Empat Hari Melihat Upaya-Upaya Desa Tenganan
Pegringsingan Dalam Merekontruksi Identitas Budaya Melalui Aturan-Aturan Adat
Oleh: Dita
Perilaku manusia merupakan suatu rangkaian budaya yang
saling berkaitan antara manusia dan lingkungan untuk memperthankan
keberlangsungan hidup baik secara kelompok maupun secara individu. perilaku
manusia juga tidak terlepas dengan ideologi-ideologi yang menjadi prinsip dasar
serta menjadi faktor besar yang mendorong berjalannya interaksi sosial.
ideologi kelompok masyarakat yang menjadi konsep besar untuk merekontruksi
nilai budaya dalam kelompok masyarakat tertentu.
mempertahankan perilaku atau adat istiadat dalam kelompok
masyarakat bukan hal yang mudah, apalagi dengan kuatnya arus globalisasi yang
dapat menggiring atau menciptakan ideologi baru sehingga dapat berpengaruh pada
perilaku manusia yang sudah dianggap baku pada zamannya. setiap perilaku
manusia dalam kelompok masyarakat tentunya berlandakan pada prinsip-prinsip
dasar baik dari segi moral dan ikatan adat-istiadat yang sudah terbentuk dan
terkonsep dalam pradigma setiap individu masyarakat.
Desa tenganan pegringsingan merupakan desa yang masih
kuat pada adat istiadat yang sejak lama terbentuk, masyarakatnya masih patut
pada aturan-aturan lokalitas dan masih meyakini mitos-mitos yang turun-temurun
hingga berakar dan menjadi keyakinan setiap individu masyarakat. desa tenganan
pegringsingan masih patut akan aturan-aturan adat dan masih meyakini akan
adanya kekuatan-kekuatan alam yang tidak dapat dirasionalkan. hal demikian
sangat terlihat dengan muculnya ikon-ikon yang berbeda dengan ikon-ikon yang
terdapat wilayah lain. perbedaan yang paling nampak jika dilihat dari bangunan
dimana bentuk tersebut masih tergolong sederhana
dan berberapa bangunan yang masih bersifat mistis. bangunan yang berjejer
sepanjang jalan masih sangat disakralkan karena masih berdasar pada fungsi
setiap bangunan.
bangunan yang berjejer setelah memasuki gerbang desa
tenganan adalah bangunan tempat ritual. bangunan atau Bale (bale-bale). bale
adalah tempat belangsungnya prosesi atau upacara adat, dari sekian banyak bale
yang berjejer mempunyai fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan upacara
adat tersebut.
banyak hal yang menarik yang dapat kita jumpai ketika
berkunjung ke desa tenganan dimana upacara adat yang begitu banyak serta
ikon-ikon yang terlihat kuno dijadikan properti sebagaimana selayaknya wilayah
parawisata karena kuno yang kita kenal itu menjadi moderen buat masyarakat
tenganan.
pada awalnya berkunjung ke desa tenganan, penulis merasa
bahwa masyarakatnya begitu ketinggalan jaman dimana mereka masih mengagungkan
benda-benda lama dan mengistimewahkan yang kuno, tetapi beberapa hari kemudian
anggapan ini berbalik arah dan bahkan berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tersebut
tidak ketinggalan, dimana terlihat ketika diajak bicara dari segi wawasan
mereka luar biasa dan bahkan cara berpakaian jika tidak melaksanakan upacara
ataupun saat bersantai-santai juga tidak ada bedanya dengan masyarakat yang di
anggap sebagai masyarakat dalam kota maju.
meski demikian diatas tetapi yang namanya upacara adat
itu tetap dijalankan dengan baik dan hal demikian yang menarik dimana
masyarakat yang sebenarnya moderen tetapi tetap mentradisikan dirinya.
Desa tenganan pegringsingan terletak tidak jauh dari Ibu
kota karangasem. berada di lembah kedua bukit tenganan. jika dilihat dari letak
wilayah desa tenganan pegringsingan termasuk dalam akses arus globalisasi
karena letaknya tidak begitu jauh dari kota. ketika dilihat secara kasat mata maka
desa tenganan mempunyai keunikan dimana masyarakatnya masih mampu
mempertahankan tradisi-tradisi lama hingga sekarang.
