang lain dalam kebudayaan saya sendiri. Dan saya mengalami berbagai musik yang berbeda sepanjang hidup. Tetapi untuk saat ini, saya akan menyertakan kesadaran terkini tentang musik, baik secara general maupun dalam kasus tertentu.
Saya mengambil manusia menciptakan musik (people making music) sebagai pardigma kasus musik “ada di dunia” (being-in-the-world). Bagi saya, menciptakan musik belumlah lengkap ketika saya melakukannya seorang diri; akan menjadi kompleks ketika dalam sebuah kelompok, saya menciptakan musik dengan orang lain. Anda mungkin atau mungkin tidak merasakan hal yang sama. Tapi saya akan mengambil penciptaan musik yang dilakukan oleh orang lain sebagai kasus dalam paradigma saya. Saya memilih kuartet string, gamelan, dan sebuah band blues, serta musik tua dari gereja Baptis Reguler, atau sebuah ansambel genderang dari Ghana, tetapi untuk melakukan pengujian, saya memilih penciptaan musik dalam band string lawas, dengan biola, banjo, dan gitar—sebuah puncak pengalman yang saya cari dan saya temui secara sadar.
Saya menjelaskan pengalaman ini secara fenomenologis. Keinginan mendorong saya untuk menciptakan musik. Keinginan ini merupakan sebuah kemunculan yang efektif, sisa dari kesenangan yang muncul dari pengalaman-penga-laman saya yang terdahulu dengan musik dan tari yang membuat saya mencari tahu mengapa hal itu merupakan sesuatu yang lebih baik. Adalah sebuah keunikan ketika keduanya melebur menjadi satu: sebuah keunikan yang melebur. Mengetahui orang-orang menciptakan musik diawali dengan pengalaman musik saya. Ketika memainkan biola, banjo, atau gitar dengan orang lain, saya men-dengar-kan musik; saya merasakan musik itu hadir; saya bergerak, secara internal; saya bergerak, secara eksternal. Selanjutnya, musik menguasai diri saya. Saya merasa musik merupakan sebuah kekuatan yang berpengaruh dalam diri saya. Berkaitan dengan hal ini, saya berbicara seperti halnya para fenemenolog, yang menyebutnya sebagai “sikap yang wajar” (natural attitude), cara sehari-hari yang normal di dunia, bukan sebuah cara analitis melainkan sebuah cara untuk menya-darkan diri sendiri. Saya merasa bahwa musik memasuki diri saya dan menggerakkannya. Dan kini musik menjadi bertambah keras, membesar hingga hal-hal yang lain seolah adalah hal-hal yang tidak mungkin, semuanya mati. Tubuh saya sendiri pun menghilang. Tidak ada analisis; tidak ada lagi kesadaran diri. Matinya hal-hal tersebut merupakan reduksi fenomenologis, yang disebut oleh Husserl sebagai epoche. Ini merupakan sebuah bentuk suspensi yang radikal. Saya tidak lagi merasa terpisah; melainkan, saya merasa diri sama menjadi “musik yang ada di dunia.” Sesungguhnya musik membalikkan hasrat kepada diri saya sendiri. Artinya, memiliki hasrat membawa saya kepada diri saya sendiri, menghadirkan kembali kesadaran diri saya. “Saya” yang kembali; saya menyadari kembali diri saya, saya melihat bahwa saya bersama mereka yang lain musik, musik yang saya dengar.
Ketika saya melihat diri saya dan orang-orang lain menciptakan musik yang saya dengar itu, saya ingin mengetahui orang-orang lain yang juga ada di situ. Bagi kami, untuk memahami orang lain kita harus mengetahui orang lain tersebut. Bagaimana kita bisa mengetahui orang lain? Siapakah anda? Jika anda menjadi objek, saya akan mendatangi anda seperti objek-objek lain yang sudah saya ketahui. Akan tetapi, anda adalah seseorang yang menciptakan musik, dan saya mendatangi anda sebagai seseorang (lihat Code, 1991: 37). Kita mencari tahu orang lain melalui pengalaman. Melalui hal-hal yang umum, misalnya pengala-man intersubjektif, kita memasuki dunia interpretasi. Interpretasi beralih dari bunyi menjadi musik, dari sesuatu menjadi sesuatu yang bermakna.
Ketika kesadaran saya dipenuhi oleh musik, saya berada di dalam dunia musikal. Pikiran saya yang berpengalaman mengatakan bahwa saya “berada dalam dunia” musik ketika saya membuat musik, mendengarkan musik, dan bergerak karena musik yang memenuhi diri saya. Saya menyebutnya sebagai menjadi musikal, dan ini merupakan sebuah model yang menghadirkan diri saya sebagai sesuatu yang berbeda dari biasanya, berbagai bentuk pengalaman sehari-hari, dari bentuk pengalaman diri saya yang sadar, dan dari bentuk pengalaman saya yang dibuat menjadi objektif.
Saya memberikan dasar untuk mengetahui musik—yakni, pengetahuan tentang musik—dalam menjadi musikal. Dengan kata lain, saya melihat sebuah epistemologi musik yang didasari oleh sebuah pemisahan dan cara objektifikasi “menjadi ada di dunia,” tidak juga dalam cara yang refleksif, cara berada di dunia yang penuh kesadaran diri, tidak pula yang disebut oleh para fenomenolog sebagai “perilaku alami” atau cara berada di dunia sehari-harinya. Akan tetapi, saya berpikir bahwa menjadi musikal merupakan ontologi khsus dan bahwa untuk mengetahui musik kita perlu memulai dari menjadi musikal.
Dengan kata lain, saya menggiatkan pengetahuan musik dalam praktek musik, bukan dalam praktek ilmu pengetahuan, atau linguistik, atau analisis introspektif. Dalam kasus paradigma saya terkait masuk ke dalam dunia musikal, saya membatasi secara sosial dengan orang-orang lain yang menciptakan musik dan ketika musik dihadirkan secara penuh ke dalam kesadaran saya, yakni musik dari kelompok tersebut secara utuh, bukan musik “saya” yang sederhana, meski-pun pada saat puncak saya dapat merasakannya jika semua hal ini datang kepada saya.
Hal ini membawa kita kepada pengalaman ketika melakukan penelitian lapangan, yang untuk hal ini juga merupakan sebuah pengalaman diri sendiri dengan orang lain. Bagi banyak etnomusikolog, penelitian lapangan merupakan sesuatu yang intersub-jektif dan transformatif secara personal. Seperti banyak kolega saya yang lain, saya mengalami penelitian lapangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan transkripsi, analisis, interpretasi, dan representasi, meskipun hal-hal ini adalah sesuatu yang pasti dalam penelitian lapangan itu sendiri, melainkan merupakan sebuah kesempatan refleksif dan sebuah dialog yang sedang berlangsung dengan teman-teman saya dimana, antara lain, mengulangi “pekerjaan” saya secara terus-menerus sebagai pekerjaan “kami” (lihat juga von Rosen, 1993; Hutchinson, 1993). Terkait resiko dari ketidaksopanan, saya mengajukan sebuah contoh terkini: sebuah surat dari seorang teman lama di Gereja Baptis Reguler yang mengatakan, “Terima kasih atas cara yang anda berikan kepada kami untuk melihat diri kami sendiri” (Elwood Cornett, surat kepada Jeff Todd Titon, 18 Agustus, 1993). Dan sebaliknya saya juga berterima kasih kepada mereka. Berbagai pengalaman penelitian lapangan saya biasanya benar-benar hidup; saya menjadi benar-benar sadar dengan berbagai peran yang saya miliki, serta identitas-identitas; saya merasakan kasih sayang, persahabatan, dan kegelisahan. Tentu saja, sebagian besar wujud dari pengetahuan etnomusikologis, tidak termasuk ekspresi dari pengalaman penelitian lapangan, tetapi sebuah pendekatan fenomenologis terhadap berbagai perwujudan menuntut pencakupannya dan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang dijalankannya.
Sebuah pandangan refleksif terhadap berbagai tipe hubungan dalam penelitian lapangan mengungkap bhwa para pelaku penelitian lapangan, dan mereka yang menjadi sasaran penelitian lapangan, membawa identitas-identitas ke dalam sebuah pertemuan dan memainkan berbagai peran (Titon, 1985). Dengan memainkan peran, saya tidak bermaksud untuk mengungkapkan secara tidak langsung tentang ketidakaslian, akan tetapi lebih untuk menggunakan konsep seperti yang dikembangkan olh sorang sosiolog bernama Erving Goffman, untuk menunjukkan bagaimana orang-orang berperilaku secara sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia postkolonial, ketika melakukan pengumpulan semata dianggap sbagai sesuatu yang sifatnya skploitatif, dan ketika sejumlah orang tidak bersikap koopertif ketika dikunjungi oleh para etnomusikolog, adalah naif jika kita berpikir bahwa hubungan yang ideal di lapa-ngan selalu berujung pada ikatan pertemanan. Terkadang sebuah hubungan yang bersifat kontrak, baik secara eksplisit maupun eksplisit, dimana orang membantu orang lain adalah sesuatu yang lebih efektif. Terkadang perpaduan antara pertemanan dan kontrak diam-diam adalah bentuk yang paling efektif. Dalam peran lain yang lebih sering pada penelitian lapangan baru, para etnomusikolog menjadi siswa dan “informan” menjadi guru atau orang tua yang bijaksana. Peran yang jarang dan tidak biasa meliputi perlawanan, kecurangan, kebohongan, dan memata-matai—hal yang tidak etis di bawah berbagai keadaan, tapi menjadi rasional ketika didasari oleh pemahaman bahwa budaya musik  harus dipahami dan kemudian diungkap merupakan hal yang haram dan merusak (lihat Pillay, 1994; Kings-bury, 1988).
Sebuah epistemologi fenomenologis muncul dari pengalaman-pengala-man musik dan penelitian lapangan yang kita lakukan, dari mengenal orang-orang yang menciptakan musik. Jika kita meyakini bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya pengalaman dan produk intersubjektif dari interaksi-interaksi sosial kita, maka apa yang dapat kita ketahui muncul dari hubungan-hubungan kita dengan orang lain, baik di lapangan maupun di tengah-tengah kolega kita dimana kita hidup dan bekerja, dan hubungan-hubungan ini memiliki sebuah aspek yang ineluctable dari diri mereka. Berbagai dokumen (teks) yang kami gunakan di lapangan membutuhkan kesiapan tertentu untuk membuka hubu-ngan-hubungan dengan mereka—catatan-catatan lapangan, foto-foto, rekaman-rekaman—yang mengingatkan kita, ketika kita tidak lagi di lapangan.
Ketika kita bersama-sama dengan para teman, dokumen-dokumen muncul—dalam keadaan yang terbaik, dan ketika tidak dapat menggunakan cara ini—tidak begitu objektif tetapi merupakan perluasan dari hubungan-hubungan kita. Akan tetapi ketika kita kembali dari lapangan, di universitas, di perpustakaan, atau mengkaji seorang diri, terutama apabila rekan-rekan kita berada jauh, artefak-artefak lapangan ini memiliki peran berbeda. Pertukaran pengalaman memunculkan memori-memori kita tentangnya. Seperti sebuah foto yang diambil dari brosur yang dibawa dari liburan di luar negeri, tetapi artefak-artefak tersebut merupakan dokumenter sekaligus pembangkit ingatan. Mereka berlalu di dalam nostalgia. Dalam kehadirn mereka tersebut, saya mengetahui ketiadaan orang-orang, saya mengalami kesendirian dan berbagai keinginan. Tugas saya adalah untuk menghadirkan kembali budaya musik dimana saya telah meneliti, tidak hanya untuk para siswa dan kolega saya, tetapi juga untuk orang-orang dalam budaya musik itu. Saya mencari bentuk-bentuk untuk representasi dari pengalaman-pengalaman sebelum saya dalam ingatan, dan memunculkan para pencipta musik yang saya kenal. Dengan demikian, saya menghadirkan mereka juga untuk diri saya. Representasi konvensional yang menghadirkan pengalaman-pengala-man itu bagi saya merupakan etnografi musik naratif; dua bentuk lainnya yang akan saya bicarakan adalah film etnografis dan hiperteks/multimedia.
Tentu saja, naratif merupakan cara yang umum digunakan untuk mengisahkan berbagai pengalaman bagi kita dan orang lain, dan dengan demikian hal tersebut memunculkan sebuah bentuk konvensional dalam representasi berbobot fenomenologis dari para pencipta musik. Baiknya, sebuah naratif dalam etnografi deskriptif budaya musik mengundang pembaca untuk berbagi, secara imajinatif, dalam berbagai pengalaman yang dihadirkan. Karangan Anthony Seeger yang berjudul Why Suyá Sing terutama berasal dari kekuatan interpretifnya serta kekuatan naratif dari tulisan tersebut (1987b). Tentu saja, tidak keseluruhan buku tersebut bersifat naratif. Bagi Seeger dan mereka yang menulis etnomusikologi naratif, etnomusikologi menjadi sebuah genre berbobot—pengalaman dimana naratif meliputi informasi latar belakang, interpretasi dan analisis, serta dimana pengetahuan muncul dari pengalaman: seseorang menunjukan bagaimana sese-orang harus dimengerti (lihat juga Feld, 1990; Rice, 1994). Naratif bukanlah sesuatu yang baru dalam etnomusikologi. Bagian naratif dalam buku berjudul The Ethnomusicologist karangan Mantle Hood (1982 [1971]) dan kisah-kisah Bruno Nettl dalam buku The Study of Ethnomusicology (1983) antara lain merupakan karangan-karangan etnomusikologi naratif. Selanjutnya, interpretasi naratif berdasarkan pengalaman juga meningkat dalam antropologi budaya. Begitu banyak contohnya. Culture and Truth karangan Renato Rosaldo, misalnya, diawali dengan artikelnya yang terkenal berjudul “Grief and a Headhunter’s Rage” (1989:1-21). Rosaldo tidak dapat memahami bagaimana kesedihan dan kemarahan “berjalan bersamaan dalam cara pembuktian diri” bagi orang Ilongot di Filipina hingga ketika istrinya wafat saat “ia berjalan sepanjang jalan setapak bersama dua orang teman, saat ia kehilangan jejak dan jatuh ke jurang sedalam 65 kaki dan hanyut di sungai yang ada di bawahnya. Saya menjadi marah segera setelah menemukan jasadnya. Bagaimana bisa ia meninggalkan saya? Bagaimana ia bisa menjadi sebodoh itu hingga jatuh? Saya mencoba untuk menangis. Saya menangis, tetapi kemarahan membendung air mata saya” (1989:9). Rosaldo telah mengalami percampuran antara kesedihan dan kemarahan dirinya sendiri sebelum ia merasa benar-benar memahami kebudayaan Ilongot.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Clifford Geertz, menulis etnografi yang baik membutuhkan kemampuan retorika yng besar, dan hal tersebut memaksa kita untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa kita benar-benar penulis, bukan reporter. Akan tetpi jika kita adalah penulis, kita beresiko untuk mengganti ketertarikan pembaca dari para pencipta musik yang kita tulis untuk diri kita sendiri. Etnografi biografis yang bersifat naratif memicu pertentangan dengan apa yang kita sebut kemurahan diri dan sesuatu yang tidak profesional; istilah populernya adalah “ruang pengakuan dosa” (confessional), yang mengindikasikan permasalahan displecement (pemindahan). Etnografi naratif tidak perlu mengalihkan ketertarikan dari para pencipta musik kepada kesadaran penulis. Malahan, seorang penulis dapat mengerjakan sesuatu dengan keahlian penuh dan memainkan peran sebagai seorang pemain, yakni seseorang yang partisipasinya tidak penting selama kejadian tersebut, tetapi yang terefleksi setelah kejadian tersebut sebagai sebuah interpretasi. Hal inilah yang dilakukan oleh Geertz dalam karangannya yang terkenal tentang adu ayam di Bali, meskipun seseorang dapat berhenti sejenak pada metode penulisan Geertz yang memperkirakan makna dan berharap perkiraanya tersebut akan sama dengan pandangan orang Bali. Pengantar dan bab pertama buku Powerhouse for God juga ditulis sebagai etnografi naratif, yang dengan hati-hati juga menggunakan rekaman, foto, catatan lapangan, dan pengumpulan kembali berbagai pengalaman saya untuk mencuptakan kembali dan memunculkan suasana percakapan makan siang serta perayaan kedatangan (Titon, 1988). Akhirnya, etnogrfi naratif sangat sesuai untuk menunjukkan seorang etnomusikolog dalam dialog dengan para pencipta musik.
Gambar-gambar film dan suara yang disinkronisasi merupakan cara konvensional yang dipahami untuk menggambarkan para pencipta musik dan untuk menempatkan para penonton pada posisi observer. Kekuatan yang ditimbulkan film sangat lur biasa: kita merasa seperti sedang melihat sebuah kenyataan. Tentu saja, kiranya mungkin untuk meninggalkan aspek-aspek pengalaman dalam film dengan membuat film yang menirukan buku datau membuat film yng menghadirkan pengalaman saintifik, seperti yang banyak diusahakan dalam pembuatan film etnomusikologis. Akan tetapi, pendekatan fenomenologis dalam pembuatan film berusaha untuk menyertakan penonton dengan memunculkan dan mereflek-sikan berbagai pengalaman dan hubungan yang ditemui dalam komunitas musikal. Hubungan antara pembuat film dan penonton dapat terwujud dalam satu bentuk dari tiga bentuk yang ada: pembuat film dapat menempatkan diriny sendiri dlam posisi yang benar-benar berwenang, biasanya melalui narator yang seolah mengetahui semuanya; pembuat film dapat berangkat, seperti hantu, dari film, menunjukkan bahwa penonton hanya melihat semata pada tindakan dan mendengarkan sesuatu secara diam-diam; atau pembuat film, dalam filmnya tersebut, dapat berinteraksi dengan subjek-subjek dan penonton, dan kedaunya dapat merefleksikan makna dari film tersebut. Jelas kiranya bahwa interaktifitas dan refleksifitas sangat sesuai dengan pemahaman pengalaman yang muncul dari penelitian lapangan dan penciptaan musik (van Rosen dan Francis, 1992; von Rosen, 1993).
Hiperteks dan multimedia merupakan wujud representasi ketiga yang bagi saya tampak seperti sebuah pengadilan bagi bias pengalaman terhadap para pencipta musik. Mengingat sebuah teks naratif merupakan sebuah bacaan linear, hiperteks dapat menjadi sebuah struktur jaringan yang memungkinkan pembaca untuk memilih jalannya masing-masing melalui informasi yang terkumpul. (Landow, 1992). Sebuah komputer tidak dibutuhkan untuk hiperteks, tetapi sebuah komputer memungkinkan hiperteks menjadi sangat efisien. Hiperteks interaktif memungkinkan pembaca (dalam istilah fiksi hiperteks penulis bernama Michael Joyce, disebut “authors-who-are-to-be”) untuk berkomentar informasi yang ada dan dengan demikian mengubahnya bagi pembaca berikutnya. Multimedia sering-kali distukan dengan hiperteks untuk menghadirkan rekaman suara, gambar, serta film. Sebuah hiperteks yang dibuat secara teliti dapat merepresentasikan pengertian serta ambiguitas dari pengalaman atas pengetahuan yang didapat dari penelitian lapangan. Sebagai contoh, dalam tumpukan hyper-card Davenport, seorang pembaca mendengarkan suara biola dan ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut sangat mirip (Titon, 1991). Sebuah jalur menarah pad analisis musik, dan transkripsi menunjukkan kesamaan nada-nada, tetapi jalur lainnya mengarahkan pemain biola itu sendiri dan demontrasinya bahwa nada-nada tersebut berbeda. Representasi ini meninggalkan pembaca untuk menyelesaikan paradox. Atau tidak menyelesaikan-nya. Perkembangan yang lebih jauh adalah fiksi hiperteks.
Tidak semua proyek hipermedia memungkinkan interaktifitas yang bermakna. Banyak hiperteks “pendidikan” tidak lebih dari sekedar kumpulan teks dan konteks raksasa dengan hubungan-hubungan yang efisien, lebih diorganisasi secara hirarkis daripada yang ada dalam semacam kebiasaan jaringan. Pengalaman lingkungan hipermedia pendidikan yang demikian tidak cukup berbeda dari pengalaman di perpustakaan, dimana seseorang mencari penjelasan. Akan tetapi pengalaman seperti jaringan lebih seperti tahap awal memainkan sebuah permainan: seseorang berusaha memahaminya.
Dalam bab ini saya meneruskan apa yang biasanya kita lakukan dalam menjelaskan bunyi musik, konsep, dan perilaku daripada memahami pengalaman musikal. Dan pengetahuan kita yang paling memuaskan seringkali masih diperoleh melalui pengalaman penciptaan musik dan berbagai hubungan yang muncul selama penelitian lapangan. Bagi saya tampak bahwa cara kita untuk menjadi musikal, dan dalam cara kita melakukan penelitian lapangan, kita, seperti halnya subjek-subjek (masyarakat) yang kita pelajari terbuka bagi transformasi melalui pengalaman. Lebih jauh lagi, ketika kami menanyakan teman-teman musikal kami ter-kait sudut pandang “penduduk asli” (native) atau mendengarkan apa yang mereka katakan, mereka sangat sering berbicara terkait pengalaman perorangan dan pemahaman daripada memberikan penjelasan sistematis.
Jika memang demikian adanya, maka sebuah epistemologi atas berbagai praktek etnomusikologis terkait penciptaan musik dan penelitian lapangan sebagai kasus paradigma dari keberadaan kita di dunia, bukan hanya sekedar pengumpulan, transkripsi, dan analisis sebagai paradigma kasus, akan menempatkan pengetahuan yang muncul dari pengalaman kita dan orang lain. Dan dalam representasi eksternal kita dari pengalaman tersebut, kita mencari bentuk-bentuk tersebut yang menghasilkan pemahaman terbaik. Jika kita harus mengatur representasi tidak konvensional yang demikian sebagai fiksi atau pertunjukan musik, karena hal ini tidak tersedia bagi para sarjana, paling tidak untuk saat ini, naratif tidak memerlukan penulisan non-fiksi yang berpusat pada diri, lebih interaktif dan refleksif daripada sekedar kewenangan atau film observasional semata, dan seperti jaringan, hipermedia interaktif menjanjikan berbagai bentuk representasi yang membawa pema-haman baik kepada kita, dalam proses transformasi mereka, dan kepada mereka yang kita cari untuk berkomunikasi. Saya tidak berharap mengeluarkan secara bersamaan dengan berbagai penjelasan sebagai sebuah bentuk pengetahuan, hanya untuk mengistimewakan pemahaman. Saya sangat berbahagia menerima bahwa untuk mempraktekan transkripsi dan analisis, serta untuk mencari tahu terkait berbagai persoalan meliputi struktur musik, sejarah, dan geografi. Sebuah epistemologi pengetahuan yang muncul dari ada di dunia musik mengedepankan pengalaman dan pemahaman, akan tetapi hal terebut tidak mungkin dilakukan tanpa penjelasan-penjelasan karena kita juga mengalami pengetahuan dalam artian penjelasan, dan kita meletakkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana masa depan penelitian lapangan? Seperti yang telah kita tegaskan, apabila etnomusikologi kontemporer berhenti secara epistemologis pada penelitian lapangan, maka tantangan poststrukturalis terhadap penelitian lapangan harus dijawab jika disiplin ini terus berlanjut. Memang, telah terjadi sejumlah penghapusan dalam etnomusikologi. Kritik ini berada di atas beberapa dasar, tiga diantaranya merupakan sentral. Yang pertama adalah kekuasaan, yang familiar sejak akhir tahun 1960-an, dimana usaha berbasis penelitian lapangan berhenti padaketidakseimbangan kekuatan, dan dengan demikian meliputi kekuasaan pelaku penelitian lapangan yang tidak sah. Dengan kata lain, pelaku penelitian lapangan tidak memiliki hak legitimasi untuk menghadirkan informan mereka, untuk tujuan mereka yang tidak netral—karir para etnomusikolog menunggangi representasi-representasi ini. Para informan adalah orang dengan yang pantas memiliki kewenangan, dan mereka seharusnya orang yang menulis—atau tidak menulis—teks-teks etnomusikologis. Yang kedua adalah bahwa pelaku penelitian lapangan memainkan sebuah versi pencarian yang heroik, meskipun mereka tidak merealisasikan hal ini. Konsekuensinya adalah bahwa etnografi musik terjerumus ke dalam pola tunggal—pencarian naratif, implisit maupun eksplisit. Permasalahannya adalah bahwa pencarian pola, bukannya kehidupan musik dari budaya yang sedang dipelajari, mengatur reprsentasi dan interpretasi data. Dengan demikian, sebagai contoh, budaya-budaya musik dipandang sebagai sebuah utopia dan distopia, dan para etnomusikolog menjadi pahlawan-pahlawan, pahlawan yang memiliki kekurangan, atau tokoh yang tak berwibawa (lihat misalnya, Hood 1982 [1971], dimana ia menuliskan pentingnya peran etnomusikolog dalam membantu membuat gong ageng). Lebih dari itu, sebagai seorang pahlawan dalam pencarian, etnografer jarang mengklaim kewenangan untuk merepresentasikan budaya musik lainnya: pahlawan tersebut memiliki agenda yang berbeda. Yang ketiga adalah tingkatan dasar-dasar epistemologis. Pemikiran post-strukturalis menolak eksistensi otonomi diri. Gagasan bahwa penelitian lapangan merupakan sebuah pertemuan antara diri dengan orang lain dianggap hanya sebuah khayalan, padahal orang lain dianggap sebagai objektifikasi yang dirasionalisasikan.
Tidak ada tantangan poststrukturalis maupun berbagai jawaban yang dapat dilihat sebagai rincian yang pantas disini. Akan tetapi permulaan sebuah jawaban epistemologis dapat ditemukan dalam tulisan tentang fenomenologis penciptaan musik terdahulu. Ketika menciptakan musik, saya mengalami bahwa diri saya menghilang; saya merasa musik memenuhi diri saya dan saya menjadi musik yanga ada di dunia. Akan tetapi saya mengalami kembalinya pengenalan terhadap diri saya. Dalam berbagi kedaan di berbagai budaya musik di dunia, engalaman menciptakan musik merupakan pengalaman mengenali diri sendiri di tengah-tengah orang lain. Ini merupakan pengalaman yang benar-benar bersifat komunal, dan saya meyakininya. Saya meyakini bahwa representasi yang berlandaskan pengalaman ini akan mulai menjawab tantangan poststrukturalis dengan menggabungkan gagasan para etnomusikolog dengan apa yang mereka miliki, sehingga menjadi sesuatu yang cukup otonom. Diri yang otonom memainkan mitos-mitos heroik. Memunculkan diri di sisi lain berkaitan dengan diri itu sendiri, terjaring dalam resiprositas. Keterkaitan merupakan sebuah nilai yang menantang ktirik masyarakat kontempo-rer modern. Saya berkeinginan untuk meninjau nilai ekologis dan hubungan dekatnya dengan penciptaan musik serta penelitian lapangan dengan landasan bahwa kelangsungan hidup lebih dari apa yang menjadi ketergantungan etnomusikologi.