upacara-upacara adat masih menjadi rutinitas yang wajib
dilaksanakan oleh masayarakat pegringsingan, ideologi masyarakat masih sangat
meyakini akan adanya kekuatan-kekuatan alam yang irasional bukan hanya
pelaksanaan upacara adat bahkan pola-pola kehidupan yang tradisi masih
dipertahankan, dapat dilihat dari segi bangunan rumah, keseluruhan masih
menggunakan atap yang berasal dari anyaman sebagai hasil kreatif masyarakat
lokal. sangat jarang bangunan yang terdapat ditenganan pegringsingan
menggunakan atap yang terbuat dari genteng ataupun dari seng. selain itu bentuk
bangunan tidak mempunyai lantai yang bertingkat seperti rumah pada umunya yang
ada pada wilayah yang dipadati penduduk. bentuk bangunan masih sangat sederhana
mulai dari pagar masih sederhana dan model rumahnya sangat terikat pada aturan
adat yang sudah ada. bentuk rumah masyarakat tenganan pegringsingan juga
terpengaruh dengan fungsinya. setiap bagian rumah ada beberapa bagian yang
wajib diadakan. misalnya pagar yang berbentuk bangunan bali kuno dan ruang
depan sebagai tempat sesajian setiap harinya.
mengenai sesajian masyarakat bali pada umumnya masih
menggunakan sesajian, baik dari dalam desa tenganan maupun diluar. sesajian
terdapat dimana-mana seperti dipinggir jalan, depan rumah, bahkan dikendaraan
pun masih diselipi bunga dan dupa. namun disini penulis tidak dapat membahas
lebih jauh mengenai sesajian di bali melaikan lebih fokus pada ikon-ikon yang
terdapat didesa tenganan.
jika dilihat dari segi perkembangan tehnologi ditenganan
terlihat sangat maju dimana setiap rumah mempunyai televisi dan setiap keluarga
mempunyai motor dan bahkan di pure itu sendiri sebagai wadah berlangsungnya
upacara adat tetapi masih ada televisi sebagai hiburan para masyarakat yang
melaksanakan upacara. Handphone juga tidak lagi asing bagi masyarakat tenganan dimana
pada umumnya setiap keluarga mempunyai handphone. hal yang
paling menarik untuk dibahas dimana sekelompok masyarakat masih mampu
mempertahankan tradisi sebagai warisannya namun tidak menolak tehnologi. ketradisionalan masyarakat tenganan
pegringsingan sangat konsisten dengan upacara adat sangat terlihat pada
banyaknya pure yang menjadi wadah pelaksanan adat. begitu banyak berjejer mulai
dari pintu masuk desa sampai pada batas desa tenganan pegringsingan itu
sendiri. setiap jenis rangkaian upacara adat mempunyai tempat tersendiri yang
disebut pure.
pure adalah bale' atau rumah-rumah kecil yang hanya
digunakan untuk berdoa ataupun melaksanakan ritual adat.
masyarakat tenganan juga terbagai dua yaitu tenganan
pegringsingan dan banjar pande. tenganan
pegringsingan ini yang menjadi panutan antara semua masyarakat yang ada,
masyarakat tenganan asli berada dibawah bukit ditempat pesta adat dilaksanakan,
sedangkan banjar pande berada diluar dan juga berada dibukit yang mengelilingi
desa tenganan. bukit-bukit menjadi tempat usaha atau wadah mata pencaharian
buat masyarakat banjar pande dan bukit-bukit ini juga ternyata masih sepenuhnya
milik tenganan pegringsingan.
masyarakat tenganan pegringsingan merupakan masyarakat
suku tertua di Bali dan suku yang mampu menjalin kolerasi jaman dan tradisi
yang mereka punya. hal yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana uapaya-upaya
masyarakat tenganan pegringsingan dapat menarik seluruh masyarakat dan
menyatukan ideologi masyarakat dalam mepertahankan ciri khas sukunya diera
global ini.
pembahasan ini lebih spesifik pada aturan-aturan adat
yang menjadi pengikat dan prinsip dasar bagi masyarakat tenganan pegringsingan
untuk menjalankan upacara-upacara adat secara rutinitas.
dalam pembahasan ini penulis mencoba melihat ideologi
yang mengikat dan menjadi pengaruh kuat untuk mempertahankan
ketradisionalannya. Sedikit meminjam Istilah-istilah Pierre Bourdieu yaitu
habitus, ranah (field), dan kekerasan simbolik. Ia meluaskan gagasan modal
(capital) ke kategori-kategori seperti modal sosial, modal budaya, dan modal
simbolik. Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam ruang
sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas
sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang ia miliki. Modal itu
mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi
ketidaksetaraan. Dalam kajian lebih menekankan kepada bagaimana kelas-kelas
sosial, khususnya kelas intelektual dan kelas penguasa, melestarikan
keistimewaan sosial mereka lintas generasi ke generasi. Dan bagaimana membangun
mitos sebagai sebuah landasan untuk melegitimasi ideolgi hingga akhirnya
diyakini oleh masyarakat dalam wilayah tenganan karena cara berpikir dan
bertindak, bahkan cara mengembangkan perasaan tidak dilakukan orang tanpa
patokan, tetapi mengikuti satu pola tertentu, suatu pola yang sudah dikenal dan
disepakati bersama dan hendak dilestarikan eksistensinya. Anggota baru yang
masuk ke dalam satuan budaya itu karena kelahiran atau sebagai pendatang, dan
belum mengenal pola tingkah laku masyarakat itu, diwajibkan mengenal dan mempelajari
serta membiasakan diri untuk dan
bertindak sesuai dengan aturan kebudayaan setempat (Hendropuspito:1989). Disisi
lain ada beberapa factor yang mendukung terjadinya dominasi berikut seperti
modal social, modal budaya, dan modal simbolik. Hal yang menjadi focus kajian
untuk merefresentasikan konsep-konsep dominasi yang terjadi di desa tenganan
pegringsingan.
Rumusan masalah
Faktor apa yang mampu mendorong lestarinya
upacara-upacara di desa tenganan?
Bagaimana peranan masyarakat banjar pande dalam setiap
upacara di desa tenganan pegringsingan.?
Pembahasan
1.
Aturan
yang Berlaku di Desa tenganan pegringsingan
Desa tenganan pegringsingan merupakan wilayah yang
dinaungi oleh dua pemerintahan yaitu pemerintahan desa dan pemerintahan yang diatur oleh adat,
dua atauran tersebut berjalan secara
kolektif sebagai pemenentu aturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat
tenganan pegringsingan.
Masyarakat tenganan pegringsingan mempunyai aturan
tersendiri yang berbeda dengan desa-desa lainnya yang ada dibali, selain karena
aturan adat yang ditaati juga masih berpegang erat dengan keyakinan yang sudah
mendasar pada setiap individu masyarakat dimana masih takut akan hal-hal yang
mistis.
Jika dilihat aturan yang berlangsung ditenganan, aturan
mempunyai peranan kuat dalam meletarikan budayanya. Dimana aturan itu menjadi
panutan terhadap semua masyarakat desa tenganan pegringsingan. Aturan adat yang
mengatur proses berlangsungnya upacara-upacara. Aturan tersebut sudah baku dan
disepakati oleh setiap masyaraakat tenganan. Pemelihan pemerintahan juga tidak
berdasar pada suara masyarakat melaikan ditentukan secara kedudukan, kedudukan
tersebut bukan strata social tetapi dapat dikatakan senioritas dalam artian
dapat bergati secara turun temurun.
Dimasyarakat tenganan sudah ada aturan mengenai pemelihan
pemerintahan adat tersebut. Orang yang bisa jadi pemimpin adat didesa tenganan
adalah orang asli tenganan yang tidak pernah melanggar adat dan belum mempunyai
menantu karena ketika orang sudah mempunyai menantu maka posisinya digantikan
oleh anaknya yang sudah kawin. Selain
itu juga pemimpinan ini dipilih berdasarkan keturunan jadi pemimpin adat
ditengan bentuknya seperti warisan. Jika anak sudah kawin dengan orang asli
tenganan maka anak itu yang diwajibkan melajutkan kedudukannya sebagai pemimpin
adat. Dan orang tuanya menjadi masyarakat biasa dan bukan masyarakat pegringsingan.
Masyarakat tenganan tidak terdapat strata social tetapi
ada perbedaan kelompok masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa dimasyarakat tenagan mempunyai tiga kelompok masyarakat. Yang pertama
adalah masyaraka pegringsingan yang merupakan masyarakat asli yang tidak pernah melanggar adat dan masih
mempunyai warisan desa dan masih dapat menjadi pemimpin adat atau kepala desa.
Masyarakat pegringsingan ini merupakan masyarakat yang masih mendapatkan warisan
dari desa, setiap masyarakat pegringsingan masih mempunyai hak untuk mendapat
warisan dari desa selama mereka tidak melanggar adat dan anaknya belum kawin
dan ketika anaknya sudah kawin maka orang tuanya sudah tidak punya hak lagi
untuk mendapat warisan dan hak waris itu berpindah kepada anaknya.