Bibliografi

Carnap, Rudolph. 1966. An Introduction to the Philosophy of Science. New York: Harper Torchbooks.
Code, Lorraine. 1991. What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge. Ithaca: Cornell University Press.
Dallmayr, Fred R., & Thomas A. McCarthy. 1977. Understanding and Social Inquiry. Notre Dame: Notre Dame University Press.
Feld, Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. Edisi Kedua. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Gadamer, Hans-Georg. 1992 [1975]. Truth and Method. Edisi Kedua yang direvisi. New York: Crossroad.
Gourlay, K. A. 1978. ‘‘Towards a Reassessment of the Ethnomusicologist’s Role in Research.’’ Ethnomusicology 22(1):1–35.
Guilbault, Jocelyne 1993. Zouk: World Music in the West Indies. Chicago: University of Chicago Press.
Harrison, Frank, ed. 1973. Time, Place and Music: An Anthology of Ethnomusicological Observation, c. 1550 to c. 1800. Amsterdam: Frits Knuf.
Hood, Mantle. 1963. ‘‘Music, the Unknown,’’ dalam Frank L. Harrison, Mantle Hood, & Claude V, Palisca. Musicology. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, pp. 215-326.
_______. 1982 [1971]. The Ethnomusicologist. New Edition. Kent: Kent State University Press.
Ihde, Don. 1986 [1977]. Experimental Phenomenology: An Introduction. Albany: State University of New York Press.
Kingsbury, Henry. 1988. Music, Talent, and Performance: A Conservatory Cultural System. Philadelphia: Temple University Press.
Kisliuk, Michelle. 1991. ‘‘Confronting the Quintessential: Singing, Dancing, and Everyday Life Among Biaka Pygmies (Central African Republic).’’ Disertasi Ph.D., New York University.
Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology: A Study of Its Nature, Its Problems, Methods, and Representative Personalities to Which Is Added a Bibliography. Edisi Ketiga. The Hague: Martinus Nijhoff. [Pertama kali diterbitkan dengan judul Musicologica pada tahun 1950 oleh Royal Tropical Institute, Amsterdam.]
Landow, George. 1992. Hypertext. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Lucas, William. 1971. Lazy Bill Lucas. Wild 12MO1. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
_______. 1972. Lazy Bill and His Friends. Lazy 12MO2. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
McAllester, David P. 1973 [1954]. Enemy Way Music: A Study of Social and Esthetic Values as Seen in Navaho Music. Cambridge, Mass.: Peabody Museum of American Archaeology and Ethnology, Harvard University; New York: Kraus Reprint.
_______.  1989. Videotaped seminar, Brown University.
Mitchell, Frank. 1978. Navajo Blessingway Singer. Tucson: University of Arizona Press.
Myers, Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology,’’ dalam Helen Myers, ed. Ethnomusicology: An Introduction. New York: W. W. Norton.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: Free Press of Glencoe.
_______. 1983. The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press.
Pillay, Jayendran. 1994. ‘‘Indian Music in the Indian School in South Africa: The Use of Cultural Forms as a Political Tool.’’ Ethnomusicology 38(2):281–301.
Rice, Timothy. 1994. May It Fill Your Soul: Experiencing Bulgarian Folk Music. Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, Paul. 1981a. ‘‘What Is a Text? Explanation and Understanding,’’ dalam  John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences. Terjemahan John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 145–164.
_______. 1981b. ‘‘The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text,’’ dalam  John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences. Terjemahan John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 197-221.
Rorty, Richard. 1979. Philosophy and the Mirror of Nature.  Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Rosaldo, Renato. 1993 [1989]. Culture and Truth: The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
von Rosen, Franziska, & Michael William Francis. 1992. River of Fire. 1/2 in. VHS Videotape. Lanark, Ontario, Canada: Franziska von Rosen.
von Rosen, Franziska. 1992. ‘‘Micmac Storyteller: River of Fire—The Co-Creation of an Ethnographic Video.’’ Canadian Folk Music Journal 20:40–46.
Schutz, Alfred. 1962. Collected Papers. The Hague: Martinus Nijhoff.
_______. 1976. ‘‘Son House: Two Narratives.’’ Alcheringa: Ethnopoetics NS 2(1):2–9.
Seeger, Anthony. 1987b. Why Suya´ Sing: A Musical Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy, Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36(3):323–36.
Stewart, David, and Algis Mickunas. 1990. Exploring Phenomenology. 2nd ed. Athens: Ohio University Press.
Titon, Jeff Todd. 1969. ‘‘Calling All Cows: Lazy Bill Lucas.’’ Blues Unlimited 60:10–11 (Mar. 1969), 61:9–10 (Apr. 1969), 62:11–12 (May 1969) 63:9–10 (June 1969).
_______. 1980. ‘‘The Life Story.’’ Journal of American Folklore 93:276–92.
_______. 1985. ‘‘Role, Stance, and Identity in Fieldwork Among Folk Baptists and Pentecostals in the United States.’’ American Music 3:16–24.
_______. 1988. Powerhouse for God: Speech, Chant, and Song in an Appalachian Baptist Church. Austin: University of Texas Press.
_______. 1989. ‘‘Ethnomusicology as the Study of People Making Music.’’ Paper delivered at the annual conference of the Northeast Chapter of the Society for Ethnomusicology, Hartford, Connecticut, April 22.
_______. 1991. The Clyde Davenport HyperCard Stack. [Tersedia via anonymous ftp di Internet dari EthnoForum sejak 1992. Untuk informasi bagaimana mengunduhnya, kirimkan e-mail ke ethmus-l@umdd.umd.edu].
_______. 1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3): 315–22.
_______. 1995. Early Downhome Blues. Edisi Kedua. Chapel Hill: University of North Carolina Press.























Kay Kaufman Shelemay
_____________________________

3

Etnomusikolog, Metode Etnografis,
dan Transmisi Tradisi






Dengan cara apapun mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, peneliti lapangan dan subjek adalah yang pertama dan yang utama. Saling berbagi identitas membuat penelitian lapangan, dengan berbagai permasalahan dan pencapaiannya, sebagai sebuah model belajar yang saling menguntungkan.

(George & Jones, People Studying People, 1980:3)

Umumnya persoalan etnomusikologis terkait transmisi tradisi dimaksudkan untuk mendokumentasikan dan menginterpretasikan cara dimana musik dikomunikasikan dari waktu ke waktu dalam sebuah latar tertentu, serta memperhatikan dinamika interpersonal dan teknologi komunikasi dari proses ini.[1] Kendatipun demikian, saya tidak akan memfokuskan penyelidikan terhadap bagaimana para membawa tradisi, tidak juga terhadap materi-materi yang ada dalam tradisi ini. Akan tetapi, saya akan merefleksikan dan mendiskusikan peran etnomusikolog yang menjadi sebuah bagian dari transmisi tradisi tersebut ketika mereka berada dalam pencarian dokumen terkait proses transmisi.[2]
Saya akan mendekati permasalahan ini dengan mengambil contoh dari pengalaman saya ketika berada di lapangan dan kisah rekan-rekan saya dalam literatur. Saya berharap untuk mengarahkan diskusi ini di luar apresiasi terkait dampak dari “pengetahuan relasional” (Rosaldo 1993 [1989]:206-8)[3] terhadap interpretasi dan penulisan etnografis untuk mengupas lebih dalam suatu jenis resiprositas dan tindakan yang bedasar, yang uniknya seringkali tumbuh dari proses penelitian etnomusikologis. Saya akan menunjukkan bahwa sebuah pendirian teoretis idiosinkratik dan metodologi kerja meningkatkan pertumbuhan penelitian etnomusikologis dan kemungkinan besar berakar dari hubungan etnomusikologi dengan berbagai disiplin lain meskipun dipermasalahkan.
Kiranya penting untuk memberikan gambaran perspektif disipliner secara singkat, dimana saya akan kembali ke permasalahan ini kemudian. Dalam kaitannya dengan sejaah intelektual dan pelatihan para penelitinya, etnomusikologi seringkali dibentuk oleh dunia-dunia yang saling bertentangan, yakni musikologi sejarah dan antropologi. Bagi musikolog sejarah, transmisi tradisi seperti sebuah aspek implisit dari aktifitas mereka yang meninggalkan penelitian secara cermat. Siapapun yang benar-benr musikolog sejarah akan mengakui bahwa ia terlibat dalamkeberlanjutan tradisi yang dipelajari.Dari kelahirannya pada tahun 1885 sebagai bagian dari bidang yang lebih besar—yakni keilmuwanan musik, termasuk musikologi komparatif di dalamnya, musikologi sejarah memiliki tambahan penting terkait misi keilmuwanannya, yakni penemuan/pene-muan kembali, interpretasi, dan pengabadian musik-musik dari tradisi musik seni Eropa-Amerika. Memang, Masyarakat Musikologis Amerika (American Musicological Society) setiap tahunnya menganugerahkan penghargaan Noah Greenberg “untuk merngsang keterlibatan aktif para ilmuwan dan pelaku [musik] dengan memberikan penghargaan dan mendukung berbagai [pemikiran yang dinilai dapat] sumbangan besar terhadap kesadaran pertunJukan secara historis dan untuk studi historis praktek-paktek pertunjukan” (American Musicological Society Directory 1993:7). Konferensi tahunan organisasi ini mengutamakan resital-resital khusus dan berbagai konser untuk komposisi-komposisi, bukan sebaliknya, selalu mendengarkan dan menyajikan.[4] Dengan demikian, manuskrip-manuskrip musik diselamatkan hanya dengan mengumpulkan kembali manuskrip yang berserakan, direkonstruksi, disunting, dan ditampilkan oleh para musikolog sejarah sebagai bahan pelajaran. Mengutip harapan Josep Kerman terhadap keilmuwanan musik dalam buku berjudul Contemplating Music, “setiap terbitan musik yang sifatnya ilmiah adalah undangan bagi seorang pemusik, dan musikolog seharusnya sadar untuk bersusah payah, mempengaruhi, mengkonsultasikan, serta merencanakan/men-dalangi … konser-konser ketika mereka diberikan sebuah kesempatan” (1985:185).
Tentu saja, polemik sentral di kalangan para musikolog sejarah vis-à-vis dengan aksi pertunjukan dan peran yang mereka miliki dalam mentransmisikan (dan bahkan menemukan kembali) tradisi tampaknya menjadi pusat dari persoalan yang lebih besar terkait otentisitas dan kreatifitas dalam tindakan merekonstruksi musik dan praktek pertunjukan.[5] Para musikolog secara umum tidak mempermasalahkan apakah mereka seharusnya aktif dalam proses pentransmisian tradisi musik; mereka agaknya lebih mempermasalahkan untuk menjawab seberapa dekat mereka dengan perjalanan historis dan dalam cara apa pertanyaan-pertanyaan muncul dari ketiadaan sumber mereka. Sebagian besar etnomusikolog dididik sebagai mahasiswa pada jurusan-jurusan musik yang beroperasi di bawah sistem yang baru saja dijelaskan di atas, tempat yang sama dimana sebagian besar profesor dalam bidang etnomusikologi menemukan lembaga sebagai rumah mereka.   
Interaksi yang lama antara dokumentasi yang sifatnya ilmiah dengan aksi pertunjukan telah berpengaruh pada teori etnomusikologis, yang paling sering disebut dengan “bi-musikalitas”, yang dikembangkan oleh Mantle Hood. Sebaga- pendiri dari program Etnomusikologi di UCLA, Hood merasakan bahwa “melatih telinga, mata, dan suara, hasilnya diyakini akan menambah pemahaman kajian teoretis yang nyata. Hood juga memperhatikan bahwa pelatihan dan penyajian/pertun-jukan dalam musik Barat membatasi para etnomusikolog untuk mempelajari tradisi-tradisi lainnya. Hood tidak hanya menulis tentang pentingnya menjadi bi-musikal (atau multimusikal) dan mengumpulkan/mem-peroleh pengalaman musik lintas-budaya melalui pertunjukan. Ia menetapkan sebuah kurikulum etnomusikologi yang melibatkan para pelaku asli, yang didatangkan ke UCLA untuk mengarahkan mahasiswa dalam sejumlah tradisi musikal. Para mahasiswa petama Hood pergi untuk mencari program-program lain di Wesleyan, Michigan, Seattle, dan tempat-tempat lain. Menjadi bi-musikal kemudian seolah merupakan keharusan bagi para etnomusikolog, yang mempertebal kemampuan bi-musikal mereka dengan menjadi partisipan sesungguhnya dalam sebuah partisipasi observasi di lapangan.
Sebaliknya, meningkatnya kemungkinan terlibatnya antropolog dalam transmisi tradisi memunculkan  sebuah respon yang cukup berlawanan dari para musikolog sejarah. Para antropolog secara umum juga tidak mengarah pada persoalan ini secara eksplisit; hanya yang paling belakangan, revisi Dasar-dasar Tanggung Jawab Profesional American Anthropological Assosiation (1990) memperkuat dan menyesuaikan pernyataan akan pertanggungjawaban terhadap “orang-orang yang hidup dan  berbagai kebudayaan yng dipelajari oleh para antropolog,” untuk pertama kalinya menyebutkan kemungkinan “konsekuensi positif dan negatif  dari berbagai aktifitan [para natropolog] dan publikasi-publikasi dari hasil aktifitas ini (Fluehr-Lobban 1991:274).[6] Tentu saja, meskipun catatan menunjukkan bahwa para etnomusikolog dan dididik secara antropologis juga telah secara aktif berpartisipasi dalam pertunjukan musik di lapangan, mereka telah sangat sering memastikan resiprositas dan/atau untuk menguji pemahaman mereka terkait data musik yang telah mereka kumpulkan. Mengutip sebuah contoh dari studi etnomusikologis yang dilaksanakan oleh seorang ilmuwan yang berlatar belakang pendidikan antropologi, Steven Feld mengijinkan dirinya sendiri untuk menyajikan sebuah “pria lagu” yang berasal dari kebudayaannya dalam suku Kaluli (ia memainkan rekaman Charlie Parker) (Feld 1990 [1982]:11). Feld juga menciptakan dan menampilkan lagu-lagu untuk rekan penelitiannya guna menguji hipotesis tentang “keterbatasan atas bentuk” (p. 13).
Bahkan, hingga kini para etnomusikolog yang berlatar belakang pendidikan antropologi terpengaruh pernyataan Hood. Dalam sebuah studi yang mendukung “antropologi musikal,” Anthony Seeger agaknya melampaui Feld dalam hal menyatu dengan pertunjukan musik guna tujuan-tujuan heuristik. Seeger mempersembahkan bukunya yang berjudul Why Suyá Sing (1987b) “untuk mengenang lagu-lagu yang kita nyanyikan,” dan menjelaskan secara cukup detail terkait gaya-gaya musik dari   bluegrass hingga lagu-lagu Afrika yang ia dan Judy Seeger ajarkan kepada Suyá. Dalam beberapa hal, Seeger mengakui bahwa ia menggubah lagu-lagu rakyat yang ia pelajari dari pamannya, Pete Seeger, “untuk menyesuaikan dengan pola yang dianggap mudah oleh Suyá” (Seeger 1987b:20). Untuk menghormati permintaan Suyá terkait publikasi rekaman musik kolaborasi mereka (pp. 23-24),[7] kegiatan Seeger kenyataannya begitu dekat dengan jenis partisipasi etnomusikologis dalam transmisi tradisi yang saya cari untuk dibahas di sini.
Dengan demikian, aktifitas etnomusikologis dalam transmisi tradisi muncul dari komitmen musikologis dengan pelestarian tradisi musik yang dipadukan dengan perhatian antropologis dalam melihat resiprositas dan tanggung jawab sosial. Terlepas dari berbagai implikasi disipliner dan pengetahuan/pema-haman terhadap nilai-nilai dari bidang studi yang berbeda, diskusi tentang peran peneliti lapangan dalam transmisi tradisi mengungkap sebuah aspek kesungguhan sifat manusia dari fieldwork dan pada saat yang bersamaan memunculkan persoalan etika-etika penelitian etnografi yang telah sedikit dibicarakan.[8] Sebagian besar pembicaraan tentang etika cenderung berpusat pada hubungan-hubungan interpersonal baik selama fieldwork dilakukan atau setelahnya, dan hanya secara insidental ditujukan terhadap dampaknya pada tradisi musik itu sendiri.
Etnografi dan Transmisi

Perhatian saya terhadap permasalahan ini awalnya tidak muncul pada tingkat teoretis. Akan tetapi, sebuah pengalaman di lapangan beberapa tahun yang lalu mendorong saya ke arah serangkaian pemikiran baru terkait peran etnomusikolog. Saya akan menjelaskan peristiwa etnografis secara cukup detail beserta konteksnya yang lebih luas, yang memungkinkan untuk membawa pemikiran ini dalam gambaran yang nyata.
Satu dekade yang belum lama berlalu, saya melakukan penelitian lapangan  dalam masyarakat Yahudi keturunan Syria yang tinggal di Brooklys, New York. Proyek ini berawal dari pekerjaan kelompok bersama para mahasiswa saya di Universitas New York dan komunitas orang Syria (lebih rinci dalam Shelemay 1988). Saya melanjutkan penelitian ini seorang diri semenjak proyek kelompok ini berakhir pada tahun 1986 dan memperluas cakupannya hingga meliputi penelitian lapangan terhadap orang Yahudi Syria di Meksiko dan Israel.
Sejumlah latar dibutuhkan sebagai kerangka diskusi berikut. Sekitar tujuh puluh tahun setelah migrasi mereka dari Aleppo ke Dunia Baru, sebuah komunitas Yahudi Syria yang berjumlah lebih dari 30.000 jiwa di wilayah New York menyambung keberadaan identitas Yahudi Arab yang terekspresikan, sebagian, melalui berbagai aspek pertunjukan musik. Repertoar musik pokoknya adalah sekumpulan himne paraliturgis yang disebut dengan pizmonim (tunggal: pizmon), yang telah digubah, menggunakan teks berbahasa Yahudi dan melodi-melodi Arabik. Nada-nada pizmon diadopsi dari lagu-lagu populer dalam tradisi musik Arab, sebaliknya teks-teks Yahudi mengandung perumpamaan-perumpamaan dari kitab suci dan liturgi, serta maksud-maksud terselubung serta juga ada yang dipersembahkan kepada individu-individu anggota komunitas. Lagu-lagu yang multivokal dan berbagai kenangan dihadirkan lewat beberapa alur teks yang terpisah dan nada-nada menjadi bahan analisis sosial dan sejarah yang menarik, tetapi bukan itu permasalahan kita di sini. Fokus dari proyek penelitian awalnya adalah pizmonim yang muncul secara langsung para anggota komunitas yang mengetahui akan hal ini (pizmonim) dan jika memungkinkan, mereka ingin merekam hingga sebanyak 500 lagu yang masih ada. Kelompok proyek penelitian terdahulu merekam pertunjukan hampir sebanyak 200 pizmonim, dan menyimpan seluruh salinannya di arsip komunitas, dimana para anggota dari kelompok penelitian itu juga membantu dalam membuat katalog dan menyusunnya.

Gambar 7-1. Program dalam Konser Pizmon untuk menghormati Meyer “Mickey” Kairey. 14 Maret 1990, Shepardic Community Center, Brooklyn, New York.

Peristiwa yang disoroti terkait persoalan transmisi ini diadakan dalam komunitas Syria pada tanggal 14 Maret 1990, dan diadakan dalam rangka menghormati Meyer “Mickey” Kairey, seorang pria berusia enam puluhan, yang selama bertahun-tahun menjadi panutan dalam kehidupan religius komunitas Syria. Salah satu kegiatan Mickey Kairey yang paling diingat adalah pengajaran pizmonim-nya bagi para pemuda Syria. Mickey Kairey memainkan peran penting sebagai salah satu pendamping penelitian dalam proyek pizmonim dan pada berbagai kesempatan yang membutuhkan keahliannya.[9]
Konser ini, yang dibanjiri oleh kurang lebih 350 orang, diadakan di Pusat Komunitas Shepardy (Shepardhic Community Center) di Brooklyn, yakni pusat kelembagaan komunitas Yahudi Syria. Programnya[10] meliputi dua “rangkaian” pizmonim yang berbeda, yang dinyanyikan oleh sekelompok koor pemuda diiringi dengan sebuah ansambel instrumen-instrumen timur tengah, dan yang ketiga, penampilan lagu-lagu solo yang dibawakan oleh Isaac Cabasso (paman Mickey) serta ia sendiri (Mickey), seorang pemimpin nyanyian yang dicintai oleh komunitasnya. Puncak acara sore itu adalah pemberian serifikat berbingkai yang berukuran besar untuk Mickey, memuat sekitar 1.000 tanda tangan muridnya yang ia latih antara tahun 1955 hingga 1990. Lihat halaman 195 untuk contoh ucapan selamat dalam sebuah buku persembahan yang dibuat oleh berbagai keluarga sebagai ungkapan terima kasih atas peran Mickey dalam transmisi pizmonim.
Di tengah acara, dihadirkan presentasi audio-visual tentang kehidupan dan karya Mickey. Film tersebut menlusuri perjalanan karir Mickey, termasuk gambar-gambar sinagoge serta guru dan pelatih pizmonim-nya, Eliyahu Menaged. Ada juga gambar-gambar keluarganya, berbagai foto ketika ia dalam dinas militer semasa Perang Dunia II, serta koleksi yang sangat banyak, yang menunjukkan kecintaannya terhadap berbagai jenis musik, termasuk Stan Kenton dan berbagai Big Band dari tahun 1940-an. Film-film itu menunjukkan bagaimana Mickey melatih para pemuda untuk Bar Mitzvah mereka, diiringi dengan komentar dan rekaman-rekaman yang dibuat oleh para peserta pelatihan ini. Tiba-tiba, dalam rekaman itu terdengar suara saya yang sedang melontarkan sebuah pertanyaan tentang pizmon; jelas suara itu diambil dari sebuah rekaman dalam kegiatan yang diadakan sekitar lima tahun yang lalu ketika Mickey mengajarkan pizmonim kepada saya dan para mahasiswa saya. Meskipun konser itu secara terbuka merayakan peran individu dalam transmisi tradisi, dalam hal ini sumbangan besar Mickey Kairey dalam transmisi pizmonim, saya tidak menyangka bahwa saya menjadi bagian dari pengalaman Mickey seperti halnya ia menjadi bagian dalam pengalaman saya. Etnomusikolog telah terlibat ke dalam pengalaman Mickey dan komunitasnya, sebuah hubungan yang sangat kecil dalam rangkaian transmisi dari masa lalu ke masa depan mereka.[11]
Jika saya memiliki sejumlah keraguan bahwa kehadiran secara etnomusikologis menjadi sebuah faktor di balik transmisi tradisi, mereka telah menghilangkan keraguan ini secara cukup kebetulan dalam sebuah wawancara yang saya lakukan sesaat setelah konser. Seorang penyanyi muda Syria, yang saya ajak diskusi terkait penghidupan kembali nyanyian pizmon, meyakini bahwa pizmon hadir di tengah generasi muda komunitas Syria saat ini. Lebih jauh ia menunjukkan bahwa sebuah katalis untuk usaha penghidupan kembali pizmon adalah peristiwa-peristiwa seperti konser sore tadi, bahwa sebuah genre pertunjukan telah dimunculkan pada awal proyek kelompok (komunikasi pribadi, B. Zalta, 16 Maret 1991).
Jelas, proyek musik Syria telah menjadi sebuah usaha penelusuran, bukan hanya sekedar perekaman musik dan berbagai sejarah tradisi dalam sebuah arsip. Enam tahun setelah dicetuskan, usaha ini telah meresap baik ke dalam aktifitas komunitas maupun ingatan individu. Pada persimpangan antara kehidupan dan pertemuan dengan keilmuwanan formal ini, berbagai hubungan institusional, seperti yang muncul antara Pusat Komunitas Shepardy dengan Universitas New York berkaitan dengan hak cipta dan kesepakatan royalti untuk rekaman yang kami produksi bersama (Shelemay & Weiss 1985) serta sebuah jaringan pertemanan dekat secra individual yang kompleks antara saya, beberapa mahasiswa saya, dan skitar dua lusin orang dalam komunitas Yahudi Syria.
Setelah melihat kembali jurnal saya, surat-surat selama proyek, dan sisa-sisa lain dari hubungan kami yang cukup lama, saya mendapati contoh lain dari aktifitas saya yang secara langsung bersentuhan dengan proses, personil, dan berbagai politik transmisi. Berikut akan saya berikan beberapa contoh secara singkat.


Gambar 7-2. Penghargaan dalam Booklet Persembahan bagi Meyer “Mickey” Kairey yang disebarkan pada tanggal 14 Maret 1990, Shepardic Community Center.

Pada bulan Juni 1986, saya diminta menulis surat untuk Kantor Pelayanan Imigrasi Amerika Serikat terkait kedatangan seorang penyanyi tamu dari Israel, yang berharap sinagoge Syria terbesarnya di Brooklyn dapat  dibangun pada sebuah tempat secara permanen. Disini saya memanfaatkan kewenangan saya sebagai seorang profesor dan menggunakan pengetahuan yang saya miliki tentang tradisi untuk membantu komunitas ini terkait sebuah hal yang sangat penting bagi mereka. Kenyataannya, sebagai seorang etnomusikolog, saya benar-benar cukup memperhatikan peristiwa ini, karena tradisi musik Aleppo yang ada di Brooklyn adalah sesuatu yang berbeda, yang berada di bawah tekanan dan mengalami perubahan yang benar-benar signifikan karena masuknya para penyanyi kelahiran Israel berbakat yang membawa aliran-aliran tradisi Shepardy yang berbeda. Dalam surat saya, saya secara sengaja menghilangkan informasi ini dan secara sadar memainkan sebuah peran yang secara langsung berpengaruh dalam sebuah arah dimana secara pribadi bertentangan dengan saya namun diinginkan oleh komunitas tersebut.
Pada tahun 1987, saya diminta oleh seorang pemimpin komunitas tersebut untuk memberikan informasi yang dapat menumbuhkan perhatian di kalangan pendeta lokal terkait begitu banyak melodi yang digunakan dalam pizmonim Syria merupakan melodi-melodi sekuler dan/atau bahkan berasal dari [nyanyian] Kristen atau Islam. Secara khusus permasalahan ini misalnya terletak pada pizmon “Mifalot Elohim,” yang meminjam melodi dari nyanyian Kristen yang sangat dikenal, yakni “Oh Tannenbaum.” Kiranya hampir dapat dipastikan bahwa kesangsian ajaran nabi tentang persoalan yang lebih luas sebagain dipicu oleh publikasi rekaman kami dua tahun yang lalu serta kolaborasi setelahnya yang dikenal sebagai “proyek musik Syria.” Untuk menanggapi permintaan ini, saya memberikan informasi tentang beberapa kontroversi, melodi-melodi yang dipinjam, dan menyertakan sebuah pemikiran yang dapat digunakan dalam membenarkan/menilai tradisi:

Saya tidak berpikir tentang sumber-sumber asli dari melodi-melodi ini yang seharusnya menjadi perhatian anda dan komunitas anda. Ada sebuah tradisi dalam musik Yahudi (baik sakral maupun sekuler) dalam hal meminjam melodi-melodi dari masyarakat yang ada di sekitar. Tradisi ini tersebar luas di lingkaran Ashkenazic seperti halnya dalam tradisi pizmonim anda, hanya saja sumber dari melodi-melodinya berbeda karena perbedaan latar geografis. Musik selalu merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan di sekitarnya dan yang saya tahu tidak ada tradisi yang “murni” dan tidak meminjam berbagai hal dari mereka yang telah melakukan kontak [dengan kebudayaan itu]. Ekspresi musikal yang sangat alami adalah yang ditransmisikan dari orang ke orang melewati batas-batas geografis, sosial, dan budaya. (Kay K. Shelemay, surat tertanggal 9 Juni 1989 untuk seorang anggota komunitas Syria)

Selanjutnya, dalam kasus ini, saya menjelaskan proses transmisi guna menilai/membenarkan, dan akhirnya, untuk melestarikan/melindungi tradisi.
Publikasi dari pizmonim yang direkam, mencakup pizmonim pilihan yang diambil dari rekaman-rekaman selama tahun pertama proyek bersama kami, menimbulkan hasil yang tidak dibayangkan.[12] Rekaman ini dipilih oleh American Folklife Center untuk Selected List-nya (American Folk Music and Folklore Recordings: A Selected List 1985), yang juga memenangkan penghargaan dari asosiasi nasional komunitas Yahudi pusat. Kedua penghargaan ini merupakan sebuah kebanggan bagi mereka yang terlibat di dalam proyek ini. Kendatipun demikian, publikasi dari rekaman ini, serta “konser tahunan pizmon yang pertama” yang diadakan kuang lebih bersamaan, yakni tahun 1985, memunculkan persepsi di luar komunitas bahwa para pria Syria yang terlibat dalam kegiatan musik merupakan sebuah grup musik.[13]
Interaksi saya dengan individu-individu ini di luar kegiatan rekaman formal dan wawancara meningkat ketika kami mulai memperoleh berbagai undangan dari intitusi kebudayaan di wilayah itu dn berbagai universitas: Secara umum, pria Syria diminta untuk tampil dan saya diminta untuk memberikan kuliah atau pengantar panjang untuk menjelaskan musik yang dinyanyikan. Para pria yang bekerja dengan saya tampak cukup nyaman dengan keadaan ini meskipun jelas tidak seimbang; tentu saja, mereka mengundang saya untuk berbicara dalam konser pizmon yang pertama dan menunjukkan kepada sponsor bahwa saya berpartisipasi ketika mereka menerima undangan pertama untuk tampil di luar komunitas.
Kini saya menyadari bahwa ini baru merupakan awal meningkatnya peran aktif saya dalam proses transmisi, yang menyertakan ketergantungan pertemanan antara saya dengan beberapa orang dalam komunitas.Sebuah peristiwa yang sangat penting adalah yang diadakan pada tanggal 15 November 1987, dimana saya diundang untuk memberikan sebuah perpaduan antara kuliah/konser di sebuah pusat komunitas yang terletak di Lower East Side of Manhattan. Ketika memulai bagian ini dengan pembicaraan yang menjelaskan tradisi musik Syria, para peserta orang tua yang umumnya berasal dari para imigran Yahudi keturunan Eropa Timur terlihat sangat gelisah. Setiap kali saya menyebutkan hubungan antara tradisi Yahudi-Syria dengan musik Arab dan menggunakan istilah “Arab,” sebagian dari para peserta berdesis/mencemooh.[14] Setelah beberapa kali terjadi hal ini, Moses Tawil, pemimpin dari para pria Syria yang kn menyanyikan pizmonim, berdiri dari bangkunya, berdiri di belakang saya dan berbicara lewat mikrofon: “Kita adalah orang-orang sibuk, dan tidak seharusnya berada di sini,” katanya dengan berempati. “Kita tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh Profesor Kay dan ingin mendengarkannya. Mohon untuk tenang.”
Saya tidak dapat mengatakan bahwa teguran dari Tawil memperbaiki tingkah para peserta—saya tetap menganggap ini sebagai satu-satunya pengalaman terburuk dalam melakukan kuliah umum—akan tetapi itu merupakan sebuah saat yang sangat penting terkait kehangatan dan ikatan antara saya denga orang Syria saat ini. Setelah peristiwa itu, saya menerima berbagai undangan untuk perayaan-perayaan keluarga, Bar Mitzvah, ulang tahun pernikahan, serta perayaan-perayaan liburan. Kami menjadi lebih dekat, dan selanjutnya saya dipanggil untuk memainkan sebuah peran dalam pengabadian tradisi.
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh para etnomusikolog dengan terlibat dalam penelitian dengan tradisi-tradisi musik yang hidup beserta mesyarakat pemiliknya, mereka secara sengaja maupun tanpa disadari terlibat dalam proses-proses dan berbagai politik transmisi tradisi. Terkadang intervensi mereka mendukung kesinambungan; terkadang mereka juga menyebabkan perubahan. Saya meyakini bahwa interaksi-interaksi ini tidak dikonseptualisasikan secara formal, sebagai tindakan yang ilmiah, tetapi relatif dilakukan secara tidak sadar pada tingkatan yang lebih personal sebagai studi pergeseran tradisi yang hampir tidak jelas kedudukannya dalam sebuah ruang relasional yang terletak antara keilmiahan dan kehidupan. Sebagai hubungan-hubungan “di lapangan” yang matang dari formalitas ilmuwan/informan terdahulu (jika ada ketersediaan waktu dan akses yang besar) menjadi sesuatu yang lebih kolektif dan personal, peneliti lapangan tidak dapat menghindari pergerakan melewati manajemen modal kultural ke dalam negosiasi hubungan-hubungan manusia di lapangan.


Transmisi dan Tradisi

Sejalan dengan meninjau kembali peran aktif saya yang unik dalam pro-ses-proses transmisi dalam komunitas Syria, saya melihat kembali proyek-proyek fieldwork lainnya yang pernah saya lakukan—beberapa kali proyek penelitian urban dan pedesaan di Ethiopia, sebuah perpaduan pengalaman pengarsipan/etno-grafis dalam sebuah sinagoge Amerika di Houston, sebuah pengalaman yang dapat dikatakan tidak sukses selama enam bulan bergelut dengan sebuah kelompok usik baru di kota New York—dan mencari pola-pola serupa (peran aktif dalam proses-proses transmisi). Tentu saja, pola-pola seperti itu ada dan saya hanya dapat berpendapat bahwa pola-pola yang demikian merupakan suati kelaziman, lebih dari apa yang diakui oleh para etnomusikolog pada umumnya. Berikut ini saya akan mengidentifikasi dan mendiskusikan secara singkat tiga hal dimana peneliti lapangan seringkali terlibat dalam proses transmisi: memelihara tradisi, mengenang tradisi, dan menengahi tradisi. Tidak disangsikan kemungkinan hal-hal selain ketiga ini, dan sebuah pengalaman etnografis dapat merupakan perpaduan ketiganya sekaligus. Sebagai bagian dari proses definisi, lebih jauh saya akan memberikan sejumlah contoh berdasarkan pengalaman saya dan yang terkumpul dari literatur etnomusikologis. Hampir tak dapat diabaikan, situasi-situasi ini tak dapat dielakkan pada titik pertemuan kehidupan dan keilmiahan—situasi ini bermula ketika studi terhadap sebuah tradisi menjadi bagian dari kehidupan tradisi itu sendiri dan berbagai hubungan di lapangan semakin diperdalam menjadi sebuah model yang lebih interaksional.


Memelihara Tradisi

Jika berbagai aspek catatan para etnomusikolog terkait proses transmisi umumnya diakui, maka dapat diduga bahwa aktifitas pekerjaan etnomusikologis pada satu tingkatan adalah memelihara. Meskipun etika pemeliharaan merupakan bagian proses etnografis yang tidak dipermasalahkan, dan berbagai paradigma lawas mengarahkan para ilmuwan terdahulu untuk mencari dan mempelajari tradisi-tradisi tertentu sebelum tradisi-tradisi tersebut “menghilang,” kiranya jelas bahwa proses mempelajari tradisi musik itu sama halnya dengan berpartisipasi dalam sebuah tindakan pemeliharaan.
Seringkali peran etnomusikolog sebagai pemelihara tradisi diakui atau bahkan diharapkan oleh orang-orang dalam tradisi tersebut. Mengambil satu contoh dari literatur, Barbara Smith mencatat bagaimana ia mempelajari tarian-tabuhan genderang bon dalam masyarakat imigran Jepang di Hawaii, menjadi anggota dari sebuah perkumpulan, dan “menabuh genderang” dalam tarian bon pada suatu musim panas (1987:211). Beberapa hari setelah kedua kalinya ia menampilkan tarian bon, ia mengatakan bahwa seorang anggota komunitas tersebut berkomentar: “Sekarang aman jika kita mati, karena jika Profesor Smith bermain genderang maka artinya selalu akan ada seseorang yang membunyikan genderang untuk jiwa kita” (p. 211). Smith kemudian menceritakan bahwa permainan genderang yang ia lakukan mendorong sejumlah anak muda untuk belajar memainkannya dan bahwa pemain genderang tidak akan habis setelah itu!  
Ada berbagai contoh dimana seorang “informan” secara terang-terangan membebani “etnomusikolog” dengan tanggung jawab mentransmisikan tradisi. Sebuah contoh yang jelas terjadi ketika saya melakukan pekerjaan dalam masyarakat Beta Israel (Falasha) di bagian utara Ethiopia. Suatu hari, seorang pendeta tua Beta Israel memerhatikan saya dengan seksama dan berkata: “Dalam dua puluh lima tahun, hanya anda yang akan mengetahui orang-orang kami yang bersembahyang” (Shelemay 1989:xviii). Ia mengakui sebuah kenyataan proses transmisi di dalam komunitasnya sendiri dan menyadarkan saya terkait tanggung jawab untuk memelihara tradisi.
Ini menyadarkan saya bahwa pemeliharaan bukan hanya sebuah pertumbuhan seperti dalam paradigma keilmiahan saat ini, tetapi paling tidak dalam keadaan-keadaan tertentu, sebuah pengakuan terhadap realita perubahan musik dan sebuah bagian dari kontrak implisit antara entomusikolog dengan masyarakat pemiliki tradisi. Kontrak/keter-ikatan ini akan menjadi cukup krusial dalam kasus penelitian seorang “insider”, ketika seorang sarjana memiliki keseluruhan atau sebagian identitas yang ia pelajari.
Contoh tarian-tabuhan genderang bon yang dikutip terdahulu juga menyoroti sebuah jenis pemeliharaan yang tidak saya alami secara pribadi,[15] tetapi merupakan sesuatu yang sangat umum ditemui di lapngan. Meskipun seluruh etnomusikolog mentransmisikan pengetahuan melalui berbicara dan merekam musik, lebih jauh lagi berbagai transmisi tradisi musik dapat dilakukan melalui menghadirkan kembali (re-creating) pertunjukan itu sendiri. Dalam cara ini, unit studi sifat performatif yang dimiliki etnomusikolog memungkinkan terjadinya replikasi, baik sebelum maupun setelah masa penelitian etnografis. Banyak etnomusikolog kini mengajarkan musik yang mereka pelajari ketika berada di lapangan. Meskipun seseorang dapat memandang aktifitas ini sebagai sebuah sumbangan, saya meyakini bahwa tidak secara umum dianggap demikian oleh masyarakat pemilik tradisi tersebut atau oleh etnomusikolog. Agaknya, hal tersebut dapat juga dilihat sebagai bagian dari proses seorang manusia melintasi sebuah dunia ekspresi yang benar-benar pribadi. Bagaimana seseorang dapat membaca deskripsi John Miller Chernoff tentang akusisinya tentang teknik permainan genderang Ghana (1979) dan tidak mengakui bahwa, seperti gurunya, melakukan musik ini sebagai “sebuah kenangan jasmaniah?” (Connerton 1989).[16] Teori-teori seperti :bi-musikalitas” yang dikemukakan oleh Mantle Hood memungkinkan lebih dari sekedar masuk ke dalam pembelajaran musik; secara implisit ini mengarahkan etnomusikolog menuju pemeliharaan, replikasi, dan transmisi tradisi secara aktif.[17]


Mengenang Tradisi

Meskipun kita cenderung mengkoseptualisasikan transmisi dengan hal-hal komunal dan sosial, kenyataannya proses ini berjalan dengan sangat personal dan idiosinkratik, sumber dari tradisi menjadi guru (informan, atau lebih tepatnya, rekan penelitian), sementara seorang siswa yang menerimanya (etnomusikolog). Kecenderungan etnomusikologi untuk melihat mulai dari individu hingga kelompok yang berpadu dengan tradisi-tradisi antropologis yang telah berlangsung lama dalam hal menutupi subjek penelitian, bermuara pada sedikitnya kemungkinan penelusuran terkait pengenangan (memorializing) dalam litertur kita. Akan tetapi, ada beberapa contoh. Bruno Nettl menulis sebuah ode untuk guru-guru favoritnya (1984) dimana ia mendiskusikan dan mengenang orang yang dulu pernah ia sebut dengan informan.[18] Demikian juga, otobiografi Frank Mitchell yang berjudul Navajo Blessingway Singer, merupakan bagian dari “sebuah realisasi akan harapan Frank bahwa buku tentang hidupnya ini akan terus hidup” serta sebuah rasa “kesatuan keluarga” yang muncul dari kebersamaannya dengan para editornya selama bertahun-tahun (Mitchell 1978:5). Frisbie dan McAllester mengakui bahwa hubungan mereka dengan Frank Mitchell adalah sesuatu yang penuh dengah kasih, yang berawal dari pengembangan laporan terdahulu, melalui pekerjaan berbgai proyek, hingga menjadi sebuah persahabatan yang berlangsung lama dengan kewajiban mutual dan tanggung jawab (p. 5). Jadi bukanlah suatu kebetulan jika buku ini dipersembahkan untuk mengenang Frank Mitchell.


Memediasi Tradisi

Navajo Blessingway Singer juga membawa kita kepada mode transmisi ketiga—mediasi (mediation). Selain untuk mengenang Frank Mitchell, Frisbie dan McAllester menjadi penengan antara antara dirinya degan dunia yang lebih luas: “Frank, tentu saja, merupakan penulis Navajo Blessing Singer. Tugas kami adalah mengumpulkan data, menyunting narasi dan, dengan dukungan para interpreter yang cakap, mengalih-bahasakannya ke dalam bahasa Inggris” (Mitchell 1978:8). Artinya, setiap kali seorang sarjana mengutip atau menafsirkan sebuah wawancara atau percakapan, ia menengahi/mem-perantarai tradisi. Sejumlah peneliti pada kenyataannya seringkali merujuk pada diri mereka sendiri sebagai perantara. Alan Lomax tidak menganggap dirinya seorang “yang membangkitkan kembali sebanyak mereka yang ada di tengah-tengah [tradisi tersebut],” merasakan bagian penting dari tanggung jawabnya untuk “menemukan penyanyi rakyat terbaik … dan mendengarkan mereka di manapun” (dikutip dalam Sheehy 1992:329). Beth Lomax Hawes lebih menekankan hal tersebut dalam komentarnya pada pertemuan Folk Arts Panel tahun 1981: “Itu benar, kita adalah orang yang usil!” (Titon 1992:316).
Memediasi dapat terwujud dalam berbagai bentuk dan kemungkinan tidak terbatas hanya pada wilayah antara komunitas dengan outsider. Selain “menengahi” orang-orang Syria yang merupakan rekan penelitian saya, berbicara untuk memperkenalkan pertunjukan mereka kepada penonton yang tidak familiar dengan repertoar pizmon, saya juga diminta untuk memikul peran ini dalam komunitas tersebut. Dalm sebuah acara perkumpulan keluarga besar Tawil dan beberapa ratus keluarga Syria lainnya di Passover, sebuah resor wisata di pegunungan Catskill pada akhir tahun 1980-an, Moses Tawil meminta saya untuk memberikan sebuah kuliah umum tentang tradisi musik Yahudi-Syria; sebagian besar peserta dalam ceramah itu adalah orang Yahudi Syria. Dengan demikian, mediasi tidak hanya sekedar menyampaikan sesuatu untuk mereka di luar tradisi tersebut, tetapi juga berpartisipasi dalam menumbuhkan kesadaran sebuah tradisi di dalam komunitas pemilik tradisi itu sendiri.[19]
Berdasarkan ini, saya menyarankan bahwa banyak (jika tidak seluruh etnomusikolog) memelihara, mengenang, dan memediasi tradisi-tradisi berdasarkan kebiasaan yang wajar, terutama karena apa yang saya istilahkan dengan “bracketed performativeness” dari bahan-bahan yang mereka pelajari. Baik di dalam lapangan maupun setelah keluar dari lapangan, secara tegas ini bukanlah persoalan teoretis. Seseorang mempelajari musik dengan melakukan dan mengingatnya secara berulang-ulang, baik melalui pertunjukan langsung (live) ataupun rekaman. Data etnomusikologis dalam domain (wilayah) musikal dapat direplikasi melalui cara tertentu dimana jenis-jenis data etnografis lainnya tidak dapat demikian. Dengan demikian, saya menyatakan bahwa keterlibatan etnomusikolog dalam transmisi tradisi merupakan sebuah aspek lawas dan mendalam dari sebuah proses penelitian etnomusikologis, yang terutama muncul karena sifat datanya.
Dari perspektif disipliner, di sini kita berhadapan dengan identitas etnomusikolog yang bercabang, yang terbentuk dari komitmen-komitmen musikologis hingga pertunjukan dan keterlibatan prinsip-prinsip antropologis. Ketegangan antara pendekatan-pendekatan ini terkadang muncul di permukaan dalam literatur, menggugah seorang tokoh di masa lalu dalam bidang ini menuliskan bahwa etnomusikolog “tidak mencari pengalaman estetis bagi dirinya sendiri sebagai tujuan utama (meskipun kemungkinan secara personal ini dihasilkan dari studi-studinya), tetapi untuk menemukan/merasakan makna dari pengalaman estetis orang lain dari sudut pandang pemahaman perilaku manusia” (Merriam 1964:25). Dalam tulisan etnomusikologis yang muncul belakangan, terdapat pengakuan secara eksplisit terkait keterlibatan bersama di lapangan. Dalam kata-kata seorang etnografer:

Tidak ada pengganti dalam penelitian lapangan etnomusikologis bagi kedekatan yang melahirkan pengalaman musik bersama. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang menyenangkan dan sebuah metode yang bagus. Menjadi seorang penikmat yang apresiatif adalah bentuk penting dari pertukaran musikal. Nikmatilah rasanya menjadi seseorang yang kembali belajar; membentuk sebuah hubungan dengan para musisi terkemuka adalah suatu pendekatan yang umum dan berhasil dalam etnomusikologi (Myers 1992:31).

Akan tetapi jika “bermain” di lapangan harus berangkat dari metode yang baik, oleh karenanya para etnomusikolog membutuhkan panduan untuk situasi yang sarat dengan permasalah etis dan praktis. Beralih ke perspektif lainnya, tampak bahwa para etnomusikolog dan mereka yang terlibat dalam proses transmisi dapat mempertimbangan butir-butir berikut:

·      Jika kita terikat secara eksplisit maupun implisit untuk memelihara apa yang telah diajarkan orang kepada kita, kita harus mendokumentasikannya dengan baik dan selalu menyimpannya sebagai arsip.
·      Pekerjaan kita harus ditentukan waktunya (lama penelitian), yang menungkinkan kita untuk melakukan dialog dengan orang-orang yang masih hidup dan dengan berbagai kenangan yang sangat bermakna dari mereka yang telah tiada.
·      Kita harus menghormati kepercayaan dan melindunginya ketika diperlukan, tetapu juga harus siap untuk mengakui keahlian dan kesenimanan ketika mereka terbuka dan memberikannya degan cuma-cuma.
·      Kita harus berbagi hasil dari tugas kita, apakah dengan memberikan hasil-hasil rekaman, memberikan bahan-bahan untuk digunakan dalam komunitas dan/atau oleh individu-individu dalam komunitas itu, atau melalui pembagian finansial yang diperoleh, misalnya dari royalti.
·      Jika penelitian lapangan adalah sebuah pencarian/penye-lidikan yang humanistis, maka kita harus mengapus apa yang disebut dengan “dikotomi yang keliru,” kesalahan yang memisahkan penelitian akademis dengan sektor pekerjaan publik. Kita harus memikul tanggung jawab tidak hanya sebagai dampak dari tindakan kita memasuki lapangan, tetapi untuk hubungan kita yang terus-menerus dengan lapangan yang kita datangi serta para guru setelah kita “meninggalkan” mereka (yakni, penelitian yang tidak berkelanjutan).
·      Jika kita sebaya/seumur dengan mereka yang saat itu menjadi guru kita, maka kita harus terlibat dalam proses-proses kolaboratif. Sebaliknya, kolaborasi dapat membantu mengurangi kekuatan-kekuatan yang tidak seimbang dan memastikan kesepadanan antara tujuan-tujuan etnografis dengan kepekaan individu atau komunitas.
·      Kita harus mengakui secara lebih terbuka bahwa dalam berbagai situasi, ilmuwan yang memasuki lapangan saat itu dianggap seseorang yang memiliki otoritas (kekuasaan/kewe-nangan) dan memposisikan sejumlah kekuatan yang pasti akan terlibat dalam mengejar kehidupan yang nyata dari masyarakat yang diteliti. Kita wajib untuk menggunakan pengetahuan dan kekuatan, karena sudah semestinya demikian, dalam hal-hal terpenting dari orang-orang yang kita pelajari.
·      Terkadang, kita akan berhadapan dengan situasi-situasi dimana tujuan-tujuan kita tidak sama dengan tujuan komunitas itu atau dimana kita dipercaya untuk menyimpan bahan-bahan sehingga secara eksplisit kita menanggung beban untuk emnjaga kerahasiaan. Dalam contoh yang jarang ini, tindakan kita yang terbaik adalah dengan diam atau menarik diri. Kita perlu untuk memelihara sebuah tempat dalam tradisi pedagogik oral dimana kita dapat berdiskusi tentang kegagalan dan keterbuangan.

Akhirnya, pengakuan bahwa penelitian lapangan merupakan sebuah permasalahan dalam hubungan-hubungan manusia menawarkan sebuah jalan melalui semak belukar persoalan yang mengelilingi proses etnografis dan berpotensial menggangu peran peneliti lapangan. Ini tampaknya sama dengan sebuah tren baik dalam etnomusikologi maupun antropologi, yakni untuk mengembangkan sebuah teori yang diungkapkan secara praktis (practice-informed theory).
Sebagian besar dari kita menyadari bahwa kita tidak melakukan studi terhadap konsep/barang mati yang disebut dengan “kebudayaan” atau sebuah tempat yang disebut “lapangan,” melainkan menghadapi arus individu-individu yang sesudah itu kita berhubungan dengan mereka dalam cara-cara yang baru. Dengan mengambil apa yang disebut Arjun Appadurai dengan “deteritorialisasi,” saya menyarankan bahwa hubungan-hubungan manusia kemungkinan merupakan sisa yang paling pasti dari lapangan adalah apa yang disebut dengan lokal, stabil, dan terikat (Appadurai 1991:192). Kita dapat mulai dengan mengajar dan mempraktekkan etnografi yang mengakui realitas kebersamaan dan interaksi, yang didasarkan pada hubu-ngan-hubungan yang dapat dinegosiasikan.


Bibliografi

American Musicological Society Directory. 1993. Philadelphia: American Musicological Society.
Appadurai, Arjun. 1991. ‘‘Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational Anthropology.’’ Dalam Recapturing Anthropology: Working in the Present, disunting oleh Richard G. Fox, 191–210. Santa Fe, N.Mex.: School of American Research Press.
Chernoff, John Miller. 1979. African Rhythm and African Sensibility: Aesthetics and Social Action in African Musical Idioms. Chicago: University of Chicago Press.
Connerton, Paul. 1989. How Societies Remember. Cambridge: Cambridge University Press.
Dyen, Doris. 1982. ‘‘New Directions in Sacred Harp Singing.’’ Dalam Folk Music and Modern Sound, disunting oleh William Ferris & Mary L. Hart, 73–79. Jackson: University Press of Mississippi.
Feld, Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. 2nd ed. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Fluehr-Lobban, Carolyn, ed. 1991. Ethics and the Profession of Anthropology: Dialogue for a New Era. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Georges, R. A., & M. O. Jones. 1980. People Studying People: The Human Element in Fieldwork. Berkeley: University of California Press.
Hood, Mantle. 1982 [1971]. The Ethnomusicologist. New Edition. Kent: Kent State University Press.
Kerman, Joseph. 1985. Contemplating Music: Challenges to Musicology. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Lomax, John Avery, comp. 1910. Cowboy Songs, and Other Frontier Ballads. Pengantar oleh Barrett Wendell. New York: Sturgis and Walton.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press.
Mitchell, Frank. 1978. Navajo Blessingway Singer, disunting oleh Charlotte Frisbie & David McAllester. Tucson: University of Arizona Press.
Myers, Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction, disunting oleh Helen Myers. New York: W. W. Norton.
Neuman, Daniel. 1980. The Life of Music in North India: The Organization of an Artistic Tradition. Detroit: Wayne State University Press.
Nettl, Bruno. 1983. The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press.
_______. 1984. ‘‘In Honor of Our Principal Teachers.’’ Ethnomusicology 28 (2): 173–85.
Rosaldo, Renato. 1993 [1989]. Culture and Truth: The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
Seeger, Anthony and a comunidade indígena Suyá. 1982. Música Indigena: A arte vocal dos Suyá. 12 inch LP disc with liner notes. São João del Rei: Edições Tacape 007, serie ethnomusicologia. Reissued with revised notes on CD as volume 75 of Music of the Earth: Fieldworkers’ Sound Collections, Tokyo: JVC Video Software Division, 1992.
_______. 1987. Why Suyá Sing: A Musical Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy, Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3):323–36.
Shelemay, Kay Kaufman. 1988. ‘‘Together in the Field: Team Research Among Syrian Jews in Brooklyn, New York.’’ Ethnomusicology 32(3):369–84.
_______. 1989. Music, Ritual, and Falasha History. East Lansing: Michigan State University Press.
Shils, Edward. 1981. Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Slobin, Mark. 1992a. ‘‘Ethical Issues.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction, disunting oleh Helen Myers, 329–36. New York: W. W. Norton.
Smith, Barbara Barnard. 1987. ‘‘Variability, Change, and the Learning of Music.’’ Ethnomusicology 31 (2):201–20.
Taruskin, Richard. 1982. ‘‘On Letting the Music Speak for Itself: Some Reflections on Musicology and Performance.’’ Journal of Musicology 1 (3):338–49.
Tick, Judith, ed. 1993. A Suite for Four Strings and Piano by Ruth Crawford. Madison, Wisc.: A-R Editions.
Titon, Jeff Todd. 1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3):315–22.











Helen Myers
_____________________________

4

Penelitian Lapangan






Mendefinisikan etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan Dalam penelitian lapangan, kita membuka wajah manusia dari etnomusikologi. Apakah kita memilih sebuah kampung terpencil di India, komunitas pedesaan di Eropa, kota yang dihuni oleh orang Nigeria atau etnis-etnis yang hidup berdampingan di kota besar seperti Tokyo atau Paris, apakah kita mempelajari keluarga kita sendiri atau sebuah suku yang asing, negeri kita sendiri atau sebuah tempat yang eksotis, penelitian lapangan merupakan pekerjaan personal yang dituntut dari seorang etnomusikolog. Penelitian lapangan juga merupakan tahap paling kritis dalam penelitian etnomusikologis—laporan pandangan mata, dimana semua hasil akan berangkat darinya. Rintangan besar dari usaha etnomusikologis ini juga sekaligus merupakan hal yang sa-ngat memikat, dan tidak sedikit sarjana yang tertarik de-ngan disiplin ilmu ini karena pesona dan mistisme dari penelitian lapangan. Tantangannya cukup banyak, diduga-atau tidak diduga, bisa saja membosankan namun dapat juga sangat artistik. Kekuatan dan kelemahan para etnomusikolog diuji ketika kita beradaptasi dengan cara hidup yang asing guna mendokumentasikan budaya musing yang tidak dikenal. Situasi penelitian lapangan yang demikian memunculkan perasaan janggal dan membuat etnomusikolog terkadang kehilangan orientasi, sebuah realitas yang membi-ngungkan karena seharusnya sebuah pekerjaan yang berhasil berangkat dari kealamian, kejujuran, sepenuh hati, dan kadangkala dengan perilaku yang spontan. Para sarjana yang berhasil melewati permasalahan-permasalahan ini membuktikan bahwa mereka menggunakan rencana yang cerdik, menikmati penelitian, dan menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang yang diteliti.

Etnomusikolog Australia, Alice Moyle, merekam pemain didjeridu di Oenpelli, wilayah Barat Laut, Dataran Arnhem, 1962.
Penelitian lapangan merupakan salah satu karakteristik ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi dan etnomusikologi. Ini merubah kebiasaan lama, yakni pekerjaan ‘di belakang meja’, dimana para musikolog mentranskripsi dan menganalisis bahan yang direkam oleh para etnolog. Para mahasiswa etnomusikologi kini diharap menceburkan diri secara total dalam sebuah kebudayaan yang asing bagi mereka, umumnya selama satu tahun atau lebih, dan memperoleh pengalam musik dari tangan pertama dalam berbagai latar yang berbeda. Selama penelitian lapangan, etnomusikolog mengumpulkan berbagai sumber primer: berbagai observasi yang dituangkan dalam catatan lapangan, merekam musik dan wawancara, foto, film, serta bahan-bahan video. Berbeda halnya dengan musikolog sejarah yang mengumpulkan data sedikit demi sedikit dari arsip-arsip dan perpustakaan, etnomusikolog harus mengumpulkan dan mendokumentasikan materi dari para informan yang hidup. Para etnomusikolog yang bekerja dalam kebudayaan-kebudayaan yang nyaris tidak memiliki rekaman-rekaman tertulis harus mengandalkan metode-metode yang dirancang untuk menyelidiki sejarah lisan. Untuk kebudayaan-kebudayaan yang telah memiliki rekaman tertulis, peneliti lapangan harus mempelajari sumber-sumber historis, mengumpulkan pernyataan-pernyataan dari para informan tentang praktik musikal, dan kemudian membandingkan teks dan hasil wawancara tersebut dengan perilaku yang diamati sehari-hari.
Beberapa dekade yang lalu, penelitian lapangan seolah merupakan sebuah ritus peralihan yang harus dijalani para mahasiswa, dengan hanya sedikit hal yang diajarkan. Ketika dituntut yang namanya objektifitas, kenyataannya penekanan diletakkan pada wawasan, intuisi, ketertarikan personal, kejadian-kejadian yang kebetulan, dan keberuntungan. Karena topiknya bersifat individual dan personal, para sarjana enggan menulis dengan jujur tentang pengalaman-pengalaman mereka di lapangan. Catatan-catatan lapangan dan buku harian, transkripsi-transkripsi wawancara serta catatan aktifitas sehari-hari jarang dipublikasikan (beberapa pengecualian antara lain Slotkin, 1952; buku harian Bronislaw Malinowski yang diterbitkan anumerta, 1967; dan Merriam, 1969, ‘The Ethnographic Experience’; dan sebuah antologi potret-potret para informan di Casagrande, 1960). Mulai tahun 1960-an dan 1970-an, wujud tulisan-tulisan tentang pengalaman pribadi penelitian lapangan juga dipublikasikan (Powdermaker, 1966; Henry dan Saberwal, 1969; Freilich, 1970; Golde, 1970; Spindler, 1970; Anderson, 1971; Wax, 1971 dan 1977; Mead, 1972; Blacking, 1973; Jones 1973; Pelto dan Pelto, 1973; Foster dan Kemper, 1974; Béteille dan Madan, 1975; Clarke, 1975; Geertz, 1976; Honingmann, 1976; Freilich, 1977; dan Dumont, 1978). Gerakan ini makin pesat pada tahun 1980-an, seolah seperti sebuah pendulum yang berayun-ayun pada titik terjauhnya, dan sebutan sebagai pendukung subjektifitas mulai dilontarkan kepada para psikoanalisis sebelum penelitian lapangan dan pengakuan lewat autobiografi para sarjana (dalam antropologi, Barley, 1983; Turner dan Bruner, 1986; Whitehead dan Conoway, 1986; dalam etnomusikologi, Berliner, 1978; Keil, 1979; dan Gourlay, 1978, yang menilai peran etnomusikolog di lapangan).
Teks etnografis kemudian dikupas sebagai sebuah bagian dari literatur yang sesungguhnya, dalam bentuk dan gayanya, dan cukup lama diakui, dan dilihat kembali untuk menghidupkan humanisme baru ini (Bruner, 1986; Clifford dan Marcus, 1986). Perdebatan mengarah pada teka-teki epistemologis yang disebut ‘refleksifitas’, dimana para antropolog berupaya mengevaluasi dan mengukur dampak mereka terhadap topik yang juga mereka pelajari. Tindakan observasi antropologis merupakan sesuatu yang menonjol, tidak dapat mengubah perilaku mereka yang diamati; ‘lensa antropologis’ ini juga menjadi objek pnyelidikan (Mills, 1973; Peacock, 1986). Ironisnya, para sarjana yang bekerja dalam bidang ilmu fisika telah lama menerima penyimpangan ini, terutama elemen subjektif yang melekat pada metode saintifik (banyak penemuan dihasilkan dari kebetulan atau keberuntungan) dan elemen interaksi personal dengan data, termasuk hal-hal menakutkan yang memenuhi diri, misalnya ahli geologi yang berteriak keras ‘avalanche’ (salju longsor) di sebuah gunung yang bersalju (Kuhn, 1962; Popper, 1959, 1963, 1972; Myers, 1981).


Definisi: Penelitian Lapangan, Lapangan, Informan,
Pertunjukan dan Rekaman

Penelitian lapangan dapat didefinisikan sebagai ‘mengamati orang-orang in situ; menemukan mereka apa adanya, tinggal dengan mereka dengan peran yang, ketika diterima oleh mereka, memungkinkan terjadinya pengamatan yang lebih dekat terhadap perilaku-perilaku tertentu mereka, dan melaporkannya lewat cara yang bermanfaat bagi ilmu sosial namun tidak membahayakan mereka yang sedang diamati’ (Hughes, 1960, p.v.).


Laura Boulton sedang merekam para penyanyi Haiti pada tahun 1938.

Di manakah lapangan? Lingkup penyelidikan etnomusikologis luas dan beragam seperti luas dan beragamnya dunia musik itu sendiri. Studi-studi terdahulu berfokus pada bentuk-bentuk tradisi kerakyatan nasional dalam bentuk lisan, masyarakat-masyarakat pedesaan di luar negeri si peneliti, dan musik dari masyarakat-kasyarakat yang kemudian disebut ‘eksotis’ atau ‘primitif’, yakni, mereka yang hanya memiliki sedikit kontak dengan orang Barat. Sistem-sistem musik klasik Oriental, objek yang sangat mempesona selama berabad-abad, tetap menjadi subjek yang populer dalam etnomusikologi modern. Pada tahun 1990-an, bidang ini sarat berbagai topik, mulai dari studi-studi terhadap kelompok-kelompok etnis terpencil di wilayah-wilayah pedalaman Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, hingga masyarakat yang telah mengalami modernisasi, pembaratan (Westernization), kehidupan musik urban, musik populer dan industri musik. Bagi etnomusikolog, lapangan dapat berarti sebuah wilayah geografis atau linguistik; sebuah kelompok etnis (kemungkinan tersebar di sebuah wilayah yang luas); sebuah kampung, kota, pinggiran kota, kota besar; padang pasir atau hutan belantara; hutan hujan tropis atau kawasan tundra di Arktik.
Situasi setiap lapangan memiliki keunikan, tetapi semua proyek penelitian memiliki ciri-ciri umum. Pertama adalah informan—orang yang memberikan informasi. Istilah ini memiliki sejumlah konotasi yang bermasalah, dan banyak sarjana lebih memilih untuk menggunakan istilah kolega, teman, responden, partisipan, yang diwawancarai, sumber, atau guru. Kurang lebih, informan adalah istilah yang digunakan sangat luas dalam ilmu sosial, yakni bagi orang-orang di lapangan yang menceritakan tentang kehidupan dan musik mereka.
Kedua, semua penelitian lapangan meliputi pertunjukan, baik pertunjukan musik maupun pertunjukan budaya (berbagai ritual dan upacara kehidupan tradisional), serta pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan khusus untuk para peneliti lapangan (percakapan-percakapan informal, wawancara, dan sesi perekaman).
Ketiga adalah rekaman, dalam bentuk catatan lapangan tertulis, rekaman musik, kaset-kaset wawancara, foto, serta rekaman film dan video 16 mm. Berbagai kelengkapan yang dibutuhkan di lapangan—buku, perekam, instrumen musik—juga merupakan sebagian dari bentuk koleksi ini. Kesulitan utama dalam etnomusikologi adalah pemeliharaan dan dokumantasi rekaman-rekaman, transportasinya ke lapangan, dan selanjutnya pemrosesan dari lapangan ke rumah lalu masuk arsip (dan seringkali kembali lagi ke lapangan untuk mengecek dan pendokumentasian lebih jauh). Selama penelitian lapangan, menggunakan kereta atau bus lokal, berdesakan dengan orang-orang desa dan hewan ternak mereka, para pedagang asongan dan barang dagangan mereka, ibu-ibu yang menyuapi bayinya, anak balita yang menghisap buah-buahan, orang tua yang berjongkok di gang antar kursi dan bagasi penumpang yang diletakkan semrawut di atas atap bus, menyebabkan kesulitan dalam membawa perlengkapan etnomusikologis. Di tempat pemeriksaan bandara, yang cukup ketat dan dibatasinya bobot bagasi, membawa barang-barang yang retan ini menjadi semakin sulit; ketika berhasil tiba dengan selamat di rumah, ini akan menjadi harta, kenikmatan, serta sumber dari semua analisis kita. Etnomusikolog profesional kemudian menjadi cakap dalam memindahkan segala jenis benda ini dari desa A ke kota B, lalu ke kota C kemudian ke arsip D (untuk penggandaan sebelum berangkat dari tempat penelitian), lalu ke bandara E ke bandara F (kota tempat asal/rumah), kemudian ke arsip G (untuk penggandaan atau penyimpanan di tempat asal)—ratusan pita rekam dan kaset, film peka cahaya (untuk perjalanan ke luar negeri) dan film peka cahaya (perjalanan dalam negeri), instrumen-instrumen musik, alat perekam, mikrofon, baterai dan pengisi baterai, serta lain sebagainya. Pekerjaan ini sangat membutuhkan pikiran dan kemampuan pengorganisasian yang cakap.
Panduan-panduan untuk metode lapangan yang paling awal datang dari disiplin antropologi. Dalam Argonauts of the Western Pacific (1922), antropolog Anglo Polandia bernama Bronislaw Malinowski (1884-1942) mengemukakan sejumlah persoalan mendasar: hubungan teori dan metode, strategi penelitian induktif versus deduktif; observasi partisipasi; pentingnya membuka pikiran dan mengkritisi diri sendiri; hubungan antara data-data yang tidak berkaitan; perbedaan antara observasi dengan mengetahui secara mendalam, perbedaan antara observasi ilmiah dan gagasan-gagasan yang diekspresikan oleh informan lokal (data ‘emik’dan ‘etik’); keterisolasian petualangan antropologi, dan frustasi, kegelisahan, serta keputusasaan karena terkejut dengan budaya yang dihadapi (culture shock): ‘Bayangkan diri anda tiba-tiba dikelilingi oleh semua perlengkapan anda, sendirian di sebuah pantai tropis yang dekat dengan sebuah kampung penduduk asli’, tulis Malinowski, ‘sementara kapal atau sampan yang membawamu sudah berlayar menjauh dan hilang dari pandangan’ (p. 4).
Keterisolasian dalam penelitian lapangan ini, menurut Malinowski:

memutus seseorang dengan lingkungan orang kulit putihnya, dan meninggalkannya sedekat mungkin dengan para penduduk asli, yang hanya akan tecapai dengan berkemah di kampung mereka … untuk bangun setiap pagi dan menunjukkan diri pada mereka (pp. 6-7).

Seperti kebiasaan dalam ilmu fisika, Malinowski merekomendasikan pendekatan deduktif dalam penelitian lapangan, dimana latihan tentang teori dan metode yang diperoleh oleh mahasiswa digunakan untuk memandu, tetapi tidak untuk mendominasi observasi dan pengumpulan data yang sistematis:

Seorang etnografer tidak hanya harus menebar jala di tempat yang tepat, dan menunggu hasilnya. Ia harus menjadi seorang pemburu yang aktif, dan mengendalikan buruan ke arah sarangnya yang tidak dapat dijamah dan mengikutinya … Latihan yang baik dalam teori, dan kebebasan terkait hasil akhirnya, tidaklah identik dengan beban dari ‘gagasan-gagasan yang dipertimbangkan sebelumnya’. Jika seseorang melakukan sebuah ekspedisi, ingin membuktikan hipotesis tertentu, namun ia tidak dapat mengubah pandangan-pandangannya secara konstan dan membuangnya begitu saja di bawah tekanan bukti yang ada, jelas bahwa pekerjannya sia-sia. Tetapi permasalahan yang lebih besar adalah ketika ia membawa teori itu ke lapangan, membiasakan membentuk teorinya dari fakta-fakta di lapangan, dan mencari fakta yang menegaskan teori, merupakan sesuatu yang lebih baik bagi pekerjaannya. Gagasan-gagasan yang dipikirkan sebelumnya merupakan sesuatu yang bersifat merusak dalam pekerjaan saintifik apapun, tetapi membayangkan berbagai permasalahan yang akan dihadapi merupakan sesuatu yang baik bagi seorang ilmuwan, dan berbagai permasalahan inilah yang akan diungkap pertama-tama oleh sorang observer dalam kajian-kajian teoretisnya (pp. 8-9).


Perencanaan

Memilih Topik  Karena seluruh dunia merupakan wilayah kita dan disiplin ilmu kita hanyalah sebagian kecilnya, dimana sebagian besar musik yang belum dipelajari, maka untuk memilih sebuah permasalahan dalam etnomusikologi bukanlah hal yang sulit. Ironisnya, beragam topik yang unik dan wilayah penelitian yang tersebar di seluruh penjuru dunia memunculkan kebingungan bagi seseorang yang baru. Berikut adalah beberapa saran dalam melakukan pemilihan topik.
Pertama, ketertarikan pribadi: pilihlah topik yang anda sukai dan yang akan terus menarik bagi anda dan imajinasi anda selama penelitian berlangsung maupun setelah itu. Topik yang selalu memunculkan permasalahan baru (open-ended topic) adalah topik yang terbaik. Saya memilih proyek doktoral tentang musik kaum imigran India di Trinidad karena memiliki potensi menjadi topik yang open-ended; penyelidikan yang saya lakukan membawa pada berbagai permasalahan dan proyek penelitian baru (Myers, 1984). Penelitian pos-doktoral yang saya lakukan membawa saya ke wilayah timurlaut India, kampung halaman nenek-moyang para informan saya yang berasal dari India Barat; penelitian ini selanjutnya mengarahkan saya pada terhadap kelompok-kelompok orang India serupa di Fiji dan Mauritius, dimana para orang India tersebut juga dibawa oleh Inggris selama diberlakukannya sistem tenaga kerja kontrak, yakni antara tahun 1835-1919. Memilih topik penelitian doktoral dengan cermat—dirumuskan dengan baik, berfokus tajam dan berada dalam domain teoretis yang lebih luas—dapat menjadi fase pertama untuk pekerjaan yang dapat dilakukan seumur hidup. Kesinambungan dari sebuah proyek bergantung pada kemampuan bahasa yang dimiiki oleh peneliti, bibliografi repertoar musik; ini penting untuk menarik badan-badan pendanaan; serta pula dapat kembali dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana lokal.
Berbagai proyek etnomusikologi umumnya bergelut de-ngan permasalahan tunggal, atau sebuah perkampungan, wilayah-wilayah yang saling berdekatan, klompok etnis urban, musi individual atau genre. Pra etnomusikolog dengan kecenderungan antropologis memilih budaya-budaya musik yang menampakkan berbegai persoalan teoretis: wilayah kebudayaan dalam musik Indian Amerika Utara (Nettl, 1954), strukturalisme dalam masya-rakat dan musik orang Indian Brazil (Seeger, 1987), estetika dalam masyarakat Navajo (McAllester, 1954), dan model-model linguistik struktur dalam dan struktur permukaan dalam musik Venda (Blacking, 1971). Para sarjana yang lebih dipengaruhi oleh musikologi memfokuskan perhatian pada struktur-struktur musik (penelitian Hood tentang patet [modus] dalam musik Jawa, 1954), berbagai genre (survei yang dilakukan Wade terhadap vokal khyāl di India Utara, 1984), repertoar-repertoar instrumental (penelitian Berliner tentang mbira [lamellaphone] Shona, 1978), atau reprtoar keseluruhan dalam sebuah kelompok etnis (etnografi Capwell tentang orang Baul di Bengal, 1986). Sejak tahun 1950-an, studi-studi umumnya dibatasi hanya pada satu kebudayaan; studi lintas-budaya, yang merupakan fokus penelitian para sarjana Jerman pada abad ke-19, bukanlah hal yang umum, meskipun para sarjana senior telah membuat tulisan-tulisan reflektif seperti ‘Two Cities’ milik Nettl (1985), yakni sebuah perbandingan kehidupan musikal di Madras dan Teheran. Menjaga kelangsungan hidup musik yang menuju ambang kepunahan merupakan hal penting bagi etnomusikologi.
Studi-studi ulang (restudies—seorang sarjana menelusuri kembali apa yang pernah dikaji oleh sarjana lainnya) sangat umum ditemui dalam antropologi, seperti perdebatan Robert Redfield-Oscar Lewis tentang desa Tepoztlán di Meksiko, pengujian ulang yang dilakukan oleh Reo Fortune terhadap data Margaret Mead tentang peran sosial dalam masyarakat Arapesh di New Guinea, serta debat Ward Goodenough-John Fisher tentang pola residensi pasca-pernikahan dalam masyarakat yang medniami sebuah atol di Pasifik (Agar, 1980). Dalam etnomusikologi, studi ulang berpotensi khusus memperdalam kajian historis guna memahami tradisi lisan; studi-studi yang demikian juga memberikan sudut pandang baru terhadap wilayah-wilayah yang selama ini telah terasosiasi dengan interpretasi dari sarjana-sarjana tertentu (belum pernah ada dua orang peneliti memiliki perspektif yang sama). Peran interpretasi ganda terutama penting bagi studi budaya ekspresif, tetapi secara lebih sempit, yakni kalangan etnomusikologi akademis, kegunaan studi ulang belum ditempatkan secara semestinya.

Mungkin atau Tidaknya Penelitian Dilakukan Dalam memilih sebuah topik, mahasiswa harus melihat semua aspek kemungkinan.
Keilmiahan: Apakah topik yang di[ilih relevan dengan persoalan-persoalan teoretis terkini dalam etnomusikologi? Dapatkan kepentingan intrinsiknya yang merupakan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dibuktikan? Apakah pelajaran yang anda dapatkan dalam etnomusikologi, antropologi, sejarah dan repertoar musik memungkinkan untuk melakukan penelitian ini? Apakah anda memiliki akses terhadap sumber-sumber literatur dan sumber-sumber musikal yang relevan (perpustakaan dan arsip)? Apakah anda mengetahui bahasa setempat atau bermaksud mempelajarinya di lapangan?
Politis: Dapatkah visa yang dibutuhkan dan ijin penelitian diperoleh untuk penelitian ini? Berbagai langkah harus dilalui untuk memperoleh ijin penelitian resmi dan tersedia cukup waktu bagi instansi-instansi pemerintah untuk menyetujuai proposal. Apakah anda memilih topik yang sensitif secara politis atau di wilayah gografis yang sensitif? Kemungkinan proyek yang demikian ditunda hingga waktu yang tepat.
Fisik: Apakah studi yang dilakukan memiliki resiko dan membahayakan keselamatan, apakah waktu dan biaya mencukupi? Apakah dapat diperoleh dana yang mencukupi? Apakah anda memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan proyek ini? Apakah personil tersedia (terutama asisten di lapangan)?

ETIKA   Berbagai metode baru, teori, dan topik telah memunculkan berbagai permasalahan etika baru. Haruskah studi musik dilakukan olej ‘insider’—para ahli yang memiliki pengetahuan tentang bahasa, budaya, dan musik lokal—atau oleh ‘outsider’—yang menuntut adanya objektifitas dan keterbukaan pikiran? Para perintis (avant garde) dalam etnomusikologi mengembangkan kerjasama antara insider dan outsider dan membantu para seniman lokal untuk mengungkapkan kisah-kisah hidup mereka (misalnya, Frisbie & McAllester, eds., Navajo Blessingway Singer: The Autobiography of Frank Mitchell, 1978). Tuduhan imperialisme budaya, yang seringkali dilekatkan dengan peneliti orang luar, dikurangi dalam sejumlah proyek seperti yang dilakukan oleh Archives and Research Center for Ethnomusicology, Delhi, yakni sebuah organisasi yang membantu para peneliti tamu menyimpan salinan rekaman-reka-man lapangan mereka sebelum meninggalkan India (Samuādi, 1984-). Langkah positif lainnya adalah diseminasi materi-materi bidang kebudayaan—rekaman dan dokumentasi—yang dikembalikan kepada komunitas-komunitas pemiliknya, seperti yang dilakukan oleh Library of Congress Federal Cylinder Project, dimana salinan-salinan lagu tradisional (sebagian dikumpulkan beberapa dekade yang lalu dan telah lama dilupakan) dikembalikan keoada para penduduk asli Amerika (Brady dkk., 1984-).
Jika anda tidak mempelajari musik yang ada dalam masyarakat atau orang-orang kaya, bersiaplah untuk menjadi orang kaya di negara yang miskin. Tiap sarjana harus menghabiskan ribuan dolar untuk mempelajari musik, dimana uang sejumlah itu dapat digunakan untuk memberi makan mereka yang kelaparan atau untuk berobat. Pengetahuan untuk pengetahuan hanya akan memiliki sedikit asrti ketika anda menyaksikan seorang bocah sekarat; persoalan ini membutuhkan refleksi sebelum anda menjumpai orang-orang yang kelaparan dan sakit di lapangan. Saya mnghabiskan beberapa minggu yang berharga di India, bergelut dengan etika dalam mempelajari musik di sebuah negara miskin, heran mengapa tidak ada pengajar atau kolega yang memperingatkan saya terkait konflik emosi yang akan saya alami. Kemungkinan anda memang dapat menggunakan sebagian uang yang diperoleh untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, dan sebagai seorang pendatang dalam sebuah kebudayaan, anda akan terpancing untuk datang dan membantu. Akan tetapi berpikirlah cermat dan perhatikanlah kompleksnya permalahan kemanusiaan. Cara yang tepat ketika mengikuti kata hati yang demikian adalah mengalokasikan sejumlah dana untuk obat-obatan. Setelah memberikan tablet-tablet aspirin kepada para penduduk desa yang sedang terserang demam, saya baru menyadari bahwa permasalahan dapat saja muncul jika seorang pasien keadaannya semakin buruk atau meninggal setelah memakai obat yang saya berikan.
Apakah dapat membantu orang-orang yang menjadi objek studi anda atau tidak, yang pasti anda tidak boleh menyakiti mereka. ‘Statement on Professional Ethical Responsibilities’ (1983) yang dikeluarkan oleh Society for Applied Anthropology memberikan pegangan terkait persoalan-persoalan utama, yang masing-masing harus diperhatikan sebelum membuat sebuah rencana penelitian:

·      Beritahukan apa tujuan penelitian, metode-metode, serta sponsor penelitian kita kepada masyarakat yang kita teliti. Masyarakat akan ikut serta dalam aktifitas-aktifitas penelitian kita secara sukarela dan informatif. Kita sebaiknya … menjaga rahasia yang dimiliki oleh mereka yang kita pelajari … [akan tetapi mereka]  tidak boleh dijanjikan akan kadar kerahasiaan lebih dari yang realistis …
·      Jagalah martabat, integritas, dan keseimbangan komunitas yang akhirnya terpengaruh oleh penelitian kita … Hindari untuk melakukan atau merekomendasikan tindakan kepada sponsor yang kemungkinan akan berbahaya bagi kepentingan sebuah komunitas.
·      Jangan melakukan perbuatan yang mengganggu aktivitas profesi rekan-rekan peneliti ilmu sosial lainnya … jangan mengganggu arus informasi tentang hasil penelitian dan teknik-teknik praktis profesional … [dan] jangan membuat komunitas-komunitas atau agen-agen menentang rekan sejawat kita demi kepentingan pribadi.
·      Jangan mempersulit akses para mahasiswa, orang asing, atau para pemula untuk memperoleh pelatihan … Kontribusi-kontribusi para mahasiswa untuk profesi kita, termasuk penelitian dan publikasi, juga harus dipertimbangkan.
·      Berikan laporan yang akurat kepada para pekerja dan sponsor … Kita memiliki kewajiban untuk berupaya mencegah terjadinya distorsi atau penekanan terhadap hasil-hasil penelitian atau rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan oleh agen-agen terkait.
·      Berbagilah keuntungan yang kita peroleh dari pengetahuan dan kemampuan kita dalam menganalisis sistem-sistem sosiokultural kepada semua kalangan masyarakat.

Permasalahan kerahasiaan yang didiskusikan pada butir 1 merupakan hal yang ambigu dalam penelitian etnomusikologis., sebab para seniman yang menjadi objek studi kita kemung-kinan ingin mencari pengakuan atas karya mereka. Stephen Slawek bersusah payah memalsukan nama seniman yang terkenal di seluruh dunia, Ravi Shankar, dalam studinya tentang repertoar sitar Hindustani, atau yang dilakukan oleh Neil Sorell dalam studinya tentang pakar sārangī, Ram Narayan (Sorell & Ram Narayan, 1980; Slawek, 1987). Para etnomusikolog secara umum memiliki kebebasan untuk memberikan nama pada para musisi yang menjadi objek studi mereka. Seringkali para etnomusikolog mensponsori para seniman ini untuk melakukan konser di Barat. Para musisi pedesaan juga senang menyaksikan nama mereka disebutkan dalam tulisan-tulisan etnomusikologis. Kendatipun demikian, anonimitas terkadang tetap saja penting; Edward Henry menutupi nama para informannya yang merupakan orang desa di India Utara, sebab publikasi teks-teks pernikahan gāti yang sifatnya evokatif yang ditranskripsikan dapat mempermalukan mereka (1988). Bertanyalah terlebih dahulu bila perlu. Apakah para musisi menginginkan nama mereka disebutkan? Apakah mereka ingin foto-foto mereka muncul dalam publikasi anda? Apakah mereka akan memeriksa secara langsung kutipan-kutipan langsung kata-kata yang diucapkan atau transkripsi-transkripsi musik mereka: akankah kutipan-kutipan ini akan dicantumkan atas nama mereka?
Sebuah permasalahan khusus muncul ketika etnomusikolog melakukan studi ulang di sebuah dsa yang telah disebut dalam literatur antropologis yang menggunakan nama samaran. Para musisi dari desa tersebut mungkin sangat menginginkan nama asli mereka muncul, bersamaan dengan transkripsi repertoar-repertoar dan foto-foto pertunjukan, sebuah keinginan yang bertentangan dengan aspek kerahasiaan dalam studi terdahulu. Masalah yang lebih membingungkan muncul ketika para informan dari desa-desa yang pernah dijadikan objek studi berkunjung ke Barat; persoalan adalah salah satu yang tidak dapat dikesampingkan. Contohnya adalah ‘Karimpur’, nama samaran dari sebuah desa di India Utara yang diteliti sejak 1925, yang diawali oleh Charlotte dan William Wiser dan dilanjutkan setelah itu oleh beberapa antropolog Amerika (Wiser & Wiser, 1930). Wiser menyamarkan nama desa serta nama-nama para informannya. Beberpa tahun belakngan, ketika sejumlah orang dari desa tersebut berkunjung ke kota-kota besar di India dan di Barat, mereka menjadi bingung ketika melakukan kunjungan ke perpustakaan dan melihat foto-foto mereka dipajang dengan teks-teks antropologis tanpa nama-nama mereka. Seorang informan, yang bertindak sebagai asisten untuk beberapa generasi antropolog, telah mengajar di sejumlah universitas di Inggris dan Amerika tentang dampak antropologi bagi komunitasnya; ia menulis otobiografinya, yang menekankan pada kesedihan yang dialami oleh penduduk desa ketika menjadi subjek penelitian antropologis. Desa tersebut akan diberi nama apa? Haruskah para antropolog yang bekerja dengannya disebutkan? Haruskah ia menggunakan namanya sendiri sebagai judul buku tersebut? Permasalahan kerahasiaan membutuhkan berbagai solusi, tidak hanya solusi tunggal.

Latar Belakang  Para etnomusikolog senior mengingat masa-masa ketika para kandidat doktor dituntut untuk membaca seluruh bahan etnomusikologis guna ujian kualifikasi doktoral mereka. Ini tidak lagi menjadi tuntutan yang beralasan, namun calon peneliti lapangan harus menguasai literatur tentang wilayah studi mereka, baik daerah geografisnya maupun kajian-kajian teoretis yang berkaitan. Pekerjaan ini membutuhkan penelusuran interdisipliner dimana saat itu mahasiswa dapat menyusun sebuah bibliografi menyeluruh—dari etnomusikologi, antropologi, sejarah, religi, politik, dan bidang-bidang lain termasuk karangan fiksi (novel karangan V.S. Naipul merupakan sumber penting bagi mereka yang ingin mengkaji permasalahan di Trinidad). Hari-hari yang berharga di lapangan sebaiknya tidak diisi dengan bacaan yang tidak berguna atau lakukanlah pembuatan anotasi bibliografi. Untuk penelusuran sistematis, mahasiswa sebaiknya segera mengidentifikasi para sarjana terdahulu yang telah meneliti di wilayah ini. Surat menyurat dengan para ahli ini merupakan sebuah bentuk penghormatan yang bagus, mahasiswa dapat memperoleh saran serta nama-nama orang yang akan dapat membantu ketika berada di lapangan; hubungan-hubungan profesional yang menyenangkan, yang berangkat dari ketertarikan yang sama terhadap sebuah penelitian, dimulai dari cara yang sederhana ini.

Proposal Penelitian  Apakah calon peneliti berencana atau tidak untuk mencari dana penelitian, menyiapkan sebuah proposal penelitian formal sangat membantu dalam memulai sebuah proyek. Ini akan mendisiplinkan program yang akan dilakukan, terutama dalam hal penyediaan waktu, dana, dan tenaga. Melakukan rancana-rencana yang telah disusun ke dalam tulisan akan memfokuskan topik, memberikan gambaran terkait tujuan-tujuan yang terpenting, memberikan kerangka terkait relevansinya dengan etnomusikologi dan potensi kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Anda akan dipaksa untuk mengkalkulasikan anggaran dan merencanakan jadwal harian yang realistis sehingga proyek yang dilakukan dapat membuahkan hasil dan mewujudkan tujuan-tujuan intelektual anda yang sesungguhnya.
Menyiapkan proposal penelitian dapat memakan waktu berbulan-bulan. Akrabkan diri anda dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan pendanaan dalam bidang yang menjadi minat anda. Banyak universitas memiliki badan-badan dengan sistem komputerisasi untuk membantu menemukan badan pendanaan yang sesuai. Referensi panduan dasar seperti The Grants Register (1991) sangat membantu dan mudah digunakan. Ini biasanya dilihat tidak terlalu akademis, dan tampak tidak dapat membantu calon peneliti memfokuskan dan mengembangkan proposalnya.
Tulislah proposal dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Hindari jargon. Buatlah pokok-pokok yang mengarah langsung dan mudah dipahami oleh orang-orang dari bidang ilmu lain. Formulasikan judul dengan cermat dan deskripsikan secara ringkas penelitian anda melalui kata kunci dalam proposal yang akan diajukan pada komite penilai dan pengambil keputusan. Berhasil memperoleh pendanaan merupakan kemampuan khusus seperti yang dijelaskan dalam tulisan-tulisan antropologis (Pelto, 1970; Agar, 1980; Jackson, 2987).


Observasi Partisipasi

Strategi utama yang digunakan dalam penelitian lapangan etnomusikologis adalah observasi partisipasi (participant observation); peneliti tinggal dalam komunitas, ikut serta dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam aktifitas-aktifitas musikal, merekam observasi yang dilakukan dan meminta komunitas tersebut untuk menuturkan tentang diri mereka sendiri. Seorang peneliti yang berpartisipasi (participant observer) adalah orang asing yang memiliki kedudukan istimewa, seorang ‘penduduk lokal pinggiran’ (marginal native), dan memiliki akses terhadap banyak data (Freilich, 1970, 1977). Observasi partisipasi menambah validitas data, memperkuat interpretasi, memberikan pemahaman terhadap kebudayaan, dan membantu peneliti untuk memformulasikan pertanyaan-pertanyaan yang berarti. Karangan-karangan antroologis secara tradisional mengidentifikasi empat tingkatan metode observasi partisipasi: (1) partisipan penuh (aktifitas-aktifitas observer sungguh-sungguh ditutupi); (2) partisipan sebagai observer (aktifitas-aktifitas observer ‘tetap diselubungkan’); (3) observer sebagai partisipan (aktifitas-aktifitas obserfer diketahui publik); dan (4) observer penuh (puncaknya, observer berada di balik cermin searah) (Junker, 1960:35-37). Perhatikan, misalnya, peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat yang menyarankan keterbukaan proyek secara terperinci kepada masyarakat yang menjadi subjek penelitian dan para informan, maksud peneliti dan persetujuan dari para informan. Catatan-catatan demikian sebaiknya disimpan. Pilihan 1, 2 dan 4 tidaklah etis jika melihat standar yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat di atas. Keseimbangan antara partisipasi dan observasi tergantung pada kepribadian peneliti, situasi lapangan, budaya yang didatangi serta sifat penelitian. Bagian penelitian etnomusikologis umumnya, nomor 3 adalah satu-satunya pilihan.

Kepercayaan   Peneliti partisipan (participant observer) yang semakin memiliki akses terhadap domain-domain pribadi kehidupan sehari-hari komunitas seiring dengan munculnya kepercayaan dan saling mengetahui rahasia antara mereka, terutama dalam penelitian jangka panjang (survei ethnografis Raoul Maroll menunjukkan bahwa peneliti yang tinggal di lapangan lebih dari satu tahun memperoleh lebih banyak data tentang persoalan-persoalan sensitif—politik, seks, ilmu gaib [1962]). Berbagai permasalahan etika muncul seketika itu: peneliti munkin menyaksikan tindak kriminal, mendengar rencana penyelundupan obat-obatan, imigrasi ilegal. Ketika kepercayaan telah rusak, peneliti dan informasn akan dirugikan serta kemungkinan kelangsungan penelitian dapat terancam; tetapi dalam menjaga kepercayaan, peneliti tidak boleh melanggar hukum. Melanggar kerahasiaan maupun pelanggaran terhadap hukum akan merusak reputasi etnomusikologi dalam komunitas dan negara tersebut, membahayakan studi-studi yang akan dilakukan selanjutnya dan membuat para peneliti selanjutnya kesulitan mengakses tempat tersebut. Hati nurani harus digunakan untuk fakta-fakta yang mendalam. Peneliti yang bijaksana menyadari bahwa banyak saat menyakitkan yang tidak dapat ditemui dalam halaman tulisan mereka yang dicetak.

PERAN  Observasi partisipasi umumnya memperhatikan pereduksian ‘reaktifitas’—kadar perubahan perilaku masyarakat karena mereka sedang diamati. Para etnomusikolog seharusnya tidak menyalahi gagasan ini. Gangguan tidak dapat dihindari ketika seseorang mengamati kehidupan pribadi orang lainnya. Kendatipun dilakukan secara cermat, peneliti lapangan tidak akan pernah dapat lepas dari situasi setempat. Berbagai etika menentang tindakan penggangguan yang tidak terlihat: melalui perekaman terselubung (mikorofon yang disembunyikan di dalam tas), atau seolah menjadi orang pribumi. Jangan pernah biarkan rekan anda yang berasal dari desa itu melupakan bahwa anda sedang mempelajari musik mereka. Hal ini akan menjadi mudah ketika peralatan kita—mikrofon, perekam audio dan video, camera, lampu blitz—selalu membuat mereka ingat bahwa kita datang untuk mengamati apa yang bukan milik kita. Apakah orang-orang yang sedang diamati layak tidak perlu memperoleh kesempatan untuk menikmati hari minggu mereka yang terbaik? Atau mereka membutuhkannya?
Peran apapun yang disandang oleh peneliti, sikap seolah menjadi orang pribumi sangatlah berbahaya:

Pada tahun 1967, sekelompok orang kulit putih muncul lagi dari utara … mereka berjalan dengan mata yang liar mencoba melihat semuanya … Mereka adalah sekelompok antropolog, dan mereka ingin menguji berbagai teori baik yang luar biasa maupun yang dangkal pada kehidupan masyarakat di negara saya (Salinas, 1975:71-72).

Meskipun penampilan dan tingkah laku anda sesuai dengan norma-norma yang ada dalam suatu komunitas, ilmuwan sosial tetap saja merupakan orang luar (outsider). Etnomusikolog yang seolah menjadi penduduk pribumi meyakini bahwa mereka tidaklah bermaksud mengelabuhi orang pribumi. Penulis tentang Sioux, Vine Deloria Jr., tidak sulit untuk dikenali ketika menjadi antropolog di Dakota:

Antropolog mudah dikenali. Masuk ke dalam kerumunan orang. Mengajak seorang pria kulit putih yang kurus, yang mengenakan celana pendek Bermuda, jaket penerbang Angkatan Udara Amerika semasa Perang Dunia II, sebuah topi rumput Australia, sepatu tenis, serta membawa sebuah ransel yang disandang di punggungnya. Ia memiliki seorang istri yang bertubuh ramping dan seksi denga rambut terurai, dengan IQ sekitra 191, dan kosakata yang memiliki preposisi hingga sebelas suku kata … Sosok ini adalah seorang antropolog (1960:79).

Para etnomusikolog lebih beruntung daripada para antropolog dan sosiolog karena perasaan-perasaan pribadi yang kita pelajari terekspresikan secara publik dalam pertunjukan musik. Berbagai rintangan kultural menguap ketika musikolog bertemu musisi. Dalam penelitin lapangan etnomusikologis, tidak ada yang melebihi begitu intimnya berbagi pengalaman musikal. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang menyenangkan dan merupakan sebuah metode yang bagus. Menjadi pendengar yang apresiatif adalah bentuk pertukaran musikal yang sangat penting. Merasakan kembali senangnya menjadi seorang mahasiswa; membangun hubungan yang dekat dengan seorang musisi yang mahir merupakan pendekatan yang umum dan berhasil dalam etnomusikologi (Zonis, 1973; Berliner, 1978; Koning, 1980; Sorell dan Ram Narayan, 1980; Slawek, 1987). Pada tahun 1960-an, para mahasiswa mendapati adanya sistem formal terkait pembelajaran musik dalam masyarakat-masyarakat literasi di India, Jepang, Iran dan Indonesia, yang dapat dengan mudah mereka masuki (berbeda halnya dengan sistem Barat). Bimusikalitas menitikberatkan partisipasi dengan observasi yang amat minim, dan pelajaran-pelajaran musik dari seorang guru sangat memikat para mahasiswa. Kendatipun demikian, etnomusikolog yang tetap merupakan orang asing—orang luar (outsider) yang sedang mencari sesuatu di dalam—tidak akan pernah betul-betul masuk ke dalam subjeknya, yakni musik, yang pada dasarnya bersifat personal, ekspresif, artistik, emosional, bahkan ekstatis. Peneliti lapangan yang berhasil adalah yang dapat menyeimbangkan antara partisipasi dan observasi, selalu bertujuan untuk melakukan penyelidikan yang saintifik, sistematis, dan simpatetis terhadap seni musik.

LATIHAN DI RUMAH   Observasi partisipasi hanya dapat dipelajari di lapangan, akan tetapi banyak komponen keahliannya dapat dipelajari di rumah. Kemampuan bahasa adalah yang terpenting. Berusahalah untuk mempelajari bahasa yang dibutuhkan. Pelajaran-pelajaran di universitas dan perlengkapan belajar otodidak tersedia bahkan untuk bahasa-bahasa yang sulit ditemui; pelajaran-pelajaran intensif di musim panas dapat sangat berguna. Pemahaman kebudayaan akan meningkat sejalan dengan kefasihan berbahasan ketika memasuki tingkat komprehensi dan ekspresi yang lebih baik, para informan meningkatkan tingak wacana mereka, dan pengetahuan terhadap kebudayaan terbuka dengan sendirinya. (Hal yang serupa juga terjadi dalam kefasihan bahasa musikal lokal.)
Kemampuan-kemampuan observasi, ingatan dan penulisan yang lebih mendalam juga dapat dilatih di rumah. Latihan ‘kesadaran eksplisit’ yang berulang-ulang, kemampuan untuk mencatat dan mengingat kehidupan sehari-hari dengan terperinci—tidak sesederhana bunyi-bunyiannya (Spradley, 1980). Sebuah latihan: tanyakan kepada seseorang yang baru saja melihat jamnya, ‘Jam berapa sekarang?’ Ia akan melihat jamnya lagi karena secara eksplisit ia tidak menyadari jam berapa saat itu dengan sungguh-sungguh. Karangan-karangan antropologis menawarkan berbagai latihan untuk meningkatkan kemampuan observasi, ingatan dan penulisan (Agar, 1980; Spradley, 1980; Bernard, 1988). Kemampuan-kemampuan ini menunjang kesuksesan observasi partisipasi.
Bagi para etnomusikolog, kemampuan yang paling dasar adalah merekam dan memotret. Akrabilah peralatan anda sebelum terjun ke lapangan; jangan membeli barang-barang tersebut dalam perjalanan menuju tempat penelitian anda. Kamera dengan harga murah yang anda beli di New York mungkin tidak akan berfungsi (anda akan kehilangan gambar-gambar penting ketika sedang mencoba rol film jenis baru yang baru saja dijual). Perekam kaset yang anda beli dengan tawar-menawar di Singapura saat dalam perjalanan mungkin tidak memiliki baterai cadangan, tidak dapat menggunakan arus listrik langsung atau tidak sesuai dengan mikrofon anda.
Berlatihlah dengan semua peralatan anda di rumah. Jangan membawa peralatan yang belum dicoba dalam keadaan realistis di dalam dan di luar ruang tamu anda. Rekamlah percakapan yang dilakukan di meja yang anda gunakan untuk menjamu tamu. Setelah itu, bawalah peralatan rekaman anda untuk dicoba merekam sesuatu yang diam—misalnya para pengamen di stasiun bawah tanah atau pelayanan-pelayanan di gereja lokal. Selanjutnya, rekamlah peristiwa yang bergerak dengan perekam yang digantungkan di bahu anda dan mikrofon dalam posisi digenggam, sebaiknya di luar ruangan dan ada angin: sebuah parade rakyat, marching band atau pasar jalanan (dalam kasus ini si perekam akan bergerak, bukan sumber suara yang bergerak). Terakhir, rekamlah suasana yang terdapat bunyi-bunyian keras—mungkin tempat disko. Masalah-masalah yang anda antisipasi dan temukan penyelesaiannya di rumah (desah angin, isolasi headphone, pengesetan volume, dan sebagainya) akan mengurangi permasalahan saat terjun di lapangan.

TERJUN KE LAPANGAN   Sebelum memasuki lapangan, berhentilah sejenak untuk memperkirakan berbagai bias personal dan kultural dalam proyek penelitian yang akan anda lakukan. Tidak ada penelitian yang sungguh-sungguh objektif dalam etnomusikologi (ataupun bidang-bidang ilmu lainnya). Asumsi-asumsi kultural dan idiosinkrasi personal mengarahkan observasi dan mewarnai berbagai temuan kita. Sarjana yang menerima berbagai bias ini, bergelut dengannya sebagai bagian dari metodologi dan mengakui pengaruhnya dalam penelitian.
Penelitian lapangan dapat dibagi ke dalam beberapa tahay yang terprediksi: masuk, keterkejutan budaya (culture shock) dan keterkejutan kehidupan (life shock), pengumpulan data, masa-masa liburan sekaligus mengumpulkan data-data lain dengan rasa lelah, dan meninggalkan lapangan. Memasuki lapangan adalah saat yang mendebarkan, bahkan sangat mendebarkan, ditambah rasa frustasi, menakutkan, dan mengusik.
Pertama, pilihlah komunitas yang reseptif. Penelitian lapangan sarat dengan permasalahan; jika anda tidak disambut, pilihlah komunitas lainnya.
Kedua, buatlah tulisan tentang diri anda sendiri dan proyek penelitian anda, tujuan studi, lama waktu yang diberikan oleh universitas atau pemberi dana untuk tinggal di lapangan. Tulisan-tulisan ini akan membuat hubungan anda menjadi jelas dan anda tercatat secara resmi. milikilah salinan dari dokumentasi-dokumentasi tersebut dalam bahasa lokal. Juga foto anda di rumah bersama keluarga; menunjukkan anda sebagai seorang manusia sekaligus seseorang yang resmi, terutama bagi teman-teman baru di kampong yang anda datangi.
Ketiga, dalam memasuki sebuah komunitas baru, disarankan untuk bekerja dengan urutan berkenalan, kunjungan kehormatan ke lembaga-lembaga pemerintah (bahkan kepala daerah), melalui hirarki birokrasi hingga kementerian kebudayaan. Dari sini anda kemungkinan dapat memperoleh sejumlah arahan: sekolah-sekolah musik negeri, musisi-musisi profesional yang berkiblat ke Barat, agen-agen radio dan TV—semuanya penting (bahkan jika tak terencana dalam penelitian anda). Jika tujuan anda adalah wilayah pinggiran, anda membutuhkan perkenalan yang lebih jauh lagi. Saya beruntung pada saat minggu-minggu pertama saya di India karena berjumpa dengan Shri Ram Sagar Singh dari Universitas Hindu Banaras, yang tinggal di kampong tak jauh dari tempat tersebut, dan ia adalah seorang penyanyi terkemuka. Dalam waktu 24 jam saya mempelajari dan tertarik pada musik dehātī (‘kampung’), lalu ia mengumpulkan para wanita di kampung tersebut agar menyanyi untuk saya. Jika anda tidak seberuntung itu, anda dapat memilih seorang penduduk setempat untuk menemani anda pada kunjungan pertama ke sebuah kampung atau komunitas—mungkin seorang pegawai pemerintah dari kota terdekat. Pertimbangkan keuntungan dan kerugiannya: pegawai pemerintah mungkin mengintimidasi para penduduk kampung dan mencap anda sebagai seorang agen pemerintah; namun, perkenalan resmi dapat memunculkan perhatian terhadap pekerjaan anda dan bahkan penduduk kampung akan melindungi keselamatan anda.
Kiranya bijak untuk memulai dengan mendatangi orang-orang terkemuka terlebih dahulu. Ketika memasuki sebuah kampong di india, misalnya, sebaiknya kunjungilah pradhān (‘pemimpin’) terlebih dahulu dan mintalah padanya untuk mengenalkan anda kepada para musisi. Saya menggunakan metode ini selama penelitian lapangan di Distrik Gorakphur, India. Di Kampung Felicity, Trinidad, saya tiba seorang diri dan lengsung menuju ke sekolah dasar Hindu; ini merpuakan permulaan yang lebih bersifat informal, menyusuri jalanan Karibia, dengan gaya kasual dan mengasyikkan. Di Southall, London, saya hanya mendatangi sebuah kuil Hindu. Perkenalan kita dengan komunitas yang didatangi bergantung pada kebiasaan-kebiasaan setempat; mintalan saran dari para ilmuwan yang telah bekerja di wilayah itu dan orang yang memang menggeluti bidang tersebut.
Terakhir, bersiaplah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga: Siapakah anda? Apa yang anda lakukan di sini? Siapa yang membayar anda? (Apakah anda adalah seorang mata-mata?) Apa yang akan anda lakukan dengan uang yang anda peroleh dari penjualan rekaman? Mengapa orang melakukan pekerjaan ini?
Putuskan bagaimana anda harus menunjukkan diri dan jangan takut salah. Anda akan segera mengetahui mana yang sesuai (Jones, 1973). Masyarakat setempat kemungkinan akan menyandangkan sebuah peran bagi anda, seringkali yang terjadi adalah pemberian hubungan kekerabatan. Dalam masyarakat Mbuti di hutan Ituri, Zaire, Colin Turnbull dianggap sebagai anak (terlepas dari usianya yang sesungguhnya) dari sepasang suami istri yang tidak memiliki keturunan.  Perkembangannya dari anggapan sebagai anak-anak berubah dengan cepat; pada kedatangan berikutnya, ia dianggap sebagai seorang pria lajang—seorang anggota masyarakat (1986). Di Karimpur, india Utara, Charlotte Wiser, yang pertama dating ke tempat itu pada tahun 1925, dipanggil dengan sebutan dādī (ibu dari ayah); Susan Wadley, yang mendatangi tempat itu pada tagun 1968, dipanggil dengan sebutan buā (saudara perempuan ayah); ketika saya mengunjungi tempat itu pada tahun 1986, para gadis memanggil saya dengan sebutan dīdī (anak perempuan ayah).
Buatlah peta geografis lokasi yang anda datangi pada hari-hari pertama di tempat itu; berkelilinglah dengan berjalan kaki, jelajahi dan buatlah sketsa peta. Dalam lingkungan-lingkungan perkotaan, petakanlah jaringan-jaringan sosial. Bersikaplah agar tindakan anda membuat peta dan melakukan sensus tidak membuat anda dianggap sebagai mata-mata atau pengumpul pajak. (Papan alas tulis dan pensil yang anda bawa membuat orang menjadi tidak nyaman). Bersabarlah. Bersipak santai dan nikmatilah awal petualangan baru anda. Catatlah semua hal pertama yang membuat anda tertarik, yang baik ataupun yang buruk. Para etnomusikolog lebih beruntung dalam berbagai hal daripada para antropolog. Berbagai permasalahan ketika terjun ke lapangan menghilang ketika musik dimulai.
                                                       
KETERKEJUTAN BUDAYA DAN KETERKEJUTAN KEHIDUPAN   Selama bulan pertama, ketika peneliti lapangan mulai memiliki rutinitas sehari-hari, ‘keterkejutan budaya’ (cultural shock) dan ‘keterkejutan kehidupan’ (life shock) muncul.








[1]Dalam pengertian tertentu, “transmisi tradisi” adalah sesuatu yang rancu, sebab etimologi dari kata traditum yang berasal dari bahasa latin sendiri memiliki arti diteruskan dari masa lalu ke masa kini (Shils 1981:12). Saya menggunakan istilah “transmisi tradisi” untuk mengacu pada pengkomunikasian berbagai materi musik dari satu orang ke orang lainnya, baik secara oral, aural (berhubungan dengan pendengaran), atau tertulis, tanpa mempertimbangkan waktu terkait materi yang ditransmisikan. Untuk kepentingan diskusi ini, saya terutama akan memfokuskan pada peran pertunjukan musik secara langsung (live) dalam proses “transmisi tradisi” ini, selain juga pada materi-materi musik yang dimediasi dan disampaikan menggunakan teknologi seperti LP, kaset, atau CD.
[2]Bab ini, yang ditulis dengan dana beasiswa dari National Endowment for the Humanities sekitar tahun 1992-1993, merupakan pengembangan dari artikel sebelumnya yang telah diterbitkan dengan judul “The Ethnomusicologist and the Transmission of Tradition,” The Journal of Musicology 14 (1):35-51, 1996. Versi terdahulu dari tulisn ini, yang berjudul “Intersection of Life and Scholarship: Human Relations in the Field,” telah dikirim ke Universitas Brown pada tahun 1992. Saya berterima kasih kepada Gregory Barz dan Timothy Cooley, baik atas undangan merekakepada saya untuk datang ke Brown maupun untuk komentar-komentar mereka selanjutnya yang menghasilkan bab ini.
[3]Rosaldo mengemukakan bahwa “pengetahuan relasional,” yang merupakan bentuk ekspresif bersama pada “wilayah perbatasan” antara etnografer dengan “subjek,” “seharusnya tidak hanya dilihat sebagaiwilayah-wilayah transisi yang kosong secara analitis, melainkan juga sebagai tempat-tempat kreatif produksi budaya yang perlu untuk diselidiki” (Rosaldo 1993 [1989:208).
[4]Bahkan forum-forum yang membosankan seperti pertemuan-pertemuan bisnis dapat menyelenggarakan
[5]
[6]Panduan etika atau kode etik yang diadopsi oleh berbagai masyarakan antropologi di Amerika sejak tahun 1949 dicetak bersama untuk pertama kalinya dalam Fluehr-Lobban 1991:237-69.
[7]A Arte Vocal dos Suyá (1982) diterbitkan bersama oleh Seeger dan “komunitas Suyá.”
[8]Mark Slobin menekankan bahwa persoalan-persoalan etika tidak dibicarakan secara keseluruhan dalam literatur etnomusikologi hingga tahun 1970-an, dan bahwa kesadaran etika di lapangan tetap sebatas berbentuk “janin” (Slobin 1992a:331). Kendatipun demikian, diskusi Slobin tidak
[9]