Orang tua tersebut sudah menjadi masyarakat tenganan dan
bukan pegringsingan. Masyarakat tenagan adalah masyarakat asli tetapi sudah
tidak mempunyai lagi kedudukan karena sudah diwariskan kepada anaknya.
Masyarakat tenagan masih mengikuti upacara
tetapi tidak semua upacara diikuti hanya pada upacara tertentu dan tidak
untuk upacara desa. Jika salah satu dari mereka melakukan pelanggaran misalnya
kawin dengan orang luar tenganan maka masyarakat tersebut pindah menjadi
masyarakat banjar atau masyarakat yang ada dipinggiran yang sudah tidak punya
hak lagi mengenai warisan desa dan tidak mengikuti lagi upacar-upacara desa.
Di desa tengan pegringsingan terdapat dua macam upacara
yang pertama adalah upacara secara umum dalam artian upacara religius yang berupa
ketuhanan atau keagaman. Upacara keagaman ini masih dilakukan oleh seluruh
masyarakat karena bentuknya ketuhanan dan tidak ada larangan dari desa atau
pemimpin adat. yang kedua adalah upacara adat yang diadakan oleh desa. Upacara
adat tersebut hanya orang-orang tertentu yang dapat melaksanakannya seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa hanya masyarakat yang belum pernah melanggar
aturan desa yang bisa mengikuti acara tersebut yaitu masyarakat pegringsingan.
masyarakat tenganan dan banjar pande bukan berarti tidak ikut campur tangan
dalam pelaksanaan upacara tersebut tetapi masyaraakat tenganan masih ikut
membantu persiapan acara tersebut dan masyarakat banjar yang selalu meberikan
subangan hasil bumi untuk digunakan dalam upacara adat tesebut.
Peranan masyarakat
banjar pande terhadap upacara yang berlangsung sangat besar. Masyarakat banjar
pande merupakan mobalitas yang dipasilitasi tempat tinggal dan sawah yang luas
oleh masyarakat tenganan. Banjar pande dapat dikatakan pekerja atau penggarap
sawah dan kebun milik masyarakat pegringsingan sehingga hasil bumi yang dipakai
dalam upacara adat itu berasal dari banjar pande.
1. Kekayaan desa
tenganan sebagai modal utama dalam merekontruksi nilai budaya.
Desa tenganan merupakan desa yang kaya akan hasil alam
karena mempunyai tanah seluas 680 hektar
dan 11 aliran irigasi untuk pesawahan. Kekayaan tersebut menjadi salah
satu penunjang akan lestarinya dan sejahteranya masyarakat desa tenganan
pegringsingan.
Desa tenganan pegringsingan mempunyai kebun dan sawah
yang luas karena dari dulu desa melarang untuk menjual tanahnya. Kecuali kepada
orang asli tengan itu sendiri. Karena desa tengan mempunyai tanah yang luas
akhirnya menerimah penduduk dari luar dengan ketentuan mampu membayar sebanyak
Rp.30.000/th dan tentunya mengikuti aturan-aturan yang sudah baku ditenganan.
Misalnya masyarakat banjar pande yang pendatang dan diberikan tanah untuk
membangun rumah dengan ketentuan menggarap sawah milik desa tenganan yang
terdapat dibalik bukit tenganan.
Karena kebanyakan pendatang ini adalah korban bencana
alam yang terdapat dibalik bukit tenganan yang mayoritas tidak mempunyai tempat
tinggal. akhirnya memilih hidup dibukit tenganan dan mampu menggarap sawah yang
diberikan dan ditentukan oleh masyarakat desa tenganan pegringsingan.
Hasil sawah dan kebun yang digarap oleh masyarakat banjar
pande tersebut dibagi oleh desa. Beberapa masyarakat banjar pande mengatakan
bahwa hasil bumi yang diperoleh itu diberikan oleh desa tenganan. Mereka baru
dapat hasil ketika desa sudah memberinya sebagai gajinya. Cara pembagiannya pun
sudah diatur misalnya masyarakat banjar pande manghasilkan satiap 100 liter
beras, masyarakat banjar pande mendapat 40% dan desa mendapat 60% dan secara
biaya perawatan sawah juga dibantu oleh desa. Misalnya masyarakat banjar pande
membutuhkan uang Rp.500,000 untuk mebeli pupuk. Maka tanggungan desa adalah 50%
dan 50% untuk masyarakat banjar pande.
Masyarakat banjar pande juga tidak dapat melebihkan nilai
kebutuhan pupuk karena ada pihak desa yang memang ditugaskan untuk mengatur dan
melihat setiap saat hasil dan kebutuhan
masyarakat banjar pande. Menurut beberapa masyarakat banjar pande, yang
mengatur serta mengontrol hasil bumi ada enam sampai sepuluh orang yang sudah
ditugaskan oleh desa, namanya klieng krama.
Terlepas dari kekayaan desa tenganan disini dapat
terlihat bahwa hasil bumi sepenuhnya diperoleh oleh masyarak banjar pande.
Hasil yang dibagi untuk warga pegrinsingan sebagai warisan pada masyarakat yang
tidak pernah melanggar aturan, selain itu juga hasil bumi tersebut dialihkan
untuk upacara adat. sehingga masyarakat tengan sangat tabuh ketika setiap bulan
tidak mengadakan upacara adat. Dan kita tau sendiri bahwa kebanyakan yang
menghambat keberlangsungan kegiatan sosial adalah dana. Jadi menurut penulis
sangat tabuh jika masyarakat tenganan tidak mengadakan acara adat sementara
sumber dananya sudah pasti. Dan tidak heran jika melihat desa tenganan
pegringsingan yang setiap harinya dipenuhi dengan upacara adat.
Keberadaan masyarakat banjar pande sangat terlihat
kontribusianya terhadap lestarinya budaya masyarakat desa tenganan
pegringsingan, kebanyakan hasil bumi yang dijadikan upacara desa meski
masyarakat banjar pande sebenarnya sama sekali tidak mendapat timbal balik akan
adanya upacara desa tersebut.
Salah satu penyebab yang mebuat aturan-aturan tersebut
tetap dipatuhi oleh masyarakat banjar pande karena mereka sudah diberi tempat
tinggal dan hanya membayar murah yaitu Rp.30,000/th. Fasilitas yang diberikan
ini menjadi sebuah tameng besar buat masyarakat desa tenganan. Acaman besar
buat masyarakat banjar pande jika tidak mengikuti aturan yang ada di desa
tenganan adalah diusir dari tempat tinggalnya dan hanya bisa membawa pakaian
yang lengket dikulit tanpa membawa barang dan harta lainnya. Hal tersebut yang
membuat ketakutan besar buat masyarakat banjar pande jika ingin berbuat diluar
dengan aturan desa yang sudah baku.
Menurut penulis peristiwa seperti diatas sangat menarik
dan sangat kuat perananya untuk mempertahankan budayanya. Jika dikota maju
memanfaatkan kekayaan alam dan keseniannya untuk meningkatkan ekenomi kreatif
maka masyarakat desa tenganan memanfaatkan kekayaanya untuk melestarikan
budayanya.
Kesimpulan
Desa tenganan pegringsingan merupakan wilayah yang
mengupayakan kekayaanya desa untuk melestarikan budayanya. Desa tenganan bukan
berarti masyarakatnya yang ketinggalan, melainkan jauh melampaui wilayah yang
dianggap kota maju. Masyarakat tenganan mentradisionalkan dirinya karena
mempunyai strategi tersendiri yang terlepas dari campur tangan aturan Negara.
Masyarakat tenagan memperkuat aturan lokalitas karena
menurutnya itu lebih mampu menjamin keberlangsungan hidup masyarakat yang lebih
nyaman, selain itu juga upaya mentradisionalkan diri sebagai cara mencuri focus
pandangan. Dan saat ini sudah terlihat dimana desa tenganan sudah menjadi
tempat wisata para turis.
Satu keuntungan besar bagi masyarakat desa tenganan
pegringsingan karena masih mampu menarik perhatian masyarakat diluar desa
tenganan pegringsingan dengan caranya dan system lokalitasnya.
Disni dapat memberikan kita pengetahuan bahwa hadirnya
ideology tidak selamanya dapat menguntungkan untuk seluruh masyarakat. Dua
aturan yang menaungi masyarakat tenganan memculkan manfaat yang sangat besar
buat masyarakatnya, namun disisi lain juga terdapat pemanfaatan bagi masyarakat
banjar pande dimana mereka hanya mempunyai kedudukan sebagai pekerja untuk
membantu lestarinya upacara adat di desa tenganan pegringsingan.
Keintelektualan tidak selamanya memberikan kontribusi melainkan
keintelektualan sendiri dapat dijadikan sebagai modal dan kekuatan untuk
mengeksploitasi. Menurut penulis masyarakat desa tenganan adalah masyarakat
yang sejahtera karena mampu menerapkan keintelektualannya melalui system untuk
mengatur strtegi budayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar