Bruno Nettl
_____________________________
1
Apa itu
Etnomusikologi?
Mendefinisikan
etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, sebab di kalangan mereka
yang menyebut dirinya sebagai etnomusikolog, terdapat perbedaan antara apa yang
telah mereka lakukan, yang kini sedang dilakukan, dan apa yang menurut mereka
seharusnya dilakukan. Guna tujuan-tujuan praktis, kiranya terlalu sederhana
ketika mengatakan para etnomusikolog di masa lalu adalah mereka yang mempelajari
musik di luar peradaban Barat, dimana sebagian kecilnya termasuk musik rakyat
Eropa. Dengan demikian, para etnomusikolog bekerja dalam sebuah wilayah yang
merupakan perbatasan antara musikologi secara umum dan juga antropologi budaya.
Musikologi, yang didefinisikan sebagai sebuah bidang yang meliputi studi ilmiah
dan objektif terhadap berbagai jenis musik dan dari berbagai pendekatan,
sesungguhnya memusatkan perhatian musik peradaban urban Barat, yakni musik
Eropa yang memiliki tradisi tulis. Dan ketika para musikolog konvensional bergelut
juga dengan musik dari berbagai kebudayaan lain, mereka seringkali menarik diri
dari bidang ini (musikologi) dan beralih menjadi etnomusikolog, dimana mereka
terkadang dianggap sebagai spesialis musikologis lain, tapi mereka juga
terkadang dianggap terpisah dari bidang ini namun masih memiliki keterkaitan.
Para antropolog, khususnya mereka yang berkosentrasi pada studi kebudayaan,
menyatakan bahwa seluruh kebudayaan di dunia adalah wilayah studi mereka; akan
tetapi kenyataannya sejauh ini mereka terutuma menghabiskan waktu dan ruang
dalam publikasi mereka tentang kebudayaan-kebudayaan di luar peradaban Barat.
Oleh karena itu para etnomusikolog, apapun definisi mereka (dan sejumlah
definisi ini didiskusikan di bawah), apa yang telah mereka kerjakan, di satu
sisi, merupakan musikolog khusus yang menyelidiki musik eksostis dan, di sisi
lain, merupakan antropolog yang menyelidiki musik sebagai fokusnya selain
aspek-apek lain kebudayaan manusia, juga di luar peradaban Barat
Para
etnomusikolog didukung oleh dua disiplin induk ini, dan pekerjaan mereka
terutama berangkat dari metode-metode yang dikembangkan dalam musikologi dan
antropologi budaya. Terlepas dari permasalahan dimana para sejarawan musik
relatif terlambat mengakui pentingnya data etnomusikologis, peran yang
dimainkan oleh etnomusikologi dalam musikologi umumnya sangat besar. Jelas,
konstribusi utamanya adalah kemampuan memenuhi kebutuhan para musikolog untuk
memahami semua musik, yakni, semua musik manusia dan bahkan (jika ada) fenomena
musikal dalam dunia hewan. Jika memang ada, penting kiranya bahwa fenomena yang
disebut terakhir, meskipun tidak termasuk dalam antropologi (yang didefinisikan
sebagai studi terhadap manusia) diam-diam juga menjadi perhatian para
etnomusikolog, sebab kemungkinan kebudayaan-kebudayaan eksotis dan perilaku
non-manusia memiliki elemen-elemen yang sama. Satu-satunya elemen yang
benar-benar umum di sini, tentu saja, keanehan dalam kaitannya dengan peradaban
Barat. Pada akhir abad ke-19, para musikolog merasa perlu untuk memiliki data
tentang musik dari kebudayaan-kebudayaan lain jika mereka berkeinginan untuk
memahami musik sebagai sebuah fenomena yang universal. Para psikolog musik—dan
sejumlah siswa yang mempelajari musik etnis pada awalnya berasal dari kelompok
ini—juga merasakan pentingnya penggunaan bahan-bahan dari berbagai kebudayaan
lain untuk menguatkan temuan-temuan mereka.
Akan
tetapi, para musikolog di abad ke-20 lebih mengarah sebagai ahli dalam musik
Barat. Para musikolog abad ke-19 kemungkinan lebih tertarik pada musik sebagai
sebuah fenomena universal daripada para penerus mereka di abad ke-20, yang
memandang bahwa perlu dan penting untuk berkonsentrasi pada aspek-aspek yang
sangat khusus dari tradisi musik Barat. Etnomusikologi terlihat hanya
memberikan sedikit kontribusi untuk penelitian yang khusus ini, namun demikian,
etnomusikologi memainkan sebuah peran. Hubungan musik Barat dengan musik-musik
Eropa tetangganya—musik dari Timur Dekat (Near
East), dengan tradisi musik Yahudi, musik India, dll.—dan musik-musik
lainnya, ikatan antara musik budaya tinggi (cultivated
music) atau musik urban dengan musik-musik yang tidak memiliki budaya
tulis, musik rakyat, cukup dekat pada beberapa periode dalam sejarah. Musik
seni Eropa selalu bertukar materi dengan tradisi kerakyatan yang ada di wilayah
geografisnya, dan berbagai pengaruh benua lain di Eropa kemungkinan menjadi
lebih kuat daripada yang umumnya diakui. Untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh
ini, guna mendeskripsikan berbagai gaya dan praktek musik dimana mereka
bermula, metode-metode etnomusikologi adalah perangkat yang dibutuhkan. Sebagai
contoh yang umum, studi mengenai asal-usul polifoni Eropa, yang dalam tradisi fine art diduga berasal dari abad-abad
pertengahan, melibatkan musik-musik non-Barat yang memiliki gaya-gaya polifonik
yang dapat dianalogikan atau mirip dengan yang ada di Eropa pada abad
pertengahan. Studi ini juga melibatkan pengetahuan tentang berbagai gaya musik
yang kemungkinan mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan, serta pengetahuan
akan musik rakyat (yang ada saat itu, atau yang ada setelah masa itu) yang
diduga dapat menyebabkan pertukaran berbagai gagasan dan materi-materi musikal.
Banyak contoh yang mengindikasikan potensi dan tugas etnomusikologi di masa
lalu terhadap studi sejarah musik budaya tinggi Barat (Western cultivated music); studi tentang polifoni abad pertengahan
adalah salah satunya. Data tentang berbagai gaya musik non-Barat dan musik
rakyat selalu tersedia untuk interpretasi yang tepat dari musik Barat.
Hal
serupa juga dapat dilakukan untuk kebutuhan informasi musik dalam antropologi.
Musik adalah salah satu dari beberapa fenomena kebudayaan yang universal, tidak
ada masyarakat yang tidak memiliki musik. Meskipun gaya musik di dunia amat
sangat beragam, terdapat homogenitas dalam perilaku musikal sehingga
identifikasi musik menjadi mungkin dan sederhana. Oleh karena itu, penting
kiranya bagi seorang antropolog untuk juga mengetahui sesuatu tentang perilaku
musikal dari masyarakat jika ia bermaksud untuk mengungkapkan sebuah kebudayaan
tertentu secara utuh. Ini terutama ditekankan bagi kebudayaan-kebudayaan—dan
sebagian besar kebudayaan—dimana musik memainkan peran yang penting dalam
kosmologi, filosofi, dan kehidupan seremonial.
Musik
terkadang digunakan sebagai bukti untuk teori-teori dalam antropologi. Temuan
E.M. von Hornbostel tentang penalaan panpipe
di Brazil yang identik dengan penalaan di sejumlah wilayah Oseania, agaknya
mengindikasikan kontak budaya prasejarah antara wilayah-wilayah ini—sebuah
permasalahan yang sedang dibicarakan. (Penting kiranya untuk dicatat bahwa
penafsiran Hornbostel ini menjadi sesuatu yang kontroversial; akan tetapi ini
tetap merupakan sebuah contoh klasik tentang data musikal dalam tugas yang
dijalankan oleh etnomusikologi.)
Berbagai
studi akulturasi, yakni, hasil dari kontak yang intim antara
kebudayaan-kebudayaan yang bertetangga, dapat lakukan lewat studi terhadap
musik (lihat Wachsmann 1961; Merriam 1955; dan Bab 8). Pengukuran statistik
dalam antropologi budaya dilakukan dengan menggunakan fenomena musikal, yang
lebih memudahkan untuk menghitung daripada menggunakan apspek-aspek kebudayaan
lainnya, misalnya religi, organisasi sosial, dan sebagainya (lihat Merriam,
1956). Akhirnya—mungkin ini adalah alasan lain terkait asosiasi dekat musik
dengan statistik dalam antropologi budaya—ada kemungkinan pembedaan antara isi
musik (musical content) dan gaya musik
(musical style), yakni, antara
komposisi-komposisi spesifik dan berbagai karakteristik yang terdapat pada
bagian-bagian dalam reperotar mereka (lihat Bab 6). Teori dan penelitian
etnomusikologis sangat dipengaruhi oleh kenyataan ini. Kiranya mungkin bagi komposisi-komposisi
individual, misalnya lagu-lagu, untuk berpindah dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya dan berubah dalam proses perpindahan tersebut, serta mungkin
pula untuk berbagai ciri gaya—tipe-tipe bentuk, tangganada, ritme—untuk
berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan masuk ke dalam
lagu-lagu yang telah ada. Pembedaan ini, yang dapat lebih mudah dibuat dalam musik
dan bentuk-bentuk seni lainnya daripada hal-hal lain dalam kebudayaan, membuat
data musikal digunakan secara khusus oleh antropolog dalam menginterpretasikan
fenomena budaya.
Terlihat
bahwa etnomosikologi sangat dekat dengan musikologi sejarah dan antropologi
budaya. Dan ketika para etnomusikolog memiliki berbagai perbedaan terkait
definisi bidang dan dalam fokus mereka, kemungkinan tidak ada yang menyangkal
akan pentingnya dua wilayah studi yang berkaitan ini dalam pekerjaan mereka.
Peran etnomusikologi dalam dua bidang lainnya—folklor dan linguistik—juga harus
disebutkan. Secara jelas, musik dalam tradisi lisan (dan ini adalah bahan
mentah utama) merupakan sebuah bagian penting dari folklor, yang mencakup berbagi
aspek kebudayaan yang hidup dalam tradisi lisan, dan terutama yang meliputi
kratifitas artistik. Dan karena musik merupakan sebuah bentuk komunikasi yang
dalam beberapa hal berkaitan dengan bahasa, bidang etnomusikologi yang
mempelajari musik dunia, dapat mengkontribusikan dan masuk ke dalam bidang
linguistik, yang mempelajari bahasa-bahasa dunia. Kedua disiplin ini
berhubungan dekat terutama dalam mempelajari hubungan kata-kata dan musik dari
lagu-lagu.
Lingkup
Etnomusikologi
Guna
tujuan-tujuan praktis, kita dapat mengatakan bahwa etnomusikologi bergelut
terutama dengan tiga jenis musik. Karakteristik utama bidang ini dan sejarahnya
kemungkinan adalah musik dari masyarakat-masyarakat non-literasi, yakni yang
tidak mengembangkan sistem membaca dan menuliskan bahasa-bahasa mereka, dan,
sejalan dengan itu, memiliki kehidupan yang relatif sederhana. Sachs (1962) menyanggah
pandangan ini—seperti halnya sejumlah sarjana lain—karena ia meyakini ada atau
tidak adanya tulisan tidak menyebabkan perbedaan besar di antara tipe-tipe
kebudayaan. Masyarakat-masyarakat yang termasuk dalam kategori non-literasi
meliputi Indian Amerika, Negro Afrika, Oseania, Aborigin Australia, dan
berbagai suku di berbagai penjuru Asia. Kebudayaan-kebudayaan ini seringkali
disebut dengan “primitif,” akan tetapi istilah ini tidak dapat benar-benar
digunakan karena secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka dekat dengan
tahap awal dalam sejarah manusia (dimana tidak dapat dibuktikan sejauh mana
kebudayaan ini dikaitkan dengan tahapan ini) atau sangat sederhana (dimana
tidak selalu benar, misalnya sejumlah kebudayaan non-literasi memiliki
organisasi sosial yang sangat kompleks, ritual-ritual yang sangat rumit, seni,
dan tentu saja, gaya musik dan adat-istiadat yang meliputi musik). Selanjutnya,
anggota-anggota dari berbagai masyarakat non-literasi yang menguasai sebuah
bahasa dunia seperti bahasa Inggris (dan individu-individu seperti ini
meningkat jumlahnya) tidak menyukai ketika mereka disebut sebagai “primitif”
dalam berbagai tulisan tentang mereka. Oleh karena itu istilah “primitif”
secara perlahan-lahan mulai menghilang dari
literatur antropologi dan etnomusikologi. Istilah “pra-literasi” juga
pernah digunakan, akan tetapi ini merugikan karena merugikan karena secara
tidak langsung menyatakan sesuatu yang evolusioner, dengan rangkaian yang pasti
menuju ke literasi. Istilah “tribal” (kesukuan) juga ditemui, tetapi sulit
digunakan karena secara tidak langsung menyatakan jenis struktur sosial dan politik tertentu dimana
ini dimiliki oleh sebagian besar kebudayaan non-literasi, tetapi tidak seluruh
kebudayaan non-literasi. Jika sebuah kebudayaan tidak memiliki organisasi
tribal (kesukuan), kemungkinan musiknya dimasukkan dalam materi-materi lain
yang dibicarakan, yang disebabkan karena ketiadaan tradisi tulis. Kiranya sulit
untuk mendefinisikan kebudayaan-kebudayaan “tribal.” Dan oleh karena itu
istilah “non-literasi,” meskipun tidak semenarik ungkapan seperti “tribal” dan
“primitif,” sepertinya merupakan istilah yang paling deskriptif bagi kelompok
atau masyarakat-masyarakat yang diasosiasikan sangat dekat dengan
etnomusikologi.
Kategori
musik kedua yang selalu dimasukkan dalam lingkup etnomusikologi adalah musik
dari kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia dan Afrika Utara—Cina, Jepang, Jawa,
Bali, Asia Tenggara, India, Iran, dan negara-negara yang menggunakan bahasa
Arab. Ini adalah kebudayaan-kebudayaan yang memiliki musik yang mapan (cultivated music) yang dalam banyak hal
dapat disamakan dengan musik dalam peradaban Barat, dicirikan dengan
kompleksitas gaya yang tinggi, dengan bertumbuhnya musisi-musisi kelas profesional,
serta adanya notasi dan teori musik. Kebudayaan-kebudayaan ini telah memiliki
tulisan-tulisan tentang musik selama berabad-abad sehingga memungkinkan
digunakannya pendekatan historis seperti yang digunakan oleh sejarawan musik
Barat. Sesungguhnya tidak ada satupun dari bangsa-bangsa ini yang menggunakan
notasi musik sekompleks dan seeksplisit di Barat, dan kehidupan musikal, bahkan
di wilayah-wilayah urban (perkotaan) sekalipun, umumnya hidup dalam tradisi lisan
dimana individu-individu mempelajari musik dengan cara mendengarkannya dan
belajar tanpa menggunakan notasi tertulis. Oleh karena itu sulit kiranya untuk
membuat batasan yang jelas antara musik kebudayaan-kebudayaan non-literasi
dengan kebudayaan-kebudayaan tinggi oriental. Kunst menyebut yang terakhir ini
sebagai “tradisional” (Kunst 1959:1), dan literatur etnomusikologis, tanpa
memberikan klasifikasi yang lebih mendalam, hanya menyebut wilayah yang sangat
luas ini sebagai “oriental.”
Kategori
ketiga—dan ini tidak diterima oleh semua etnomusikolog—adalah musik rakyat,
yang didefinisikan sebagai musik dalam tradisi lisan yang ditemui di berbagai
wilayah yang didominasi oleh kebudayaan-kebudayaan tinggi. Dengan demikian
tidak hanya peradaban Barat yang memiliki musik rakyat, tetapi juga
bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Cina, dan lain-lain, tetapi tentu saja Barat
memainkan peran yang besar dalam penelitian. Musik rakyat umumnya dibedakan
dari musik masyarakat-masyarakat non-literasi karena memiliki wujud yang dekat
dengan musik yang mapan (cultivated music)
dimana keduanya saling bertukar materi dan musik rakyat mendapat pengaruh yang
besar. Musik rakyat dibedakan dari musik yang mapan (cultivated music) atau musik urban atau musik fine art karena ketergantungannya terhadap tradisi lisan, bukannya
notasi tertulis, dan, secara umum, dengan eksistensinya di luar
institusi-institusi seperti gereja, sekolah, atau pemerintahan. Dan ini
diterima sebagai bagian dalam etnomusikologi oleh banyak sarjana karena gaya-gayanya,
meskipun berhubungan dengan musik seni Barat, tetap cukup berbeda sehingga
mungkin untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang unik, manifestasi-manifestasi
eksotik musik yang membentuk inti dari etnomusikologi.
Pendekatan-Pendekatan
dalam Etnomusikologi
Seperti disiplin-disiplin baru pada umumnya, etnomusikologi
berhadapan dengan berbagai kritik (self-criticism)
dan inspeksi terhadapnya (self-inspection).
Sejak tahun 1950, sejumlah artikel ditulis terkait berbagai permasalahan dalam pendefinisian
lingkup etnomusikologi. Ketika tulisan-tulisan ini berkesan
kontroversi, para penulisnya tidak banyak memperdebatkan tentang
batas-batas luar serta apa yang menjadi penekanan dalam bidang ini; kecuali
beberapa diantara mereka, sepakat tentang lingkup dari etnomusikologi. Sebagian
besar dari mereka bersedia untuk memasukkan
seluruh kebudayaan di dunia, termasuk peradaban Barat, tetapi mereka menaruh
minat yang lebih pada musik non-Barat dan musik rakyat. Berbeda halnya dengan Jaap Kunst (1959:1), yang menekankan peran
tradisi lisan sebagai ciri yang membedakan. Curt Sachs, dalam sub-judul karya
generalnya tentang etnomusikologi (Sachs 1959), mengkhususkan bahwa Musik der Fremdkulturen (musik dari
kebudayaan-kebudayaan asing) merupakan bahan yang dipelajari dalam apa yang
tetap ia sebut sebagai vergleichende
Musikwissenschaft (musikologi komparatif—istilah awal etnomusikologi).
Marius Schneider (1957:1) yang berkebangsaan Jerman mengkhususkan pada musik
non-Eropa, dan menekankan pentingnya pekerjaan komparatif dalam pendefinisian
bidang ini. Rhodes (1956) cenderung mendukung sikap yang demikian.
Kendatipun
demikian, Kolinski (1957:1-2) mengemukakan bahwa wilayah geografis bukan
merupakan pendekatan umum yang membedakan bidang kita. Ia meyakini bahwa
etnomusikologi telah mengembangkan sebuah sudut pandang yang dihasilkan dari
studi terhadap berbagai kebudayaan yang beragam, tetapi juga dapat diterapkan
pada musik seni Barat. Gagasan bahwa subjek dari bidang ini harus dibatasi
secara geografis, yakni hanya dunia non-Barat, menuai berbagai keberatan dan
kritik. Akan tetapi terlepas dari dukungan banyak sarjana terkait keinginan
untuk memasukkan musik seni Barat, haruslah diakui bahwa seorang sarjana dapat
cukup objektif hanya dengan mempelajari kebudayaan di luar milik mereka
sendiri. Dengan mempelajari budayanya sendiri, ia kemungkinan akan berada dalam
kondisi dimana terlalu banyak prasangka dan asosiasi-asosiasi personal untuk
menjadi objektif—ini diyakini banyak etnomusikolog. Oleh karena itu diharapkan
musik Barat diselidiki dalam gaya etnomusikologis oleh sarjana Afrika atau
Asia, sementara para sarjana Barat dapat tetap terus mengkhususkan pada
kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
Selanjutnya,
Merriam (1960) menekankan perlunya penggunaan metode-metode etnomusikologis
secara universal. Seeger (“Whither
Ethnomusicology?”, p. 101) meyakini bahwa para sejarawan musik Barat telah
merampas nama “musikologi,” yang seharusnya tetap diteruskan bagi mereka yang
sekarang disebut dengan para etnomusikolog. Para sejarawan tersebut selanjutnya
dianggap sebagai spesialis dalam bidang yang lebih luas, katakanlah, seusia
dengan para sejarawan musik Cina. Ketika sebuah kasus digunakan untuk
membenarkan pendapat ini, tidak banyak pendapat terkait
penerimaannya dalam keterlibatan para sarjana. Akhirnya, Chase (1958:7)
mendefinisikan etnomusikologi sebagai “studi musik manusia kontemporer” (musical study of contemporary man),
termasuk orang Barat; tetapi tampaknya dalam definisi tersebut ia mengabaikan
studi historis musik mapan (cultivated
music) yang selalu dipelajari dalam bidang ini, serta penggunaan
bukti-bukti arkeologis dalam kebudayaan-kebudayaan non-literasi.
Dalam
hal penekanan, sebagian besar etnomusikolog sepakat bahwa struktur musik dan
konteks budayanya sama-sama harus dipelajari, dan keduanya harus diketahui agar
penyelidikan yang dilakukan memadai. Dalam penelitian yang dilakukan sebelum
tahun 1930, analisis dan deskripsi musik lebih memberatkan pada
pendekatan-pendekatan lain. Semenjak tahun 1950, di satu sisi, para
etnomusikolog Amerika yang berlatar belakang antropologi tampak condong pada
studi budaya musik secara lebih detail terhadap musik itu sendiri. (Merriam
1960:109-10) mengemukakan enam wilayah utama yang harus diperhatikan oleh
mereka yang mempelajari sebuah budaya musik, selain musik itu sendiri: (1)
instrumen, (2) lirik-lirik dalam lagu, (3) tipologi dan klasifikasi musik
lokal, (4) peran dan status para musisi, (5) fungsi musik dalam kaitannya
dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya, serta (6) musik sebagai aktifitas
kreatif. Merriam juga menekankan pentingnya penelitian lapangan, yakni, kebutuhan
etnomusikolog untuk mengumpulkan bahan mentah dan mengobservasinya dalam
kondisi “hidup” agar mereka dapat bekerja secara efektif. Lagipula, kemungkinan
tidak ada seorang pun yang membantah pentingnya penelitian lapangan. Kendatipun
demikian, kira-kira sebelum tahun 1940, harus diakui bahwa sejumlah sarjana
tidak mau atau tidak dapat pergi ke lapangan, dan apa yang mereka lakukan
adalah pekerjaan komparatif di laboratorium. Diasumsikan juga bahwa mereka yang
melakukan penelitian lapangan terkadang menghabiskan waktu di rumah untuk mengolah
musik yang dikumpulkan oleh orang lain—kemungkinan umumnya para antropolog—yang
dapat merekam tetapi tidak dapat menganalisis musik. “Para etnomusikolog di
belakang meja” ini, senada dengan Merriam (1960:113), semakin menjadi penting.
Kini, dapat dikatakan bahwa penelitian lapangan yang pokok dapat digantikan
dengan pengumpulan dan studi deskriptif para sarjana di negara-negara
berkembang, misalnya peneliti lapangan Amerika di Kongo dapat digantikan oleh
orang Kongo yang bekerja di wilayahnya sendiri. Selain itu, dapat dikatakan
juga bahwa seorang etnomusikolog yang benar-benar melakukan studi lapangan akan
sulit melakukan pekerjaan komparatif. Dan jika ia digantikan oleh peneliti
lapangan lokal (native fieldworker),
lalu apa fungsinya? Dapat dikatakan bahwa, selain penelitian lapangan, pendekatan
luas dan komparatif yang dilakukan di belakang meja, merupakan sebuah
kontribusi yang sangat esensial dari etnomusikologi. Senada dengan Seeger (“Whither Ethnomusicology?”, p. 104),
“siapa yang akan mendalami hasilnya? Dialah Hornbostel, dengan keobjektifannya
yang tinggi dan besar, dan dengan menggunakan dua teknik secara bersamaan (lapangan
dan komparatif) akan memberikan kita pemahaman tentang musik umat manusia.”
Pada satu sisi, beberapa orang dengan serius menolak pernyataan Merriam bahwa
pemhaman utama terhadap musik tergantung pada pemahaman tentang kebudayaan
masyarakat (Merriam 1964: 113).
Sejak
tahun 1953, sekelompok etnomusikolog Amerika mencoba untuk mencapai pemahaman
melalui apa yang dikemukakan oleh Merriam dengan menceburkan diri mereka ke
dalam kebudayaan-kebudayaan asing sebagai musisi-musisi aktif. Asumsi dasar
dari kelompok ini, yang dipimpin oleh Mantle Hood, dalam beberapa hal
menyamakan gaya musik dari sebuah kebudayaan dengan bahasa, sehingga dengan
kontak yang lama dengan sebuah budaya musik, seorang etnomusikolog dapat
menjadi sepadan dengan musisi lokal. Butuh pembelajaran dan praktik untuk
mempelajari bahasa kedua di luar bahasa yang dimiliki agar dapat menjadi
bilingual, maka butuh waktu dan kontak yang sering dengan kebudayaan musik lain
untuk menjadi bi-musikal (Hood 1960). Sejumlah etnomusikolog yang belajar
dengan guru-guru lokal (native masters)
menjadi cakap seperti halnya orang Siam, India, musisi-musisi Jepang. Seorang
anggota dari kelompok itu menjadi seorang spesialis hanya dalam satu atau dua
budaya musik asing. Pendekatan ini sangat berhasil, akan tetapi tampaknya
mengesampingkan kemungkinan pendekatan komparatif yang luas, karena seorang
Barat tidak lagi dapat menjadi cakap dalam berbagai budaya musik daripada
ketika ia belajar untuk berbicara banyak bahasa asing secara sempurna. Konsep
bi-musikalitas juga digunakan oleh apara etnomusikolog dari negara-negara
non-Barat yang tujuannya tidak hanya studi objektif terhdap musik mereka,
melainkan membentuk sebuah budaya musik dimana elemen-elemen Barat dan lokal
dipadukan. Pendekatan ini kemungkinan dapat disebut dengan “etnomusikologi
terapan,” dapat disepadankan dengan “antropologi terapan,” yang berfungsi untuk
membantu kelompok-kelompok non-Barat melalui proses akulturasi dengan peradaban
Barat. Sebuah pernyataan yang lebih komprehensif terkait sikap Hood diterbitkan
pada tahun 1963 (Hood 1963). Di sini Hood juga mengamati sejarah etnomusikologi
di Amerika.
Selanjutnya,
tampak bahwa bidang etnomusikologi memiliki inti—musik dari
kebudayaan-kebudayaan non-literasi, musik masyarakat-masyarakat oriental yang
sedang berkembang, serta musik rakyat dari Barat dan peradaban-peradaban
oriental—yang umumnya diterima sebagai bidang kompetensinya, dan ketidaksepaktan
hanya ada terkait pendefinisian batas-batas luar bidang ini dan dalam penentuan
apa yang menjadi fokus perhatian dan pendekatan. Kita dapat menyimpulkan
kesepakatan pendapat bahwa etnomusikologi, dalam kenyataan dan dalam teori,
adalah bidang studi yang mempelajari musik dunia, dengan menekankan kepada
musik di luar kebudayaan peneliti, dari sudut pandang deskriptif dan
komparatif. Penelitian lapangan dan analisis laboratorium, struktur musik dan
latar belakang kebudayaan, perbandingan luas dan spesialisasi yang lebih sempit
yang diasosiasikan dengan dikembangkannya bi-musikalitas, studi sinkronik dan
diakronik—kesemuanya relevan dan penting. Dengan demikian, dalam semua
pendekatan, objektifitas, penghindaran terhadap penilaian yang didasarkan pada
latar belakang budaya peneliti, dan diterimanya musik sebagai sebuah bagian
dari kebudayaan adalah hal-hal yang esensial.
Akhirnya,
kita dapat menanyakan lagi apakah para etnomusikolog seharusnya berurusan
dengan musik dari budaya tinggi Barat; dan jika ini dilakukan ini, bagaimana
membedakan mereka dari sejarawan musik Barat “biasa.” Jawaban saya secara
personal untuk pertanyaan pertama tidak terlalu tegas, “ya.” Pertanyaan kedua
akan dijawab sebagian dalam buku ini. Secara singkat, jawabannya adalah bahwa
para sejarawan musik Barat berkonsentrasi pada sejumlah aspek budaya musik, dan
terkadang mereka menerimanya sebagai sesuatu yang benar. Sebuh pendekatan
etnomusikologis terhadap musik Barat akan menyertakan peran musik dalam
kebudayaan, berbagai permasalahan praktek pertunjukan, notasi deskriptif versus
notasi pra-deskriptif, berbagai prosedur dan metode untuk mendeskripsikan musik
(yang hampir tidak tersentuh dalam musik Barat). Kesulitan mempelajari kebudayaan-kebudayaan
musik asing telah memaksa para etnomusikolog untuk mengembangkan metode-metode
guna menjamin objektifitas dan kritis terhadap bukti. Sejarawan musik Barat,
yang merupakan anggota dari kebudayaan yang dipelajarinya, tidak selalu
mempersoalkan objektifitas, dan pendekatan kritik dalam publikasi-publikasi
mereka sangat terasa dibandingkan dengan pendekatan ilmiah. Selanjutnya,
potensi utama kontribusi terhadap studi musik Barat adalah teknik-teknik yang
telah mereka kembangkan dalam studi kebudayaan-kebudayaan musik lainnya.
Berbagai
Kecenderungan dalam Sejarah Etnomusikologi
Sebuah
sejarah yang definitif dapat sulit dituliskan untuk sebuah bidang studi,
seperti halnya etnomusikologi, dimana ini merupakan sebuh bidang yang baru dan
mayoritas eksponennya masih hidup dan tetap aktif. Beberapa pengamatan singkat
terkait sejarah etnomusikologi telah hadir; Sachs (1962:5-32), Kunst (1959),
dan Nettl (1956:26-44) termasuk di sini. Sejarah ini sebenarnya merupakan pokok
dari buku ini dan hadir dalam aspek-aspeknya yang beragam dalam tiap bab. Tugas
kita adalah menyimpulkan berbagai kecenderungan ideologis dalam sejarah
etnomusikologi, yang terkadang tidak mudah sebab lebih banyak sarjananya ada
pada masa kini daripada masa lalu: kontribusi-kontribusi total serta sebagian
besar sudut pandang mereka menjadi sulit untuk dievaluasi sebab terjadi
perubahan pandangan-pandangan serta kontribusi-kon-tribusi penting mereka
kemungkinan digantikan oleh kontribusi lain yang lebih signifikan. Sejumlah
kecenderungan dapat dirasakan di negara-negara berbeda pada waktu yang
berbeda-beda pula, dan munculnya sarjana-sarjana terkadang memicu perubahan
mendadak dalam kecenderungan-kecenderungan ini karena begitu sedikit
orang-orang dalam bidang studi ini. Kendatipun demikian, sejumlah tendensi
tertentu telah terwujud, dan pengaruh dari berbagai disiplin telah menyebabkan
terjadinya pergeseran fokus serta perhatian yang bermanfaat dalam bidang ini.
Sebagai
sebuah bidang studi yang bergelut dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan
non-Barat, etnomusikologi merupakan sebuah disiplin lawas; akan tetapi sebagai
sebuah bidang studi dengan metode-metode modern dan peralatan serta sebuah nama,
etnomusikologi relatif baru. Dalam beberapa hal keberadaan etnomusikologi dapat
ditarik dari digunakannya materi musik rakyat, dan bahkan materi musik Asia,
yang dinilai sangat eksotik, oleh para komposer dipenghujung Abad Pertengahan
dan Renaissance. Kaum humanis dan rasionalis abad ke-18 dipastikan merupakan
semangat awal ketertarikan modern terhadap berbagai aspek perilaku manusia, dan
dalam hal ketertarikan seseorang akan sesuatu di luar kebudayaannya sendiri.
Sejarah etnomusikologi juga tidak terlepas dari Jean Jacques Rousseau, yang
menulis ensiklopedi musik terkenal yang memuat contoh-contoh musik rakyat,
musik Cina, dan musik Indian Amerika, diterbitkan pertama kali pada tahun 1767.
Berbagai deskripsi tentang musik oriental telah ditulis oleh para misionaris
pada penghujung abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dan minat terhadapmusik rakyat
Eropa cukup mencolok dalam dunia kesarjanaan di Eropa pada abad ke-18,
khususnya di Inggris dan Jerman.
Kemungkinan
kita dapat menganggap berbagai deskripsi tentang musik Cina oleh para
misionaris Perancis (du Halde, Amiot) serta pengumpulan lagu rakyat Jerman oleh
para filsuf dan filolog (seperti Herder dan Grimm bersaudara) sebagai bagian
dari tradisi kultural yang sama. Meskipun kedua kelompok ini berbeda latar belakang,
namun jelas bahwa keduanya dimotivasi oleh rasa perhatian terhadap nilai materi
musik yang asing bagi mereka. Mengherankan kiranya mendapati para misionaris,
yang tujuannya adalah menghadirkan kebudayaan dan religi Barat di Timur,
melakukan hal yang sebaliknya, yakni membawa musik Oriental (Timur) ke Barat.
Kecuali itu, diduga bahwa para penyair masa Romantik menaruh perhatian pada
lagu-lagu dari masyarakat pedesaan. Berbagai koleksi individual seperti Herder
(lihat Pulikowski 1933) dan risalah teoretis tentang folklor oleh mereka yang
oleh Dorson (1955) disebut sebagai kelompok ahli folkor Inggris pertama dengan
cepat menimbulkan dampak yang berarti terhadap perkembangan etnomusikologi.
Akan tetapi, di satu sisi, sesungguhnya tidak begitu banyak hubungan antara
para kolektor lagu rakyat pada Abad ke-19, para misionaris seperti Amiot, dan
para sejarawan musik Barat yang juga mempelajari Timur, misalnya Kiesewetter,
dan di sisi lain, hubungan antara para pendiri disiplin etnomusikologi.
Meskipun
etnomusikologi biasanya, secara tersirat, dianggap jauh lebih muda daripada
musikologi sejarah, dalam pengertian modern terkait nama mereka, dua bidang ini
bermula pada dekade yang sama. Musikologi umumnya dianggap dimulai pada tahun
1855 dengan terbitnya Vierteljahrschrift
für Musikwissenscahft, yang dipelopori oleh Philipp Spitta, Friedrich
Chrysander, dan Guido Alder. Para sarjana ini membedakan antara sejarah musik
dan hal yang agaknya lebih ilmiah serta beberapa cara pendekatan saintifik
terhadap musikologi, yang tidak hanya mencakup sejarah musik Barat tetapi juga
berbagai aspek “musikologi sistematik”—teori musik, akustika, psikologi musik,
serta studi sinkronik terhadap musik dari kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
Volume kedua Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft
memuat tonggak bersejarah dalam etnomusikologi: studi yang dilakukan Carl
Stumpf terhadap lagu-lagu Indian Bella Coola (Stumpf 1886), yang oleh sejumlah
kalangan dianggap sebagai terbitan etnomusikologis yang sesungguhnya karena ini
merupakan sebuah studi gaya musik dari suatu suku dengan penekanan pada
struktur tangganada dan melodi (lihat juga Bab 2).
Jaap
Kunst (1959:2-3) tidak menganggap Stumpf sebagai etnomusikolog pertama yang
sesungguhnya, tetapi lebih menempatkan A.J. Ellis pada posisi terhormat ini.
Karya besar Ellis (Ellis 1885) tidak berselang lama dari karya Stumpf dan
menunjukkan dekatnya waktu antara lahirnya musikologi sejarah dan etnomusikologi.
Kunst menganggap Ellis sebagai tokoh penting karena kontribusinya dalam hal
metodologi—apa yang disebut sebagai sistem cent dalam pengukuran interval
ditemukan olehnya—daripada karena penyelidikan terhadap gaya musik individual
atau kebudayaan. Siapapun dari sarjana ini yang dianggap sebagai pendiri bidang
kita yang sesungguhnya, yang pasti bidang ini dimulai pada tahun 1880-an, yakni
saat dimana musikologi sejarah juga dimulai.
Etnomusikologi
tidak berkembang dari sebuah disiplin; akan tetapi, dari beberapa disiplin yang
menyatu, kurang lebih pada saat yang bersamaan, namun kemungkinan tidak
bersamaan pada musik berbagai kebudayaan non-Barat. Carl Stumpf kemungkinan dapat
dianggap sebagai wakil dari bidang psikologi, dimana salah satu pembahasannya
tentang permasalahan tesebut diterbitkan secara luas, dan baik dirinya maupun
Erich M. von Hornbostel yang terkenal itu bekerja di “institut psikologi”
Universitas Berlin. A.J. Ellis adalah seorang filolog dan ahli matematika. Walter
Fewkes adalah seorang antropolog; sementara Frans Boaz, antropolog yang
memiliki pengaruh besar terhadap para etnomusikolog Amerika, membawa metode-metode
dari bidang studinya yang pertama, yakni geografi dan fisika, ke dalam bidang
studinya saat ini. Para sejarawan musik Barat yang menonjol pada saat yang
bersamaan dengan hadirnya terbitan-terbitan etnomusikologis pertama—Adler,
Spitta, Chrysander—menaruh perhatian dan pengakuan terhadap cadang baru dari
disiplin mereka, akan tetapi kontribusi dan pengaruh mereka terhadap cabang
disiplin baru ini relatif kecil. Masa-masa setelah itu, dan bahkan selama tahun
1940-an dan 1950-an, para etnomusikolog yang berasal dari kalangan sejarawan
musik terlihat lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari para antropolog dan
ahli folklor, dan ketika bidang musik tidak lagi mengkontribusikan sarjana
terhadap bidang ini, kemungkinan besar, yang ada adalah para musisi praktek
atau komposer ketimbang sejarawan.
Banyaknya
disiplin yang mengkontribusikan personil membuat etnomusikologi menjadi sebuah
bidang studi yang hanya memiliki sedikit metodologi yang terpusat. Kita tidak
dapat mengatakan bahwa satu tradisi secara tunggal membentuk metode kita.
Sebuah bidang studi yang bertujuan besar, yakni untuk memahami seluruh musik di
dunia dalam konteks budayanya, perlu untuk mengambil pengalaman dari berbagai
bidang studi. Keragaman asal-usul kita merupakan sebuah kelebihan dan bukan
kekurangan, bahkan pada saat-saat dimana keadaan ini merupakan penghalang bagi
komunikasi yang jelas. Akan tetapi, pada masa awal etnomusikologi, pentingnya
para sarjana yang berorientasi psikologis dan matematis memiliki konsekuensi
yang luas. Secara karakteristik, apa yang diperkenalkan oleh Ellis bahwa
interval-interval harus diukur secara objektif, dan penemuannya terhadap sistem
cent dimana tiap jarak paruh nada (halftone)
dibagi menjadi masing-masing 100 bagian yang sama (cent) mendorong deskripsi
yang objektif terhadap tangganada.
Pentingnya
penemuan perekaman suara terhadap perkembangan etnomusikologi tidak terperikan.
Semenjak dilakukannya rekaman paling awal, mereka yang mempelajari musik
non-Barat mulai menggunakan metode yang bagus ini untuk mengawetkan suara dari
sebuah pertunjukan musik, sebagai cara untuk mengumpulkan bahan mentah mereka
dan untuk membantu dalam analisisnya. Umumnya diyakini bahwa rekaman-rekaman
pertama terhadap musik non-Barat dilakukan oleh Walter Fewkes, yang membuat
silinder-silinder Edison untuk lagu-lagu Zuni dan Indian Passamaquoddy pada
tahun 1889. Rekaman fonografis terhadap musik etnis dilakukan oleh pra sarjana
Amerika lainnya, misalnya Frances Densmore, dan tidak lama setelah rekaman
Fewkes itu dimulai, seorang pelopor berkebangsaan Jerman, yakni Carl Stumpf,
juga menerbitkan sebuah hasil studi musik Indian (Stumpf 1892) yang berdasarkan
atas materi-materi rekaman. Perlunya menggunakan rekaman dalam studi musik
non-Barat tak pelak lagi bagi mereka yang melakukan studi tersebut. Mereka
dihadapkan pada suara yang terdengar kacau-balau, yang tidak memiliki makna
musikal bagi telinganya yang berorientasi musik Barat, sehingga mereka butuh
berulang kali mendengarkan agar memungkinkan mereka untuk mereduksi kadar yang
tidak dikenal menjadi sesuatu yang dapat diterima dalam pikirannya sebagai sebuah
sistem. Dalam wilayah musik rakyat, kebutuhan berbagai studi yang berdasarkan
atas rekaman tidak serta-merta menjadi umum setelah itu. Mereka yang
mempelajari musik rakyat berpikiran bahwa yang dihadapi adalah jenis musik yang
gayanya telah akrab dengan mereka melalui pergaulan dengan musik mapan Barat (Western cultivated music), dan karena
lagu-lagu rak-yat telah ditulis dan diterbitkan dalam berbagai kumpulan selama
beberapa dekade. Akan tetapi keadaan ini tidak lagi ada hingga Béla Bártok
(yang notasi-notasinya, berdasarkan atas rekaman, sangat berbeda dari yang
diperkenalkan dalam kumpulan-kumpulan lagu rakyat komersial) menunjukkan bahwa
metode-metode etnomusikologis dalam penotasian musik menghasilkan sebuah
halaman tentang musik yang terlihat cukup berbeda dari halaman-halaman dalam
kumpulan-kum-pulan lagu rakyat lawas, serta mulai mempublikasikan studi-studi
saintifiknya tentang musik rakyat Hungaria dan Eropa Timur lainnya, hingga lagu
rakyat Eropa secara rutin mulai menjadi bagian dalam berbagi proses perekaman
lapangan dan pentranskripsian.
Setelah
praktek rekaman menjadi mapan pada peralihan abad ke-19, banyak individu yang
bukan dari bidang musik atau tidak menaruh perhatian khusus pada musik mulai
membuat rekaman-rekaman terhadap musik dalam kebudayaan-kebudayaan yang dekat
dengan mereka. Menjadi jelas bahwa proses-proses kolonisasi dan pembaratan (Westernization) berbagai masyarakat
cukup menimbulkan perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan musik di dunia, dan
banyak gaya musik menghilang seketika. Ini juga berlaku di Eropa dan Amerika
utara, dimana urbanisasi dan industrialisasi menjadi ancaman yang memungkinkan
hilangnya gaya-gaya musik rakyat. Inilah yang mendorong para antropolog dan
ahli folklor melakukan perekaman musik, dan karena pekerjaan perekaman ini
tidak membutuhkan keahlian khusus tentang musik, sejumlah besar silinder, dan
kemudian, piringan-piringan, dibuat dan diserahkan kepada para etnomusikolog,
yang bekerja di laboratorium untuk kepentingan transkripsi dan analisis.
Besarnya materi yang dikumpulkan tidak semuanya langsung dapat ditangani oleh
para etnomusikolog, sehingga pembuatan tempat penyimpanan arsip menjadi hal
yang penting.
Gagasan
untuk memiliki tempat untuk penyimpanan, pengolahan, pengklasifikasian dan
pembuatan katalog untuk rekaman-rekaman etnomusikologis menjadi utama dalam
bidang ini dan mengarah kepada pengembangan sebuah wilayah pengetahuan dan
keahlian khusus dalam etnomusikologi. Arsip, dalam sebuah pengertian, sama
dengan perpustakaan dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang juga menjadi hal penting
dalam penelitian.
Tempat
arsip yang paling terkemuka di Eropa adalah Phonogramm
archiv di Berlin, yang didirikan pada tahun 1900 oleh Carl Stumpf dan Otto
Abraham terutama untuk menyimpan silinder-silinder yang dibawa oleh para
etnolog Jerman. Selama beberapa dekade, lembaga arsip ini berfungsi sebagai
model bagi lembaga-lembaga arsip yang didirikan di tempt-tempat lain, khususnya
di Amerika Serikat, dimana seseorang yang dahulu merupakan asisten di arsip
Jerman, yakni George Herzog, kemudian membangun membangun tempat seperti itu di
Universitas Columbia untuk koleksi-koleksi serupa yang pada tahun 1948 dipindahkan
ke Universitas Indiana. Semenjak Perang Dunia II, peran utama di kalangan
lembaga-lembaga arsip dipegang oleh lembaga yang dipimpin oleh Herzog, yang
dikenal dengan Archives of Folk and Primitive
Music (dimana pada tahun 1954 kemudian dipimpin oleh George List), dan oleh
Library of Congress’s Archive of Folk
Song. Terkait sejarah berbagai lembaga arsip di Eropa, lihat
terbitan-terbitan Folklore and Folk Music
Archivist, serta karangan-karangan Kunst (1959), Herzog (1936), dan
Hornbostel (1933). Sejarah tentang arsip adalah sesuatu yang menarik sehingga
sebuah volume seluruhnya disediakan untuk permasalahan ini: kita hanya dapat
menyebutkan institusi-institusi individual yang paling penting.
Sebagian
besar lembaga arsip memiliki rekaman-reka-man sebagai minat mereka yang utama;
berbagai informasi tentang latar belakang
(lihat Bab 3) rekaman-rekaman tersebut juga termasuk, tetapi
notasi-notasi biasanya bukan merupakan bagian dari koleksi, meskipun di arsip
Universitas Indiana serta Phonogrammarchiv
Berlin memiliki daftar publikasi yang didasarkan atas rekaman-rekaman yang
mereka miliki. Kendatipun demikian, sejumlah arsip lagu rakyat Eropa sebagian
besar terdiri dari transkripsi, dan baru belakangan menambahkan rekaman-rekaman
dalam koleksi mereka. Kemungkinan yang paling menonjol dari lembaga-lembaga
arsip ini adalah Deutsches Volksiedarchiv
di Freiburg-im-Breisgau. Di sini disimpan manuskrip-manuskrip serta rekaman
berbagai versi/terjemahan lirik dan musik dari lagu-lagu rakyat Jerman.
Berbagai kekurangan dari koleksi manuskrip jika dibandingkan dengan rekaman
didiskusikan pada Bab 4 buku ini. Akan tetapi, arsip seperti yang ada di
Freiburg memberikan keuntungan, yakni memungkinkan dilakukannya pembuatan
indeks dan katalog dengan seksama karena materi yang dimiliki daripada koleksi
yang hanya terdiri dari rekaman. Arsip di Freiburg memiliki sejumlah katalog
dan indeks, yang memungkinkan dilakukannya identifikasi lagu-lagu sesuai tipe,
tempat dikumpulkan, frase pertama nada-nadanya, nada-nada yang berkaitan dengan
musik rakyat Eropa di luar Jerman, sumber-sumber tercetak, dan sebagainya. Tipe
pembuatan katalog seperti ini tidak memiliki dampak yang besar pada arsip-arsip
yang berkonsentrasi pada musik-musik non-Barat, akan tetapi ini meningkat
menjadi salah satu aspek dalam pengarsipan etnomusikologis. Secara ringkas,
kita harus menekankan bahwa perkembangan arsip telah menjadi sesuatu yang amat
penting. Pada tahun 1960-an, arsip-arsip di berbagai negara, regional dalam
negara besar seperti di Amerika Serikat, serta kelembagaan yang lebih sederhana
benar-benar menjamur; dan salah satu tugas etnomusikologi di masa mendatang
mengarah pada orientasi bagian (piece)
individual dari musik, daripada—seperti yang diharapkan sejumlah
kalangan—mengarah pada perilaku musikal dari berbagai kebudayaan. Dan kenyataan
ini sejalan dengan latar belakang pengembangan arsip serta penekanannya
terhadap pengidentifikasian dan diciptakannya berbagai pendekatan terhadap
karya spesifik dari musik. Kenyataan bahwa arsip, pada satu tataran,
mengabaikan konteks budaya dari musik kemungkinan merupakan sesuatu yang
relatif diabaikan dari fase penting ini dalam etnomusikologi hingga belakangan
ini.
Etnomusikologi
di Amerika Serikat
Di
Amerika Serikat, sejak tahun 1900 etnomusikologi telah memiliki posisi yang
relatif lebih menonjol jika dibandingkan dengan di Eropa. Kami telah menyinggung
kegiatan-kegiatan perekaman pertama oleh Walter Fewkes, yang belakangan menjadi
direktur Bereau of American Ethnology (sebuah
institusi yang selama abad ini mensponsori banyak penelitian tentang musik
Indian termasuk kegiatan rekaman besar-besaran yang dilakukan Frances
Densmore). Para siswa Amerika yang mempelajari kebudayaan non-Barat seketika
itu mulai menyadari bahwa musik adalah sebuah aspek perilaku manusia yang
benilai dalam kebudayaan apapun; akan tetapi rekan-rekan mereka dari Eropa, dengan
beberapa pengecualian menunjukkan kurangnya ketertarikan terhadap musik di luar
perekaman-perekaman lapangan—yang tentu saja merupakan sebuah kontribusi berharga.
Di Amerika Serikat, sejumlah antropolog menjadi aktif dalam studi
rekaman-rekaman, transkripsi, analisis, dan sebagainya. Dan institusi-institusi
antropologis adalah salah satu yang mendukung para sarjana yang bergelut dengan
musik non-Barat. Kemungkinan ini terkait dengan sikap Frans Boaz, seorang
imigran Jerman yang umumnya dianggap sebagai tokoh yang memunculkan pendekatan
antropologi yang berbeda di Amerika dengan penekanan pada penelitian lapangan,
mendeskripsikan kebudayaan-kebudayaan secara utuh, serta perhatian dalam hal
psikologi. Boas sendiri melakukan rekaman lapangan di pantai barat laut Amerika
Serikat dan Kanada, serta membuat sejumlah transkripsi. Ia juga melatih
sejumlah peneliti yang kemudian menjadi sarjana yang menonjol (antara lain
George Herzog), dan yang kemudian fokus pada peran seni dalam karya-karya
mereka. Tradisi berlatar belakang antopologis ini dalam etnomusikologi Amerika
(berlawanan dengan latar belakang musikologis yang umum di Eropa) berlangsung
hingga tahun 1950-an. Tentu saja pernyataan bahwa tradisi ini seharusnya tidak
dilakukan secara harafiah menginikasikan adanya sebuah tendensi; banyak yang
tidak demikian, dan banyak pula sarjana individual yang berada pada posisi
netral. Halam hubungannya dengan para sarjana lain, etnomusikolog (senada
dengan Sachs 1962:15) “berada pada posisi netral antara musikologi dan
etnologi.” Akan tetapi dalam satu tataran ini menyebabkan etnomusikologi dipenuhi
oleh orang-orang yang berasal dari salah satu disiplin tersebut di atas, yang kemudian
menemukan berbagai hal menarik dan penting.
Para
etnomusikolog Amerika yang mendekati lapangan mereka sebagai antropolog, tentu
saja, seringkali masuk dari bidang musik ke dalam antropologi. Beberapa
diantara mereka merupakan musisi praktek (terutama para musisi jazz) yang
berkeinginan untuk mempelajari akar bidang seni mereka yang berasal dari seni
rakyat dan non-Barat. Sejumlah lainnya adalah para siswa sejarah musik Barat
yang mempelajari musik dari kebudayaan-kebudayaan lain karena kepentingan akademis
seperti tuntutan untuk mengambil pelajaran “musikologi komparatif.” Lainnya
merupakan para siswa antropologi, yang ketika mendengarkan contoh-contoh musik
Afrika menjadi terdorong untuk mengeksplorasi musik eksotis lebih jauh dengan
berbekal pelajaran piano yang dulu pernah mereka ikuti. Secara karakteristik,
mereka adalah musisi yang ketika masa studinya memperoleh rangsangan antropologi,
yang kemudian melakukan pendekatan dalam etnomusikologi sebagai seorang
antropolog. Kiranya jarang seorang siswa yang mempelajari kebudayaan, sebagai
siswa tingkat sarjana, sejak awal menunjukkan ketertarikan terhadap musik dan
mulai mengembangkan pengetahuan tentang musik yang diperlukan untuk melakukan
pekerjaan etnomusikologis yang detail. Kemungkinan keahlian musik yang
dibutuhkan untuk keperluan transkripsi dan analisis harus sudah dimiliki lebih
dini, atau paling tidak sedikit demi sedikit dari buku yang tentunya juga
membutuhkan beberapa jam latihan di laboratorium. Hingga belakangan ini, antropolog
Amerika yang tidak memiliki latar belakang musik terkadang menghindari
melakukan studi musik selain membuat rekaman-rekaman sederhana di lapangan.
Oleh karena itu, ketika mereka melihat pentingnya musik dalam kebudayaan dan
mendukung para etnomusikolog dalam lingkungan mereka, para antropolog Amerika
sendiri tidak begitu aktif dalam menjelaskan perilaku musikal. Akan tetapi, ada
sejumlah pengecualian yang perlu dicatat, dan ini hanya merupakan sebuah
tendensi. Sejak tahun 1940-an, terdapat sejumlah upaya, terutama oleh Melville
J. Herskovits, Alan P. Merriam, Richard A. Waterman, dan lain-lain, yang
mendukung para antropolog yang tidak memiliki latar belakang musik untuk secara
langsung mempelajari paling tidak aspek-aspek tertentu dari perilaku musikal
yang tidak membutuhkan analisis musik secara teknis (lihat Merriam 1960).
Kecenderungan-kecenderungan
serupa juga terlihat dalam institusi-institusi Eropa pada tahun 1950-an. Akan
tetapi dalam sebagian besar kasus, para sarjana Eropa benar-benar merupakan
musikolog terlatih yang belakangan beralih ke etnomusikologi dan menggali
informasi antropologis yang dibutuhkan ketika mereka telah menjadi
sarjana-sarjana yang matang. Sebagai sejarawan musik, mereka seringkali beralih
kepada musik seni dari bangsa-bangsa Asia, meskipun mereka juga menunjukkan
perhatian terhadap kebudayaan-kebudayaan non-lite-rasi. Setelah tahun 1950-an,
para etnomusikolog Amerika terutama merupakan siswa yang mempelajari apa yang
mereka sebut sebagai “musik primitif dan musik rakyat.”
Sejak
awal tahun 1950-an, tiga kecenderungan penting telah mengubah gambaran disiplin
ini. Kemungkinan yang paling jelas dari tiga kecenderungan penting ini adalah
konsep bi-musikalitas sebagai sebuah cara untuk bergelut secara ilmiah dengan
musik dari kebudayaan-kebudayaan lain, serta melakukan pertunjukan aktif dan
bahkan mengkomposisi musik dalam idiom budaya lain sebagai sebuah cara untuk
mempelajari esensi gaya dan perilaku musikal budaya tersebut. Konsep yang
pertama kali dikembangkan oleh Mantle Hood di University of California Los Angeles
ini berdampak besar terhadap musisi-musisi di Amerika Serikat serta menyebabkan
disiplin etnomusikologi mulai keluar dari jurusan-jurusan antropologi dan
ditempatkan dalam jurusan-jurusan musik, dimana tindakan ini sebelumnya dianggap
sebagai sesuatu yang sembrono. Para mahasiswa dari aliran pemikiran baru ini
terjun ke lapangan tidak sebagai seorang etnografer sepenuhnya, melainkan
sebagai seseorang yang akan belajar, dan para mahasiswa ini antara lain
bermaksud mencari guru-guru lokal yang kompeten untuk mengajari mereka
seni-seni musik yang dimiliki, seperti halnya guru-guru lokal itu mengajari
murid-murid setempat. Tentu saja, pendekatan ini tampak terlalu sederhana
ketika masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan yang telah memiliki cara khusus
untuk membicarakan masalah musik, sebuah sistem teori musik, dan tradisi
pengajaran musik. Ini umumnya ditemui dalam kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia.
Para murid Mantle Hood mulai mengajar etnomusikologi di sejumlah lembaga
pendidikan tinggi, sehingga musik oriental mulai memainkan peran yang lebih besar
dalam etnomusikologi sejalan dengan dipraktekkannya musik-musik tersebut di
Amerika. Pendekatan yang lebih tradisional, yakni yang bersifat antropologis,
terus berjalan dengan pendekatan baru dalam etnomusikologi, akan tetapi para
antropolog pun, misalnya David P. McAllester, sangat terpengaruh dengan gagasan
bahwa pertunjukan aktif, seperti halnya observasi pasif, sangat berguna dalam
mempelajari budaya musik di luar latar belakang budaya peneliti. Perlu kiranya
ditambahkan bahwa ketika pendekatan dengan pertunjukan atau bi-musikalitas
sangat membantu, seorang mahasiswa yang baru saja diterima sebagai musisi lokal
Indian atau Jepang, sesuai dengan sifatnya, belumlah menjadi seorang
etnomusikolog, karena mereka belum memberikan kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan tentang musik dunia: para mahasiswa itu baru mempersiapkan diri
mereka untuk memberikan kontribusinya di waktu mendatang.
Kecenderungan
kedua pada tahun 1950-an adalah meningkatnya perhatian etnomusikolog terhadap musik
kontemporer dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kecenderungan untuk melihat materi
yang “murni” atau “otentik”, yang belum memperoleh pengaruh dari musik Barat
secara bertahap memunculkan sikap bahwa materi musik seperti inilah yang
merupakan objek yang harus dipelajari, dan dugaan terkait kapan atau sejauh
mana musik-musik ini terpengaruh oleh budaya-budaya musik lain, tidaklah
menjadi kriteria yang tercakup dalam studi etnomusikologis, meskipun ini
merupakan permasalahan penting. Ketertarikan terhadap berbagai proses pengaruh
musik Barat menjadi terhambat untuk studi musik-musik non-Barat, dan, akhirnya,
dalam studi etnomusikologis terhadap budaya tinggi Barat, minat ini tampak
semakin meningkat. Di sini, etnomusikologi selanjutnya diikuti oleh
kecenderungan antropologi Amerika, sejalan dengan berbagai pandangan bahwa
metode-metode antropologis harus digunakan untuk mempelajari budaya milik
antropolog sendiri, tidak hanya budaya-budaya di luar budaya antropolog. Sejak
Perang Dunia II, para antropolog di Amerika Serikat mencurahkan tenaga lebih
banyak untuk mengkaji budaya Amerika (lihat, misalnya, terbitan khusus American Anthropologist, vol. 57, no. 6,
1955), dan para peneliti dengan latar belakang budaya lain mulai bekerja dalam
budaya mereka sendiri. Munculnya kesarjanaan musik yang demikian juga terjadi
di negara-negara dengan masyarakatnya yang non-literasi sehingga memungkinkan
mahasiswa etnomusikologi (di negara-negara tersebut) untuk bekerja dalam
budayanya sendiri. Seperti halnya para antropolog yang menjadi bertabrakan
dengan para sosiolog, sejarawan, psikolog musik, dan lain sebagainya keika
mengikuti minat ini, para etnomusikolog dapat berjalan dengan saudara mereka,
para sejarawan musik Barat kontemporer, psikolog musik, dan lainnya. Akan
tetapi para etnomusikolog di Amerika Serikat umumnya sangat merasa bahwa berbagai
metode dan pendekatan yang mereka pelajari untuk menghadapi musik di luar
kebudayaan mereka akan sangat berguna ketika diaplikasikan pada musik seni Barat,
dan metode-metode ini dapat mengungkap hal-hal yang umumnya tidak dapat
dilakukan oleh para musikolog. Apakah ini benar tampaknya perlu dilihat
kembali; akan tetapi, terutama dalam wilayah perbandingan dan berbagai studi
yang melibatkan musik sebagai sebuah konsep universal, sudut pandang etnomusikolog
akan berguna. Seperti halnya yang dilakukan sejumlah etnomusikolog pertama yang
mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang asing bagi mereka karena keinginan untuk
mencari tahu tentang perilaku musikal manusia secara umum, yang tidak dapat dilakukan
dengan berangkat dari kebudayaan para etnomusikolog itu, etnomusikolog modern,
yang tetap bertujuan untuk mempelajari budaya musik manusia, merasa perlu juga
untuk memasukkan kebudayaan paling kompleks dalam studi mereka, bersama-sama
dengan budaya-budaya non-barat dan budaya-budaya kerakyatan (folk cultures) yang secara tradisional
memang merupakan bagian dari disiplin ilmu ini.
Kecenderungan
ketiga adalah penyelidikan budaya musik tanpa analisis dan deskripsi gaya
musik, tetapi melalui penelitian lapangan, dimana peran musik dan aktifitas
musikal individual diteliti. Dampak antropologi dalam sikap ini telah
disebutkan di atas. Kita seharusnya juga melihat faktor lain, bertumbuhnya
industri rekaman yang tiba-tiba, sehingga tersedia rekaman-rekaman komersial
dari musik non-Barat dan musik rakyat dalam jumlah besar, yang umumnya memiliki
kualitas sebagai hasil penelitian yang sempurna. Salah satu dampak dari
menjamurnya rekaman-rekaman ini adalah perasaan frustasi pada sebagian
etnomusikolog yang harus menghabiskan berjam-jam untuk menotasikan sebuah lagu,
dan perasaan bahwa mungkin untuk menganalisis bagian yang cukup berarti dari
perilaku musikal tanpa perlu menggunakan notasi. Dengan demikian munculnya rekaman
yang bersifat massa cenderung melemahkan jenis studi yang detail terhadap
bagian-bagian individual dari musik, dan menguatkan kecenderungan, yang telah
ada dalam antropologi, yakni lebih condong mendeskripsikan perilaku musikal
daripada gaya musik. Ketika penekanan dilakukan pada konteks budaya dari sebuah
musik, diharapkan tidak terjadi penurunan yang substansial dalam studi teknis
musik itu sendiri.
Tiga
kecenderungan penting pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dijelaskan di sini
sangat tampak di Amerika Utara. Para etnomusikolog Eropa umumnya tetap
melakukan berbagai tradisi kokoh yang dikembangkan pada tahun 1920-an; dan
kontribusi-kontribusi mereka besar. Minat terhadap tipologi musik, terhadap
hubungan antara musik rakyat dan musik seni, serta terhadap persebaran
geografis gaya musik antara lain merupakan fokus dalam etnomusikologi Eropa
semenjak Perang Dunia II. Akan tetapi sejak tahun 1955, hubungan dan saling
ketergantungan antara para sarjana Eropa dan Amerika, seperti dalam hal teori
dan metode, telah bertumbuh dengan mantap.
Bibliografi
Chase, Gilbert (1958). “A Dialectical
Approach to Music History.” Ethnomusicology
2:1-8.
Dorson, Richard M. (1955). “The First
Group of British Folklorists.” Journal of
the Society of Arts 1885.
Herzog, George (1936). Research in Primitive and Folk Music in the
United States: A Survey. Washington: American Council of Learned Societies,
Buletin 24.
Hood, Mantle (1957). “Training and
Research Methods in Ethnomusicology.” Ethnomusicology
Newsletter 11:2-8.
_______ (1960). “The Challenge of
Bi-Musicality.” Ethnomusicology 4:55-59.
Hornbostel, Erich M. von (1933). “Das
Berliner Phoogrammarchiv.” Zetschrift für
Vergleichende Musikwissenscahft 1:40-47.
Kolinski, Mieczyslaw (1957).
“Ethnomusicology: Its Problem and Methods.” Ethnomusicology
Newsletter 10:1-7.
Kunst, Jaap (1959). Ethnomusicology, edisi ketiga. The
Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-66.
Merriam, Alan P. (1955). “The Use of
Music in the Study of a Problem in Acculturation.” American Anthropologist 57:28-34.
_______ (1960). “Ethnomusicology:
Discussion and Defitinion of the Field.” Ethnomusicology
4:107-114.
Merriam, Alan P., dan Linton C.
Freeman (1956). “Statistical
Classification in Anthropology ….” American
Anthropologist 58:464-472.
Nettl, Bruno (1956). Music in Primitive Culture. Cambridge:
Harvard University Press. Bacaan yang disarankan, Bab 1.
_______ (1961). Reference Materials in Ethnomusicology. Detroit: Information
Service.
Pulikowski, Julian von (1933). Geschichte des Begriffes Volkslied in
Musikalischen Schrifttum. Heidelberg: C. Winter.
Rhodes, Williard (1956). “Toward a
Definiton of Ethnomusicology.” American
Anthropologist 58:457-463.
Sachs, Curt (1959). Vergleichende Musikwissenscahft: Musik der
Fremdkulturen. Edisi Kedua. Heidelberg: Quelle und Meyer.
_______
(1962). The Wellsprings of Music. The
Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-16.
Schneider, Marius (1957). “Primitive
Music,” dalam Egon Wellesz, ed. Ancient
and Oriental Music. London: Oxford University Press (New Oxford History of
Music, Vol. I), pp. 1-82.
Seeger, Charles (1961). “Semantic,
Logical and Political Considerations Bearing Upon Research in Ethnomusicology.”
Ethnomusicology 5:77-81.
Stumpf, Carl (1886). “Leider der
Bellakula Indianer.” Vierteljahrschrift
für Musikwissenscahft 8:127-144.
Wachsmann, Klaus P. (1961). “Criteria
for Acculturation,” dalam International Musicological Society, Report of the 8th Congress, New York 1961. Kassel:
Baerenreiter, pp. 139-149.
“Whither Ethnomusicology?” (1959).
Panel Discussion. Ethnomusicology 3:99-105.
Jeff Todd Titon
_____________________________
2
Mengenal
Penelitian Lapangan
Epistemologi
adalah lapangan penyelidikan yang membahas asal-usul, sifat, dan batas-batas pengetahuan
manusia (lihat Rorty, 1979:140). Dengan demikian, epistemologi bagi
etnomusikologi adalah persoalan yang terkait dengan asal-usul, sifat, dan
batas-batas pengetahuan manusia yang berhubungan dengan musik dalam kehidupan
manusia. Sebuah epistemologi bagi etnomusikologi berusaha untuk menjawab dua
pertanyaan mendasar: Apa yang dapat kita ketahui tentang musik, dan bagaimana
kita dapat mengetahuinya?
Belum
lama ini, transkripsi musik merupakan ciri yang membedakan disiplin kita, bukan
hanya sebatas cara yang ditempuh (Hood, 1982 [1971]; McAllester, 1989),
melainkan sebuah praktek yang turun-temurun. Transkripsi mengungkapkan apa yang
dapat kita ketahui tentang musik dan bagaimana kita mengetahuinya. Musik
dijadikan sebagai objek, dikumpulkan, dan direkam agar dapat ditranskripsikan.
Transkripsi—yakni, mendengarkan sebuah musik dan menuliskannya dalam notasi
Barat—tidak hanya sebatas sebuah pekerjaan yang menuntut keahlian tetapi juga
sesuatu yang “menguraikan” pengalaman agar menjadi hidup, menghilangkan dunia
yang hidup, dan mentransformasikan apa yang telah berlalu (bunyi) ke dalam
sebuah representasi yang dapat dianalisis secara sistematis serta kemudian
dibandingkan dengan transkripsi-transkripsi lainnya untuk dapat menarik
generalisasi dan menguji berbagai hipotesis yang berkaitan dengan asal-usul dan
evolusi musik. Saat ini yang utama dalam etnomusikologi bukan lagi transkripsi,
melainkan penelitian lapangan. Penelitian lapangan tidak lagi dilihat secara
mendasar sebagai pengamatan dan pengumpulan (meskipun memang mencakup hal-hal
tersebut), melainkan sebagai jalan untuk memperoleh pengalaman dan memahami
musik (lihat Titon, 1992 [1984]:xvi). Penelitian lapangan yang baru membawa kita kepada pertanyaan seperti apakah
membuatmusik bagi seseorang dan untuk mengetahui musik sebagai pengalaman yang
hidup.
Apa
yang telah dilakukan oleh sebagian besar etnomusikolog tersebut telah dilakukan
dalam bidang musik sebelum diterapkan dalam etnomusikologi. Pada akhir tahun
1960-an, ketika mengawali studi formal etnomusikologi di University of
Minnesota, saya menjadi bagian dari sebuah komunitas musik blues yang diketuai
oleh Lazy Billy Lucas, seorang campuran Afrika Amerika yang lahir dai Arkansas
dan berkarir sebagai penyanyi blues di St. Louis dan Chicago sebelum akhirnya hijrah
ke Twin Cities pada awal 1960-an. Pemain harmonika bernama Mojo Buford yang
bergabung dalam band milik Muddy Waters, pemain bass Jojo Wiliams, pemain gitar
Sonny Boy Rogers, dan pemain piano serta penyanyi Leonard “Boby Doo” Caston
juga mengunjungi apartemen milik Billy yang merupakan pusat komunitas ini, dan
kami bermain musik bersama, menyantap ayam goreng sebagai menu makan malam yang
disajikan Billy (ia pemasak yang hebat), meminum bir Fox Deluxe, dan kamipun berteman. Saya menjadi kenal dengan mereka,
istri-istri mereka, serta kekasih-kekasih mereka, dan kami menghabiskan waktu
bersama, kemudian, dalam seminar Alan Kagan tentang etnomusikologi, saya belajar
tentang penelitian lapangan yang menekankan pada pengamatan terhadap orang dan
pada pengumpulan data melalui wawancara-wawancara yang terstruktur, sebuah
metode yang berasal dari seorang antropolog bernama Bronislaw Malinowski ketika
meneliti di pulau Trobriand semasa Perang Dunia ke-I.
Ketika
memikirkan rekan-rekan pemain blues, saya terhenyak, apakah saya telah
melakukan penelitian lapangan dengan
mereka. Kenapa tidak? Begitulah pikiran saya, dan saya melanjutkan mewawancarai
Bill untuk sebuah proyek kelas. Tentu saja, saya telah “mengobservasi” Bill dalam
waktu yang lama (dan sebaliknya). Saya tidak mengalami kesulitan berbicara
dengan mereka terkait kehidupan dan karir mereka, terutama karena mereka merasa
bahwa hal ini akan menghasilkan sesuatu, misalnya yang akhirnya menyebabkan
sekelompok penggemar blues asal Perancis memproduksi dua rekaman LP untuk musik
Bill (Titon, 1969; Lucas, 1971, 1972). Dalam wawancara-wawancara tersebut, saya
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti dimana mereka lahir, pekerjaan apa
yang digeluti oleh keluarga mereka, kapan mereka pertama kali belajar musik,
bagaimana perkembangan karir musik mereka, dan lain sebagainya; dan mereka
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Saya mengungkap sejarah lisan dan
berkeinginan untuk menemukan berbagai fakta dalam kehidupan mereka. Istilahnya,
saya sedang mengumpulkan data. Hasilnya, hubungan saya dengan mereka bertambah
satu dimensi lagi; saya menjadi seseorang yang mungkin dapat mempromosikan
mereka, menolong mereka dalam karirnya, hingga hanya sebatas seorang anak muda
diantara orang-orang tua dan mencoba belajar musik dari mereka. Disamping
persahabatan, kini saya dan mereka menjadi lebih saling mengenal.
Dalam
penelitian lapangan yang saya lakukan, saya diarahkan untuk merasakan berbagai hubungan
yang terbentuk, tidak hanya sebatas mengamati dan mengumpulkan. Selanjutnya,
saya juga menyadari bahwa wawancara terstruktur tidak selalu berguna untuk
memperoleh pemahaman yang terbaik. Penyanyi sekaligus pemain gitar blues Son
House datang ke Twin Cities untuk mengadakan sebuah konser, dan saya memperoleh
waktu selama satu jam bersamanya lengkap dengan sebuah alat rekam. Saya
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan, tetapi saya memutuskan untuk memulai dengan
memutarkan sebuah rekaman blues dari tahun 1920 yang dimainkan oleh rekannya,
Charley Patton, dan berharap memperoleh bantuan darinya guna menguraikan
lirik-lirik lagu Patton (House kemudian mengatakan bahwa anda bisa berjongkok
dan tidak akan pernah paham sepatah katapun yang ia nyanyikan). House
mendengarkan tape, dan saya bersiap
untuk mulai melontarkan berbagai pertanyaan, tetapi sebelum saya sempat
melakukannya, ia mulai berbicara dan mengenang “Papa Charley” dan masa-masa
itu. Saya menjadi lupa dengan pertanyaan-pertanyaan saya dan mendengarkan saja
apa yang ingin ia ungkapkan. Ia menceritakan sebuah kisah panjang dan
terperinci tentang bagaimana ia “memperoleh agama” ketika tinggal di delta
sungai Mississippi. Ia juga berbicara tentang masa-masa lalu, tentang wiskhey buruk yang mereka buat dan
minum, serta menceritakan juga sebuah kisah ketika ia dipenjara selama satu
malam karena ia tidak memberi jalan kepada sebuah bus besar yang akan
mendahuluinya ketika sedang mengemudi pulang dalam keadaan mabuk. Ia
menceritakan kepada saya bagaimana tuan tanahnya yang berkulit putih memohon
kepada sheriff dan hakim untuk
membebaskannya, meskipun biaya pembebasan dari sang majikannya itu kemudian dialihkan
menjadi hutang dalam pembagian hasil panen. Ketika mengisahkan cerita itu ia
memainkan peran bos dan sheriff. Boss
(House berbisik-bisik): “Biarkan dia keluar dari sini, ia bekerja sangat baik
dengan traktornya. Saya membutuhkannya pada Senin pagi.” Hakim (House
berbisik): “Baiklah, kami akan memberi tahu bahwa ia harus membayar sejumlah
denda.” House (suara normal): “Lihat, itulah cara mereka bersepakat satu dengan
yang lainnya” (Titon, 1976).
Saya
larut dan terus duduk mendengarkan, ingin mengetahui lebih banyak lagi. Ketika
House berhenti menceritakan kisah hidupnya, saya mengarahkan/mengendalikannya
melalui serangkaian pertanyaan sejarah oral,
berharap untuk mendapatkan lebih banyak lagi cerita; akan tetapi kini ketika saya
mengendalikan percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan,
House merasa tidak bebas lagi. Dan setelah dimulainya proses panjang dimana
saya merenungkan jenis-jenis pengetahuan yang berbeda muncul dari wawancara
terstruktur yang merupakan bagian dari penelitian lapangan kuno, versus
kisah-kisah kehidupan yang diceritakan untuk mempengaruhi pendengar atau teman
dalam sebuah situasi “kehidupan nyata”, yang selanjutnya tidak dapat dijabarkan
sebagai penelitian lapangan, dimana teks-teksnya saya yakin akan menjadi
bernilai, bukanlah sebagai sebuah bentuk pengumpulan data, melainkan sesuatu
untuk mencapai pemahaman (Titon, 1980).
Sejak
abad ke-19, filsafat di benua Eropa umumnya membedakan dua jenis pengetahuan:
penjelasan dan pemahaman (Dallmayr & McCarthy, 1977). Eksplorasi merupakan
khas dari ilmu-ilmu sains, dan pemahaman identik dengan ilmu humaniora. Kita
akrab dengan metode saintifik untuk menarik kesimpulan, hipotesis dan eksperimen;
penjelasan-penjelasan saintifik dalam bentuk terkuatnya mengekspresikan sebagai
hukum-hukum alam yang universal, misalnya hukum gravitasi. Penjelasan
memberikan jenis pengetahuan yang memungkinkan dilakukannya prediksi dan
kontrol (Carnap, 1966). Di sisi lain, pemahaman menghadirkan sebuah jenis
pengetahuan yang berbeda. Jika penjelasan diarahkan kepada objek-objek,
pemahaman ditujukan kepada orang-orang. Jika penjelasan diarahkan kepada hukum,
pemahaman diarahkan pada kesepakatan (agreement),
terkadang, meskipun tidak selalu, melalui pengalaman (Gadamer, 1992 [1975];
Schutz, 1962). Penjelasan diperoleh melalui analisis pema-haman diperoleh
melalui interpretasi. Penjelasan adalah suatu jenis “pengetahuan-bahwa” (knowledge-that), sementara pemahaman
adalah sebuah bentuk “pengetahuan-dari” (knowledge-of).
“Pengetahuan-bahwa” secara khusus terkait dengan para filsuf Amerika dan
Inggris penganut positivis abad ini, karena dalam pandangan mereka, semua pengetahuan-proposisi
yang bermakna dapat diungkapkan dalam bentuk proposional seperti “saya mengetahui
bahwa …” (tentu saja, tidak semua proposisi pengetahuan-bahwa” bermakna dalam
sebuah arti positivis). “Pengetahuan-dari” pemahaman, di sisi lain, lebih
karakteristik dari pandangan terdahulu: Pengetahuan dari berbagai subjek,
diungkapkan dalam pernyataan seperti ”saya mengetahui teman saya yang bernama
William” atau “ia mengetahui pekerjaan pipa” atau “kamu mengetahui
etnomusikologi” (Rorty, 1979: 141).
Sebagian
besar tulisan tentang etnomusikologi sebagai disiplin akademis cenderung
menjelaskan berbagai teori ilmu dimana musik dianggap sebagai suatu jenis
bahasa (lihat, misalnya, Nettl, 1964; Hood, 1982 [1971]; Kunst, 1959; Myers,
1992). Etnomusikologi disebut-sebut diawali pada tahun 1880-an ketika bidang
ini menjadi sebuah proyek saintifik. Pada saat itu, bidang ini tidak disebut
sebagai etnomusikologi, melainkan musikologi komparatif, merefleksikan hubungan
dekat dengan berbagai disiplin serupa seperti filologi (linguistik komparatif).
Sosok yang umumnya dianggap sebagai pendiri etnomusikologi adalah Alexander
Ellis, yang mengadakan pengukuran terhadap interval-interval musik dalam
musik-musik non-Barat yang telah dipilih. Umumnya orang Eropa berpikiran bahwa
musik-musik ini sedikit banyak “sumbang” (out
of tune) Ellis, menunjukkan tradisi terbaik etnomusikologi yakni
relativisme, dengan hipotesisnya yang lain: bahwa berbagai modus dan tangganada
dari bangsa-bangsa lain memiliki polanya sendiri, berbeda dengan yang ada di
Eropa Barat, tetapi berhubungan dengan ketentuan-ketentuan mereka sendiri. Pengukuran
interval-interval memperkuat hipotesisnya. Signifikannya, Ellis adalah seorang
yang cacat nada, dan melibatkan seorang asisten untuk melakukan pengukuran.
Artinya, Ellis tidak memperoleh pengalaman tentang interval-interval musik dan
mengandalkan peralatan di luar dirinya untuk melakukan hal tersebut.
Aplikasi
penjelasan teori ilmu pengetahuan yang paling jelas bagi etnomusikologi datang melalui teori-teori musik berbasis linguistik.
Baik musikologi komparatif maupun folklore
musik mengandalkan filologi (linguistik komparatif) untuk metode-metode mereka.
Pada abad ini linguistik berubah, tetapi apakah dalam musikologi sistematis
Charles Seeger, entnomusikologi transformasional John Blacking, rekan-rekan
etnomusikologibkognitf kita di Eropa, atau semiotika entnomusikologi
Jean-Jaques Nattiez, gagasan bahwa musik diperlukan dan harus dipelajari
sebagai sistim seperti bahasa sangat berpengaruh dalam membentuk disiplin kita,
sesuatu yang mempengaruhi karya-karya tulisan saya dan yang lain. Sebagai
sebuah paradigma, etnomusikologi memperoleh pengaruh besar dari antropologi—bagaimana
pun juga, Society for Ethnomusicology
mulanya direncanakan dalam pertemuan American
Anthropological Association—dan antropologi linguistik salah satu dari
empat bidang Antropologi Tradisional di Amerika. (Arkeologi, Antropologi fisik,
Antropologi budaya, dan diluar ketiga bidangnya)
Di
sisi lain, teori-teori ilmu yang lebih berdasar atas pemahaman dari pada
penjelasan, mendapati pembela mereka yang tidak begitu besar artinya dalam
tradisi filsafat, yakni diawali oleh Dilthey dan termasuk pula Husserl, Sartre,
Heidegger, Schutz, Merleau-Ponty, Gadamer, dan Ricoeur. Tradisi ini, sebuah alternatife
baik bagi positivism Anglo-Amerika maupun strukturalisme Eropa, terutama
meliputi dua jenis aktifitas: fenomenologi dan hermeneutika. Fenomenologi
menekankan pada kesegaran, konkrit, dunia yang ditangkap oleh panca indra, dan
berusaha untuk menjadi dasar pengetahuan dalam dunia pengalaman. (lihat Ihde, 1986
[1977]). Hermeneutika berasal dari sebuah cara menginterpretasikan kitab suci,
tetapi kemudian menjadi sebuah metode untuk menginterpretasikan teks secara
umum. Beberapa tahun belakangan, Paul Ricoeur berupaya mengintergrasikan dua
hal tersebut—fenemologi dan hermeneutika—menjadi apa yang disebutnya sebgai
hermeneutika fenomenologi. Bagi Ricoeur, tindakan apapun yang memiliki tujuan
dapat dianggap atau dibaca sebagai sebuah teks, dengan demikian, sebuah
pertunjukan, misalnya, dapat dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan teks
(1981b). Glifford Geertz menggunakan formulasi ini, menyamakan
kebudayaan-kebudayaan dengan “sebuah kumpulan teks”, dan karya-karya yang
dihasilkan yang berpengaruh besar terhadap etnomusikologi Amerika lima belas
tahun yang lalu dan seterusnya. Meskipun banyak karya saya sejak tahun 1980-an
bersarkan hermeneutika fenomenologi, kini saya menjadi lebih kritis dengan
kecendrungan poststrukturalis untuk mengtekstualisasikan segala hasil termasuk
pengalam musik, dan saya telah mengemukakan bahwakita telah menetang Ricoeur,
bahwa berbagai tindakan berarti yang dialami seperti musik misalnya, tidak
dibaca sebagai teks (Titon, 1995). Dengan kata lain, saya menyarankan bahwa
kita merubah metafora yang kita gunakan untuk melakukan interpretasi. Dunia
tidak seperti sebuah teks untuk dibaca, tetapi untuk dialami seperti halnya
pertunjukan musik. Saya akan menyisakan ini
sebagai karangan mendatang.
Etnomusikologi,
dalam pandangan saya, empat paradigma, atau seperangkat asumsi dasar pada abad
belakangan, dimana musikologi komperatif adalah paradigma yang pertama.
Paradigma yang kedua, dalam bahasa Inggris, dikenal dengan folklor musik. Ini
secara khusus meliputi pengumpulan, pentraskripsian, analisis, dan
membandingkan, ditambah dengan sebuah ideologi nasional, sebuah etnografi yang
menekankan pada survei konteks sosial, sebuah dimensi etis yang meliputi
pelestarian gagasan musik untuk menjadi tradisional berkembangnya di dunia
luar, serta sebuah aspek edukasi dimana musik menjadi bagian kurikulum sekolah
umum dan juga ditawarkan bagi kalangan dewasa. Pengumpulan, pengklasifikasian,
dan karya-karya analitis Bela Bartok dan Constantin Braiiloion mewakili folklor
musik.
Paradigma
ketiga adalah etnomusikologi itu sendiri, yang diasosiasikan dengan kelahiran Society for Ethnomusicology pada tahun
1950-an, yang didukung oleh American
Anthropology, dengan menitikberatkan pada penelitian lapangan dan masuk ke dalam
kebudayaan, tidak hanya sebatas survei; selain itu, para etnomusikolog
cenderung tidak mempercayai generalisasi komparatif yang luas dan justru
menghasilkan monograf yang didasarkan atas
studi-studi terperinci dari kebudayaan-kebudayaan musik tertentu. Para etnomusikolog
juga tidak mempercayai nasionalisme, menolaknya karena merupakan bentuk etnosentrisme,
dan mereka tidak menekankan pada pelestarian; agaknya, fokus mereka adalah
alkulturasi dan perubahan. Para etnomusikolog juga tidak mendapat antusiasme
yang banyak dari pendidikan di sekolah-sekolah umum, mereka berpikir bahwa
mereka adalah sarjana (belakangan Alan Merriam menggunakan untuk membukakan
rekan-rekan musik dunianya dalam pendidikan musik sebagai musikologi bak-pasir)
.” Sudut pandang penduduk asli” adalah
Benih
untuk fase keempat kita, yang hingga kini belum dinamai, ditebarkan oleh para
etnomusikolog yang membawa para seniman-seniman asli ke universitas-universitas
di Amerika untuk mengajar ansambel-ansambel non-Barat bagi para mahasiswa
sehingga mereka dapat memperoleh pengalaman musikal yang mendalam. Saya
menyebut paradigm baru ini sebagai studi tentang orang-orang yang bermusik (the study of people making music)
(Titon, 1989, 1992 [1984]), akan tetapi mungkin juga disebut dengan studi
tentang orang-orang yang memiliki pengalaman musik (the study of people experiencing music). Selain itu, ketika
dicermati kembali, jelas bahwa paradigma keempat ini berasal dari sebuah
generasi yang ditransformasikan oleh berbagai politik pada tahun 1960-an;
pergerakan kaum wanita, gerakan perdamaian, serta pergerakan hak-hak rakyat.
Karena keadaan yang demikian terus saja muncul, fase keempat ini menjadi sulit
untuk dideskripsikan secara sistematis, tetapi sejumlah konsekuensinya tampak
jelas. Penitikberatan yang lebih condong pada pemahaman (daripada terhadap penjelasan)
pengalaman tentang orang-orang yang menciptakan musik (termasuk kita sendiri)
merupakan puncaknya. Perhatian lainnya meliputi refleksifitas dan sebuah
peningkatan dalam representasi naratif yang deskriptif, interpretif, dan
evokatif (lihat, misalnya, Kisliuk, 1991); berbagi wewenang dan kewenangan
dengan “para informan” (yang kini dianggap sebagai guru, konsultan, teman, dan
sebagainya) (lihat von Rosen, 1992; Guilbault, 1993); sebuah perhatian terkait
sejarah dan dengan berbagai persoalan kekuatan hubungan-hubungan (relationships), etika-etika, identitas,
dan keyakinan; sebuah pendekatan dekonstruktif terhadap berbagai konsep batas
seperti ras dan etnisitas; perhatian yang dekat terhadap bagaimana kelas dan
gender terdapat dalam berbagai budaya musik; skeptisisme terhadap budaya ilmu
pengetahuan dan keterkaitan dengan kaum feminis dan berbagai perspektif dunia
ketiga; kesediaan untuk menjelajahi berbagai media, seperti museum, festival,
film, video, serta hiperteks, untuk
menggambarkan orang-orang yang membuat musik; dan kleterlibatan aktif sebagai
penasihat musik dan budaya yang mencoba untuk membantu orang-orang dalam
berbagai budaya-musik yang telah bekerja dengan kita agar memperoleh penghidupan
yang lebih baik sehingga musik mereka dapat berkembang (Sheehy, 1992). Semua
penekanan ini terimplikasi dalam “penelitian lapangan baru” dan umumnya muncul akibat perhatian terhadap hubungan manusia
daripada sekedar pengumpulan informasi. penelitian lapangan yang baru tidak
meninggalkan bunyi-bunyi musik serta berbagai struktur musik, hanya kini
memposisikan hal-hal tersebut sebagai “teks” (subjek interpretasi) dalam sebuah
lingkarang hermeneutik (Ricoeur, 1981a). Bunyi musik tetap didokumentasikan,
dan jika struktur musik merupakan sebuah aspek penting dari pengalaman musik,
seperti yang seringkali terjadi, maka hal tersebut perlu dianalisis dan diinter-pretasikan
sebagai bagian matrix makna. Pelaku penelitian lapangan baru juga tidak
meninggalkan dokumentasi; dokumentasi justru meningkat. Akan tetapi
doku-mentasi juga diposisikan ulang, dan kini dilihat secara refleksif sebagaib
sebuah hasil intersubjektif daripada sekedar laporan dan analisis tentang
sesuatu yang disaksikan.
Jika
kita memperluas sejarah disiplin kita untuk mencakup tipe-pemahaman berbagai
teori, maka pasti kita juga akan menyertakan tulisan-tulisan para penjelajah
dunia dan misionaris-misionari pertama di dunia yang memahami musik penduduk
asli yang terbentuk dari perjumpaan dengan musik tersebut. Jean de Lery,
misalnya, seorang misionaris abad ke-19, mengisahkan dalam sebuah tulisan
bagaimana “hatinya tertarik” oleh musik penduduk asli Amerika, dan ia menulis
kisahnya ini dengan penekanan ke arah pengalaman (Harrison, 1973). Dalam
peninjauan kembali sejarah, kita akan menekankan “bimusikalitas” (Hood, 1963,
1982 [1971]), dan mempertimbangkan sifat pengetahuan yang muncul dari berbagai
hubungan manusia melalui penelitian lapangan.
Karya awal David McAllester tentang suku Navajo dan berbagai nilai budaya
akan sangat penting (1973 [1954]; lihat juga Mitchell, 1978), dan berbagai artikel
Kenneth Gourlay tentang penelitian etnomusikologis menjadi
pernyataan-pernyataan teoretis awal yang pokok (1978; 1982).
Pendekatan
kita, apakah kita lebih menyukai penjelasan atau pemahaman, jelas akan
tergantung pada pikiran kita tentang apa itu musik. Dalam pandangan saya, musik
adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, merupakan fenomena budaya.
Berbagai konstruksi budaya yang beragam memungkinkan orang-orang untuk
mengalami musik sebagai bunyi-bunyi yang terpola, objek-objek estetis, unsur
ritual, bahkan sebagai sesuatu dalam wujudnya sendiri. Akan tetapi untuk
mengatakan bahwa musik merupakan sebuah fenomena yang dikonstruksi secara
kultural tidak berarti bahwa musik tidak memiliki eksistensi di dunia, seperti
yang umumnya diketahui, saya mengalami dunia saya melalui kesadaran saya, dan
saya mengalami musik sebagai sebuah bagian dari dunia kehidupan saya.
Pada
bagian tulisan ini selanjutnya, saya mengajukan jawaban-jawaban fenomenologis
dan refleksif untuk pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dapat kita ketahui
tentang musik, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya. Saya memulai dengan
menguji pengalaman-pengalaman musik seperti yang ada dalam kesadaran saya. Saya
melanjutkan dengan menguji pengalaman-pengalaman penelitian lapangan. Akhirnya, saya mendiskusikan sejumlah
strategi interaktif untuk menghadirkan pengalaman-pengalaman ini sehingga dapat
memperluas pemahaman kita tentang musik. Tentu saja, tidak ada fenomenologi
tunggal. Fenomena transendental Husserl secara signifikan berbeda dari
fenomenologi eksistensial Heidegger, yang berbeda dari hermeneutik fenomenologi
Ricoeur. Namun demikian, mereka mendukung sebuah tradisi dan memikliki
asumsi-asumsi umum dan penekanan tertentu. Selanjutnya, saya akan menarik
kesimpulan tanpa berusaha merepresentasikan berbagai versi tunggal fenomenologi
dari tradisi ini. Tentu saja, saya tidak menemui versi tunggal apapun dari hal
tersebut yang memuaskan secara keseluruhan.
“Fenomenologi
menuntut fenomena diselidiki sebagai sesuatu yang muncul menjadi kesadaran” (Stewart
& Mickunas, 1990: 91) Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu:
dalam hal ini, kesadaran musik. Bagaimana saya menyadari musik? Bagaimana saya
ada “di dunia” ketika kesadaran saya adalah kesa-daran musik? Pertama, tentu
saja, musik merupakan sebuah pengalaman dari musik tersebut, dan hal ini
dimediasi secara kultural; jelasnya, pengalaman saya tentang musik berbeda
dengan orang lain yang berasal dari kebudayaan lain, bukan orang lain dalam kebudayaan
saya sendiri. Dan saya mengalami berbagai musik yang berbeda sepanjang hidup.
Tetapi untuk saat ini, saya akan menyertakan kesadaran terkini tentang musik,
baik secara general maupun dalam kasus tertentu.
Saya
mengambil manusia menciptakan musik (people
making music) sebagai pardigma kasus musik “ada di dunia” (being-in-the-world). Bagi saya, menciptakan
musik belumlah lengkap ketika saya melakukannya seorang diri; akan menjadi
kompleks ketika dalam sebuah kelompok, saya menciptakan musik dengan orang
lain. Anda mungkin atau mungkin tidak merasakan hal yang sama. Tapi saya akan
mengambil penciptaan musik yang dilakukan oleh orang lain sebagai kasus dalam
paradigma saya. Saya memilih kuartet string, gamelan, dan sebuah band blues,
serta musik tua dari gereja Baptis Reguler, atau sebuah ansambel genderang dari
Ghana, tetapi untuk melakukan pengujian, saya memilih penciptaan musik dalam
band string lawas, dengan biola, banjo, dan gitar—sebuah puncak pengalman yang
saya cari dan saya temui secara sadar.
Saya
menjelaskan pengalaman ini secara fenomenologis. Keinginan mendorong saya untuk
menciptakan musik. Keinginan ini merupakan sebuah kemunculan yang efektif, sisa
dari kesenangan yang muncul dari pengalaman-penga-laman saya yang terdahulu
dengan musik dan tari yang membuat saya mencari tahu mengapa hal itu merupakan
sesuatu yang lebih baik. Adalah sebuah keunikan ketika keduanya melebur menjadi
satu: sebuah keunikan yang melebur. Mengetahui orang-orang menciptakan musik
diawali dengan pengalaman musik saya. Ketika memainkan biola, banjo, atau gitar
dengan orang lain, saya men-dengar-kan musik; saya merasakan musik itu hadir;
saya bergerak, secara internal; saya bergerak, secara eksternal. Selanjutnya,
musik menguasai diri saya. Saya merasa musik merupakan sebuah kekuatan yang
berpengaruh dalam diri saya. Berkaitan dengan hal ini, saya berbicara seperti
halnya para fenemenolog, yang menyebutnya sebagai “sikap yang wajar” (natural attitude), cara sehari-hari yang
normal di dunia, bukan sebuah cara analitis melainkan sebuah cara untuk
menya-darkan diri sendiri. Saya merasa bahwa musik memasuki diri saya dan
menggerakkannya. Dan kini musik menjadi bertambah keras, membesar hingga
hal-hal yang lain seolah adalah hal-hal yang tidak mungkin, semuanya mati.
Tubuh saya sendiri pun menghilang. Tidak ada analisis; tidak ada lagi kesadaran
diri. Matinya hal-hal tersebut merupakan reduksi fenomenologis, yang disebut
oleh Husserl sebagai epoche. Ini
merupakan sebuah bentuk suspensi yang radikal. Saya tidak lagi merasa terpisah;
melainkan, saya merasa diri sama menjadi “musik yang ada di dunia.”
Sesungguhnya musik membalikkan hasrat kepada diri saya sendiri. Artinya,
memiliki hasrat membawa saya kepada diri saya sendiri, menghadirkan kembali
kesadaran diri saya. “Saya” yang kembali; saya menyadari kembali diri saya,
saya melihat bahwa saya bersama mereka yang lain musik, musik yang saya dengar.
Ketika
saya melihat diri saya dan orang-orang lain menciptakan musik yang saya dengar
itu, saya ingin mengetahui orang-orang lain yang juga ada di situ. Bagi kami,
untuk memahami orang lain kita harus mengetahui orang lain tersebut. Bagaimana
kita bisa mengetahui orang lain? Siapakah anda? Jika anda menjadi objek, saya
akan mendatangi anda seperti objek-objek lain yang sudah saya ketahui. Akan
tetapi, anda adalah seseorang yang menciptakan musik, dan saya mendatangi anda
sebagai seseorang (lihat Code, 1991: 37). Kita mencari tahu orang lain melalui
pengalaman. Melalui hal-hal yang umum, misalnya pengala-man intersubjektif,
kita memasuki dunia interpretasi. Interpretasi beralih dari bunyi menjadi
musik, dari sesuatu menjadi sesuatu yang bermakna.
Ketika
kesadaran saya dipenuhi oleh musik, saya berada di dalam dunia musikal. Pikiran
saya yang berpengalaman mengatakan bahwa saya “berada dalam dunia” musik ketika
saya membuat musik, mendengarkan musik, dan bergerak karena musik yang memenuhi
diri saya. Saya menyebutnya sebagai menjadi musikal, dan ini merupakan sebuah
model yang menghadirkan diri saya sebagai sesuatu yang berbeda dari biasanya,
berbagai bentuk pengalaman sehari-hari, dari bentuk pengalaman diri saya yang
sadar, dan dari bentuk pengalaman saya yang dibuat menjadi objektif.
Saya
memberikan dasar untuk mengetahui musik—yakni,
pengetahuan tentang musik—dalam menjadi musikal.
Dengan kata lain, saya melihat sebuah epistemologi musik yang didasari oleh
sebuah pemisahan dan cara objektifikasi “menjadi ada di dunia,” tidak juga
dalam cara yang refleksif, cara berada di dunia yang penuh kesadaran diri,
tidak pula yang disebut oleh para fenomenolog sebagai “perilaku alami” atau
cara berada di dunia sehari-harinya. Akan tetapi, saya berpikir bahwa menjadi
musikal merupakan ontologi khsus dan bahwa untuk mengetahui musik kita perlu
memulai dari menjadi musikal.
Dengan
kata lain, saya menggiatkan pengetahuan musik dalam praktek musik, bukan dalam
praktek ilmu pengetahuan, atau linguistik, atau analisis introspektif. Dalam
kasus paradigma saya terkait masuk ke dalam dunia musikal, saya membatasi
secara sosial dengan orang-orang lain yang menciptakan musik dan ketika musik
dihadirkan secara penuh ke dalam kesadaran saya, yakni musik dari kelompok
tersebut secara utuh, bukan musik “saya” yang sederhana, meski-pun pada saat
puncak saya dapat merasakannya jika semua hal ini datang kepada saya.
Hal
ini membawa kita kepada pengalaman ketika melakukan penelitian lapangan, yang untuk hal ini juga merupakan
sebuah pengalaman diri sendiri dengan orang lain. Bagi banyak etnomusikolog,
penelitian lapangan merupakan sesuatu yang intersub-jektif dan transformatif
secara personal. Seperti banyak kolega saya yang lain, saya mengalami
penelitian lapangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan transkripsi, analisis,
interpretasi, dan representasi, meskipun hal-hal ini adalah sesuatu yang pasti
dalam penelitian lapangan itu sendiri, melainkan merupakan sebuah kesempatan
refleksif dan sebuah dialog yang sedang berlangsung dengan teman-teman saya
dimana, antara lain, mengulangi “pekerjaan” saya secara terus-menerus sebagai
pekerjaan “kami” (lihat juga von Rosen, 1993; Hutchinson, 1993). Terkait resiko
dari ketidaksopanan, saya mengajukan sebuah contoh terkini: sebuah surat dari
seorang teman lama di Gereja Baptis Reguler yang mengatakan, “Terima kasih atas
cara yang anda berikan kepada kami untuk melihat diri kami sendiri” (Elwood
Cornett, surat kepada Jeff Todd Titon, 18 Agustus, 1993). Dan sebaliknya saya
juga berterima kasih kepada mereka. Berbagai pengalaman penelitian lapangan saya biasanya benar-benar hidup; saya
menjadi benar-benar sadar dengan berbagai peran yang saya miliki, serta
identitas-identitas; saya merasakan kasih sayang, persahabatan, dan
kegelisahan. Tentu saja, sebagian besar wujud dari pengetahuan etnomusikologis,
tidak termasuk ekspresi dari pengalaman penelitian lapangan, tetapi sebuah pendekatan fenomenologis terhadap berbagai
perwujudan menuntut pencakupannya dan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang
dijalankannya.
Sebuah
pandangan refleksif terhadap berbagai tipe hubungan dalam penelitian lapangan
mengungkap bhwa para pelaku penelitian lapangan, dan mereka yang menjadi sasaran penelitian lapangan, membawa identitas-identitas ke dalam
sebuah pertemuan dan memainkan berbagai peran (Titon, 1985). Dengan memainkan
peran, saya tidak bermaksud untuk mengungkapkan secara tidak langsung tentang
ketidakaslian, akan tetapi lebih untuk menggunakan konsep seperti yang
dikembangkan olh sorang sosiolog bernama Erving Goffman, untuk menunjukkan
bagaimana orang-orang berperilaku secara sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia postkolonial, ketika melakukan pengumpulan semata dianggap sbagai sesuatu
yang sifatnya skploitatif, dan ketika sejumlah orang tidak bersikap koopertif
ketika dikunjungi oleh para etnomusikolog, adalah naif jika kita berpikir bahwa
hubungan yang ideal di lapa-ngan selalu berujung pada ikatan pertemanan.
Terkadang sebuah hubungan yang bersifat kontrak, baik secara eksplisit maupun
eksplisit, dimana orang membantu orang lain adalah sesuatu yang lebih efektif.
Terkadang perpaduan antara pertemanan dan kontrak diam-diam adalah bentuk yang
paling efektif. Dalam peran lain yang lebih sering pada penelitian lapangan baru, para etnomusikolog menjadi siswa
dan “informan” menjadi guru atau orang tua yang bijaksana. Peran yang jarang
dan tidak biasa meliputi perlawanan, kecurangan, kebohongan, dan
memata-matai—hal yang tidak etis di bawah berbagai keadaan, tapi menjadi
rasional ketika didasari oleh pemahaman bahwa budaya musik harus dipahami dan kemudian diungkap
merupakan hal yang haram dan merusak (lihat Pillay, 1994; Kings-bury, 1988).
Sebuah
epistemologi fenomenologis muncul dari pengalaman-pengala-man musik dan
penelitian lapangan yang kita lakukan, dari mengenal orang-orang yang
menciptakan musik. Jika kita meyakini bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang
sifatnya pengalaman dan produk intersubjektif dari interaksi-interaksi sosial
kita, maka apa yang dapat kita ketahui muncul dari hubungan-hubungan kita
dengan orang lain, baik di lapangan maupun di tengah-tengah kolega kita dimana
kita hidup dan bekerja, dan hubungan-hubungan ini memiliki sebuah aspek yang ineluctable dari diri mereka. Berbagai
dokumen (teks) yang kami gunakan di lapangan membutuhkan kesiapan tertentu
untuk membuka hubu-ngan-hubungan dengan mereka—catatan-catatan lapangan,
foto-foto, rekaman-rekaman—yang mengingatkan kita, ketika kita tidak lagi di
lapangan.
Ketika
kita bersama-sama dengan para teman, dokumen-dokumen muncul—dalam keadaan yang
terbaik, dan ketika tidak dapat menggunakan cara ini—tidak begitu objektif
tetapi merupakan perluasan dari hubungan-hubungan kita. Akan tetapi ketika kita
kembali dari lapangan, di universitas, di perpustakaan, atau mengkaji seorang
diri, terutama apabila rekan-rekan kita berada jauh, artefak-artefak lapangan
ini memiliki peran berbeda. Pertukaran pengalaman memunculkan memori-memori
kita tentangnya. Seperti sebuah foto yang diambil dari brosur yang dibawa dari
liburan di luar negeri, tetapi artefak-artefak tersebut merupakan dokumenter
sekaligus pembangkit ingatan. Mereka berlalu di dalam nostalgia. Dalam kehadirn
mereka tersebut, saya mengetahui ketiadaan orang-orang, saya mengalami kesendirian
dan berbagai keinginan. Tugas saya adalah untuk menghadirkan kembali budaya
musik dimana saya telah meneliti, tidak hanya untuk para siswa dan kolega saya,
tetapi juga untuk orang-orang dalam budaya musik itu. Saya mencari
bentuk-bentuk untuk representasi dari pengalaman-pengalaman sebelum saya dalam
ingatan, dan memunculkan para pencipta musik yang saya kenal. Dengan demikian,
saya menghadirkan mereka juga untuk diri saya. Representasi konvensional yang
menghadirkan pengalaman-pengala-man itu bagi saya merupakan etnografi musik
naratif; dua bentuk lainnya yang akan saya bicarakan adalah film etnografis dan
hiperteks/multimedia.
Tentu
saja, naratif merupakan cara yang umum digunakan untuk mengisahkan berbagai
pengalaman bagi kita dan orang lain, dan dengan demikian hal tersebut
memunculkan sebuah bentuk konvensional dalam representasi berbobot
fenomenologis dari para pencipta musik. Baiknya, sebuah naratif dalam etnografi
deskriptif budaya musik mengundang pembaca untuk berbagi, secara imajinatif,
dalam berbagai pengalaman yang dihadirkan. Karangan Anthony Seeger yang
berjudul Why Suyá Sing terutama
berasal dari kekuatan interpretifnya serta kekuatan naratif dari tulisan
tersebut (1987b). Tentu saja, tidak keseluruhan buku tersebut bersifat naratif.
Bagi Seeger dan mereka yang menulis etnomusikologi naratif, etnomusikologi
menjadi sebuah genre
berbobot—pengalaman dimana naratif meliputi informasi latar belakang,
interpretasi dan analisis, serta dimana pengetahuan muncul dari pengalaman:
seseorang menunjukan bagaimana sese-orang harus dimengerti (lihat juga Feld,
1990; Rice, 1994). Naratif bukanlah sesuatu yang baru dalam etnomusikologi.
Bagian naratif dalam buku berjudul The
Ethnomusicologist karangan Mantle Hood (1982 [1971]) dan kisah-kisah Bruno
Nettl dalam buku The Study of
Ethnomusicology (1983) antara lain merupakan karangan-karangan
etnomusikologi naratif. Selanjutnya, interpretasi naratif berdasarkan
pengalaman juga meningkat dalam antropologi budaya. Begitu banyak contohnya. Culture and Truth karangan Renato
Rosaldo, misalnya, diawali dengan artikelnya yang terkenal berjudul “Grief and
a Headhunter’s Rage” (1989:1-21). Rosaldo tidak dapat memahami bagaimana
kesedihan dan kemarahan “berjalan bersamaan dalam cara pembuktian diri” bagi
orang Ilongot di Filipina hingga ketika istrinya wafat saat “ia berjalan
sepanjang jalan setapak bersama dua orang teman, saat ia kehilangan jejak dan
jatuh ke jurang sedalam 65 kaki dan hanyut di sungai yang ada di bawahnya. Saya
menjadi marah segera setelah menemukan jasadnya. Bagaimana bisa ia meninggalkan
saya? Bagaimana ia bisa menjadi sebodoh itu hingga jatuh? Saya mencoba untuk
menangis. Saya menangis, tetapi kemarahan membendung air mata saya” (1989:9).
Rosaldo telah mengalami percampuran antara kesedihan dan kemarahan dirinya
sendiri sebelum ia merasa benar-benar memahami kebudayaan Ilongot.
Seperti
yang telah dikemukakan oleh Clifford Geertz, menulis etnografi yang baik
membutuhkan kemampuan retorika yng besar, dan hal tersebut memaksa kita untuk
berhadapan dengan kenyataan bahwa kita benar-benar penulis, bukan reporter.
Akan tetpi jika kita adalah penulis, kita beresiko untuk mengganti ketertarikan
pembaca dari para pencipta musik yang kita tulis untuk diri kita sendiri.
Etnografi biografis yang bersifat naratif memicu pertentangan dengan apa yang
kita sebut kemurahan diri dan sesuatu yang tidak profesional; istilah
populernya adalah “ruang pengakuan dosa” (confessional),
yang mengindikasikan permasalahan displecement
(pemindahan). Etnografi naratif tidak perlu mengalihkan ketertarikan dari
para pencipta musik kepada kesadaran penulis. Malahan, seorang penulis dapat
mengerjakan sesuatu dengan keahlian penuh dan memainkan peran sebagai seorang
pemain, yakni seseorang yang partisipasinya tidak penting selama kejadian
tersebut, tetapi yang terefleksi setelah kejadian tersebut sebagai sebuah interpretasi.
Hal inilah yang dilakukan oleh Geertz dalam karangannya yang terkenal tentang
adu ayam di Bali, meskipun seseorang dapat berhenti sejenak pada metode
penulisan Geertz yang memperkirakan makna dan berharap perkiraanya tersebut
akan sama dengan pandangan orang Bali. Pengantar dan bab pertama buku Powerhouse for God juga ditulis sebagai
etnografi naratif, yang dengan hati-hati juga menggunakan rekaman, foto, catatan
lapangan, dan pengumpulan kembali berbagai pengalaman saya untuk mencuptakan
kembali dan memunculkan suasana percakapan makan siang serta perayaan
kedatangan (Titon, 1988). Akhirnya, etnogrfi naratif sangat sesuai untuk menunjukkan
seorang etnomusikolog dalam dialog dengan para pencipta musik.
Gambar-gambar
film dan suara yang disinkronisasi merupakan cara konvensional yang dipahami
untuk menggambarkan para pencipta musik dan untuk menempatkan para penonton
pada posisi observer. Kekuatan yang ditimbulkan film sangat lur biasa: kita merasa
seperti sedang melihat sebuah kenyataan. Tentu saja, kiranya mungkin untuk
meninggalkan aspek-aspek pengalaman dalam film dengan membuat film yang
menirukan buku datau membuat film yng menghadirkan pengalaman saintifik, seperti
yang banyak diusahakan dalam pembuatan film etnomusikologis. Akan tetapi,
pendekatan fenomenologis dalam pembuatan film berusaha untuk menyertakan
penonton dengan memunculkan dan mereflek-sikan berbagai pengalaman dan hubungan
yang ditemui dalam komunitas musikal. Hubungan antara pembuat film dan penonton
dapat terwujud dalam satu bentuk dari tiga bentuk yang ada: pembuat film dapat
menempatkan diriny sendiri dlam posisi yang benar-benar berwenang, biasanya
melalui narator yang seolah mengetahui semuanya; pembuat film dapat berangkat,
seperti hantu, dari film, menunjukkan bahwa penonton hanya melihat semata pada
tindakan dan mendengarkan sesuatu secara diam-diam; atau pembuat film, dalam
filmnya tersebut, dapat berinteraksi dengan subjek-subjek dan penonton, dan
kedaunya dapat merefleksikan makna dari film tersebut. Jelas kiranya bahwa interaktifitas
dan refleksifitas sangat sesuai dengan pemahaman pengalaman yang muncul dari
penelitian lapangan dan penciptaan musik (van Rosen dan Francis, 1992; von Rosen,
1993).
Hiperteks
dan multimedia merupakan wujud representasi ketiga yang bagi saya tampak
seperti sebuah pengadilan bagi bias pengalaman
terhadap para pencipta musik. Mengingat sebuah teks naratif merupakan sebuah
bacaan linear, hiperteks dapat menjadi sebuah struktur jaringan yang
memungkinkan pembaca untuk memilih jalannya masing-masing melalui informasi
yang terkumpul. (Landow, 1992). Sebuah komputer tidak dibutuhkan untuk
hiperteks, tetapi sebuah komputer memungkinkan hiperteks menjadi sangat efisien.
Hiperteks interaktif memungkinkan pembaca (dalam istilah fiksi hiperteks
penulis bernama Michael Joyce, disebut “authors-who-are-to-be”)
untuk berkomentar informasi yang ada dan dengan demikian mengubahnya bagi
pembaca berikutnya. Multimedia sering-kali distukan dengan hiperteks untuk
menghadirkan rekaman suara, gambar, serta film. Sebuah hiperteks yang dibuat
secara teliti dapat merepresentasikan pengertian serta ambiguitas dari pengalaman
atas pengetahuan yang didapat dari penelitian lapangan. Sebagai contoh, dalam tumpukan hyper-card Davenport, seorang pembaca mendengarkan suara biola dan
ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut sangat mirip (Titon, 1991). Sebuah jalur
menarah pad analisis musik, dan transkripsi menunjukkan kesamaan nada-nada,
tetapi jalur lainnya mengarahkan pemain biola itu sendiri dan demontrasinya
bahwa nada-nada tersebut berbeda. Representasi ini meninggalkan pembaca untuk
menyelesaikan paradox. Atau tidak menyelesaikan-nya. Perkembangan yang lebih
jauh adalah fiksi hiperteks.
Tidak
semua proyek hipermedia memungkinkan interaktifitas yang bermakna. Banyak
hiperteks “pendidikan” tidak lebih dari sekedar kumpulan teks dan konteks
raksasa dengan hubungan-hubungan yang efisien, lebih diorganisasi secara
hirarkis daripada yang ada dalam semacam kebiasaan jaringan. Pengalaman
lingkungan hipermedia pendidikan yang demikian tidak cukup berbeda dari
pengalaman di perpustakaan, dimana seseorang mencari penjelasan. Akan tetapi
pengalaman seperti jaringan lebih seperti tahap awal memainkan sebuah
permainan: seseorang berusaha memahaminya.
Dalam
bab ini saya meneruskan apa yang biasanya kita lakukan dalam menjelaskan bunyi
musik, konsep, dan perilaku daripada memahami pengalaman musikal. Dan
pengetahuan kita yang paling memuaskan seringkali masih diperoleh melalui
pengalaman penciptaan musik dan berbagai hubungan yang muncul selama penelitian
lapangan. Bagi saya tampak bahwa cara
kita untuk menjadi musikal, dan dalam cara kita melakukan penelitian lapangan, kita, seperti halnya subjek-subjek
(masyarakat) yang kita pelajari terbuka bagi transformasi melalui pengalaman.
Lebih jauh lagi, ketika kami menanyakan teman-teman musikal kami ter-kait sudut
pandang “penduduk asli” (native) atau
mendengarkan apa yang mereka katakan, mereka sangat sering berbicara terkait
pengalaman perorangan dan pemahaman daripada memberikan penjelasan sistematis.
Jika
memang demikian adanya, maka sebuah epistemologi atas berbagai praktek
etnomusikologis terkait penciptaan musik dan penelitian lapangan sebagai kasus
paradigma dari keberadaan kita di dunia, bukan hanya sekedar pengumpulan,
transkripsi, dan analisis sebagai paradigma kasus, akan menempatkan pengetahuan
yang muncul dari pengalaman kita dan orang lain. Dan dalam representasi
eksternal kita dari pengalaman tersebut, kita mencari bentuk-bentuk tersebut
yang menghasilkan pemahaman terbaik. Jika kita harus mengatur representasi
tidak konvensional yang demikian sebagai fiksi atau pertunjukan musik, karena
hal ini tidak tersedia bagi para sarjana, paling tidak untuk saat ini, naratif
tidak memerlukan penulisan non-fiksi yang berpusat pada diri, lebih interaktif
dan refleksif daripada sekedar kewenangan atau film observasional semata, dan
seperti jaringan, hipermedia interaktif menjanjikan berbagai bentuk
representasi yang membawa pema-haman baik kepada kita, dalam proses
transformasi mereka, dan kepada mereka yang kita cari untuk berkomunikasi. Saya
tidak berharap mengeluarkan secara bersamaan dengan berbagai penjelasan sebagai
sebuah bentuk pengetahuan, hanya untuk mengistimewakan pemahaman. Saya sangat
berbahagia menerima bahwa untuk mempraktekan transkripsi dan analisis, serta
untuk mencari tahu terkait berbagai persoalan meliputi struktur musik, sejarah,
dan geografi. Sebuah epistemologi pengetahuan yang muncul dari ada di dunia musik mengedepankan pengalaman dan
pemahaman, akan tetapi hal terebut tidak mungkin dilakukan tanpa
penjelasan-penjelasan karena kita juga mengalami pengetahuan dalam artian
penjelasan, dan kita meletakkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana
masa depan penelitian lapangan? Seperti yang telah kita tegaskan, apabila
etnomusikologi kontemporer berhenti secara epistemologis pada penelitian
lapangan, maka tantangan
poststrukturalis terhadap penelitian lapangan harus dijawab jika disiplin ini
terus berlanjut. Memang, telah terjadi sejumlah penghapusan dalam
etnomusikologi. Kritik ini berada di atas beberapa dasar, tiga diantaranya
merupakan sentral. Yang pertama adalah kekuasaan, yang familiar sejak akhir
tahun 1960-an, dimana usaha berbasis penelitian lapangan berhenti
padaketidakseimbangan kekuatan, dan dengan demikian meliputi kekuasaan pelaku
penelitian lapangan yang tidak sah.
Dengan kata lain, pelaku penelitian lapangan
tidak memiliki hak legitimasi untuk menghadirkan informan mereka, untuk
tujuan mereka yang tidak netral—karir para etnomusikolog menunggangi
representasi-representasi ini. Para informan adalah orang dengan yang pantas
memiliki kewenangan, dan mereka seharusnya orang yang menulis—atau tidak
menulis—teks-teks etnomusikologis. Yang kedua adalah bahwa pelaku penelitian
lapangan memainkan sebuah versi
pencarian yang heroik, meskipun mereka tidak merealisasikan hal ini.
Konsekuensinya adalah bahwa etnografi musik terjerumus ke dalam pola
tunggal—pencarian naratif, implisit maupun eksplisit. Permasalahannya adalah bahwa
pencarian pola, bukannya kehidupan musik dari budaya yang sedang dipelajari,
mengatur reprsentasi dan interpretasi data. Dengan demikian, sebagai contoh,
budaya-budaya musik dipandang sebagai sebuah utopia dan distopia, dan para
etnomusikolog menjadi pahlawan-pahlawan, pahlawan yang memiliki kekurangan,
atau tokoh yang tak berwibawa (lihat misalnya, Hood 1982 [1971], dimana ia
menuliskan pentingnya peran etnomusikolog dalam membantu membuat gong ageng). Lebih dari itu, sebagai seorang
pahlawan dalam pencarian, etnografer jarang mengklaim kewenangan untuk
merepresentasikan budaya musik lainnya: pahlawan tersebut memiliki agenda yang
berbeda. Yang ketiga adalah tingkatan dasar-dasar epistemologis. Pemikiran post-strukturalis
menolak eksistensi otonomi diri. Gagasan bahwa penelitian lapangan merupakan
sebuah pertemuan antara diri dengan orang lain dianggap hanya sebuah khayalan,
padahal orang lain dianggap sebagai objektifikasi yang dirasionalisasikan.
Tidak
ada tantangan poststrukturalis maupun berbagai jawaban yang dapat dilihat
sebagai rincian yang pantas disini. Akan tetapi permulaan sebuah jawaban
epistemologis dapat ditemukan dalam tulisan tentang fenomenologis penciptaan
musik terdahulu. Ketika menciptakan musik, saya mengalami bahwa diri saya
menghilang; saya merasa musik memenuhi diri saya dan saya menjadi musik yanga
ada di dunia. Akan tetapi saya mengalami kembalinya pengenalan terhadap diri
saya. Dalam berbagi kedaan di berbagai budaya musik di dunia, engalaman menciptakan
musik merupakan pengalaman mengenali diri sendiri di tengah-tengah orang lain.
Ini merupakan pengalaman yang benar-benar bersifat komunal, dan saya meyakininya.
Saya meyakini bahwa representasi yang berlandaskan pengalaman ini akan mulai
menjawab tantangan poststrukturalis dengan menggabungkan gagasan para
etnomusikolog dengan apa yang mereka miliki, sehingga menjadi sesuatu yang
cukup otonom. Diri yang otonom memainkan mitos-mitos heroik. Memunculkan diri
di sisi lain berkaitan dengan diri itu sendiri, terjaring dalam resiprositas.
Keterkaitan merupakan sebuah nilai yang menantang ktirik masyarakat
kontempo-rer modern. Saya berkeinginan untuk meninjau nilai ekologis dan
hubungan dekatnya dengan penciptaan musik serta penelitian lapangan dengan
landasan bahwa kelangsungan hidup lebih dari apa yang menjadi ketergantungan
etnomusikologi.
Bibliografi
Carnap,
Rudolph. 1966. An Introduction to the
Philosophy of Science. New York: Harper Torchbooks.
Code,
Lorraine. 1991. What Can She Know?
Feminist Theory and the Construction of Knowledge. Ithaca: Cornell
University Press.
Dallmayr,
Fred R., & Thomas A. McCarthy. 1977. Understanding
and Social Inquiry. Notre Dame: Notre Dame University Press.
Feld,
Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds,
Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. Edisi Kedua. Philadelphia:
University of Pennsylvania Press.
Gadamer,
Hans-Georg. 1992 [1975]. Truth and Method.
Edisi Kedua yang direvisi. New York: Crossroad.
Gourlay,
K. A. 1978. ‘‘Towards a Reassessment of the Ethnomusicologist’s Role in
Research.’’ Ethnomusicology
22(1):1–35.
Guilbault,
Jocelyne 1993. Zouk: World Music in the
West Indies. Chicago: University of Chicago Press.
Harrison,
Frank, ed. 1973. Time, Place and Music:
An Anthology of Ethnomusicological Observation, c. 1550 to c. 1800.
Amsterdam: Frits Knuf.
Hood, Mantle. 1963. ‘‘Music, the
Unknown,’’ dalam Frank L. Harrison, Mantle Hood, & Claude V, Palisca. Musicology. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall, pp. 215-326.
_______. 1982 [1971]. The Ethnomusicologist. New Edition.
Kent: Kent State University Press.
Ihde,
Don. 1986 [1977]. Experimental
Phenomenology: An Introduction. Albany: State University of New York Press.
Kingsbury,
Henry. 1988. Music, Talent, and Performance:
A Conservatory Cultural System. Philadelphia: Temple University Press.
Kisliuk,
Michelle. 1991. ‘‘Confronting the Quintessential: Singing, Dancing, and
Everyday Life Among Biaka Pygmies (Central African Republic).’’ Disertasi
Ph.D., New York University.
Kunst,
Jaap. 1959. Ethnomusicology: A Study of
Its Nature, Its Problems, Methods, and Representative Personalities to Which Is
Added a Bibliography. Edisi Ketiga. The Hague: Martinus Nijhoff. [Pertama
kali diterbitkan dengan judul Musicologica
pada tahun 1950 oleh Royal Tropical Institute, Amsterdam.]
Landow,
George. 1992. Hypertext. Baltimore:
Johns Hopkins University Press.
Lucas,
William. 1971. Lazy Bill Lucas. Wild
12MO1. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
_______.
1972. Lazy Bill and His Friends. Lazy
12MO2. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
McAllester,
David P. 1973 [1954]. Enemy Way Music: A
Study of Social and Esthetic Values as Seen in Navaho Music. Cambridge,
Mass.: Peabody Museum of American Archaeology and Ethnology, Harvard
University; New York: Kraus Reprint.
_______. 1989. Videotaped seminar, Brown University.
Mitchell,
Frank. 1978. Navajo Blessingway Singer.
Tucson: University of Arizona Press.
Myers,
Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology,’’ dalam Helen Myers, ed. Ethnomusicology: An Introduction. New
York: W. W. Norton.
Nettl,
Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York:
Free Press of Glencoe.
_______.
1983. The Study of Ethnomusicology:
Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press.
Pillay,
Jayendran. 1994. ‘‘Indian Music in the Indian School in South Africa: The Use
of Cultural Forms as a Political Tool.’’ Ethnomusicology
38(2):281–301.
Rice,
Timothy. 1994. May It Fill Your Soul:
Experiencing Bulgarian Folk Music. Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur,
Paul. 1981a. ‘‘What Is a Text? Explanation and Understanding,’’ dalam John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences. Terjemahan John
B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 145–164.
_______.
1981b. ‘‘The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text,’’
dalam John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human
Sciences. Terjemahan John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University
Press, 197-221.
Rorty,
Richard. 1979. Philosophy and the Mirror
of Nature. Princeton, N.J.:
Princeton University Press.
Rosaldo,
Renato. 1993 [1989]. Culture and Truth:
The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
von
Rosen, Franziska, & Michael William Francis. 1992. River of Fire. 1/2 in. VHS Videotape. Lanark, Ontario, Canada:
Franziska von Rosen.
von
Rosen, Franziska. 1992. ‘‘Micmac Storyteller: River of Fire—The Co-Creation of
an Ethnographic Video.’’ Canadian Folk
Music Journal 20:40–46.
Schutz,
Alfred. 1962. Collected Papers. The
Hague: Martinus Nijhoff.
_______.
1976. ‘‘Son House: Two Narratives.’’ Alcheringa:
Ethnopoetics NS 2(1):2–9.
Seeger,
Anthony. 1987b. Why Suya´ Sing: A Musical
Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy,
Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied
Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology
36(3):323–36.
Stewart,
David, and Algis Mickunas. 1990. Exploring
Phenomenology. 2nd ed. Athens: Ohio University Press.
Titon,
Jeff Todd. 1969. ‘‘Calling All Cows: Lazy Bill Lucas.’’ Blues Unlimited 60:10–11 (Mar. 1969), 61:9–10 (Apr. 1969), 62:11–12
(May 1969) 63:9–10 (June 1969).
_______.
1980. ‘‘The Life Story.’’ Journal of
American Folklore 93:276–92.
_______.
1985. ‘‘Role, Stance, and Identity in Fieldwork Among Folk Baptists and
Pentecostals in the United States.’’ American
Music 3:16–24.
_______.
1988. Powerhouse for God: Speech, Chant,
and Song in an Appalachian Baptist Church. Austin: University of Texas
Press.
_______.
1989. ‘‘Ethnomusicology as the Study of People Making Music.’’ Paper delivered
at the annual conference of the Northeast Chapter of the Society for
Ethnomusicology, Hartford, Connecticut, April 22.
_______.
1991. The Clyde Davenport HyperCard Stack.
[Tersedia via anonymous ftp di Internet dari EthnoForum sejak 1992. Untuk
informasi bagaimana mengunduhnya, kirimkan e-mail ke ethmus-l@umdd.umd.edu].
_______.
1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3): 315–22.
_______.
1995. Early Downhome Blues. Edisi
Kedua. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Kay Kaufman Shelemay
_____________________________
3
Etnomusikolog,
Metode Etnografis,
dan Transmisi
Tradisi
Dengan cara
apapun mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, peneliti lapangan dan
subjek adalah yang pertama dan yang utama. Saling berbagi identitas membuat
penelitian lapangan, dengan berbagai
permasalahan dan pencapaiannya, sebagai sebuah model belajar yang saling
menguntungkan.
(George & Jones, People
Studying People, 1980:3)
Umumnya
persoalan etnomusikologis terkait transmisi tradisi dimaksudkan untuk
mendokumentasikan dan menginterpretasikan cara dimana musik dikomunikasikan
dari waktu ke waktu dalam sebuah latar tertentu, serta memperhatikan dinamika
interpersonal dan teknologi komunikasi dari proses ini.[1]
Kendatipun demikian, saya tidak akan memfokuskan penyelidikan terhadap
bagaimana para membawa tradisi, tidak juga terhadap materi-materi yang ada
dalam tradisi ini. Akan tetapi, saya akan merefleksikan dan mendiskusikan peran
etnomusikolog yang menjadi sebuah bagian dari transmisi tradisi tersebut ketika
mereka berada dalam pencarian dokumen terkait proses transmisi.[2]
Saya
akan mendekati permasalahan ini dengan mengambil contoh dari pengalaman saya
ketika berada di lapangan dan kisah rekan-rekan saya dalam literatur. Saya
berharap untuk mengarahkan diskusi ini di luar apresiasi terkait dampak dari
“pengetahuan relasional” (Rosaldo 1993 [1989]:206-8)[3]
terhadap interpretasi dan penulisan etnografis untuk mengupas lebih dalam suatu
jenis resiprositas dan tindakan yang bedasar, yang uniknya seringkali tumbuh
dari proses penelitian etnomusikologis. Saya akan menunjukkan bahwa sebuah
pendirian teoretis idiosinkratik dan metodologi kerja meningkatkan pertumbuhan
penelitian etnomusikologis dan kemungkinan besar berakar dari hubungan
etnomusikologi dengan berbagai disiplin lain meskipun dipermasalahkan.
Kiranya
penting untuk memberikan gambaran perspektif disipliner secara singkat, dimana
saya akan kembali ke permasalahan ini kemudian. Dalam kaitannya dengan sejaah
intelektual dan pelatihan para penelitinya, etnomusikologi seringkali dibentuk
oleh dunia-dunia yang saling bertentangan, yakni musikologi sejarah dan
antropologi. Bagi musikolog sejarah, transmisi tradisi seperti sebuah aspek
implisit dari aktifitas mereka yang meninggalkan penelitian secara cermat.
Siapapun yang benar-benr musikolog sejarah akan mengakui bahwa ia terlibat
dalamkeberlanjutan tradisi yang dipelajari.Dari kelahirannya pada tahun 1885
sebagai bagian dari bidang yang lebih besar—yakni keilmuwanan musik, termasuk
musikologi komparatif di dalamnya, musikologi sejarah memiliki tambahan penting
terkait misi keilmuwanannya, yakni penemuan/pene-muan kembali, interpretasi,
dan pengabadian musik-musik dari tradisi musik seni Eropa-Amerika. Memang,
Masyarakat Musikologis Amerika (American
Musicological Society) setiap tahunnya menganugerahkan penghargaan Noah Greenberg “untuk merngsang
keterlibatan aktif para ilmuwan dan pelaku [musik] dengan memberikan
penghargaan dan mendukung berbagai [pemikiran yang
dinilai dapat] sumbangan besar terhadap kesadaran pertunJukan secara
historis dan untuk studi historis praktek-paktek pertunjukan” (American Musicological Society Directory 1993:7).
Konferensi tahunan organisasi ini mengutamakan resital-resital khusus dan
berbagai konser untuk komposisi-komposisi, bukan sebaliknya, selalu
mendengarkan dan menyajikan.[4]
Dengan demikian, manuskrip-manuskrip musik diselamatkan hanya dengan
mengumpulkan kembali manuskrip yang berserakan, direkonstruksi, disunting, dan
ditampilkan oleh para musikolog sejarah sebagai bahan pelajaran. Mengutip
harapan Josep Kerman terhadap keilmuwanan musik dalam buku berjudul Contemplating Music, “setiap terbitan
musik yang sifatnya ilmiah adalah undangan bagi seorang pemusik, dan musikolog
seharusnya sadar untuk bersusah payah, mempengaruhi, mengkonsultasikan, serta
merencanakan/men-dalangi … konser-konser ketika mereka diberikan sebuah kesempatan”
(1985:185).
Tentu
saja, polemik sentral di kalangan para musikolog sejarah vis-à-vis dengan aksi pertunjukan dan peran yang mereka miliki
dalam mentransmisikan (dan bahkan menemukan kembali) tradisi tampaknya menjadi
pusat dari persoalan yang lebih besar terkait otentisitas dan kreatifitas dalam
tindakan merekonstruksi musik dan praktek pertunjukan.[5]
Para musikolog secara umum tidak mempermasalahkan apakah mereka seharusnya aktif dalam proses
pentransmisian tradisi musik; mereka agaknya lebih mempermasalahkan untuk
menjawab seberapa dekat mereka dengan
perjalanan historis dan dalam cara apa pertanyaan-pertanyaan muncul dari
ketiadaan sumber mereka. Sebagian besar etnomusikolog dididik sebagai mahasiswa
pada jurusan-jurusan musik yang beroperasi di bawah sistem yang baru saja dijelaskan
di atas, tempat yang sama dimana sebagian besar profesor dalam bidang
etnomusikologi menemukan lembaga sebagai rumah mereka.
Interaksi
yang lama antara dokumentasi yang sifatnya ilmiah dengan aksi pertunjukan telah
berpengaruh pada teori etnomusikologis, yang paling sering disebut dengan
“bi-musikalitas”, yang dikembangkan oleh Mantle Hood. Sebaga- pendiri dari
program Etnomusikologi di UCLA, Hood merasakan bahwa “melatih telinga, mata,
dan suara, hasilnya diyakini akan menambah pemahaman kajian teoretis yang
nyata. Hood juga memperhatikan bahwa pelatihan dan penyajian/pertun-jukan dalam
musik Barat membatasi para etnomusikolog untuk mempelajari tradisi-tradisi
lainnya. Hood tidak hanya menulis tentang pentingnya menjadi bi-musikal (atau
multimusikal) dan mengumpulkan/mem-peroleh pengalaman musik lintas-budaya
melalui pertunjukan. Ia menetapkan sebuah kurikulum etnomusikologi yang
melibatkan para pelaku asli, yang didatangkan ke UCLA untuk mengarahkan
mahasiswa dalam sejumlah tradisi musikal. Para mahasiswa petama Hood pergi
untuk mencari program-program lain di Wesleyan, Michigan, Seattle, dan
tempat-tempat lain. Menjadi bi-musikal kemudian seolah merupakan keharusan bagi
para etnomusikolog, yang mempertebal kemampuan bi-musikal mereka dengan menjadi
partisipan sesungguhnya dalam sebuah partisipasi observasi di lapangan.
Sebaliknya,
meningkatnya kemungkinan terlibatnya antropolog dalam transmisi tradisi
memunculkan sebuah respon yang cukup
berlawanan dari para musikolog sejarah. Para antropolog secara umum juga tidak
mengarah pada persoalan ini secara eksplisit; hanya yang paling belakangan,
revisi Dasar-dasar Tanggung Jawab Profesional American Anthropological Assosiation (1990) memperkuat dan
menyesuaikan pernyataan akan pertanggungjawaban terhadap “orang-orang yang
hidup dan berbagai kebudayaan yng
dipelajari oleh para antropolog,” untuk pertama kalinya menyebutkan kemungkinan
“konsekuensi positif dan negatif dari
berbagai aktifitan [para natropolog] dan publikasi-publikasi dari hasil aktifitas
ini (Fluehr-Lobban 1991:274).[6]
Tentu saja, meskipun catatan menunjukkan bahwa para etnomusikolog dan dididik
secara antropologis juga telah secara aktif berpartisipasi dalam pertunjukan
musik di lapangan, mereka telah sangat sering memastikan resiprositas dan/atau
untuk menguji pemahaman mereka terkait data musik yang telah mereka kumpulkan.
Mengutip sebuah contoh dari studi etnomusikologis yang dilaksanakan oleh
seorang ilmuwan yang berlatar belakang pendidikan antropologi, Steven Feld
mengijinkan dirinya sendiri untuk menyajikan sebuah “pria lagu” yang berasal
dari kebudayaannya dalam suku Kaluli (ia memainkan rekaman Charlie Parker)
(Feld 1990 [1982]:11). Feld juga menciptakan dan menampilkan lagu-lagu untuk
rekan penelitiannya guna menguji hipotesis tentang “keterbatasan atas bentuk”
(p. 13).
Bahkan,
hingga kini para etnomusikolog yang berlatar belakang pendidikan antropologi
terpengaruh pernyataan Hood. Dalam sebuah studi yang mendukung “antropologi
musikal,” Anthony Seeger agaknya melampaui Feld dalam hal menyatu dengan
pertunjukan musik guna tujuan-tujuan heuristik. Seeger mempersembahkan bukunya
yang berjudul Why Suyá Sing (1987b)
“untuk mengenang lagu-lagu yang kita nyanyikan,” dan menjelaskan secara cukup
detail terkait gaya-gaya musik dari bluegrass hingga lagu-lagu Afrika yang
ia dan Judy Seeger ajarkan kepada Suyá. Dalam beberapa hal, Seeger mengakui
bahwa ia menggubah lagu-lagu rakyat yang ia pelajari dari pamannya, Pete
Seeger, “untuk menyesuaikan dengan pola yang dianggap mudah oleh Suyá” (Seeger
1987b:20). Untuk menghormati permintaan Suyá terkait publikasi rekaman musik
kolaborasi mereka (pp. 23-24),[7]
kegiatan Seeger kenyataannya begitu dekat dengan jenis partisipasi
etnomusikologis dalam transmisi tradisi yang saya cari untuk dibahas di sini.
Dengan
demikian, aktifitas etnomusikologis dalam transmisi tradisi muncul dari
komitmen musikologis dengan pelestarian tradisi musik yang dipadukan dengan
perhatian antropologis dalam melihat resiprositas dan tanggung jawab sosial.
Terlepas dari berbagai implikasi disipliner dan pengetahuan/pema-haman terhadap
nilai-nilai dari bidang studi yang berbeda, diskusi tentang peran peneliti
lapangan dalam transmisi tradisi mengungkap sebuah aspek kesungguhan sifat
manusia dari fieldwork dan pada saat
yang bersamaan memunculkan persoalan etika-etika penelitian etnografi yang
telah sedikit dibicarakan.[8]
Sebagian besar pembicaraan tentang etika cenderung berpusat pada
hubungan-hubungan interpersonal baik selama fieldwork
dilakukan atau setelahnya, dan hanya secara insidental ditujukan terhadap
dampaknya pada tradisi musik itu sendiri.
Etnografi dan Transmisi
Perhatian
saya terhadap permasalahan ini awalnya tidak muncul pada tingkat teoretis. Akan
tetapi, sebuah pengalaman di lapangan beberapa tahun yang lalu mendorong saya
ke arah serangkaian pemikiran baru terkait peran etnomusikolog. Saya akan
menjelaskan peristiwa etnografis secara cukup detail beserta konteksnya yang
lebih luas, yang memungkinkan untuk membawa pemikiran ini dalam gambaran yang
nyata.
Satu
dekade yang belum lama berlalu, saya melakukan penelitian lapangan dalam masyarakat Yahudi keturunan Syria yang
tinggal di Brooklys, New York. Proyek ini berawal dari pekerjaan kelompok
bersama para mahasiswa saya di Universitas New York dan komunitas orang Syria
(lebih rinci dalam Shelemay 1988). Saya melanjutkan penelitian ini seorang diri
semenjak proyek kelompok ini berakhir pada tahun 1986 dan memperluas cakupannya
hingga meliputi penelitian lapangan terhadap
orang Yahudi Syria di Meksiko dan Israel.
Sejumlah
latar dibutuhkan sebagai kerangka diskusi berikut. Sekitar tujuh puluh tahun
setelah migrasi mereka dari Aleppo ke Dunia Baru, sebuah komunitas Yahudi Syria
yang berjumlah lebih dari 30.000 jiwa di wilayah New York menyambung keberadaan
identitas Yahudi Arab yang terekspresikan, sebagian, melalui berbagai aspek
pertunjukan musik. Repertoar musik pokoknya adalah sekumpulan himne
paraliturgis yang disebut dengan pizmonim
(tunggal: pizmon), yang telah
digubah, menggunakan teks berbahasa Yahudi dan melodi-melodi Arabik. Nada-nada pizmon diadopsi dari lagu-lagu populer
dalam tradisi musik Arab, sebaliknya teks-teks Yahudi mengandung
perumpamaan-perumpamaan dari kitab suci dan liturgi, serta maksud-maksud
terselubung serta juga ada yang dipersembahkan kepada individu-individu anggota
komunitas. Lagu-lagu yang multivokal dan berbagai kenangan dihadirkan lewat
beberapa alur teks yang terpisah dan nada-nada menjadi bahan analisis sosial
dan sejarah yang menarik, tetapi bukan itu permasalahan kita di sini. Fokus dari
proyek penelitian awalnya adalah pizmonim
yang muncul secara langsung para anggota komunitas yang mengetahui akan hal
ini (pizmonim) dan jika memungkinkan,
mereka ingin merekam hingga sebanyak 500 lagu yang masih ada. Kelompok proyek
penelitian terdahulu merekam pertunjukan hampir sebanyak 200 pizmonim, dan menyimpan seluruh
salinannya di arsip komunitas, dimana para anggota dari kelompok penelitian itu
juga membantu dalam membuat katalog dan menyusunnya.
Gambar 7-1. Program dalam Konser Pizmon untuk menghormati Meyer “Mickey”
Kairey. 14 Maret 1990, Shepardic Community Center, Brooklyn, New York.
Peristiwa
yang disoroti terkait persoalan transmisi ini diadakan dalam komunitas Syria
pada tanggal 14 Maret 1990, dan diadakan dalam rangka menghormati Meyer
“Mickey” Kairey, seorang pria berusia enam puluhan, yang selama bertahun-tahun
menjadi panutan dalam kehidupan religius komunitas Syria. Salah satu kegiatan
Mickey Kairey yang paling diingat adalah pengajaran pizmonim-nya bagi para pemuda Syria. Mickey Kairey memainkan peran
penting sebagai salah satu pendamping penelitian dalam proyek pizmonim dan pada berbagai kesempatan
yang membutuhkan keahliannya.[9]
Konser
ini, yang dibanjiri oleh kurang lebih 350 orang, diadakan di Pusat Komunitas
Shepardy (Shepardhic Community Center)
di Brooklyn, yakni pusat kelembagaan komunitas Yahudi Syria. Programnya[10]
meliputi dua “rangkaian” pizmonim yang
berbeda, yang dinyanyikan oleh sekelompok koor pemuda diiringi dengan sebuah
ansambel instrumen-instrumen timur tengah, dan yang ketiga, penampilan
lagu-lagu solo yang dibawakan oleh Isaac Cabasso (paman Mickey) serta ia
sendiri (Mickey), seorang pemimpin nyanyian yang dicintai oleh komunitasnya.
Puncak acara sore itu adalah pemberian serifikat berbingkai yang berukuran
besar untuk Mickey, memuat sekitar 1.000 tanda tangan muridnya yang ia latih
antara tahun 1955 hingga 1990. Lihat halaman 195 untuk contoh ucapan selamat
dalam sebuah buku persembahan yang dibuat oleh berbagai keluarga sebagai
ungkapan terima kasih atas peran Mickey dalam transmisi pizmonim.
Di
tengah acara, dihadirkan presentasi audio-visual tentang kehidupan dan karya
Mickey. Film tersebut menlusuri perjalanan karir Mickey, termasuk gambar-gambar
sinagoge serta guru dan pelatih pizmonim-nya,
Eliyahu Menaged. Ada juga gambar-gambar keluarganya, berbagai foto ketika ia
dalam dinas militer semasa Perang Dunia II, serta koleksi yang sangat banyak,
yang menunjukkan kecintaannya terhadap berbagai jenis musik, termasuk Stan
Kenton dan berbagai Big Band dari
tahun 1940-an. Film-film itu menunjukkan bagaimana Mickey melatih para pemuda
untuk Bar Mitzvah mereka, diiringi
dengan komentar dan rekaman-rekaman yang dibuat oleh para peserta pelatihan
ini. Tiba-tiba, dalam rekaman itu terdengar suara saya yang sedang melontarkan
sebuah pertanyaan tentang pizmon;
jelas suara itu diambil dari sebuah rekaman dalam kegiatan yang diadakan sekitar
lima tahun yang lalu ketika Mickey mengajarkan pizmonim kepada saya dan para mahasiswa saya. Meskipun konser itu
secara terbuka merayakan peran individu dalam transmisi tradisi, dalam hal ini
sumbangan besar Mickey Kairey dalam transmisi pizmonim, saya tidak menyangka bahwa saya menjadi bagian dari
pengalaman Mickey seperti halnya ia menjadi bagian dalam pengalaman saya.
Etnomusikolog telah terlibat ke dalam pengalaman Mickey dan komunitasnya,
sebuah hubungan yang sangat kecil dalam rangkaian transmisi dari masa lalu ke
masa depan mereka.[11]
Jika
saya memiliki sejumlah keraguan bahwa kehadiran secara etnomusikologis menjadi
sebuah faktor di balik transmisi tradisi, mereka telah menghilangkan keraguan
ini secara cukup kebetulan dalam sebuah wawancara yang saya lakukan sesaat
setelah konser. Seorang penyanyi muda Syria, yang saya ajak diskusi terkait
penghidupan kembali nyanyian pizmon, meyakini
bahwa pizmon hadir di tengah generasi
muda komunitas Syria saat ini. Lebih jauh ia menunjukkan bahwa sebuah katalis
untuk usaha penghidupan kembali pizmon adalah
peristiwa-peristiwa seperti konser sore tadi, bahwa sebuah genre pertunjukan telah dimunculkan pada awal proyek kelompok
(komunikasi pribadi, B. Zalta, 16 Maret 1991).
Jelas,
proyek musik Syria telah menjadi sebuah usaha penelusuran, bukan hanya sekedar
perekaman musik dan berbagai sejarah tradisi dalam sebuah arsip. Enam tahun
setelah dicetuskan, usaha ini telah meresap baik ke dalam aktifitas komunitas
maupun ingatan individu. Pada persimpangan antara kehidupan dan pertemuan
dengan keilmuwanan formal ini, berbagai hubungan institusional, seperti yang
muncul antara Pusat Komunitas Shepardy dengan Universitas New York berkaitan
dengan hak cipta dan kesepakatan royalti untuk rekaman yang kami produksi
bersama (Shelemay & Weiss 1985) serta sebuah jaringan pertemanan dekat
secra individual yang kompleks antara saya, beberapa mahasiswa saya, dan skitar
dua lusin orang dalam komunitas Yahudi Syria.
Setelah
melihat kembali jurnal saya, surat-surat selama proyek, dan sisa-sisa lain dari
hubungan kami yang cukup lama, saya mendapati contoh lain dari aktifitas saya
yang secara langsung bersentuhan dengan proses, personil, dan berbagai politik
transmisi. Berikut akan saya berikan beberapa contoh secara singkat.
Gambar 7-2. Penghargaan dalam Booklet Persembahan
bagi Meyer “Mickey” Kairey yang disebarkan pada tanggal 14 Maret 1990, Shepardic
Community Center.
Pada
bulan Juni 1986, saya diminta menulis surat untuk Kantor Pelayanan Imigrasi
Amerika Serikat terkait kedatangan seorang penyanyi tamu dari Israel, yang
berharap sinagoge Syria terbesarnya di Brooklyn dapat dibangun pada sebuah tempat secara permanen. Disini
saya memanfaatkan kewenangan saya sebagai seorang profesor dan menggunakan
pengetahuan yang saya miliki tentang tradisi untuk membantu komunitas ini
terkait sebuah hal yang sangat penting bagi mereka. Kenyataannya, sebagai
seorang etnomusikolog, saya benar-benar cukup memperhatikan peristiwa ini,
karena tradisi musik Aleppo yang ada di Brooklyn adalah sesuatu yang berbeda,
yang berada di bawah tekanan dan mengalami perubahan yang benar-benar
signifikan karena masuknya para penyanyi kelahiran Israel berbakat yang membawa
aliran-aliran tradisi Shepardy yang berbeda. Dalam surat saya, saya secara
sengaja menghilangkan informasi ini dan secara sadar memainkan sebuah peran
yang secara langsung berpengaruh dalam sebuah arah dimana secara pribadi
bertentangan dengan saya namun diinginkan oleh komunitas tersebut.
Pada
tahun 1987, saya diminta oleh seorang pemimpin komunitas tersebut untuk
memberikan informasi yang dapat menumbuhkan perhatian di kalangan pendeta lokal
terkait begitu banyak melodi yang digunakan dalam pizmonim Syria merupakan melodi-melodi sekuler dan/atau bahkan
berasal dari [nyanyian] Kristen atau Islam. Secara khusus permasalahan ini
misalnya terletak pada pizmon “Mifalot
Elohim,” yang meminjam melodi dari nyanyian Kristen yang sangat dikenal, yakni
“Oh Tannenbaum.” Kiranya hampir dapat dipastikan bahwa kesangsian ajaran nabi
tentang persoalan yang lebih luas sebagain dipicu oleh publikasi rekaman kami
dua tahun yang lalu serta kolaborasi setelahnya yang dikenal sebagai “proyek musik
Syria.” Untuk menanggapi permintaan ini, saya memberikan informasi tentang
beberapa kontroversi, melodi-melodi yang dipinjam, dan menyertakan sebuah
pemikiran yang dapat digunakan dalam membenarkan/menilai tradisi:
Saya tidak berpikir tentang
sumber-sumber asli dari melodi-melodi ini yang seharusnya menjadi perhatian
anda dan komunitas anda. Ada sebuah tradisi dalam musik Yahudi (baik sakral
maupun sekuler) dalam hal meminjam melodi-melodi dari masyarakat yang ada di
sekitar. Tradisi ini tersebar luas di lingkaran Ashkenazic seperti halnya dalam
tradisi pizmonim anda, hanya saja
sumber dari melodi-melodinya berbeda karena perbedaan latar geografis. Musik
selalu merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan di sekitarnya dan yang saya
tahu tidak ada tradisi yang “murni” dan tidak meminjam berbagai hal dari mereka
yang telah melakukan kontak [dengan kebudayaan itu]. Ekspresi musikal yang
sangat alami adalah yang ditransmisikan dari orang ke orang melewati
batas-batas geografis, sosial, dan budaya. (Kay K. Shelemay, surat tertanggal 9
Juni 1989 untuk seorang anggota komunitas Syria)
Selanjutnya,
dalam kasus ini, saya menjelaskan proses transmisi guna menilai/membenarkan,
dan akhirnya, untuk melestarikan/melindungi tradisi.
Publikasi
dari pizmonim yang direkam, mencakup pizmonim pilihan yang diambil dari
rekaman-rekaman selama tahun pertama proyek bersama kami, menimbulkan hasil
yang tidak dibayangkan.[12]
Rekaman ini dipilih oleh American
Folklife Center untuk Selected List-nya
(American Folk Music and Folklore Recordings:
A Selected List 1985), yang juga memenangkan penghargaan dari asosiasi
nasional komunitas Yahudi pusat. Kedua penghargaan ini merupakan sebuah kebanggan
bagi mereka yang terlibat di dalam proyek ini. Kendatipun demikian, publikasi
dari rekaman ini, serta “konser tahunan pizmon
yang pertama” yang diadakan kuang lebih bersamaan, yakni tahun 1985,
memunculkan persepsi di luar komunitas bahwa para pria Syria yang terlibat
dalam kegiatan musik merupakan sebuah grup musik.[13]
Interaksi
saya dengan individu-individu ini di luar kegiatan rekaman formal dan wawancara
meningkat ketika kami mulai memperoleh berbagai undangan dari intitusi
kebudayaan di wilayah itu dn berbagai universitas: Secara umum, pria Syria
diminta untuk tampil dan saya diminta untuk memberikan kuliah atau pengantar
panjang untuk menjelaskan musik yang dinyanyikan. Para pria yang bekerja dengan
saya tampak cukup nyaman dengan keadaan ini meskipun jelas tidak seimbang;
tentu saja, mereka mengundang saya untuk berbicara dalam konser pizmon yang pertama dan menunjukkan
kepada sponsor bahwa saya berpartisipasi ketika mereka menerima undangan pertama
untuk tampil di luar komunitas.
Kini
saya menyadari bahwa ini baru merupakan awal meningkatnya peran aktif saya
dalam proses transmisi, yang menyertakan ketergantungan pertemanan antara saya
dengan beberapa orang dalam komunitas.Sebuah peristiwa yang sangat penting
adalah yang diadakan pada tanggal 15 November 1987, dimana saya diundang untuk
memberikan sebuah perpaduan antara kuliah/konser di sebuah pusat komunitas yang
terletak di Lower East Side of Manhattan.
Ketika memulai bagian ini dengan pembicaraan yang menjelaskan tradisi musik
Syria, para peserta orang tua yang umumnya berasal dari para imigran Yahudi
keturunan Eropa Timur terlihat sangat gelisah. Setiap kali saya menyebutkan
hubungan antara tradisi Yahudi-Syria dengan musik Arab dan menggunakan istilah
“Arab,” sebagian dari para peserta berdesis/mencemooh.[14]
Setelah beberapa kali terjadi hal ini, Moses Tawil, pemimpin dari para pria
Syria yang kn menyanyikan pizmonim, berdiri
dari bangkunya, berdiri di belakang saya dan berbicara lewat mikrofon: “Kita
adalah orang-orang sibuk, dan tidak seharusnya berada di sini,” katanya dengan
berempati. “Kita tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh Profesor Kay dan
ingin mendengarkannya. Mohon untuk tenang.”
Saya
tidak dapat mengatakan bahwa teguran dari Tawil memperbaiki tingkah para
peserta—saya tetap menganggap ini sebagai satu-satunya pengalaman terburuk
dalam melakukan kuliah umum—akan tetapi itu merupakan sebuah saat yang sangat
penting terkait kehangatan dan ikatan antara saya denga orang Syria saat ini.
Setelah peristiwa itu, saya menerima berbagai undangan untuk perayaan-perayaan
keluarga, Bar Mitzvah, ulang tahun pernikahan, serta perayaan-perayaan liburan.
Kami menjadi lebih dekat, dan selanjutnya saya dipanggil untuk memainkan sebuah
peran dalam pengabadian tradisi.
Dengan
demikian, saya berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh para
etnomusikolog dengan terlibat dalam penelitian dengan tradisi-tradisi musik
yang hidup beserta mesyarakat pemiliknya, mereka secara sengaja maupun tanpa
disadari terlibat dalam proses-proses dan berbagai politik transmisi tradisi.
Terkadang intervensi mereka mendukung kesinambungan; terkadang mereka juga
menyebabkan perubahan. Saya meyakini bahwa interaksi-interaksi ini tidak
dikonseptualisasikan secara formal, sebagai tindakan yang ilmiah, tetapi
relatif dilakukan secara tidak sadar pada tingkatan yang lebih personal sebagai
studi pergeseran tradisi yang hampir tidak jelas kedudukannya dalam sebuah
ruang relasional yang terletak antara keilmiahan dan kehidupan. Sebagai
hubungan-hubungan “di lapangan” yang matang dari formalitas ilmuwan/informan
terdahulu (jika ada ketersediaan waktu dan akses yang besar) menjadi sesuatu
yang lebih kolektif dan personal, peneliti lapangan tidak dapat menghindari
pergerakan melewati manajemen modal kultural ke dalam negosiasi
hubungan-hubungan manusia di lapangan.
Transmisi dan Tradisi
Sejalan
dengan meninjau kembali peran aktif saya yang unik dalam pro-ses-proses
transmisi dalam komunitas Syria, saya melihat kembali proyek-proyek fieldwork lainnya yang pernah saya
lakukan—beberapa kali proyek penelitian urban dan pedesaan di Ethiopia, sebuah
perpaduan pengalaman pengarsipan/etno-grafis dalam sebuah sinagoge Amerika di
Houston, sebuah pengalaman yang dapat dikatakan tidak sukses selama enam bulan
bergelut dengan sebuah kelompok usik baru di kota New York—dan mencari
pola-pola serupa (peran aktif dalam proses-proses transmisi). Tentu saja,
pola-pola seperti itu ada dan saya hanya dapat berpendapat bahwa pola-pola yang
demikian merupakan suati kelaziman, lebih dari apa yang diakui oleh para
etnomusikolog pada umumnya. Berikut ini saya akan mengidentifikasi dan
mendiskusikan secara singkat tiga hal dimana peneliti lapangan seringkali
terlibat dalam proses transmisi: memelihara tradisi, mengenang tradisi, dan
menengahi tradisi. Tidak disangsikan kemungkinan hal-hal selain ketiga ini, dan
sebuah pengalaman etnografis dapat merupakan perpaduan ketiganya sekaligus.
Sebagai bagian dari proses definisi, lebih jauh saya akan memberikan sejumlah
contoh berdasarkan pengalaman saya dan yang terkumpul dari literatur
etnomusikologis. Hampir tak dapat diabaikan, situasi-situasi ini tak dapat
dielakkan pada titik pertemuan kehidupan dan keilmiahan—situasi ini bermula
ketika studi terhadap sebuah tradisi menjadi bagian dari kehidupan tradisi itu
sendiri dan berbagai hubungan di lapangan semakin diperdalam menjadi sebuah
model yang lebih interaksional.
Memelihara Tradisi
Jika
berbagai aspek catatan para etnomusikolog terkait proses transmisi umumnya
diakui, maka dapat diduga bahwa aktifitas pekerjaan etnomusikologis pada satu
tingkatan adalah memelihara. Meskipun etika pemeliharaan merupakan bagian proses
etnografis yang tidak dipermasalahkan, dan berbagai paradigma lawas mengarahkan
para ilmuwan terdahulu untuk mencari dan mempelajari tradisi-tradisi tertentu
sebelum tradisi-tradisi tersebut “menghilang,” kiranya jelas bahwa proses
mempelajari tradisi musik itu sama halnya dengan berpartisipasi dalam sebuah
tindakan pemeliharaan.
Seringkali
peran etnomusikolog sebagai pemelihara tradisi diakui atau bahkan diharapkan
oleh orang-orang dalam tradisi tersebut. Mengambil satu contoh dari literatur,
Barbara Smith mencatat bagaimana ia mempelajari tarian-tabuhan genderang bon dalam masyarakat imigran Jepang di
Hawaii, menjadi anggota dari sebuah perkumpulan, dan “menabuh genderang” dalam
tarian bon pada suatu musim panas
(1987:211). Beberapa hari setelah kedua kalinya ia menampilkan tarian bon, ia mengatakan bahwa seorang anggota
komunitas tersebut berkomentar: “Sekarang aman jika kita mati, karena jika
Profesor Smith bermain genderang maka artinya selalu akan ada seseorang yang
membunyikan genderang untuk jiwa kita” (p. 211). Smith kemudian menceritakan
bahwa permainan genderang yang ia lakukan mendorong sejumlah anak muda untuk
belajar memainkannya dan bahwa pemain genderang tidak akan habis setelah itu!
Ada
berbagai contoh dimana seorang “informan” secara terang-terangan membebani
“etnomusikolog” dengan tanggung jawab mentransmisikan tradisi. Sebuah contoh
yang jelas terjadi ketika saya melakukan pekerjaan dalam masyarakat Beta Israel
(Falasha) di bagian utara Ethiopia. Suatu hari, seorang pendeta tua Beta Israel
memerhatikan saya dengan seksama dan berkata: “Dalam dua puluh lima tahun,
hanya anda yang akan mengetahui orang-orang kami yang bersembahyang” (Shelemay
1989:xviii). Ia mengakui sebuah kenyataan proses transmisi di dalam komunitasnya
sendiri dan menyadarkan saya terkait tanggung jawab untuk memelihara tradisi.
Ini
menyadarkan saya bahwa pemeliharaan bukan hanya sebuah pertumbuhan seperti
dalam paradigma keilmiahan saat ini, tetapi paling tidak dalam keadaan-keadaan
tertentu, sebuah pengakuan terhadap realita perubahan musik dan sebuah bagian
dari kontrak implisit antara entomusikolog dengan masyarakat pemiliki tradisi.
Kontrak/keter-ikatan ini akan menjadi cukup krusial dalam kasus penelitian
seorang “insider”, ketika seorang sarjana memiliki keseluruhan atau sebagian
identitas yang ia pelajari.
Contoh
tarian-tabuhan genderang bon yang dikutip
terdahulu juga menyoroti sebuah jenis pemeliharaan yang tidak saya alami secara
pribadi,[15]
tetapi merupakan sesuatu yang sangat umum ditemui di lapngan. Meskipun seluruh
etnomusikolog mentransmisikan pengetahuan melalui berbicara dan merekam musik,
lebih jauh lagi berbagai transmisi tradisi musik dapat dilakukan melalui
menghadirkan kembali (re-creating)
pertunjukan itu sendiri. Dalam cara ini, unit studi sifat performatif yang
dimiliki etnomusikolog memungkinkan terjadinya replikasi, baik sebelum maupun
setelah masa penelitian etnografis. Banyak etnomusikolog kini mengajarkan musik
yang mereka pelajari ketika berada di lapangan. Meskipun seseorang dapat
memandang aktifitas ini sebagai sebuah sumbangan, saya meyakini bahwa tidak
secara umum dianggap demikian oleh masyarakat pemilik tradisi tersebut atau
oleh etnomusikolog. Agaknya, hal tersebut dapat juga dilihat sebagai bagian
dari proses seorang manusia melintasi sebuah dunia ekspresi yang benar-benar
pribadi. Bagaimana seseorang dapat membaca deskripsi John Miller Chernoff
tentang akusisinya tentang teknik permainan genderang Ghana (1979) dan tidak
mengakui bahwa, seperti gurunya, melakukan musik ini sebagai “sebuah kenangan
jasmaniah?” (Connerton 1989).[16]
Teori-teori seperti :bi-musikalitas” yang dikemukakan oleh Mantle Hood
memungkinkan lebih dari sekedar masuk ke dalam pembelajaran musik; secara
implisit ini mengarahkan etnomusikolog menuju pemeliharaan, replikasi, dan
transmisi tradisi secara aktif.[17]
Mengenang Tradisi
Meskipun
kita cenderung mengkoseptualisasikan transmisi dengan hal-hal komunal dan
sosial, kenyataannya proses ini berjalan dengan sangat personal dan
idiosinkratik, sumber dari tradisi menjadi guru (informan, atau lebih tepatnya,
rekan penelitian), sementara seorang siswa yang menerimanya (etnomusikolog).
Kecenderungan etnomusikologi untuk melihat mulai dari individu hingga kelompok
yang berpadu dengan tradisi-tradisi antropologis yang telah berlangsung lama
dalam hal menutupi subjek penelitian, bermuara pada sedikitnya kemungkinan
penelusuran terkait pengenangan (memorializing)
dalam litertur kita. Akan tetapi, ada beberapa contoh. Bruno Nettl menulis
sebuah ode untuk guru-guru favoritnya (1984) dimana ia mendiskusikan dan
mengenang orang yang dulu pernah ia sebut dengan informan.[18]
Demikian juga, otobiografi Frank Mitchell yang berjudul Navajo Blessingway Singer, merupakan bagian dari “sebuah realisasi
akan harapan Frank bahwa buku tentang hidupnya ini akan terus hidup” serta
sebuah rasa “kesatuan keluarga” yang muncul dari kebersamaannya dengan para
editornya selama bertahun-tahun (Mitchell 1978:5). Frisbie dan McAllester
mengakui bahwa hubungan mereka dengan Frank Mitchell adalah sesuatu yang penuh
dengah kasih, yang berawal dari pengembangan laporan terdahulu, melalui
pekerjaan berbgai proyek, hingga menjadi sebuah persahabatan yang berlangsung
lama dengan kewajiban mutual dan tanggung jawab (p. 5). Jadi bukanlah suatu
kebetulan jika buku ini dipersembahkan untuk mengenang Frank Mitchell.
Memediasi Tradisi
Navajo Blessingway Singer juga membawa kita
kepada mode transmisi ketiga—mediasi (mediation).
Selain untuk mengenang Frank Mitchell, Frisbie dan McAllester menjadi penengan
antara antara dirinya degan dunia yang lebih luas: “Frank, tentu saja,
merupakan penulis Navajo Blessing Singer.
Tugas kami adalah mengumpulkan data, menyunting narasi dan, dengan dukungan
para interpreter yang cakap, mengalih-bahasakannya ke dalam bahasa Inggris”
(Mitchell 1978:8). Artinya, setiap kali seorang sarjana mengutip atau
menafsirkan sebuah wawancara atau percakapan, ia menengahi/mem-perantarai
tradisi. Sejumlah peneliti pada kenyataannya seringkali merujuk pada diri
mereka sendiri sebagai perantara. Alan Lomax tidak menganggap dirinya seorang
“yang membangkitkan kembali sebanyak mereka yang ada di tengah-tengah [tradisi
tersebut],” merasakan bagian penting dari tanggung jawabnya untuk “menemukan
penyanyi rakyat terbaik … dan mendengarkan mereka di manapun” (dikutip dalam
Sheehy 1992:329). Beth Lomax Hawes lebih menekankan hal tersebut dalam komentarnya
pada pertemuan Folk Arts Panel tahun
1981: “Itu benar, kita adalah orang yang usil!” (Titon 1992:316).
Memediasi
dapat terwujud dalam berbagai bentuk dan kemungkinan tidak terbatas hanya pada
wilayah antara komunitas dengan outsider.
Selain “menengahi” orang-orang Syria yang merupakan rekan penelitian saya,
berbicara untuk memperkenalkan pertunjukan mereka kepada penonton yang tidak
familiar dengan repertoar pizmon, saya
juga diminta untuk memikul peran ini dalam komunitas tersebut. Dalm sebuah acara
perkumpulan keluarga besar Tawil dan beberapa ratus keluarga Syria lainnya di
Passover, sebuah resor wisata di pegunungan Catskill pada akhir tahun 1980-an,
Moses Tawil meminta saya untuk memberikan sebuah kuliah umum tentang tradisi
musik Yahudi-Syria; sebagian besar peserta dalam ceramah itu adalah orang
Yahudi Syria. Dengan demikian, mediasi tidak hanya sekedar menyampaikan sesuatu
untuk mereka di luar tradisi tersebut, tetapi juga berpartisipasi dalam
menumbuhkan kesadaran sebuah tradisi di dalam komunitas pemilik tradisi itu
sendiri.[19]
Berdasarkan
ini, saya menyarankan bahwa banyak (jika tidak seluruh etnomusikolog)
memelihara, mengenang, dan memediasi tradisi-tradisi berdasarkan kebiasaan yang
wajar, terutama karena apa yang saya istilahkan dengan “bracketed performativeness” dari bahan-bahan yang mereka pelajari.
Baik di dalam lapangan maupun setelah keluar dari lapangan, secara tegas ini
bukanlah persoalan teoretis. Seseorang mempelajari musik dengan melakukan dan
mengingatnya secara berulang-ulang, baik melalui pertunjukan langsung (live) ataupun rekaman. Data
etnomusikologis dalam domain (wilayah) musikal dapat direplikasi melalui cara
tertentu dimana jenis-jenis data etnografis lainnya tidak dapat demikian.
Dengan demikian, saya menyatakan bahwa keterlibatan etnomusikolog dalam
transmisi tradisi merupakan sebuah aspek lawas dan mendalam dari sebuah proses
penelitian etnomusikologis, yang terutama muncul karena sifat datanya.
Dari
perspektif disipliner, di sini kita berhadapan dengan identitas etnomusikolog
yang bercabang, yang terbentuk dari komitmen-komitmen musikologis hingga
pertunjukan dan keterlibatan prinsip-prinsip antropologis. Ketegangan antara
pendekatan-pendekatan ini terkadang muncul di permukaan dalam literatur,
menggugah seorang tokoh di masa lalu dalam bidang ini menuliskan bahwa
etnomusikolog “tidak mencari pengalaman estetis bagi dirinya sendiri sebagai
tujuan utama (meskipun kemungkinan secara personal ini dihasilkan dari
studi-studinya), tetapi untuk menemukan/merasakan makna dari pengalaman estetis
orang lain dari sudut pandang pemahaman perilaku manusia” (Merriam 1964:25).
Dalam tulisan etnomusikologis yang muncul belakangan, terdapat pengakuan secara
eksplisit terkait keterlibatan bersama di lapangan. Dalam kata-kata seorang
etnografer:
Tidak ada pengganti dalam penelitian
lapangan etnomusikologis bagi kedekatan yang melahirkan pengalaman musik
bersama. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang
menyenangkan dan sebuah metode yang bagus. Menjadi seorang penikmat yang
apresiatif adalah bentuk penting dari pertukaran musikal. Nikmatilah rasanya
menjadi seseorang yang kembali belajar; membentuk sebuah hubungan dengan para
musisi terkemuka adalah suatu pendekatan yang umum dan berhasil dalam etnomusikologi
(Myers 1992:31).
Akan
tetapi jika “bermain” di lapangan harus berangkat dari metode yang baik, oleh
karenanya para etnomusikolog membutuhkan panduan untuk situasi yang sarat
dengan permasalah etis dan praktis. Beralih ke perspektif lainnya, tampak bahwa
para etnomusikolog dan mereka yang terlibat dalam proses transmisi dapat
mempertimbangan butir-butir berikut:
· Jika kita
terikat secara eksplisit maupun implisit untuk memelihara apa yang telah
diajarkan orang kepada kita, kita harus mendokumentasikannya dengan baik dan
selalu menyimpannya sebagai arsip.
· Pekerjaan
kita harus ditentukan waktunya (lama penelitian), yang menungkinkan kita untuk melakukan
dialog dengan orang-orang yang masih hidup dan dengan berbagai kenangan yang
sangat bermakna dari mereka yang telah tiada.
· Kita harus
menghormati kepercayaan dan melindunginya ketika diperlukan, tetapu juga harus
siap untuk mengakui keahlian dan kesenimanan ketika mereka terbuka dan
memberikannya degan cuma-cuma.
· Kita harus
berbagi hasil dari tugas kita, apakah dengan memberikan hasil-hasil rekaman,
memberikan bahan-bahan untuk digunakan dalam komunitas dan/atau oleh
individu-individu dalam komunitas itu, atau melalui pembagian finansial yang diperoleh,
misalnya dari royalti.
· Jika
penelitian lapangan adalah sebuah pencarian/penye-lidikan yang humanistis, maka
kita harus mengapus apa yang disebut dengan “dikotomi yang keliru,” kesalahan
yang memisahkan penelitian akademis dengan sektor pekerjaan publik. Kita harus
memikul tanggung jawab tidak hanya sebagai dampak dari tindakan kita memasuki
lapangan, tetapi untuk hubungan kita yang terus-menerus dengan lapangan yang
kita datangi serta para guru setelah kita “meninggalkan” mereka (yakni,
penelitian yang tidak berkelanjutan).
· Jika kita
sebaya/seumur dengan mereka yang saat itu menjadi guru kita, maka kita harus
terlibat dalam proses-proses kolaboratif. Sebaliknya, kolaborasi dapat membantu
mengurangi kekuatan-kekuatan yang tidak seimbang dan memastikan kesepadanan
antara tujuan-tujuan etnografis dengan kepekaan individu atau komunitas.
· Kita harus
mengakui secara lebih terbuka bahwa dalam berbagai situasi, ilmuwan yang
memasuki lapangan saat itu dianggap seseorang yang memiliki otoritas
(kekuasaan/kewe-nangan) dan memposisikan sejumlah kekuatan yang pasti akan
terlibat dalam mengejar kehidupan yang nyata dari masyarakat yang diteliti.
Kita wajib untuk menggunakan pengetahuan dan kekuatan, karena sudah semestinya
demikian, dalam hal-hal terpenting dari orang-orang yang kita pelajari.
· Terkadang,
kita akan berhadapan dengan situasi-situasi dimana tujuan-tujuan kita tidak
sama dengan tujuan komunitas itu atau dimana kita dipercaya untuk menyimpan
bahan-bahan sehingga secara eksplisit kita menanggung beban untuk emnjaga
kerahasiaan. Dalam contoh yang jarang ini, tindakan kita yang terbaik adalah
dengan diam atau menarik diri. Kita perlu untuk memelihara sebuah tempat dalam
tradisi pedagogik oral dimana kita dapat berdiskusi tentang kegagalan dan
keterbuangan.
Akhirnya,
pengakuan bahwa penelitian lapangan merupakan sebuah permasalahan dalam
hubungan-hubungan manusia menawarkan sebuah jalan melalui semak belukar
persoalan yang mengelilingi proses etnografis dan berpotensial menggangu peran
peneliti lapangan. Ini tampaknya sama dengan sebuah tren baik dalam
etnomusikologi maupun antropologi, yakni untuk mengembangkan sebuah teori yang
diungkapkan secara praktis (practice-informed
theory).
Sebagian
besar dari kita menyadari bahwa kita tidak melakukan studi terhadap
konsep/barang mati yang disebut dengan “kebudayaan” atau sebuah tempat yang
disebut “lapangan,” melainkan menghadapi arus individu-individu yang sesudah
itu kita berhubungan dengan mereka dalam cara-cara yang baru. Dengan mengambil
apa yang disebut Arjun Appadurai dengan “deteritorialisasi,” saya menyarankan
bahwa hubungan-hubungan manusia kemungkinan merupakan sisa yang paling pasti
dari lapangan adalah apa yang disebut dengan lokal, stabil, dan terikat (Appadurai
1991:192). Kita dapat mulai dengan mengajar dan mempraktekkan etnografi yang
mengakui realitas kebersamaan dan interaksi, yang didasarkan pada hubu-ngan-hubungan
yang dapat dinegosiasikan.
Bibliografi
American Musicological Society Directory. 1993.
Philadelphia: American Musicological Society.
Appadurai,
Arjun. 1991. ‘‘Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational
Anthropology.’’ Dalam Recapturing
Anthropology: Working in the Present, disunting oleh Richard G. Fox, 191–210. Santa
Fe, N.Mex.: School of American Research Press.
Chernoff,
John Miller. 1979. African
Rhythm and African Sensibility: Aesthetics and Social Action in African Musical
Idioms. Chicago: University of Chicago Press.
Connerton,
Paul. 1989. How
Societies Remember. Cambridge: Cambridge University Press.
Dyen,
Doris. 1982. ‘‘New Directions in Sacred Harp Singing.’’ Dalam Folk Music and Modern Sound, disunting
oleh William Ferris & Mary L. Hart, 73–79. Jackson: University Press of
Mississippi.
Feld,
Steven. 1990. Sound and
Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. 2nd
ed. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Fluehr-Lobban,
Carolyn, ed. 1991. Ethics
and the Profession of Anthropology: Dialogue for a New Era.
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Georges,
R. A., & M. O. Jones. 1980. People
Studying People: The Human Element in Fieldwork. Berkeley:
University of California Press.
Hood, Mantle. 1982 [1971]. The
Ethnomusicologist. New Edition.
Kent: Kent State University Press.
Kerman,
Joseph. 1985. Contemplating
Music: Challenges to Musicology. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Lomax,
John Avery, comp. 1910. Cowboy
Songs, and Other Frontier Ballads. Pengantar oleh Barrett Wendell. New York:
Sturgis and Walton.
Merriam,
Alan P. 1964. The
Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press.
Mitchell,
Frank. 1978. Navajo
Blessingway Singer, disunting oleh Charlotte Frisbie & David
McAllester. Tucson: University of Arizona Press.
Myers,
Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction,
disunting oleh Helen Myers. New York: W. W. Norton.
Neuman,
Daniel. 1980. The
Life of Music in North India: The Organization of an Artistic Tradition. Detroit:
Wayne State University Press.
Nettl,
Bruno. 1983. The Study of Ethnomusicology:
Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana:
University of Illinois Press.
_______.
1984. ‘‘In Honor of Our Principal Teachers.’’ Ethnomusicology 28 (2): 173–85.
Rosaldo,
Renato. 1993 [1989]. Culture
and Truth: The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
Seeger,
Anthony and a comunidade indígena Suyá. 1982. Música Indigena: A arte vocal dos Suyá. 12 inch LP disc with liner notes. São João
del Rei: Edições Tacape 007, serie ethnomusicologia. Reissued with revised
notes on CD as volume 75 of Music
of the Earth: Fieldworkers’ Sound Collections, Tokyo:
JVC Video Software Division, 1992.
_______.
1987. Why Suyá Sing: A Musical
Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy,
Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied
Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36
(3):323–36.
Shelemay,
Kay Kaufman. 1988. ‘‘Together in the Field: Team Research Among Syrian Jews in
Brooklyn, New York.’’ Ethnomusicology 32(3):369–84.
_______.
1989. Music, Ritual, and
Falasha History. East Lansing: Michigan State University
Press.
Shils, Edward. 1981. Tradition. Chicago: University of
Chicago Press.
Slobin,
Mark. 1992a. ‘‘Ethical Issues.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction, disunting oleh Helen
Myers, 329–36. New York: W. W. Norton.
Smith,
Barbara Barnard. 1987. ‘‘Variability, Change, and the Learning of Music.’’ Ethnomusicology 31
(2):201–20.
Taruskin,
Richard. 1982. ‘‘On Letting the Music Speak for Itself: Some Reflections on
Musicology and Performance.’’ Journal
of Musicology 1 (3):338–49.
Tick,
Judith, ed. 1993. A
Suite for Four Strings and Piano by Ruth Crawford.
Madison, Wisc.: A-R Editions.
Titon,
Jeff Todd. 1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of
Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36
(3):315–22.
Helen Myers
_____________________________
4
Penelitian
Lapangan
Mendefinisikan
etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan Dalam penelitian lapangan, kita
membuka wajah manusia dari etnomusikologi. Apakah kita memilih sebuah kampung
terpencil di India, komunitas pedesaan di Eropa, kota yang dihuni oleh orang
Nigeria atau etnis-etnis yang hidup berdampingan di kota besar seperti Tokyo
atau Paris, apakah kita mempelajari keluarga kita sendiri atau sebuah suku yang
asing, negeri kita sendiri atau sebuah tempat yang eksotis, penelitian lapangan
merupakan pekerjaan personal yang dituntut dari seorang etnomusikolog.
Penelitian lapangan juga merupakan tahap paling kritis dalam penelitian etnomusikologis—laporan
pandangan mata, dimana semua hasil akan berangkat darinya. Rintangan besar dari
usaha etnomusikologis ini juga sekaligus merupakan hal yang sa-ngat memikat,
dan tidak sedikit sarjana yang tertarik de-ngan disiplin ilmu ini karena pesona
dan mistisme dari penelitian lapangan. Tantangannya cukup banyak, diduga-atau
tidak diduga, bisa saja membosankan namun dapat juga sangat artistik. Kekuatan
dan kelemahan para etnomusikolog diuji ketika kita beradaptasi dengan cara
hidup yang asing guna mendokumentasikan budaya musing yang tidak dikenal.
Situasi penelitian lapangan yang demikian memunculkan perasaan janggal dan
membuat etnomusikolog terkadang kehilangan orientasi, sebuah realitas yang
membi-ngungkan karena seharusnya sebuah pekerjaan yang berhasil berangkat dari
kealamian, kejujuran, sepenuh hati, dan kadangkala dengan perilaku yang
spontan. Para sarjana yang berhasil melewati permasalahan-permasalahan ini
membuktikan bahwa mereka menggunakan rencana yang cerdik, menikmati penelitian,
dan menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang yang diteliti.
Etnomusikolog Australia, Alice Moyle, merekam pemain
didjeridu di Oenpelli, wilayah Barat Laut, Dataran Arnhem, 1962.
Penelitian
lapangan merupakan salah satu karakteristik ilmu-ilmu sosial, termasuk
antropologi dan etnomusikologi. Ini merubah kebiasaan lama, yakni pekerjaan ‘di
belakang meja’, dimana para musikolog mentranskripsi dan menganalisis bahan
yang direkam oleh para etnolog. Para mahasiswa etnomusikologi kini diharap
menceburkan diri secara total dalam sebuah kebudayaan yang asing bagi mereka,
umumnya selama satu tahun atau lebih, dan memperoleh pengalam musik dari tangan
pertama dalam berbagai latar yang berbeda. Selama penelitian lapangan, etnomusikolog
mengumpulkan berbagai sumber primer: berbagai observasi yang dituangkan dalam
catatan lapangan, merekam musik dan wawancara, foto, film, serta bahan-bahan
video. Berbeda halnya dengan musikolog sejarah yang mengumpulkan data sedikit
demi sedikit dari arsip-arsip dan perpustakaan, etnomusikolog harus
mengumpulkan dan mendokumentasikan materi dari para informan yang hidup. Para
etnomusikolog yang bekerja dalam kebudayaan-kebudayaan yang nyaris tidak
memiliki rekaman-rekaman tertulis harus mengandalkan metode-metode yang
dirancang untuk menyelidiki sejarah lisan. Untuk kebudayaan-kebudayaan yang
telah memiliki rekaman tertulis, peneliti lapangan harus mempelajari
sumber-sumber historis, mengumpulkan pernyataan-pernyataan dari para informan
tentang praktik musikal, dan kemudian membandingkan teks dan hasil wawancara
tersebut dengan perilaku yang diamati sehari-hari.
Beberapa
dekade yang lalu, penelitian lapangan seolah merupakan sebuah ritus peralihan
yang harus dijalani para mahasiswa, dengan hanya sedikit hal yang diajarkan.
Ketika dituntut yang namanya objektifitas, kenyataannya penekanan diletakkan
pada wawasan, intuisi, ketertarikan personal, kejadian-kejadian yang kebetulan,
dan keberuntungan. Karena topiknya bersifat individual dan personal, para
sarjana enggan menulis dengan jujur tentang pengalaman-pengalaman mereka di
lapangan. Catatan-catatan lapangan dan buku harian, transkripsi-transkripsi wawancara
serta catatan aktifitas sehari-hari jarang dipublikasikan (beberapa
pengecualian antara lain Slotkin, 1952; buku harian Bronislaw Malinowski yang
diterbitkan anumerta, 1967; dan Merriam, 1969, ‘The Ethnographic Experience’; dan sebuah antologi potret-potret
para informan di Casagrande, 1960). Mulai tahun 1960-an dan 1970-an, wujud
tulisan-tulisan tentang pengalaman pribadi penelitian lapangan juga dipublikasikan
(Powdermaker, 1966; Henry dan Saberwal, 1969; Freilich, 1970; Golde, 1970;
Spindler, 1970; Anderson, 1971; Wax, 1971 dan 1977; Mead, 1972; Blacking, 1973;
Jones 1973; Pelto dan Pelto, 1973; Foster dan Kemper, 1974; Béteille dan Madan,
1975; Clarke, 1975; Geertz, 1976; Honingmann, 1976; Freilich, 1977; dan Dumont,
1978). Gerakan ini makin pesat pada tahun 1980-an,
seolah seperti sebuah pendulum yang berayun-ayun pada titik terjauhnya, dan
sebutan sebagai pendukung subjektifitas mulai dilontarkan kepada para
psikoanalisis sebelum penelitian lapangan dan pengakuan lewat autobiografi para
sarjana (dalam antropologi, Barley, 1983; Turner dan Bruner, 1986; Whitehead
dan Conoway, 1986; dalam etnomusikologi, Berliner, 1978; Keil, 1979; dan
Gourlay, 1978, yang menilai peran etnomusikolog di lapangan).
Teks
etnografis kemudian dikupas sebagai sebuah bagian dari literatur yang
sesungguhnya, dalam bentuk dan gayanya, dan cukup lama diakui, dan dilihat
kembali untuk menghidupkan humanisme baru ini (Bruner, 1986; Clifford dan
Marcus, 1986). Perdebatan mengarah pada teka-teki epistemologis yang disebut
‘refleksifitas’, dimana para antropolog berupaya mengevaluasi dan mengukur
dampak mereka terhadap topik yang juga mereka pelajari. Tindakan observasi antropologis
merupakan sesuatu yang menonjol, tidak dapat mengubah perilaku mereka yang
diamati; ‘lensa antropologis’ ini juga menjadi objek pnyelidikan (Mills, 1973;
Peacock, 1986). Ironisnya, para sarjana yang bekerja dalam bidang ilmu fisika
telah lama menerima penyimpangan ini, terutama elemen subjektif yang melekat
pada metode saintifik (banyak penemuan dihasilkan dari kebetulan atau
keberuntungan) dan elemen interaksi personal dengan data, termasuk hal-hal
menakutkan yang memenuhi diri, misalnya ahli geologi yang berteriak keras ‘avalanche’ (salju longsor) di sebuah
gunung yang bersalju (Kuhn, 1962; Popper, 1959, 1963, 1972; Myers, 1981).
Definisi: Penelitian Lapangan,
Lapangan, Informan,
Pertunjukan dan Rekaman
Penelitian
lapangan dapat didefinisikan sebagai ‘mengamati orang-orang in situ; menemukan mereka apa adanya,
tinggal dengan mereka dengan peran yang, ketika diterima oleh mereka,
memungkinkan terjadinya pengamatan yang lebih dekat terhadap perilaku-perilaku
tertentu mereka, dan melaporkannya lewat cara yang bermanfaat bagi ilmu sosial
namun tidak membahayakan mereka yang sedang diamati’ (Hughes, 1960, p.v.).
Laura Boulton sedang merekam para
penyanyi Haiti pada tahun 1938.
Di
manakah lapangan? Lingkup penyelidikan etnomusikologis luas dan beragam seperti
luas dan beragamnya dunia musik itu sendiri. Studi-studi terdahulu berfokus
pada bentuk-bentuk tradisi kerakyatan nasional dalam bentuk lisan,
masyarakat-masyarakat pedesaan di luar negeri si peneliti, dan musik dari masyarakat-kasyarakat
yang kemudian disebut ‘eksotis’ atau ‘primitif’, yakni, mereka yang hanya
memiliki sedikit kontak dengan orang Barat. Sistem-sistem musik klasik
Oriental, objek yang sangat mempesona selama berabad-abad, tetap menjadi subjek
yang populer dalam etnomusikologi modern. Pada tahun 1990-an, bidang ini sarat
berbagai topik, mulai dari studi-studi terhadap kelompok-kelompok etnis
terpencil di wilayah-wilayah pedalaman Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan
dan Asia Tenggara, hingga masyarakat yang telah mengalami modernisasi,
pembaratan (Westernization),
kehidupan musik urban, musik populer dan industri musik. Bagi etnomusikolog,
lapangan dapat berarti sebuah wilayah geografis atau linguistik; sebuah
kelompok etnis (kemungkinan tersebar di sebuah wilayah yang luas); sebuah
kampung, kota, pinggiran kota, kota besar; padang pasir atau hutan belantara;
hutan hujan tropis atau kawasan tundra di Arktik.
Situasi
setiap lapangan memiliki keunikan, tetapi semua proyek penelitian memiliki
ciri-ciri umum. Pertama adalah informan—orang yang memberikan informasi.
Istilah ini memiliki sejumlah konotasi yang bermasalah, dan banyak sarjana
lebih memilih untuk menggunakan istilah kolega, teman, responden, partisipan,
yang diwawancarai, sumber, atau guru. Kurang lebih, informan adalah istilah
yang digunakan sangat luas dalam ilmu sosial, yakni bagi orang-orang di lapangan
yang menceritakan tentang kehidupan dan musik mereka.
Kedua,
semua penelitian lapangan meliputi pertunjukan, baik pertunjukan musik maupun
pertunjukan budaya (berbagai ritual dan upacara kehidupan tradisional), serta
pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan khusus untuk para peneliti lapangan
(percakapan-percakapan informal, wawancara, dan sesi perekaman).
Ketiga
adalah rekaman, dalam bentuk catatan lapangan tertulis, rekaman musik,
kaset-kaset wawancara, foto, serta rekaman film dan video 16 mm. Berbagai
kelengkapan yang dibutuhkan di lapangan—buku, perekam, instrumen musik—juga
merupakan sebagian dari bentuk koleksi ini. Kesulitan utama dalam etnomusikologi
adalah pemeliharaan dan dokumantasi rekaman-rekaman, transportasinya ke
lapangan, dan selanjutnya pemrosesan dari lapangan ke rumah lalu masuk arsip
(dan seringkali kembali lagi ke lapangan untuk mengecek dan pendokumentasian
lebih jauh). Selama penelitian lapangan, menggunakan kereta atau bus lokal,
berdesakan dengan orang-orang desa dan hewan ternak mereka, para pedagang
asongan dan barang dagangan mereka, ibu-ibu yang menyuapi bayinya, anak balita
yang menghisap buah-buahan, orang tua yang berjongkok di gang antar kursi dan bagasi
penumpang yang diletakkan semrawut di atas atap bus, menyebabkan kesulitan
dalam membawa perlengkapan etnomusikologis. Di tempat pemeriksaan bandara, yang
cukup ketat dan dibatasinya bobot bagasi, membawa barang-barang yang retan ini
menjadi semakin sulit; ketika berhasil tiba dengan selamat di rumah, ini akan
menjadi harta, kenikmatan, serta sumber dari semua analisis kita. Etnomusikolog
profesional kemudian menjadi cakap dalam memindahkan segala jenis benda ini
dari desa A ke kota B, lalu ke kota C kemudian ke arsip D (untuk penggandaan
sebelum berangkat dari tempat penelitian), lalu ke bandara E ke bandara F (kota
tempat asal/rumah), kemudian ke arsip G (untuk penggandaan atau penyimpanan di
tempat asal)—ratusan pita rekam dan kaset, film peka cahaya (untuk perjalanan
ke luar negeri) dan film peka cahaya (perjalanan dalam negeri),
instrumen-instrumen musik, alat perekam, mikrofon, baterai dan pengisi baterai,
serta lain sebagainya. Pekerjaan ini sangat membutuhkan pikiran dan kemampuan
pengorganisasian yang cakap.
Panduan-panduan
untuk metode lapangan yang paling awal datang dari disiplin antropologi. Dalam Argonauts of the Western Pacific (1922),
antropolog Anglo Polandia bernama Bronislaw Malinowski (1884-1942) mengemukakan
sejumlah persoalan mendasar: hubungan teori dan metode, strategi penelitian
induktif versus deduktif; observasi
partisipasi; pentingnya membuka pikiran dan mengkritisi diri sendiri; hubungan
antara data-data yang tidak berkaitan; perbedaan antara observasi dengan
mengetahui secara mendalam, perbedaan antara observasi ilmiah dan
gagasan-gagasan yang diekspresikan oleh informan lokal (data ‘emik’dan ‘etik’);
keterisolasian petualangan antropologi, dan frustasi, kegelisahan, serta
keputusasaan karena terkejut dengan budaya yang dihadapi (culture shock): ‘Bayangkan diri anda tiba-tiba dikelilingi oleh
semua perlengkapan anda, sendirian di sebuah pantai tropis yang dekat dengan
sebuah kampung penduduk asli’, tulis Malinowski, ‘sementara kapal atau sampan
yang membawamu sudah berlayar menjauh dan hilang dari pandangan’ (p. 4).
Keterisolasian
dalam penelitian lapangan ini, menurut Malinowski:
memutus seseorang dengan lingkungan
orang kulit putihnya, dan meninggalkannya sedekat mungkin dengan para penduduk
asli, yang hanya akan tecapai dengan berkemah di kampung mereka … untuk bangun
setiap pagi dan menunjukkan diri pada mereka (pp. 6-7).
Seperti
kebiasaan dalam ilmu fisika, Malinowski merekomendasikan pendekatan deduktif
dalam penelitian lapangan, dimana latihan tentang teori dan metode yang
diperoleh oleh mahasiswa digunakan untuk memandu, tetapi tidak untuk
mendominasi observasi dan pengumpulan data yang sistematis:
Seorang etnografer tidak hanya harus
menebar jala di tempat yang tepat, dan menunggu hasilnya. Ia harus menjadi
seorang pemburu yang aktif, dan mengendalikan buruan ke arah sarangnya yang
tidak dapat dijamah dan mengikutinya … Latihan yang baik dalam teori, dan
kebebasan terkait hasil akhirnya, tidaklah identik dengan beban dari
‘gagasan-gagasan yang dipertimbangkan sebelumnya’. Jika seseorang melakukan sebuah
ekspedisi, ingin membuktikan hipotesis tertentu, namun ia tidak dapat mengubah
pandangan-pandangannya secara konstan dan membuangnya begitu saja di bawah
tekanan bukti yang ada, jelas bahwa pekerjannya sia-sia. Tetapi permasalahan
yang lebih besar adalah ketika ia membawa teori itu ke lapangan, membiasakan
membentuk teorinya dari fakta-fakta di lapangan, dan mencari fakta yang
menegaskan teori, merupakan sesuatu yang lebih baik bagi pekerjaannya. Gagasan-gagasan
yang dipikirkan sebelumnya merupakan sesuatu yang bersifat merusak dalam
pekerjaan saintifik apapun, tetapi membayangkan berbagai permasalahan yang akan
dihadapi merupakan sesuatu yang baik bagi seorang ilmuwan, dan berbagai permasalahan
inilah yang akan diungkap pertama-tama oleh sorang observer dalam kajian-kajian
teoretisnya (pp. 8-9).
Perencanaan
Memilih Topik Karena
seluruh dunia merupakan wilayah kita dan disiplin ilmu kita hanyalah sebagian kecilnya,
dimana sebagian besar musik yang belum dipelajari, maka untuk memilih sebuah
permasalahan dalam etnomusikologi bukanlah hal yang sulit. Ironisnya, beragam
topik yang unik dan wilayah penelitian yang tersebar di seluruh penjuru dunia
memunculkan kebingungan bagi seseorang yang baru. Berikut adalah beberapa saran
dalam melakukan pemilihan topik.
Pertama,
ketertarikan pribadi: pilihlah topik yang anda sukai dan yang akan terus
menarik bagi anda dan imajinasi anda selama penelitian berlangsung maupun
setelah itu. Topik yang selalu memunculkan permasalahan baru (open-ended topic) adalah topik yang terbaik.
Saya memilih proyek doktoral tentang musik kaum imigran India di Trinidad
karena memiliki potensi menjadi topik yang open-ended;
penyelidikan yang saya lakukan membawa pada berbagai permasalahan dan proyek
penelitian baru (Myers, 1984). Penelitian pos-doktoral yang saya lakukan
membawa saya ke wilayah timurlaut India, kampung halaman nenek-moyang para
informan saya yang berasal dari India Barat; penelitian ini selanjutnya
mengarahkan saya pada terhadap kelompok-kelompok orang India serupa di Fiji dan
Mauritius, dimana para orang India tersebut juga dibawa oleh Inggris selama
diberlakukannya sistem tenaga kerja kontrak, yakni antara tahun 1835-1919.
Memilih topik penelitian doktoral dengan cermat—dirumuskan dengan baik,
berfokus tajam dan berada dalam domain teoretis yang lebih luas—dapat menjadi
fase pertama untuk pekerjaan yang dapat dilakukan seumur hidup. Kesinambungan
dari sebuah proyek bergantung pada kemampuan bahasa yang dimiiki oleh peneliti,
bibliografi repertoar musik; ini penting untuk menarik badan-badan pendanaan;
serta pula dapat kembali dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana lokal.
Berbagai
proyek etnomusikologi umumnya bergelut de-ngan permasalahan tunggal, atau
sebuah perkampungan, wilayah-wilayah yang saling berdekatan, klompok etnis
urban, musi individual atau genre. Pra
etnomusikolog dengan kecenderungan antropologis memilih budaya-budaya musik
yang menampakkan berbegai persoalan teoretis: wilayah kebudayaan dalam musik
Indian Amerika Utara (Nettl, 1954), strukturalisme dalam masya-rakat dan musik
orang Indian Brazil (Seeger, 1987), estetika dalam masyarakat Navajo
(McAllester, 1954), dan model-model linguistik struktur dalam dan struktur
permukaan dalam musik Venda (Blacking, 1971). Para sarjana yang lebih dipengaruhi
oleh musikologi memfokuskan perhatian pada struktur-struktur musik (penelitian
Hood tentang patet [modus] dalam
musik Jawa, 1954), berbagai genre (survei
yang dilakukan Wade terhadap vokal khyāl di
India Utara, 1984), repertoar-repertoar instrumental (penelitian Berliner
tentang mbira [lamellaphone] Shona,
1978), atau reprtoar keseluruhan dalam sebuah kelompok etnis (etnografi Capwell
tentang orang Baul di Bengal, 1986). Sejak tahun 1950-an, studi-studi umumnya dibatasi
hanya pada satu kebudayaan; studi lintas-budaya, yang merupakan fokus
penelitian para sarjana Jerman pada abad ke-19, bukanlah hal yang umum,
meskipun para sarjana senior telah membuat tulisan-tulisan reflektif seperti ‘Two Cities’ milik Nettl (1985), yakni
sebuah perbandingan kehidupan musikal di Madras dan Teheran. Menjaga
kelangsungan hidup musik yang menuju ambang kepunahan merupakan hal penting
bagi etnomusikologi.
Studi-studi
ulang (restudies—seorang sarjana menelusuri
kembali apa yang pernah dikaji oleh sarjana lainnya) sangat umum ditemui dalam
antropologi, seperti perdebatan Robert Redfield-Oscar Lewis tentang desa
Tepoztlán di Meksiko, pengujian ulang yang dilakukan oleh Reo Fortune terhadap
data Margaret Mead tentang peran sosial dalam masyarakat Arapesh di New Guinea,
serta debat Ward Goodenough-John Fisher tentang pola residensi pasca-pernikahan
dalam masyarakat yang medniami sebuah atol di Pasifik (Agar, 1980). Dalam
etnomusikologi, studi ulang berpotensi khusus memperdalam kajian historis guna
memahami tradisi lisan; studi-studi yang demikian juga memberikan sudut pandang
baru terhadap wilayah-wilayah yang selama ini telah terasosiasi dengan
interpretasi dari sarjana-sarjana tertentu (belum pernah ada dua orang peneliti
memiliki perspektif yang sama). Peran interpretasi ganda terutama penting bagi
studi budaya ekspresif, tetapi secara lebih sempit, yakni kalangan
etnomusikologi akademis, kegunaan studi ulang belum ditempatkan secara
semestinya.
Mungkin atau
Tidaknya Penelitian Dilakukan
Dalam memilih sebuah topik, mahasiswa harus melihat semua aspek
kemungkinan.
Keilmiahan:
Apakah topik yang di[ilih relevan dengan persoalan-persoalan teoretis terkini
dalam etnomusikologi? Dapatkan kepentingan intrinsiknya yang merupakan
sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dibuktikan? Apakah pelajaran yang anda dapatkan
dalam etnomusikologi, antropologi, sejarah dan repertoar musik memungkinkan
untuk melakukan penelitian ini? Apakah anda memiliki akses terhadap
sumber-sumber literatur dan sumber-sumber musikal yang relevan (perpustakaan
dan arsip)? Apakah anda mengetahui bahasa setempat atau bermaksud mempelajarinya
di lapangan?
Politis:
Dapatkah visa yang dibutuhkan dan ijin penelitian diperoleh untuk penelitian
ini? Berbagai langkah harus dilalui untuk memperoleh ijin penelitian resmi dan
tersedia cukup waktu bagi instansi-instansi pemerintah untuk menyetujuai
proposal. Apakah anda memilih topik yang sensitif secara politis atau di
wilayah gografis yang sensitif? Kemungkinan proyek yang demikian ditunda hingga
waktu yang tepat.
Fisik:
Apakah studi yang dilakukan memiliki resiko dan membahayakan keselamatan,
apakah waktu dan biaya mencukupi? Apakah dapat diperoleh dana yang mencukupi?
Apakah anda memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan proyek ini? Apakah personil
tersedia (terutama asisten di lapangan)?
ETIKA
Berbagai metode baru, teori, dan topik telah memunculkan
berbagai permasalahan etika baru. Haruskah studi musik dilakukan olej ‘insider’—para ahli yang memiliki
pengetahuan tentang bahasa, budaya, dan musik lokal—atau oleh ‘outsider’—yang menuntut adanya
objektifitas dan keterbukaan pikiran? Para perintis (avant garde) dalam etnomusikologi mengembangkan kerjasama antara insider dan outsider dan membantu para seniman lokal untuk mengungkapkan
kisah-kisah hidup mereka (misalnya, Frisbie & McAllester, eds., Navajo Blessingway Singer: The Autobiography
of Frank Mitchell, 1978). Tuduhan imperialisme budaya, yang seringkali
dilekatkan dengan peneliti orang luar, dikurangi dalam sejumlah proyek seperti
yang dilakukan oleh Archives and Research
Center for Ethnomusicology, Delhi, yakni sebuah organisasi yang membantu
para peneliti tamu menyimpan salinan rekaman-reka-man lapangan mereka sebelum
meninggalkan India (Samuādi, 1984-).
Langkah positif lainnya adalah diseminasi materi-materi bidang
kebudayaan—rekaman dan dokumentasi—yang dikembalikan kepada komunitas-komunitas
pemiliknya, seperti yang dilakukan oleh Library
of Congress Federal Cylinder Project, dimana salinan-salinan lagu
tradisional (sebagian dikumpulkan beberapa dekade yang lalu dan telah lama
dilupakan) dikembalikan keoada para penduduk asli Amerika (Brady dkk., 1984-).
Jika
anda tidak mempelajari musik yang ada dalam masyarakat atau orang-orang kaya,
bersiaplah untuk menjadi orang kaya di negara yang miskin. Tiap sarjana harus
menghabiskan ribuan dolar untuk mempelajari musik, dimana uang sejumlah itu
dapat digunakan untuk memberi makan mereka yang kelaparan atau untuk berobat.
Pengetahuan untuk pengetahuan hanya akan memiliki sedikit asrti ketika anda
menyaksikan seorang bocah sekarat; persoalan ini membutuhkan refleksi sebelum
anda menjumpai orang-orang yang kelaparan dan sakit di lapangan. Saya mnghabiskan
beberapa minggu yang berharga di India, bergelut dengan etika dalam mempelajari
musik di sebuah negara miskin, heran mengapa tidak ada pengajar atau kolega
yang memperingatkan saya terkait konflik emosi yang akan saya alami.
Kemungkinan anda memang dapat menggunakan sebagian uang yang diperoleh untuk
tujuan-tujuan kemanusiaan, dan sebagai seorang pendatang dalam sebuah
kebudayaan, anda akan terpancing untuk datang dan membantu. Akan tetapi
berpikirlah cermat dan perhatikanlah kompleksnya permalahan kemanusiaan. Cara
yang tepat ketika mengikuti kata hati yang demikian adalah mengalokasikan
sejumlah dana untuk obat-obatan. Setelah memberikan tablet-tablet aspirin
kepada para penduduk desa yang sedang terserang demam, saya baru menyadari
bahwa permasalahan dapat saja muncul jika seorang pasien keadaannya semakin
buruk atau meninggal setelah memakai obat yang saya berikan.
Apakah
dapat membantu orang-orang yang menjadi objek studi anda atau tidak, yang pasti
anda tidak boleh menyakiti mereka. ‘Statement
on Professional Ethical Responsibilities’ (1983) yang dikeluarkan oleh Society for Applied Anthropology memberikan
pegangan terkait persoalan-persoalan utama, yang masing-masing harus
diperhatikan sebelum membuat sebuah rencana penelitian:
· Beritahukan
apa tujuan penelitian, metode-metode, serta sponsor penelitian kita kepada
masyarakat yang kita teliti. Masyarakat akan ikut serta dalam
aktifitas-aktifitas penelitian kita secara sukarela dan informatif. Kita
sebaiknya … menjaga rahasia yang dimiliki oleh mereka yang kita pelajari …
[akan tetapi mereka] tidak boleh
dijanjikan akan kadar kerahasiaan lebih dari yang realistis …
· Jagalah
martabat, integritas, dan keseimbangan komunitas yang akhirnya terpengaruh oleh
penelitian kita … Hindari untuk melakukan atau merekomendasikan tindakan kepada
sponsor yang kemungkinan akan berbahaya bagi kepentingan sebuah komunitas.
· Jangan
melakukan perbuatan yang mengganggu aktivitas profesi rekan-rekan peneliti ilmu
sosial lainnya … jangan mengganggu arus informasi tentang hasil penelitian dan
teknik-teknik praktis profesional … [dan] jangan membuat komunitas-komunitas
atau agen-agen menentang rekan sejawat kita demi kepentingan pribadi.
· Jangan
mempersulit akses para mahasiswa, orang asing, atau para pemula untuk
memperoleh pelatihan … Kontribusi-kontribusi para mahasiswa untuk profesi kita,
termasuk penelitian dan publikasi, juga harus dipertimbangkan.
· Berikan
laporan yang akurat kepada para pekerja dan sponsor … Kita memiliki kewajiban
untuk berupaya mencegah terjadinya distorsi atau penekanan terhadap hasil-hasil
penelitian atau rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan oleh agen-agen terkait.
· Berbagilah
keuntungan yang kita peroleh dari pengetahuan dan kemampuan kita dalam
menganalisis sistem-sistem sosiokultural kepada semua kalangan masyarakat.
Permasalahan
kerahasiaan yang didiskusikan pada butir 1 merupakan hal yang ambigu dalam
penelitian etnomusikologis., sebab para seniman yang menjadi objek studi kita
kemung-kinan ingin mencari pengakuan atas karya mereka. Stephen Slawek bersusah
payah memalsukan nama seniman yang terkenal di seluruh dunia, Ravi Shankar,
dalam studinya tentang repertoar sitar Hindustani, atau yang dilakukan oleh
Neil Sorell dalam studinya tentang pakar sārangī,
Ram Narayan (Sorell & Ram Narayan, 1980; Slawek, 1987). Para
etnomusikolog secara umum memiliki kebebasan untuk memberikan nama pada para
musisi yang menjadi objek studi mereka. Seringkali para etnomusikolog
mensponsori para seniman ini untuk melakukan konser di Barat. Para musisi
pedesaan juga senang menyaksikan nama mereka disebutkan dalam tulisan-tulisan
etnomusikologis. Kendatipun demikian, anonimitas terkadang tetap saja penting;
Edward Henry menutupi nama para informannya yang merupakan orang desa di India
Utara, sebab publikasi teks-teks pernikahan gāti
yang sifatnya evokatif yang ditranskripsikan dapat mempermalukan mereka (1988).
Bertanyalah terlebih dahulu bila perlu. Apakah para musisi menginginkan nama
mereka disebutkan? Apakah mereka ingin foto-foto mereka muncul dalam publikasi
anda? Apakah mereka akan memeriksa secara langsung kutipan-kutipan langsung
kata-kata yang diucapkan atau transkripsi-transkripsi musik mereka: akankah
kutipan-kutipan ini akan dicantumkan atas nama mereka?
Sebuah
permasalahan khusus muncul ketika etnomusikolog melakukan studi ulang di sebuah
dsa yang telah disebut dalam literatur antropologis yang menggunakan nama
samaran. Para musisi dari desa tersebut mungkin sangat menginginkan nama asli mereka
muncul, bersamaan dengan transkripsi repertoar-repertoar dan foto-foto
pertunjukan, sebuah keinginan yang bertentangan dengan aspek kerahasiaan dalam
studi terdahulu. Masalah yang lebih membingungkan muncul ketika para informan
dari desa-desa yang pernah dijadikan objek studi berkunjung ke Barat; persoalan
adalah salah satu yang tidak dapat dikesampingkan. Contohnya adalah ‘Karimpur’,
nama samaran dari sebuah desa di India Utara yang diteliti sejak 1925, yang
diawali oleh Charlotte dan William Wiser dan dilanjutkan setelah itu oleh
beberapa antropolog Amerika (Wiser & Wiser, 1930). Wiser menyamarkan nama
desa serta nama-nama para informannya. Beberpa tahun belakngan, ketika sejumlah
orang dari desa tersebut berkunjung ke kota-kota besar di India dan di Barat,
mereka menjadi bingung ketika melakukan kunjungan ke perpustakaan dan melihat
foto-foto mereka dipajang dengan teks-teks antropologis tanpa nama-nama mereka.
Seorang informan, yang bertindak sebagai asisten untuk beberapa generasi
antropolog, telah mengajar di sejumlah universitas di Inggris dan Amerika
tentang dampak antropologi bagi komunitasnya; ia menulis otobiografinya, yang
menekankan pada kesedihan yang dialami oleh penduduk desa ketika menjadi subjek
penelitian antropologis. Desa tersebut akan diberi nama apa? Haruskah para
antropolog yang bekerja dengannya disebutkan? Haruskah ia menggunakan namanya
sendiri sebagai judul buku tersebut? Permasalahan kerahasiaan membutuhkan
berbagai solusi, tidak hanya solusi tunggal.
Latar Belakang Para etnomusikolog senior mengingat
masa-masa ketika para kandidat doktor dituntut untuk membaca seluruh bahan
etnomusikologis guna ujian kualifikasi doktoral mereka. Ini tidak lagi menjadi
tuntutan yang beralasan, namun calon peneliti lapangan harus menguasai
literatur tentang wilayah studi mereka, baik daerah geografisnya maupun kajian-kajian
teoretis yang berkaitan. Pekerjaan ini membutuhkan penelusuran interdisipliner
dimana saat itu mahasiswa dapat menyusun sebuah bibliografi menyeluruh—dari
etnomusikologi, antropologi, sejarah, religi, politik, dan bidang-bidang lain
termasuk karangan fiksi (novel karangan V.S. Naipul merupakan sumber penting
bagi mereka yang ingin mengkaji permasalahan di Trinidad). Hari-hari yang
berharga di lapangan sebaiknya tidak diisi dengan bacaan yang tidak berguna
atau lakukanlah pembuatan anotasi bibliografi. Untuk penelusuran sistematis,
mahasiswa sebaiknya segera mengidentifikasi para sarjana terdahulu yang telah
meneliti di wilayah ini. Surat menyurat dengan para ahli ini merupakan sebuah
bentuk penghormatan yang bagus, mahasiswa dapat memperoleh saran serta
nama-nama orang yang akan dapat membantu ketika berada di lapangan;
hubungan-hubungan profesional yang menyenangkan, yang berangkat dari
ketertarikan yang sama terhadap sebuah penelitian, dimulai dari cara yang
sederhana ini.
Proposal
Penelitian Apakah calon
peneliti berencana atau tidak untuk mencari dana penelitian, menyiapkan sebuah
proposal penelitian formal sangat membantu dalam memulai sebuah proyek. Ini
akan mendisiplinkan program yang akan dilakukan, terutama dalam hal penyediaan
waktu, dana, dan tenaga. Melakukan rancana-rencana yang telah disusun ke dalam
tulisan akan memfokuskan topik, memberikan gambaran terkait tujuan-tujuan yang
terpenting, memberikan kerangka terkait relevansinya dengan etnomusikologi dan
potensi kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Anda akan dipaksa untuk
mengkalkulasikan anggaran dan merencanakan jadwal harian yang realistis
sehingga proyek yang dilakukan dapat membuahkan hasil dan mewujudkan
tujuan-tujuan intelektual anda yang sesungguhnya.
Menyiapkan
proposal penelitian dapat memakan waktu berbulan-bulan. Akrabkan diri anda
dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan pendanaan dalam bidang yang menjadi
minat anda. Banyak universitas memiliki badan-badan dengan sistem komputerisasi
untuk membantu menemukan badan pendanaan yang sesuai. Referensi panduan dasar
seperti The Grants Register (1991)
sangat membantu dan mudah digunakan. Ini biasanya dilihat tidak terlalu
akademis, dan tampak tidak dapat membantu calon peneliti memfokuskan dan
mengembangkan proposalnya.
Tulislah
proposal dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Hindari jargon. Buatlah
pokok-pokok yang mengarah langsung dan mudah dipahami oleh orang-orang dari
bidang ilmu lain. Formulasikan judul dengan cermat dan deskripsikan secara
ringkas penelitian anda melalui kata kunci dalam proposal yang akan diajukan
pada komite penilai dan pengambil keputusan. Berhasil memperoleh pendanaan
merupakan kemampuan khusus seperti yang dijelaskan dalam tulisan-tulisan
antropologis (Pelto, 1970; Agar, 1980; Jackson, 2987).
Observasi Partisipasi
Strategi
utama yang digunakan dalam penelitian lapangan etnomusikologis adalah observasi
partisipasi (participant observation);
peneliti tinggal dalam komunitas, ikut serta dalam kehidupan sehari-hari, terutama
dalam aktifitas-aktifitas musikal, merekam observasi yang dilakukan dan meminta
komunitas tersebut untuk menuturkan tentang diri mereka sendiri. Seorang
peneliti yang berpartisipasi (participant
observer) adalah orang asing yang memiliki kedudukan istimewa, seorang
‘penduduk lokal pinggiran’ (marginal
native), dan memiliki akses terhadap banyak data (Freilich, 1970, 1977). Observasi
partisipasi menambah validitas data, memperkuat interpretasi, memberikan
pemahaman terhadap kebudayaan, dan membantu peneliti untuk memformulasikan
pertanyaan-pertanyaan yang berarti. Karangan-karangan antroologis secara
tradisional mengidentifikasi empat tingkatan metode observasi partisipasi: (1)
partisipan penuh (aktifitas-aktifitas observer sungguh-sungguh ditutupi); (2)
partisipan sebagai observer (aktifitas-aktifitas observer ‘tetap
diselubungkan’); (3) observer sebagai partisipan (aktifitas-aktifitas obserfer
diketahui publik); dan (4) observer penuh (puncaknya, observer berada di balik
cermin searah) (Junker, 1960:35-37). Perhatikan, misalnya, peraturan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika
Serikat yang menyarankan keterbukaan proyek secara terperinci kepada masyarakat
yang menjadi subjek penelitian dan para informan, maksud peneliti dan
persetujuan dari para informan. Catatan-catatan demikian sebaiknya disimpan.
Pilihan 1, 2 dan 4 tidaklah etis jika melihat standar yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat di atas.
Keseimbangan antara partisipasi dan observasi tergantung pada kepribadian
peneliti, situasi lapangan, budaya yang didatangi serta sifat penelitian.
Bagian penelitian etnomusikologis umumnya, nomor 3 adalah satu-satunya pilihan.
Kepercayaan Peneliti
partisipan (participant observer)
yang semakin memiliki akses terhadap domain-domain pribadi kehidupan
sehari-hari komunitas seiring dengan munculnya kepercayaan dan saling mengetahui
rahasia antara mereka, terutama dalam penelitian jangka panjang (survei
ethnografis Raoul Maroll menunjukkan bahwa peneliti yang tinggal di lapangan
lebih dari satu tahun memperoleh lebih banyak data tentang persoalan-persoalan
sensitif—politik, seks, ilmu gaib [1962]). Berbagai permasalahan etika muncul
seketika itu: peneliti munkin menyaksikan tindak kriminal, mendengar rencana
penyelundupan obat-obatan, imigrasi ilegal. Ketika kepercayaan telah rusak,
peneliti dan informasn akan dirugikan serta kemungkinan kelangsungan penelitian
dapat terancam; tetapi dalam menjaga kepercayaan, peneliti tidak boleh melanggar
hukum. Melanggar kerahasiaan maupun pelanggaran terhadap hukum akan merusak
reputasi etnomusikologi dalam komunitas dan negara tersebut, membahayakan
studi-studi yang akan dilakukan selanjutnya dan membuat para peneliti
selanjutnya kesulitan mengakses tempat tersebut. Hati nurani harus digunakan
untuk fakta-fakta yang mendalam. Peneliti yang bijaksana menyadari bahwa banyak
saat menyakitkan yang tidak dapat ditemui dalam halaman tulisan mereka yang
dicetak.
PERAN Observasi partisipasi umumnya memperhatikan
pereduksian ‘reaktifitas’—kadar perubahan perilaku masyarakat karena mereka
sedang diamati. Para etnomusikolog seharusnya tidak menyalahi gagasan ini.
Gangguan tidak dapat dihindari ketika seseorang mengamati kehidupan pribadi
orang lainnya. Kendatipun dilakukan secara cermat, peneliti lapangan tidak akan
pernah dapat lepas dari situasi setempat. Berbagai etika menentang tindakan
penggangguan yang tidak terlihat: melalui perekaman terselubung (mikorofon yang
disembunyikan di dalam tas), atau seolah menjadi orang pribumi. Jangan pernah
biarkan rekan anda yang berasal dari desa itu melupakan bahwa anda sedang mempelajari
musik mereka. Hal ini akan menjadi mudah ketika peralatan kita—mikrofon, perekam
audio dan video, camera, lampu blitz—selalu membuat mereka ingat bahwa kita
datang untuk mengamati apa yang bukan milik kita. Apakah orang-orang yang
sedang diamati layak tidak perlu memperoleh kesempatan untuk menikmati hari
minggu mereka yang terbaik? Atau mereka membutuhkannya?
Peran
apapun yang disandang oleh peneliti, sikap seolah menjadi orang pribumi
sangatlah berbahaya:
Pada tahun 1967, sekelompok orang kulit
putih muncul lagi dari utara … mereka berjalan dengan mata yang liar mencoba
melihat semuanya … Mereka adalah sekelompok antropolog, dan mereka ingin
menguji berbagai teori baik yang luar biasa maupun yang dangkal pada kehidupan
masyarakat di negara saya (Salinas, 1975:71-72).
Meskipun
penampilan dan tingkah laku anda sesuai dengan norma-norma yang ada dalam suatu
komunitas, ilmuwan sosial tetap saja merupakan orang luar (outsider). Etnomusikolog yang seolah menjadi penduduk pribumi
meyakini bahwa mereka tidaklah bermaksud mengelabuhi orang pribumi. Penulis tentang
Sioux, Vine Deloria Jr., tidak sulit untuk dikenali ketika menjadi antropolog
di Dakota:
Antropolog mudah dikenali. Masuk ke
dalam kerumunan orang. Mengajak seorang pria kulit putih yang kurus, yang
mengenakan celana pendek Bermuda, jaket penerbang Angkatan Udara Amerika semasa
Perang Dunia II, sebuah topi rumput Australia, sepatu tenis, serta membawa
sebuah ransel yang disandang di punggungnya. Ia memiliki seorang istri yang
bertubuh ramping dan seksi denga rambut terurai, dengan IQ sekitra 191, dan
kosakata yang memiliki preposisi hingga sebelas suku kata … Sosok ini adalah
seorang antropolog (1960:79).
Para etnomusikolog lebih beruntung daripada para
antropolog dan sosiolog karena perasaan-perasaan pribadi yang kita pelajari
terekspresikan secara publik dalam pertunjukan musik. Berbagai rintangan
kultural menguap ketika musikolog bertemu musisi. Dalam penelitin lapangan
etnomusikologis, tidak ada yang melebihi begitu intimnya berbagi pengalaman
musikal. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang
menyenangkan dan merupakan sebuah metode yang bagus. Menjadi pendengar yang
apresiatif adalah bentuk pertukaran musikal yang sangat penting. Merasakan
kembali senangnya menjadi seorang mahasiswa; membangun hubungan yang dekat
dengan seorang musisi yang mahir merupakan pendekatan yang umum dan berhasil
dalam etnomusikologi (Zonis, 1973; Berliner, 1978; Koning, 1980; Sorell dan Ram
Narayan, 1980; Slawek, 1987). Pada tahun 1960-an, para mahasiswa mendapati
adanya sistem formal terkait pembelajaran musik dalam masyarakat-masyarakat
literasi di India, Jepang, Iran dan Indonesia, yang dapat dengan mudah mereka
masuki (berbeda halnya dengan sistem Barat). Bimusikalitas menitikberatkan
partisipasi dengan observasi yang amat minim, dan pelajaran-pelajaran musik
dari seorang guru sangat memikat para mahasiswa. Kendatipun demikian,
etnomusikolog yang tetap merupakan orang asing—orang luar (outsider) yang sedang mencari sesuatu di dalam—tidak akan pernah
betul-betul masuk ke dalam subjeknya, yakni musik, yang pada dasarnya bersifat
personal, ekspresif, artistik, emosional, bahkan ekstatis. Peneliti lapangan
yang berhasil adalah yang dapat menyeimbangkan antara partisipasi dan observasi,
selalu bertujuan untuk melakukan penyelidikan yang saintifik, sistematis, dan
simpatetis terhadap seni musik.
LATIHAN DI RUMAH Observasi partisipasi hanya dapat dipelajari
di lapangan, akan tetapi banyak komponen keahliannya dapat dipelajari di rumah.
Kemampuan bahasa adalah yang terpenting. Berusahalah untuk mempelajari bahasa
yang dibutuhkan. Pelajaran-pelajaran di universitas dan perlengkapan belajar otodidak
tersedia bahkan untuk bahasa-bahasa yang sulit ditemui; pelajaran-pelajaran
intensif di musim panas dapat sangat berguna. Pemahaman kebudayaan akan
meningkat sejalan dengan kefasihan berbahasan ketika memasuki tingkat
komprehensi dan ekspresi yang lebih baik, para informan meningkatkan tingak wacana
mereka, dan pengetahuan terhadap kebudayaan terbuka dengan sendirinya. (Hal
yang serupa juga terjadi dalam kefasihan bahasa musikal lokal.)
Kemampuan-kemampuan observasi, ingatan dan
penulisan yang lebih mendalam juga dapat dilatih di rumah. Latihan ‘kesadaran
eksplisit’ yang berulang-ulang, kemampuan untuk mencatat dan mengingat
kehidupan sehari-hari dengan terperinci—tidak sesederhana bunyi-bunyiannya
(Spradley, 1980). Sebuah latihan: tanyakan kepada seseorang yang baru saja melihat
jamnya, ‘Jam berapa sekarang?’ Ia akan melihat jamnya lagi karena secara eksplisit
ia tidak menyadari jam berapa saat itu dengan sungguh-sungguh. Karangan-karangan
antropologis menawarkan berbagai latihan untuk meningkatkan kemampuan
observasi, ingatan dan penulisan (Agar, 1980; Spradley, 1980; Bernard, 1988).
Kemampuan-kemampuan ini menunjang kesuksesan observasi partisipasi.
Bagi para etnomusikolog, kemampuan yang paling
dasar adalah merekam dan memotret. Akrabilah peralatan anda sebelum terjun ke
lapangan; jangan membeli barang-barang tersebut dalam perjalanan menuju tempat
penelitian anda. Kamera dengan harga murah yang anda beli di New York mungkin
tidak akan berfungsi (anda akan kehilangan gambar-gambar penting ketika sedang
mencoba rol film jenis baru yang baru saja dijual). Perekam kaset yang anda
beli dengan tawar-menawar di Singapura saat dalam perjalanan mungkin tidak
memiliki baterai cadangan, tidak dapat menggunakan arus listrik langsung atau
tidak sesuai dengan mikrofon anda.
Berlatihlah dengan semua peralatan anda di rumah.
Jangan membawa peralatan yang belum dicoba dalam keadaan realistis di dalam dan
di luar ruang tamu anda. Rekamlah percakapan yang dilakukan di meja yang anda
gunakan untuk menjamu tamu. Setelah itu, bawalah peralatan rekaman anda untuk
dicoba merekam sesuatu yang diam—misalnya para pengamen di stasiun bawah tanah
atau pelayanan-pelayanan di gereja lokal. Selanjutnya, rekamlah peristiwa yang
bergerak dengan perekam yang digantungkan di bahu anda dan mikrofon dalam
posisi digenggam, sebaiknya di luar ruangan dan ada angin: sebuah parade
rakyat, marching band atau pasar jalanan (dalam kasus ini si perekam akan
bergerak, bukan sumber suara yang bergerak). Terakhir, rekamlah suasana yang
terdapat bunyi-bunyian keras—mungkin tempat disko. Masalah-masalah yang anda
antisipasi dan temukan penyelesaiannya di rumah (desah angin, isolasi
headphone, pengesetan volume, dan sebagainya) akan mengurangi permasalahan saat
terjun di lapangan.
TERJUN KE LAPANGAN Sebelum memasuki lapangan, berhentilah sejenak
untuk memperkirakan berbagai bias personal dan kultural dalam proyek penelitian
yang akan anda lakukan. Tidak ada penelitian yang sungguh-sungguh objektif
dalam etnomusikologi (ataupun bidang-bidang ilmu lainnya). Asumsi-asumsi
kultural dan idiosinkrasi personal mengarahkan observasi dan mewarnai berbagai
temuan kita. Sarjana yang menerima berbagai bias ini, bergelut dengannya
sebagai bagian dari metodologi dan mengakui pengaruhnya dalam penelitian.
Penelitian lapangan dapat dibagi ke dalam beberapa
tahay yang terprediksi: masuk, keterkejutan budaya (culture shock) dan keterkejutan kehidupan (life shock), pengumpulan data, masa-masa liburan sekaligus
mengumpulkan data-data lain dengan rasa lelah, dan meninggalkan lapangan.
Memasuki lapangan adalah saat yang mendebarkan, bahkan sangat mendebarkan,
ditambah rasa frustasi, menakutkan, dan mengusik.
Pertama, pilihlah komunitas yang reseptif.
Penelitian lapangan sarat dengan permasalahan; jika anda tidak disambut,
pilihlah komunitas lainnya.
Kedua, buatlah tulisan tentang diri anda
sendiri dan proyek penelitian anda, tujuan studi, lama waktu yang diberikan
oleh universitas atau pemberi dana untuk tinggal di lapangan. Tulisan-tulisan
ini akan membuat hubungan anda menjadi jelas dan anda tercatat secara resmi.
milikilah salinan dari dokumentasi-dokumentasi tersebut dalam bahasa lokal.
Juga foto anda di rumah bersama keluarga; menunjukkan anda sebagai seorang
manusia sekaligus seseorang yang resmi, terutama bagi teman-teman baru di
kampong yang anda datangi.
Ketiga, dalam memasuki sebuah komunitas baru,
disarankan untuk bekerja dengan urutan berkenalan, kunjungan kehormatan ke
lembaga-lembaga pemerintah (bahkan kepala daerah), melalui hirarki birokrasi
hingga kementerian kebudayaan. Dari sini anda kemungkinan dapat memperoleh sejumlah
arahan: sekolah-sekolah musik negeri, musisi-musisi profesional yang berkiblat
ke Barat, agen-agen radio dan TV—semuanya penting (bahkan jika tak terencana
dalam penelitian anda). Jika tujuan anda adalah wilayah pinggiran, anda
membutuhkan perkenalan yang lebih jauh lagi. Saya beruntung pada saat
minggu-minggu pertama saya di India karena berjumpa dengan Shri Ram Sagar Singh
dari Universitas Hindu Banaras, yang tinggal di kampong tak jauh dari tempat
tersebut, dan ia adalah seorang penyanyi terkemuka. Dalam waktu 24 jam saya
mempelajari dan tertarik pada musik dehātī
(‘kampung’), lalu ia mengumpulkan para wanita di kampung tersebut agar
menyanyi untuk saya. Jika anda tidak seberuntung itu, anda dapat memilih seorang
penduduk setempat untuk menemani anda pada kunjungan pertama ke sebuah kampung
atau komunitas—mungkin seorang pegawai pemerintah dari kota terdekat.
Pertimbangkan keuntungan dan kerugiannya: pegawai pemerintah mungkin
mengintimidasi para penduduk kampung dan mencap anda sebagai seorang agen
pemerintah; namun, perkenalan resmi dapat memunculkan perhatian terhadap
pekerjaan anda dan bahkan penduduk kampung akan melindungi keselamatan anda.
Kiranya bijak untuk memulai dengan mendatangi
orang-orang terkemuka terlebih dahulu. Ketika memasuki sebuah kampong di india,
misalnya, sebaiknya kunjungilah pradhān (‘pemimpin’)
terlebih dahulu dan mintalah padanya untuk mengenalkan anda kepada para musisi.
Saya menggunakan metode ini selama penelitian lapangan di Distrik Gorakphur,
India. Di Kampung Felicity, Trinidad, saya tiba seorang diri dan lengsung
menuju ke sekolah dasar Hindu; ini merpuakan permulaan yang lebih bersifat
informal, menyusuri jalanan Karibia, dengan gaya kasual dan mengasyikkan. Di
Southall, London, saya hanya mendatangi sebuah kuil Hindu. Perkenalan kita
dengan komunitas yang didatangi bergantung pada kebiasaan-kebiasaan setempat;
mintalan saran dari para ilmuwan yang telah bekerja di wilayah itu dan orang
yang memang menggeluti bidang tersebut.
Terakhir, bersiaplah menghadapi pertanyaan-pertanyaan
yang tak terduga: Siapakah anda? Apa yang anda lakukan di sini? Siapa yang
membayar anda? (Apakah anda adalah seorang mata-mata?) Apa yang akan anda
lakukan dengan uang yang anda peroleh dari penjualan rekaman? Mengapa orang
melakukan pekerjaan ini?
Putuskan bagaimana anda harus menunjukkan diri
dan jangan takut salah. Anda akan segera mengetahui mana yang sesuai (Jones,
1973). Masyarakat setempat kemungkinan akan menyandangkan sebuah peran bagi
anda, seringkali yang terjadi adalah pemberian hubungan kekerabatan. Dalam
masyarakat Mbuti di hutan Ituri, Zaire, Colin Turnbull dianggap sebagai anak
(terlepas dari usianya yang sesungguhnya) dari sepasang suami istri yang tidak
memiliki keturunan. Perkembangannya dari
anggapan sebagai anak-anak berubah dengan cepat; pada kedatangan berikutnya, ia
dianggap sebagai seorang pria lajang—seorang anggota masyarakat (1986). Di
Karimpur, india Utara, Charlotte Wiser, yang pertama dating ke tempat itu pada
tahun 1925, dipanggil dengan sebutan dādī
(ibu dari ayah); Susan Wadley, yang mendatangi tempat itu pada tagun 1968,
dipanggil dengan sebutan buā (saudara
perempuan ayah); ketika saya mengunjungi tempat itu pada tahun 1986, para gadis
memanggil saya dengan sebutan dīdī (anak
perempuan ayah).
Buatlah peta geografis lokasi yang anda
datangi pada hari-hari pertama di tempat itu; berkelilinglah dengan berjalan
kaki, jelajahi dan buatlah sketsa peta. Dalam lingkungan-lingkungan perkotaan,
petakanlah jaringan-jaringan sosial. Bersikaplah agar tindakan anda membuat
peta dan melakukan sensus tidak membuat anda dianggap sebagai mata-mata atau
pengumpul pajak. (Papan alas tulis dan pensil yang anda bawa membuat orang
menjadi tidak nyaman). Bersabarlah. Bersipak santai dan nikmatilah awal
petualangan baru anda. Catatlah semua hal pertama yang membuat anda tertarik,
yang baik ataupun yang buruk. Para etnomusikolog lebih beruntung dalam berbagai
hal daripada para antropolog. Berbagai permasalahan ketika terjun ke lapangan
menghilang ketika musik dimulai.
KETERKEJUTAN BUDAYA DAN KETERKEJUTAN KEHIDUPAN Selama bulan pertama, ketika peneliti lapangan
mulai memiliki rutinitas sehari-hari, ‘keterkejutan budaya’ (cultural shock) dan ‘keterkejutan
kehidupan’ (life shock) muncul.
[1]Dalam pengertian tertentu, “transmisi
tradisi” adalah sesuatu yang rancu, sebab etimologi dari kata traditum yang berasal dari bahasa latin
sendiri memiliki arti diteruskan dari masa lalu ke masa kini (Shils 1981:12).
Saya menggunakan istilah “transmisi tradisi” untuk mengacu pada pengkomunikasian
berbagai materi musik dari satu orang ke orang lainnya, baik secara oral, aural
(berhubungan dengan pendengaran), atau tertulis, tanpa mempertimbangkan waktu
terkait materi yang ditransmisikan. Untuk kepentingan diskusi ini, saya
terutama akan memfokuskan pada peran pertunjukan musik secara langsung (live) dalam proses “transmisi tradisi”
ini, selain juga pada materi-materi musik yang dimediasi dan disampaikan
menggunakan teknologi seperti LP, kaset, atau CD.
[2]Bab ini, yang ditulis dengan dana
beasiswa dari National Endowment for the
Humanities sekitar tahun 1992-1993, merupakan pengembangan dari artikel
sebelumnya yang telah diterbitkan dengan judul “The Ethnomusicologist and the
Transmission of Tradition,” The Journal
of Musicology 14 (1):35-51, 1996. Versi terdahulu dari tulisn ini, yang
berjudul “Intersection of Life and
Scholarship: Human Relations in the Field,” telah dikirim ke Universitas Brown
pada tahun 1992. Saya berterima kasih kepada Gregory Barz dan Timothy Cooley,
baik atas undangan merekakepada saya untuk datang ke Brown maupun untuk
komentar-komentar mereka selanjutnya yang menghasilkan bab ini.
[3]Rosaldo mengemukakan bahwa “pengetahuan
relasional,” yang merupakan bentuk ekspresif bersama pada “wilayah perbatasan”
antara etnografer dengan “subjek,” “seharusnya tidak hanya dilihat
sebagaiwilayah-wilayah transisi yang kosong secara analitis, melainkan juga
sebagai tempat-tempat kreatif produksi budaya yang perlu untuk diselidiki”
(Rosaldo 1993 [1989:208).
[4]Bahkan forum-forum yang membosankan
seperti pertemuan-pertemuan bisnis dapat menyelenggarakan
[6]Panduan etika atau kode etik yang
diadopsi oleh berbagai masyarakan antropologi di Amerika sejak tahun 1949
dicetak bersama untuk pertama kalinya dalam Fluehr-Lobban 1991:237-69.
[8]Mark Slobin menekankan bahwa
persoalan-persoalan etika tidak dibicarakan secara keseluruhan dalam literatur
etnomusikologi hingga tahun 1970-an, dan bahwa kesadaran etika di lapangan
tetap sebatas berbentuk “janin” (Slobin 1992a:331). Kendatipun demikian,
diskusi Slobin tidak
_____________________________
1
Apa itu
Etnomusikologi?
Mendefinisikan
etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, sebab di kalangan mereka
yang menyebut dirinya sebagai etnomusikolog, terdapat perbedaan antara apa yang
telah mereka lakukan, yang kini sedang dilakukan, dan apa yang menurut mereka
seharusnya dilakukan. Guna tujuan-tujuan praktis, kiranya terlalu sederhana
ketika mengatakan para etnomusikolog di masa lalu adalah mereka yang mempelajari
musik di luar peradaban Barat, dimana sebagian kecilnya termasuk musik rakyat
Eropa. Dengan demikian, para etnomusikolog bekerja dalam sebuah wilayah yang
merupakan perbatasan antara musikologi secara umum dan juga antropologi budaya.
Musikologi, yang didefinisikan sebagai sebuah bidang yang meliputi studi ilmiah
dan objektif terhadap berbagai jenis musik dan dari berbagai pendekatan,
sesungguhnya memusatkan perhatian musik peradaban urban Barat, yakni musik
Eropa yang memiliki tradisi tulis. Dan ketika para musikolog konvensional bergelut
juga dengan musik dari berbagai kebudayaan lain, mereka seringkali menarik diri
dari bidang ini (musikologi) dan beralih menjadi etnomusikolog, dimana mereka
terkadang dianggap sebagai spesialis musikologis lain, tapi mereka juga
terkadang dianggap terpisah dari bidang ini namun masih memiliki keterkaitan.
Para antropolog, khususnya mereka yang berkosentrasi pada studi kebudayaan,
menyatakan bahwa seluruh kebudayaan di dunia adalah wilayah studi mereka; akan
tetapi kenyataannya sejauh ini mereka terutuma menghabiskan waktu dan ruang
dalam publikasi mereka tentang kebudayaan-kebudayaan di luar peradaban Barat.
Oleh karena itu para etnomusikolog, apapun definisi mereka (dan sejumlah
definisi ini didiskusikan di bawah), apa yang telah mereka kerjakan, di satu
sisi, merupakan musikolog khusus yang menyelidiki musik eksostis dan, di sisi
lain, merupakan antropolog yang menyelidiki musik sebagai fokusnya selain
aspek-apek lain kebudayaan manusia, juga di luar peradaban Barat
Para
etnomusikolog didukung oleh dua disiplin induk ini, dan pekerjaan mereka
terutama berangkat dari metode-metode yang dikembangkan dalam musikologi dan
antropologi budaya. Terlepas dari permasalahan dimana para sejarawan musik
relatif terlambat mengakui pentingnya data etnomusikologis, peran yang
dimainkan oleh etnomusikologi dalam musikologi umumnya sangat besar. Jelas,
konstribusi utamanya adalah kemampuan memenuhi kebutuhan para musikolog untuk
memahami semua musik, yakni, semua musik manusia dan bahkan (jika ada) fenomena
musikal dalam dunia hewan. Jika memang ada, penting kiranya bahwa fenomena yang
disebut terakhir, meskipun tidak termasuk dalam antropologi (yang didefinisikan
sebagai studi terhadap manusia) diam-diam juga menjadi perhatian para
etnomusikolog, sebab kemungkinan kebudayaan-kebudayaan eksotis dan perilaku
non-manusia memiliki elemen-elemen yang sama. Satu-satunya elemen yang
benar-benar umum di sini, tentu saja, keanehan dalam kaitannya dengan peradaban
Barat. Pada akhir abad ke-19, para musikolog merasa perlu untuk memiliki data
tentang musik dari kebudayaan-kebudayaan lain jika mereka berkeinginan untuk
memahami musik sebagai sebuah fenomena yang universal. Para psikolog musik—dan
sejumlah siswa yang mempelajari musik etnis pada awalnya berasal dari kelompok
ini—juga merasakan pentingnya penggunaan bahan-bahan dari berbagai kebudayaan
lain untuk menguatkan temuan-temuan mereka.
Akan
tetapi, para musikolog di abad ke-20 lebih mengarah sebagai ahli dalam musik
Barat. Para musikolog abad ke-19 kemungkinan lebih tertarik pada musik sebagai
sebuah fenomena universal daripada para penerus mereka di abad ke-20, yang
memandang bahwa perlu dan penting untuk berkonsentrasi pada aspek-aspek yang
sangat khusus dari tradisi musik Barat. Etnomusikologi terlihat hanya
memberikan sedikit kontribusi untuk penelitian yang khusus ini, namun demikian,
etnomusikologi memainkan sebuah peran. Hubungan musik Barat dengan musik-musik
Eropa tetangganya—musik dari Timur Dekat (Near
East), dengan tradisi musik Yahudi, musik India, dll.—dan musik-musik
lainnya, ikatan antara musik budaya tinggi (cultivated
music) atau musik urban dengan musik-musik yang tidak memiliki budaya
tulis, musik rakyat, cukup dekat pada beberapa periode dalam sejarah. Musik
seni Eropa selalu bertukar materi dengan tradisi kerakyatan yang ada di wilayah
geografisnya, dan berbagai pengaruh benua lain di Eropa kemungkinan menjadi
lebih kuat daripada yang umumnya diakui. Untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh
ini, guna mendeskripsikan berbagai gaya dan praktek musik dimana mereka
bermula, metode-metode etnomusikologi adalah perangkat yang dibutuhkan. Sebagai
contoh yang umum, studi mengenai asal-usul polifoni Eropa, yang dalam tradisi fine art diduga berasal dari abad-abad
pertengahan, melibatkan musik-musik non-Barat yang memiliki gaya-gaya polifonik
yang dapat dianalogikan atau mirip dengan yang ada di Eropa pada abad
pertengahan. Studi ini juga melibatkan pengetahuan tentang berbagai gaya musik
yang kemungkinan mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan, serta pengetahuan
akan musik rakyat (yang ada saat itu, atau yang ada setelah masa itu) yang
diduga dapat menyebabkan pertukaran berbagai gagasan dan materi-materi musikal.
Banyak contoh yang mengindikasikan potensi dan tugas etnomusikologi di masa
lalu terhadap studi sejarah musik budaya tinggi Barat (Western cultivated music); studi tentang polifoni abad pertengahan
adalah salah satunya. Data tentang berbagai gaya musik non-Barat dan musik
rakyat selalu tersedia untuk interpretasi yang tepat dari musik Barat.
Hal
serupa juga dapat dilakukan untuk kebutuhan informasi musik dalam antropologi.
Musik adalah salah satu dari beberapa fenomena kebudayaan yang universal, tidak
ada masyarakat yang tidak memiliki musik. Meskipun gaya musik di dunia amat
sangat beragam, terdapat homogenitas dalam perilaku musikal sehingga
identifikasi musik menjadi mungkin dan sederhana. Oleh karena itu, penting
kiranya bagi seorang antropolog untuk juga mengetahui sesuatu tentang perilaku
musikal dari masyarakat jika ia bermaksud untuk mengungkapkan sebuah kebudayaan
tertentu secara utuh. Ini terutama ditekankan bagi kebudayaan-kebudayaan—dan
sebagian besar kebudayaan—dimana musik memainkan peran yang penting dalam
kosmologi, filosofi, dan kehidupan seremonial.
Musik
terkadang digunakan sebagai bukti untuk teori-teori dalam antropologi. Temuan
E.M. von Hornbostel tentang penalaan panpipe
di Brazil yang identik dengan penalaan di sejumlah wilayah Oseania, agaknya
mengindikasikan kontak budaya prasejarah antara wilayah-wilayah ini—sebuah
permasalahan yang sedang dibicarakan. (Penting kiranya untuk dicatat bahwa
penafsiran Hornbostel ini menjadi sesuatu yang kontroversial; akan tetapi ini
tetap merupakan sebuah contoh klasik tentang data musikal dalam tugas yang
dijalankan oleh etnomusikologi.)
Berbagai
studi akulturasi, yakni, hasil dari kontak yang intim antara
kebudayaan-kebudayaan yang bertetangga, dapat lakukan lewat studi terhadap
musik (lihat Wachsmann 1961; Merriam 1955; dan Bab 8). Pengukuran statistik
dalam antropologi budaya dilakukan dengan menggunakan fenomena musikal, yang
lebih memudahkan untuk menghitung daripada menggunakan apspek-aspek kebudayaan
lainnya, misalnya religi, organisasi sosial, dan sebagainya (lihat Merriam,
1956). Akhirnya—mungkin ini adalah alasan lain terkait asosiasi dekat musik
dengan statistik dalam antropologi budaya—ada kemungkinan pembedaan antara isi
musik (musical content) dan gaya musik
(musical style), yakni, antara
komposisi-komposisi spesifik dan berbagai karakteristik yang terdapat pada
bagian-bagian dalam reperotar mereka (lihat Bab 6). Teori dan penelitian
etnomusikologis sangat dipengaruhi oleh kenyataan ini. Kiranya mungkin bagi komposisi-komposisi
individual, misalnya lagu-lagu, untuk berpindah dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya dan berubah dalam proses perpindahan tersebut, serta mungkin
pula untuk berbagai ciri gaya—tipe-tipe bentuk, tangganada, ritme—untuk
berpindah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan masuk ke dalam
lagu-lagu yang telah ada. Pembedaan ini, yang dapat lebih mudah dibuat dalam musik
dan bentuk-bentuk seni lainnya daripada hal-hal lain dalam kebudayaan, membuat
data musikal digunakan secara khusus oleh antropolog dalam menginterpretasikan
fenomena budaya.
Terlihat
bahwa etnomosikologi sangat dekat dengan musikologi sejarah dan antropologi
budaya. Dan ketika para etnomusikolog memiliki berbagai perbedaan terkait
definisi bidang dan dalam fokus mereka, kemungkinan tidak ada yang menyangkal
akan pentingnya dua wilayah studi yang berkaitan ini dalam pekerjaan mereka.
Peran etnomusikologi dalam dua bidang lainnya—folklor dan linguistik—juga harus
disebutkan. Secara jelas, musik dalam tradisi lisan (dan ini adalah bahan
mentah utama) merupakan sebuah bagian penting dari folklor, yang mencakup berbagi
aspek kebudayaan yang hidup dalam tradisi lisan, dan terutama yang meliputi
kratifitas artistik. Dan karena musik merupakan sebuah bentuk komunikasi yang
dalam beberapa hal berkaitan dengan bahasa, bidang etnomusikologi yang
mempelajari musik dunia, dapat mengkontribusikan dan masuk ke dalam bidang
linguistik, yang mempelajari bahasa-bahasa dunia. Kedua disiplin ini
berhubungan dekat terutama dalam mempelajari hubungan kata-kata dan musik dari
lagu-lagu.
Lingkup
Etnomusikologi
Guna
tujuan-tujuan praktis, kita dapat mengatakan bahwa etnomusikologi bergelut
terutama dengan tiga jenis musik. Karakteristik utama bidang ini dan sejarahnya
kemungkinan adalah musik dari masyarakat-masyarakat non-literasi, yakni yang
tidak mengembangkan sistem membaca dan menuliskan bahasa-bahasa mereka, dan,
sejalan dengan itu, memiliki kehidupan yang relatif sederhana. Sachs (1962) menyanggah
pandangan ini—seperti halnya sejumlah sarjana lain—karena ia meyakini ada atau
tidak adanya tulisan tidak menyebabkan perbedaan besar di antara tipe-tipe
kebudayaan. Masyarakat-masyarakat yang termasuk dalam kategori non-literasi
meliputi Indian Amerika, Negro Afrika, Oseania, Aborigin Australia, dan
berbagai suku di berbagai penjuru Asia. Kebudayaan-kebudayaan ini seringkali
disebut dengan “primitif,” akan tetapi istilah ini tidak dapat benar-benar
digunakan karena secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka dekat dengan
tahap awal dalam sejarah manusia (dimana tidak dapat dibuktikan sejauh mana
kebudayaan ini dikaitkan dengan tahapan ini) atau sangat sederhana (dimana
tidak selalu benar, misalnya sejumlah kebudayaan non-literasi memiliki
organisasi sosial yang sangat kompleks, ritual-ritual yang sangat rumit, seni,
dan tentu saja, gaya musik dan adat-istiadat yang meliputi musik). Selanjutnya,
anggota-anggota dari berbagai masyarakat non-literasi yang menguasai sebuah
bahasa dunia seperti bahasa Inggris (dan individu-individu seperti ini
meningkat jumlahnya) tidak menyukai ketika mereka disebut sebagai “primitif”
dalam berbagai tulisan tentang mereka. Oleh karena itu istilah “primitif”
secara perlahan-lahan mulai menghilang dari
literatur antropologi dan etnomusikologi. Istilah “pra-literasi” juga
pernah digunakan, akan tetapi ini merugikan karena merugikan karena secara
tidak langsung menyatakan sesuatu yang evolusioner, dengan rangkaian yang pasti
menuju ke literasi. Istilah “tribal” (kesukuan) juga ditemui, tetapi sulit
digunakan karena secara tidak langsung menyatakan jenis struktur sosial dan politik tertentu dimana
ini dimiliki oleh sebagian besar kebudayaan non-literasi, tetapi tidak seluruh
kebudayaan non-literasi. Jika sebuah kebudayaan tidak memiliki organisasi
tribal (kesukuan), kemungkinan musiknya dimasukkan dalam materi-materi lain
yang dibicarakan, yang disebabkan karena ketiadaan tradisi tulis. Kiranya sulit
untuk mendefinisikan kebudayaan-kebudayaan “tribal.” Dan oleh karena itu
istilah “non-literasi,” meskipun tidak semenarik ungkapan seperti “tribal” dan
“primitif,” sepertinya merupakan istilah yang paling deskriptif bagi kelompok
atau masyarakat-masyarakat yang diasosiasikan sangat dekat dengan
etnomusikologi.
Kategori
musik kedua yang selalu dimasukkan dalam lingkup etnomusikologi adalah musik
dari kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia dan Afrika Utara—Cina, Jepang, Jawa,
Bali, Asia Tenggara, India, Iran, dan negara-negara yang menggunakan bahasa
Arab. Ini adalah kebudayaan-kebudayaan yang memiliki musik yang mapan (cultivated music) yang dalam banyak hal
dapat disamakan dengan musik dalam peradaban Barat, dicirikan dengan
kompleksitas gaya yang tinggi, dengan bertumbuhnya musisi-musisi kelas profesional,
serta adanya notasi dan teori musik. Kebudayaan-kebudayaan ini telah memiliki
tulisan-tulisan tentang musik selama berabad-abad sehingga memungkinkan
digunakannya pendekatan historis seperti yang digunakan oleh sejarawan musik
Barat. Sesungguhnya tidak ada satupun dari bangsa-bangsa ini yang menggunakan
notasi musik sekompleks dan seeksplisit di Barat, dan kehidupan musikal, bahkan
di wilayah-wilayah urban (perkotaan) sekalipun, umumnya hidup dalam tradisi lisan
dimana individu-individu mempelajari musik dengan cara mendengarkannya dan
belajar tanpa menggunakan notasi tertulis. Oleh karena itu sulit kiranya untuk
membuat batasan yang jelas antara musik kebudayaan-kebudayaan non-literasi
dengan kebudayaan-kebudayaan tinggi oriental. Kunst menyebut yang terakhir ini
sebagai “tradisional” (Kunst 1959:1), dan literatur etnomusikologis, tanpa
memberikan klasifikasi yang lebih mendalam, hanya menyebut wilayah yang sangat
luas ini sebagai “oriental.”
Kategori
ketiga—dan ini tidak diterima oleh semua etnomusikolog—adalah musik rakyat,
yang didefinisikan sebagai musik dalam tradisi lisan yang ditemui di berbagai
wilayah yang didominasi oleh kebudayaan-kebudayaan tinggi. Dengan demikian
tidak hanya peradaban Barat yang memiliki musik rakyat, tetapi juga
bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Cina, dan lain-lain, tetapi tentu saja Barat
memainkan peran yang besar dalam penelitian. Musik rakyat umumnya dibedakan
dari musik masyarakat-masyarakat non-literasi karena memiliki wujud yang dekat
dengan musik yang mapan (cultivated music)
dimana keduanya saling bertukar materi dan musik rakyat mendapat pengaruh yang
besar. Musik rakyat dibedakan dari musik yang mapan (cultivated music) atau musik urban atau musik fine art karena ketergantungannya terhadap tradisi lisan, bukannya
notasi tertulis, dan, secara umum, dengan eksistensinya di luar
institusi-institusi seperti gereja, sekolah, atau pemerintahan. Dan ini
diterima sebagai bagian dalam etnomusikologi oleh banyak sarjana karena gaya-gayanya,
meskipun berhubungan dengan musik seni Barat, tetap cukup berbeda sehingga
mungkin untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang unik, manifestasi-manifestasi
eksotik musik yang membentuk inti dari etnomusikologi.
Pendekatan-Pendekatan
dalam Etnomusikologi
Seperti disiplin-disiplin baru pada umumnya, etnomusikologi
berhadapan dengan berbagai kritik (self-criticism)
dan inspeksi terhadapnya (self-inspection).
Sejak tahun 1950, sejumlah artikel ditulis terkait berbagai permasalahan dalam pendefinisian
lingkup etnomusikologi. Ketika tulisan-tulisan ini berkesan
kontroversi, para penulisnya tidak banyak memperdebatkan tentang
batas-batas luar serta apa yang menjadi penekanan dalam bidang ini; kecuali
beberapa diantara mereka, sepakat tentang lingkup dari etnomusikologi. Sebagian
besar dari mereka bersedia untuk memasukkan
seluruh kebudayaan di dunia, termasuk peradaban Barat, tetapi mereka menaruh
minat yang lebih pada musik non-Barat dan musik rakyat. Berbeda halnya dengan Jaap Kunst (1959:1), yang menekankan peran
tradisi lisan sebagai ciri yang membedakan. Curt Sachs, dalam sub-judul karya
generalnya tentang etnomusikologi (Sachs 1959), mengkhususkan bahwa Musik der Fremdkulturen (musik dari
kebudayaan-kebudayaan asing) merupakan bahan yang dipelajari dalam apa yang
tetap ia sebut sebagai vergleichende
Musikwissenschaft (musikologi komparatif—istilah awal etnomusikologi).
Marius Schneider (1957:1) yang berkebangsaan Jerman mengkhususkan pada musik
non-Eropa, dan menekankan pentingnya pekerjaan komparatif dalam pendefinisian
bidang ini. Rhodes (1956) cenderung mendukung sikap yang demikian.
Kendatipun
demikian, Kolinski (1957:1-2) mengemukakan bahwa wilayah geografis bukan
merupakan pendekatan umum yang membedakan bidang kita. Ia meyakini bahwa
etnomusikologi telah mengembangkan sebuah sudut pandang yang dihasilkan dari
studi terhadap berbagai kebudayaan yang beragam, tetapi juga dapat diterapkan
pada musik seni Barat. Gagasan bahwa subjek dari bidang ini harus dibatasi
secara geografis, yakni hanya dunia non-Barat, menuai berbagai keberatan dan
kritik. Akan tetapi terlepas dari dukungan banyak sarjana terkait keinginan
untuk memasukkan musik seni Barat, haruslah diakui bahwa seorang sarjana dapat
cukup objektif hanya dengan mempelajari kebudayaan di luar milik mereka
sendiri. Dengan mempelajari budayanya sendiri, ia kemungkinan akan berada dalam
kondisi dimana terlalu banyak prasangka dan asosiasi-asosiasi personal untuk
menjadi objektif—ini diyakini banyak etnomusikolog. Oleh karena itu diharapkan
musik Barat diselidiki dalam gaya etnomusikologis oleh sarjana Afrika atau
Asia, sementara para sarjana Barat dapat tetap terus mengkhususkan pada
kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
Selanjutnya,
Merriam (1960) menekankan perlunya penggunaan metode-metode etnomusikologis
secara universal. Seeger (“Whither
Ethnomusicology?”, p. 101) meyakini bahwa para sejarawan musik Barat telah
merampas nama “musikologi,” yang seharusnya tetap diteruskan bagi mereka yang
sekarang disebut dengan para etnomusikolog. Para sejarawan tersebut selanjutnya
dianggap sebagai spesialis dalam bidang yang lebih luas, katakanlah, seusia
dengan para sejarawan musik Cina. Ketika sebuah kasus digunakan untuk
membenarkan pendapat ini, tidak banyak pendapat terkait
penerimaannya dalam keterlibatan para sarjana. Akhirnya, Chase (1958:7)
mendefinisikan etnomusikologi sebagai “studi musik manusia kontemporer” (musical study of contemporary man),
termasuk orang Barat; tetapi tampaknya dalam definisi tersebut ia mengabaikan
studi historis musik mapan (cultivated
music) yang selalu dipelajari dalam bidang ini, serta penggunaan
bukti-bukti arkeologis dalam kebudayaan-kebudayaan non-literasi.
Dalam
hal penekanan, sebagian besar etnomusikolog sepakat bahwa struktur musik dan
konteks budayanya sama-sama harus dipelajari, dan keduanya harus diketahui agar
penyelidikan yang dilakukan memadai. Dalam penelitian yang dilakukan sebelum
tahun 1930, analisis dan deskripsi musik lebih memberatkan pada
pendekatan-pendekatan lain. Semenjak tahun 1950, di satu sisi, para
etnomusikolog Amerika yang berlatar belakang antropologi tampak condong pada
studi budaya musik secara lebih detail terhadap musik itu sendiri. (Merriam
1960:109-10) mengemukakan enam wilayah utama yang harus diperhatikan oleh
mereka yang mempelajari sebuah budaya musik, selain musik itu sendiri: (1)
instrumen, (2) lirik-lirik dalam lagu, (3) tipologi dan klasifikasi musik
lokal, (4) peran dan status para musisi, (5) fungsi musik dalam kaitannya
dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya, serta (6) musik sebagai aktifitas
kreatif. Merriam juga menekankan pentingnya penelitian lapangan, yakni, kebutuhan
etnomusikolog untuk mengumpulkan bahan mentah dan mengobservasinya dalam
kondisi “hidup” agar mereka dapat bekerja secara efektif. Lagipula, kemungkinan
tidak ada seorang pun yang membantah pentingnya penelitian lapangan. Kendatipun
demikian, kira-kira sebelum tahun 1940, harus diakui bahwa sejumlah sarjana
tidak mau atau tidak dapat pergi ke lapangan, dan apa yang mereka lakukan
adalah pekerjaan komparatif di laboratorium. Diasumsikan juga bahwa mereka yang
melakukan penelitian lapangan terkadang menghabiskan waktu di rumah untuk mengolah
musik yang dikumpulkan oleh orang lain—kemungkinan umumnya para antropolog—yang
dapat merekam tetapi tidak dapat menganalisis musik. “Para etnomusikolog di
belakang meja” ini, senada dengan Merriam (1960:113), semakin menjadi penting.
Kini, dapat dikatakan bahwa penelitian lapangan yang pokok dapat digantikan
dengan pengumpulan dan studi deskriptif para sarjana di negara-negara
berkembang, misalnya peneliti lapangan Amerika di Kongo dapat digantikan oleh
orang Kongo yang bekerja di wilayahnya sendiri. Selain itu, dapat dikatakan
juga bahwa seorang etnomusikolog yang benar-benar melakukan studi lapangan akan
sulit melakukan pekerjaan komparatif. Dan jika ia digantikan oleh peneliti
lapangan lokal (native fieldworker),
lalu apa fungsinya? Dapat dikatakan bahwa, selain penelitian lapangan, pendekatan
luas dan komparatif yang dilakukan di belakang meja, merupakan sebuah
kontribusi yang sangat esensial dari etnomusikologi. Senada dengan Seeger (“Whither Ethnomusicology?”, p. 104),
“siapa yang akan mendalami hasilnya? Dialah Hornbostel, dengan keobjektifannya
yang tinggi dan besar, dan dengan menggunakan dua teknik secara bersamaan (lapangan
dan komparatif) akan memberikan kita pemahaman tentang musik umat manusia.”
Pada satu sisi, beberapa orang dengan serius menolak pernyataan Merriam bahwa
pemhaman utama terhadap musik tergantung pada pemahaman tentang kebudayaan
masyarakat (Merriam 1964: 113).
Sejak
tahun 1953, sekelompok etnomusikolog Amerika mencoba untuk mencapai pemahaman
melalui apa yang dikemukakan oleh Merriam dengan menceburkan diri mereka ke
dalam kebudayaan-kebudayaan asing sebagai musisi-musisi aktif. Asumsi dasar
dari kelompok ini, yang dipimpin oleh Mantle Hood, dalam beberapa hal
menyamakan gaya musik dari sebuah kebudayaan dengan bahasa, sehingga dengan
kontak yang lama dengan sebuah budaya musik, seorang etnomusikolog dapat
menjadi sepadan dengan musisi lokal. Butuh pembelajaran dan praktik untuk
mempelajari bahasa kedua di luar bahasa yang dimiliki agar dapat menjadi
bilingual, maka butuh waktu dan kontak yang sering dengan kebudayaan musik lain
untuk menjadi bi-musikal (Hood 1960). Sejumlah etnomusikolog yang belajar
dengan guru-guru lokal (native masters)
menjadi cakap seperti halnya orang Siam, India, musisi-musisi Jepang. Seorang
anggota dari kelompok itu menjadi seorang spesialis hanya dalam satu atau dua
budaya musik asing. Pendekatan ini sangat berhasil, akan tetapi tampaknya
mengesampingkan kemungkinan pendekatan komparatif yang luas, karena seorang
Barat tidak lagi dapat menjadi cakap dalam berbagai budaya musik daripada
ketika ia belajar untuk berbicara banyak bahasa asing secara sempurna. Konsep
bi-musikalitas juga digunakan oleh apara etnomusikolog dari negara-negara
non-Barat yang tujuannya tidak hanya studi objektif terhdap musik mereka,
melainkan membentuk sebuah budaya musik dimana elemen-elemen Barat dan lokal
dipadukan. Pendekatan ini kemungkinan dapat disebut dengan “etnomusikologi
terapan,” dapat disepadankan dengan “antropologi terapan,” yang berfungsi untuk
membantu kelompok-kelompok non-Barat melalui proses akulturasi dengan peradaban
Barat. Sebuah pernyataan yang lebih komprehensif terkait sikap Hood diterbitkan
pada tahun 1963 (Hood 1963). Di sini Hood juga mengamati sejarah etnomusikologi
di Amerika.
Selanjutnya,
tampak bahwa bidang etnomusikologi memiliki inti—musik dari
kebudayaan-kebudayaan non-literasi, musik masyarakat-masyarakat oriental yang
sedang berkembang, serta musik rakyat dari Barat dan peradaban-peradaban
oriental—yang umumnya diterima sebagai bidang kompetensinya, dan ketidaksepaktan
hanya ada terkait pendefinisian batas-batas luar bidang ini dan dalam penentuan
apa yang menjadi fokus perhatian dan pendekatan. Kita dapat menyimpulkan
kesepakatan pendapat bahwa etnomusikologi, dalam kenyataan dan dalam teori,
adalah bidang studi yang mempelajari musik dunia, dengan menekankan kepada
musik di luar kebudayaan peneliti, dari sudut pandang deskriptif dan
komparatif. Penelitian lapangan dan analisis laboratorium, struktur musik dan
latar belakang kebudayaan, perbandingan luas dan spesialisasi yang lebih sempit
yang diasosiasikan dengan dikembangkannya bi-musikalitas, studi sinkronik dan
diakronik—kesemuanya relevan dan penting. Dengan demikian, dalam semua
pendekatan, objektifitas, penghindaran terhadap penilaian yang didasarkan pada
latar belakang budaya peneliti, dan diterimanya musik sebagai sebuah bagian
dari kebudayaan adalah hal-hal yang esensial.
Akhirnya,
kita dapat menanyakan lagi apakah para etnomusikolog seharusnya berurusan
dengan musik dari budaya tinggi Barat; dan jika ini dilakukan ini, bagaimana
membedakan mereka dari sejarawan musik Barat “biasa.” Jawaban saya secara
personal untuk pertanyaan pertama tidak terlalu tegas, “ya.” Pertanyaan kedua
akan dijawab sebagian dalam buku ini. Secara singkat, jawabannya adalah bahwa
para sejarawan musik Barat berkonsentrasi pada sejumlah aspek budaya musik, dan
terkadang mereka menerimanya sebagai sesuatu yang benar. Sebuh pendekatan
etnomusikologis terhadap musik Barat akan menyertakan peran musik dalam
kebudayaan, berbagai permasalahan praktek pertunjukan, notasi deskriptif versus
notasi pra-deskriptif, berbagai prosedur dan metode untuk mendeskripsikan musik
(yang hampir tidak tersentuh dalam musik Barat). Kesulitan mempelajari kebudayaan-kebudayaan
musik asing telah memaksa para etnomusikolog untuk mengembangkan metode-metode
guna menjamin objektifitas dan kritis terhadap bukti. Sejarawan musik Barat,
yang merupakan anggota dari kebudayaan yang dipelajarinya, tidak selalu
mempersoalkan objektifitas, dan pendekatan kritik dalam publikasi-publikasi
mereka sangat terasa dibandingkan dengan pendekatan ilmiah. Selanjutnya,
potensi utama kontribusi terhadap studi musik Barat adalah teknik-teknik yang
telah mereka kembangkan dalam studi kebudayaan-kebudayaan musik lainnya.
Berbagai
Kecenderungan dalam Sejarah Etnomusikologi
Sebuah
sejarah yang definitif dapat sulit dituliskan untuk sebuah bidang studi,
seperti halnya etnomusikologi, dimana ini merupakan sebuh bidang yang baru dan
mayoritas eksponennya masih hidup dan tetap aktif. Beberapa pengamatan singkat
terkait sejarah etnomusikologi telah hadir; Sachs (1962:5-32), Kunst (1959),
dan Nettl (1956:26-44) termasuk di sini. Sejarah ini sebenarnya merupakan pokok
dari buku ini dan hadir dalam aspek-aspeknya yang beragam dalam tiap bab. Tugas
kita adalah menyimpulkan berbagai kecenderungan ideologis dalam sejarah
etnomusikologi, yang terkadang tidak mudah sebab lebih banyak sarjananya ada
pada masa kini daripada masa lalu: kontribusi-kontribusi total serta sebagian
besar sudut pandang mereka menjadi sulit untuk dievaluasi sebab terjadi
perubahan pandangan-pandangan serta kontribusi-kon-tribusi penting mereka
kemungkinan digantikan oleh kontribusi lain yang lebih signifikan. Sejumlah
kecenderungan dapat dirasakan di negara-negara berbeda pada waktu yang
berbeda-beda pula, dan munculnya sarjana-sarjana terkadang memicu perubahan
mendadak dalam kecenderungan-kecenderungan ini karena begitu sedikit
orang-orang dalam bidang studi ini. Kendatipun demikian, sejumlah tendensi
tertentu telah terwujud, dan pengaruh dari berbagai disiplin telah menyebabkan
terjadinya pergeseran fokus serta perhatian yang bermanfaat dalam bidang ini.
Sebagai
sebuah bidang studi yang bergelut dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan
non-Barat, etnomusikologi merupakan sebuah disiplin lawas; akan tetapi sebagai
sebuah bidang studi dengan metode-metode modern dan peralatan serta sebuah nama,
etnomusikologi relatif baru. Dalam beberapa hal keberadaan etnomusikologi dapat
ditarik dari digunakannya materi musik rakyat, dan bahkan materi musik Asia,
yang dinilai sangat eksotik, oleh para komposer dipenghujung Abad Pertengahan
dan Renaissance. Kaum humanis dan rasionalis abad ke-18 dipastikan merupakan
semangat awal ketertarikan modern terhadap berbagai aspek perilaku manusia, dan
dalam hal ketertarikan seseorang akan sesuatu di luar kebudayaannya sendiri.
Sejarah etnomusikologi juga tidak terlepas dari Jean Jacques Rousseau, yang
menulis ensiklopedi musik terkenal yang memuat contoh-contoh musik rakyat,
musik Cina, dan musik Indian Amerika, diterbitkan pertama kali pada tahun 1767.
Berbagai deskripsi tentang musik oriental telah ditulis oleh para misionaris
pada penghujung abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dan minat terhadapmusik rakyat
Eropa cukup mencolok dalam dunia kesarjanaan di Eropa pada abad ke-18,
khususnya di Inggris dan Jerman.
Kemungkinan
kita dapat menganggap berbagai deskripsi tentang musik Cina oleh para
misionaris Perancis (du Halde, Amiot) serta pengumpulan lagu rakyat Jerman oleh
para filsuf dan filolog (seperti Herder dan Grimm bersaudara) sebagai bagian
dari tradisi kultural yang sama. Meskipun kedua kelompok ini berbeda latar belakang,
namun jelas bahwa keduanya dimotivasi oleh rasa perhatian terhadap nilai materi
musik yang asing bagi mereka. Mengherankan kiranya mendapati para misionaris,
yang tujuannya adalah menghadirkan kebudayaan dan religi Barat di Timur,
melakukan hal yang sebaliknya, yakni membawa musik Oriental (Timur) ke Barat.
Kecuali itu, diduga bahwa para penyair masa Romantik menaruh perhatian pada
lagu-lagu dari masyarakat pedesaan. Berbagai koleksi individual seperti Herder
(lihat Pulikowski 1933) dan risalah teoretis tentang folklor oleh mereka yang
oleh Dorson (1955) disebut sebagai kelompok ahli folkor Inggris pertama dengan
cepat menimbulkan dampak yang berarti terhadap perkembangan etnomusikologi.
Akan tetapi, di satu sisi, sesungguhnya tidak begitu banyak hubungan antara
para kolektor lagu rakyat pada Abad ke-19, para misionaris seperti Amiot, dan
para sejarawan musik Barat yang juga mempelajari Timur, misalnya Kiesewetter,
dan di sisi lain, hubungan antara para pendiri disiplin etnomusikologi.
Meskipun
etnomusikologi biasanya, secara tersirat, dianggap jauh lebih muda daripada
musikologi sejarah, dalam pengertian modern terkait nama mereka, dua bidang ini
bermula pada dekade yang sama. Musikologi umumnya dianggap dimulai pada tahun
1855 dengan terbitnya Vierteljahrschrift
für Musikwissenscahft, yang dipelopori oleh Philipp Spitta, Friedrich
Chrysander, dan Guido Alder. Para sarjana ini membedakan antara sejarah musik
dan hal yang agaknya lebih ilmiah serta beberapa cara pendekatan saintifik
terhadap musikologi, yang tidak hanya mencakup sejarah musik Barat tetapi juga
berbagai aspek “musikologi sistematik”—teori musik, akustika, psikologi musik,
serta studi sinkronik terhadap musik dari kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
Volume kedua Vierteljahrschrift für Musikwissenscahft
memuat tonggak bersejarah dalam etnomusikologi: studi yang dilakukan Carl
Stumpf terhadap lagu-lagu Indian Bella Coola (Stumpf 1886), yang oleh sejumlah
kalangan dianggap sebagai terbitan etnomusikologis yang sesungguhnya karena ini
merupakan sebuah studi gaya musik dari suatu suku dengan penekanan pada
struktur tangganada dan melodi (lihat juga Bab 2).
Jaap
Kunst (1959:2-3) tidak menganggap Stumpf sebagai etnomusikolog pertama yang
sesungguhnya, tetapi lebih menempatkan A.J. Ellis pada posisi terhormat ini.
Karya besar Ellis (Ellis 1885) tidak berselang lama dari karya Stumpf dan
menunjukkan dekatnya waktu antara lahirnya musikologi sejarah dan etnomusikologi.
Kunst menganggap Ellis sebagai tokoh penting karena kontribusinya dalam hal
metodologi—apa yang disebut sebagai sistem cent dalam pengukuran interval
ditemukan olehnya—daripada karena penyelidikan terhadap gaya musik individual
atau kebudayaan. Siapapun dari sarjana ini yang dianggap sebagai pendiri bidang
kita yang sesungguhnya, yang pasti bidang ini dimulai pada tahun 1880-an, yakni
saat dimana musikologi sejarah juga dimulai.
Etnomusikologi
tidak berkembang dari sebuah disiplin; akan tetapi, dari beberapa disiplin yang
menyatu, kurang lebih pada saat yang bersamaan, namun kemungkinan tidak
bersamaan pada musik berbagai kebudayaan non-Barat. Carl Stumpf kemungkinan dapat
dianggap sebagai wakil dari bidang psikologi, dimana salah satu pembahasannya
tentang permasalahan tesebut diterbitkan secara luas, dan baik dirinya maupun
Erich M. von Hornbostel yang terkenal itu bekerja di “institut psikologi”
Universitas Berlin. A.J. Ellis adalah seorang filolog dan ahli matematika. Walter
Fewkes adalah seorang antropolog; sementara Frans Boaz, antropolog yang
memiliki pengaruh besar terhadap para etnomusikolog Amerika, membawa metode-metode
dari bidang studinya yang pertama, yakni geografi dan fisika, ke dalam bidang
studinya saat ini. Para sejarawan musik Barat yang menonjol pada saat yang
bersamaan dengan hadirnya terbitan-terbitan etnomusikologis pertama—Adler,
Spitta, Chrysander—menaruh perhatian dan pengakuan terhadap cadang baru dari
disiplin mereka, akan tetapi kontribusi dan pengaruh mereka terhadap cabang
disiplin baru ini relatif kecil. Masa-masa setelah itu, dan bahkan selama tahun
1940-an dan 1950-an, para etnomusikolog yang berasal dari kalangan sejarawan
musik terlihat lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari para antropolog dan
ahli folklor, dan ketika bidang musik tidak lagi mengkontribusikan sarjana
terhadap bidang ini, kemungkinan besar, yang ada adalah para musisi praktek
atau komposer ketimbang sejarawan.
Banyaknya
disiplin yang mengkontribusikan personil membuat etnomusikologi menjadi sebuah
bidang studi yang hanya memiliki sedikit metodologi yang terpusat. Kita tidak
dapat mengatakan bahwa satu tradisi secara tunggal membentuk metode kita.
Sebuah bidang studi yang bertujuan besar, yakni untuk memahami seluruh musik di
dunia dalam konteks budayanya, perlu untuk mengambil pengalaman dari berbagai
bidang studi. Keragaman asal-usul kita merupakan sebuah kelebihan dan bukan
kekurangan, bahkan pada saat-saat dimana keadaan ini merupakan penghalang bagi
komunikasi yang jelas. Akan tetapi, pada masa awal etnomusikologi, pentingnya
para sarjana yang berorientasi psikologis dan matematis memiliki konsekuensi
yang luas. Secara karakteristik, apa yang diperkenalkan oleh Ellis bahwa
interval-interval harus diukur secara objektif, dan penemuannya terhadap sistem
cent dimana tiap jarak paruh nada (halftone)
dibagi menjadi masing-masing 100 bagian yang sama (cent) mendorong deskripsi
yang objektif terhadap tangganada.
Pentingnya
penemuan perekaman suara terhadap perkembangan etnomusikologi tidak terperikan.
Semenjak dilakukannya rekaman paling awal, mereka yang mempelajari musik
non-Barat mulai menggunakan metode yang bagus ini untuk mengawetkan suara dari
sebuah pertunjukan musik, sebagai cara untuk mengumpulkan bahan mentah mereka
dan untuk membantu dalam analisisnya. Umumnya diyakini bahwa rekaman-rekaman
pertama terhadap musik non-Barat dilakukan oleh Walter Fewkes, yang membuat
silinder-silinder Edison untuk lagu-lagu Zuni dan Indian Passamaquoddy pada
tahun 1889. Rekaman fonografis terhadap musik etnis dilakukan oleh pra sarjana
Amerika lainnya, misalnya Frances Densmore, dan tidak lama setelah rekaman
Fewkes itu dimulai, seorang pelopor berkebangsaan Jerman, yakni Carl Stumpf,
juga menerbitkan sebuah hasil studi musik Indian (Stumpf 1892) yang berdasarkan
atas materi-materi rekaman. Perlunya menggunakan rekaman dalam studi musik
non-Barat tak pelak lagi bagi mereka yang melakukan studi tersebut. Mereka
dihadapkan pada suara yang terdengar kacau-balau, yang tidak memiliki makna
musikal bagi telinganya yang berorientasi musik Barat, sehingga mereka butuh
berulang kali mendengarkan agar memungkinkan mereka untuk mereduksi kadar yang
tidak dikenal menjadi sesuatu yang dapat diterima dalam pikirannya sebagai sebuah
sistem. Dalam wilayah musik rakyat, kebutuhan berbagai studi yang berdasarkan
atas rekaman tidak serta-merta menjadi umum setelah itu. Mereka yang
mempelajari musik rakyat berpikiran bahwa yang dihadapi adalah jenis musik yang
gayanya telah akrab dengan mereka melalui pergaulan dengan musik mapan Barat (Western cultivated music), dan karena
lagu-lagu rak-yat telah ditulis dan diterbitkan dalam berbagai kumpulan selama
beberapa dekade. Akan tetapi keadaan ini tidak lagi ada hingga Béla Bártok
(yang notasi-notasinya, berdasarkan atas rekaman, sangat berbeda dari yang
diperkenalkan dalam kumpulan-kumpulan lagu rakyat komersial) menunjukkan bahwa
metode-metode etnomusikologis dalam penotasian musik menghasilkan sebuah
halaman tentang musik yang terlihat cukup berbeda dari halaman-halaman dalam
kumpulan-kum-pulan lagu rakyat lawas, serta mulai mempublikasikan studi-studi
saintifiknya tentang musik rakyat Hungaria dan Eropa Timur lainnya, hingga lagu
rakyat Eropa secara rutin mulai menjadi bagian dalam berbagi proses perekaman
lapangan dan pentranskripsian.
Setelah
praktek rekaman menjadi mapan pada peralihan abad ke-19, banyak individu yang
bukan dari bidang musik atau tidak menaruh perhatian khusus pada musik mulai
membuat rekaman-rekaman terhadap musik dalam kebudayaan-kebudayaan yang dekat
dengan mereka. Menjadi jelas bahwa proses-proses kolonisasi dan pembaratan (Westernization) berbagai masyarakat
cukup menimbulkan perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan musik di dunia, dan
banyak gaya musik menghilang seketika. Ini juga berlaku di Eropa dan Amerika
utara, dimana urbanisasi dan industrialisasi menjadi ancaman yang memungkinkan
hilangnya gaya-gaya musik rakyat. Inilah yang mendorong para antropolog dan
ahli folklor melakukan perekaman musik, dan karena pekerjaan perekaman ini
tidak membutuhkan keahlian khusus tentang musik, sejumlah besar silinder, dan
kemudian, piringan-piringan, dibuat dan diserahkan kepada para etnomusikolog,
yang bekerja di laboratorium untuk kepentingan transkripsi dan analisis.
Besarnya materi yang dikumpulkan tidak semuanya langsung dapat ditangani oleh
para etnomusikolog, sehingga pembuatan tempat penyimpanan arsip menjadi hal
yang penting.
Gagasan
untuk memiliki tempat untuk penyimpanan, pengolahan, pengklasifikasian dan
pembuatan katalog untuk rekaman-rekaman etnomusikologis menjadi utama dalam
bidang ini dan mengarah kepada pengembangan sebuah wilayah pengetahuan dan
keahlian khusus dalam etnomusikologi. Arsip, dalam sebuah pengertian, sama
dengan perpustakaan dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang juga menjadi hal penting
dalam penelitian.
Tempat
arsip yang paling terkemuka di Eropa adalah Phonogramm
archiv di Berlin, yang didirikan pada tahun 1900 oleh Carl Stumpf dan Otto
Abraham terutama untuk menyimpan silinder-silinder yang dibawa oleh para
etnolog Jerman. Selama beberapa dekade, lembaga arsip ini berfungsi sebagai
model bagi lembaga-lembaga arsip yang didirikan di tempt-tempat lain, khususnya
di Amerika Serikat, dimana seseorang yang dahulu merupakan asisten di arsip
Jerman, yakni George Herzog, kemudian membangun membangun tempat seperti itu di
Universitas Columbia untuk koleksi-koleksi serupa yang pada tahun 1948 dipindahkan
ke Universitas Indiana. Semenjak Perang Dunia II, peran utama di kalangan
lembaga-lembaga arsip dipegang oleh lembaga yang dipimpin oleh Herzog, yang
dikenal dengan Archives of Folk and Primitive
Music (dimana pada tahun 1954 kemudian dipimpin oleh George List), dan oleh
Library of Congress’s Archive of Folk
Song. Terkait sejarah berbagai lembaga arsip di Eropa, lihat
terbitan-terbitan Folklore and Folk Music
Archivist, serta karangan-karangan Kunst (1959), Herzog (1936), dan
Hornbostel (1933). Sejarah tentang arsip adalah sesuatu yang menarik sehingga
sebuah volume seluruhnya disediakan untuk permasalahan ini: kita hanya dapat
menyebutkan institusi-institusi individual yang paling penting.
Sebagian
besar lembaga arsip memiliki rekaman-reka-man sebagai minat mereka yang utama;
berbagai informasi tentang latar belakang
(lihat Bab 3) rekaman-rekaman tersebut juga termasuk, tetapi
notasi-notasi biasanya bukan merupakan bagian dari koleksi, meskipun di arsip
Universitas Indiana serta Phonogrammarchiv
Berlin memiliki daftar publikasi yang didasarkan atas rekaman-rekaman yang
mereka miliki. Kendatipun demikian, sejumlah arsip lagu rakyat Eropa sebagian
besar terdiri dari transkripsi, dan baru belakangan menambahkan rekaman-rekaman
dalam koleksi mereka. Kemungkinan yang paling menonjol dari lembaga-lembaga
arsip ini adalah Deutsches Volksiedarchiv
di Freiburg-im-Breisgau. Di sini disimpan manuskrip-manuskrip serta rekaman
berbagai versi/terjemahan lirik dan musik dari lagu-lagu rakyat Jerman.
Berbagai kekurangan dari koleksi manuskrip jika dibandingkan dengan rekaman
didiskusikan pada Bab 4 buku ini. Akan tetapi, arsip seperti yang ada di
Freiburg memberikan keuntungan, yakni memungkinkan dilakukannya pembuatan
indeks dan katalog dengan seksama karena materi yang dimiliki daripada koleksi
yang hanya terdiri dari rekaman. Arsip di Freiburg memiliki sejumlah katalog
dan indeks, yang memungkinkan dilakukannya identifikasi lagu-lagu sesuai tipe,
tempat dikumpulkan, frase pertama nada-nadanya, nada-nada yang berkaitan dengan
musik rakyat Eropa di luar Jerman, sumber-sumber tercetak, dan sebagainya. Tipe
pembuatan katalog seperti ini tidak memiliki dampak yang besar pada arsip-arsip
yang berkonsentrasi pada musik-musik non-Barat, akan tetapi ini meningkat
menjadi salah satu aspek dalam pengarsipan etnomusikologis. Secara ringkas,
kita harus menekankan bahwa perkembangan arsip telah menjadi sesuatu yang amat
penting. Pada tahun 1960-an, arsip-arsip di berbagai negara, regional dalam
negara besar seperti di Amerika Serikat, serta kelembagaan yang lebih sederhana
benar-benar menjamur; dan salah satu tugas etnomusikologi di masa mendatang
mengarah pada orientasi bagian (piece)
individual dari musik, daripada—seperti yang diharapkan sejumlah
kalangan—mengarah pada perilaku musikal dari berbagai kebudayaan. Dan kenyataan
ini sejalan dengan latar belakang pengembangan arsip serta penekanannya
terhadap pengidentifikasian dan diciptakannya berbagai pendekatan terhadap
karya spesifik dari musik. Kenyataan bahwa arsip, pada satu tataran,
mengabaikan konteks budaya dari musik kemungkinan merupakan sesuatu yang
relatif diabaikan dari fase penting ini dalam etnomusikologi hingga belakangan
ini.
Etnomusikologi
di Amerika Serikat
Di
Amerika Serikat, sejak tahun 1900 etnomusikologi telah memiliki posisi yang
relatif lebih menonjol jika dibandingkan dengan di Eropa. Kami telah menyinggung
kegiatan-kegiatan perekaman pertama oleh Walter Fewkes, yang belakangan menjadi
direktur Bereau of American Ethnology (sebuah
institusi yang selama abad ini mensponsori banyak penelitian tentang musik
Indian termasuk kegiatan rekaman besar-besaran yang dilakukan Frances
Densmore). Para siswa Amerika yang mempelajari kebudayaan non-Barat seketika
itu mulai menyadari bahwa musik adalah sebuah aspek perilaku manusia yang
benilai dalam kebudayaan apapun; akan tetapi rekan-rekan mereka dari Eropa, dengan
beberapa pengecualian menunjukkan kurangnya ketertarikan terhadap musik di luar
perekaman-perekaman lapangan—yang tentu saja merupakan sebuah kontribusi berharga.
Di Amerika Serikat, sejumlah antropolog menjadi aktif dalam studi
rekaman-rekaman, transkripsi, analisis, dan sebagainya. Dan institusi-institusi
antropologis adalah salah satu yang mendukung para sarjana yang bergelut dengan
musik non-Barat. Kemungkinan ini terkait dengan sikap Frans Boaz, seorang
imigran Jerman yang umumnya dianggap sebagai tokoh yang memunculkan pendekatan
antropologi yang berbeda di Amerika dengan penekanan pada penelitian lapangan,
mendeskripsikan kebudayaan-kebudayaan secara utuh, serta perhatian dalam hal
psikologi. Boas sendiri melakukan rekaman lapangan di pantai barat laut Amerika
Serikat dan Kanada, serta membuat sejumlah transkripsi. Ia juga melatih
sejumlah peneliti yang kemudian menjadi sarjana yang menonjol (antara lain
George Herzog), dan yang kemudian fokus pada peran seni dalam karya-karya
mereka. Tradisi berlatar belakang antopologis ini dalam etnomusikologi Amerika
(berlawanan dengan latar belakang musikologis yang umum di Eropa) berlangsung
hingga tahun 1950-an. Tentu saja pernyataan bahwa tradisi ini seharusnya tidak
dilakukan secara harafiah menginikasikan adanya sebuah tendensi; banyak yang
tidak demikian, dan banyak pula sarjana individual yang berada pada posisi
netral. Halam hubungannya dengan para sarjana lain, etnomusikolog (senada
dengan Sachs 1962:15) “berada pada posisi netral antara musikologi dan
etnologi.” Akan tetapi dalam satu tataran ini menyebabkan etnomusikologi dipenuhi
oleh orang-orang yang berasal dari salah satu disiplin tersebut di atas, yang kemudian
menemukan berbagai hal menarik dan penting.
Para
etnomusikolog Amerika yang mendekati lapangan mereka sebagai antropolog, tentu
saja, seringkali masuk dari bidang musik ke dalam antropologi. Beberapa
diantara mereka merupakan musisi praktek (terutama para musisi jazz) yang
berkeinginan untuk mempelajari akar bidang seni mereka yang berasal dari seni
rakyat dan non-Barat. Sejumlah lainnya adalah para siswa sejarah musik Barat
yang mempelajari musik dari kebudayaan-kebudayaan lain karena kepentingan akademis
seperti tuntutan untuk mengambil pelajaran “musikologi komparatif.” Lainnya
merupakan para siswa antropologi, yang ketika mendengarkan contoh-contoh musik
Afrika menjadi terdorong untuk mengeksplorasi musik eksotis lebih jauh dengan
berbekal pelajaran piano yang dulu pernah mereka ikuti. Secara karakteristik,
mereka adalah musisi yang ketika masa studinya memperoleh rangsangan antropologi,
yang kemudian melakukan pendekatan dalam etnomusikologi sebagai seorang
antropolog. Kiranya jarang seorang siswa yang mempelajari kebudayaan, sebagai
siswa tingkat sarjana, sejak awal menunjukkan ketertarikan terhadap musik dan
mulai mengembangkan pengetahuan tentang musik yang diperlukan untuk melakukan
pekerjaan etnomusikologis yang detail. Kemungkinan keahlian musik yang
dibutuhkan untuk keperluan transkripsi dan analisis harus sudah dimiliki lebih
dini, atau paling tidak sedikit demi sedikit dari buku yang tentunya juga
membutuhkan beberapa jam latihan di laboratorium. Hingga belakangan ini, antropolog
Amerika yang tidak memiliki latar belakang musik terkadang menghindari
melakukan studi musik selain membuat rekaman-rekaman sederhana di lapangan.
Oleh karena itu, ketika mereka melihat pentingnya musik dalam kebudayaan dan
mendukung para etnomusikolog dalam lingkungan mereka, para antropolog Amerika
sendiri tidak begitu aktif dalam menjelaskan perilaku musikal. Akan tetapi, ada
sejumlah pengecualian yang perlu dicatat, dan ini hanya merupakan sebuah
tendensi. Sejak tahun 1940-an, terdapat sejumlah upaya, terutama oleh Melville
J. Herskovits, Alan P. Merriam, Richard A. Waterman, dan lain-lain, yang
mendukung para antropolog yang tidak memiliki latar belakang musik untuk secara
langsung mempelajari paling tidak aspek-aspek tertentu dari perilaku musikal
yang tidak membutuhkan analisis musik secara teknis (lihat Merriam 1960).
Kecenderungan-kecenderungan
serupa juga terlihat dalam institusi-institusi Eropa pada tahun 1950-an. Akan
tetapi dalam sebagian besar kasus, para sarjana Eropa benar-benar merupakan
musikolog terlatih yang belakangan beralih ke etnomusikologi dan menggali
informasi antropologis yang dibutuhkan ketika mereka telah menjadi
sarjana-sarjana yang matang. Sebagai sejarawan musik, mereka seringkali beralih
kepada musik seni dari bangsa-bangsa Asia, meskipun mereka juga menunjukkan
perhatian terhadap kebudayaan-kebudayaan non-lite-rasi. Setelah tahun 1950-an,
para etnomusikolog Amerika terutama merupakan siswa yang mempelajari apa yang
mereka sebut sebagai “musik primitif dan musik rakyat.”
Sejak
awal tahun 1950-an, tiga kecenderungan penting telah mengubah gambaran disiplin
ini. Kemungkinan yang paling jelas dari tiga kecenderungan penting ini adalah
konsep bi-musikalitas sebagai sebuah cara untuk bergelut secara ilmiah dengan
musik dari kebudayaan-kebudayaan lain, serta melakukan pertunjukan aktif dan
bahkan mengkomposisi musik dalam idiom budaya lain sebagai sebuah cara untuk
mempelajari esensi gaya dan perilaku musikal budaya tersebut. Konsep yang
pertama kali dikembangkan oleh Mantle Hood di University of California Los Angeles
ini berdampak besar terhadap musisi-musisi di Amerika Serikat serta menyebabkan
disiplin etnomusikologi mulai keluar dari jurusan-jurusan antropologi dan
ditempatkan dalam jurusan-jurusan musik, dimana tindakan ini sebelumnya dianggap
sebagai sesuatu yang sembrono. Para mahasiswa dari aliran pemikiran baru ini
terjun ke lapangan tidak sebagai seorang etnografer sepenuhnya, melainkan
sebagai seseorang yang akan belajar, dan para mahasiswa ini antara lain
bermaksud mencari guru-guru lokal yang kompeten untuk mengajari mereka
seni-seni musik yang dimiliki, seperti halnya guru-guru lokal itu mengajari
murid-murid setempat. Tentu saja, pendekatan ini tampak terlalu sederhana
ketika masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan yang telah memiliki cara khusus
untuk membicarakan masalah musik, sebuah sistem teori musik, dan tradisi
pengajaran musik. Ini umumnya ditemui dalam kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia.
Para murid Mantle Hood mulai mengajar etnomusikologi di sejumlah lembaga
pendidikan tinggi, sehingga musik oriental mulai memainkan peran yang lebih besar
dalam etnomusikologi sejalan dengan dipraktekkannya musik-musik tersebut di
Amerika. Pendekatan yang lebih tradisional, yakni yang bersifat antropologis,
terus berjalan dengan pendekatan baru dalam etnomusikologi, akan tetapi para
antropolog pun, misalnya David P. McAllester, sangat terpengaruh dengan gagasan
bahwa pertunjukan aktif, seperti halnya observasi pasif, sangat berguna dalam
mempelajari budaya musik di luar latar belakang budaya peneliti. Perlu kiranya
ditambahkan bahwa ketika pendekatan dengan pertunjukan atau bi-musikalitas
sangat membantu, seorang mahasiswa yang baru saja diterima sebagai musisi lokal
Indian atau Jepang, sesuai dengan sifatnya, belumlah menjadi seorang
etnomusikolog, karena mereka belum memberikan kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan tentang musik dunia: para mahasiswa itu baru mempersiapkan diri
mereka untuk memberikan kontribusinya di waktu mendatang.
Kecenderungan
kedua pada tahun 1950-an adalah meningkatnya perhatian etnomusikolog terhadap musik
kontemporer dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kecenderungan untuk melihat materi
yang “murni” atau “otentik”, yang belum memperoleh pengaruh dari musik Barat
secara bertahap memunculkan sikap bahwa materi musik seperti inilah yang
merupakan objek yang harus dipelajari, dan dugaan terkait kapan atau sejauh
mana musik-musik ini terpengaruh oleh budaya-budaya musik lain, tidaklah
menjadi kriteria yang tercakup dalam studi etnomusikologis, meskipun ini
merupakan permasalahan penting. Ketertarikan terhadap berbagai proses pengaruh
musik Barat menjadi terhambat untuk studi musik-musik non-Barat, dan, akhirnya,
dalam studi etnomusikologis terhadap budaya tinggi Barat, minat ini tampak
semakin meningkat. Di sini, etnomusikologi selanjutnya diikuti oleh
kecenderungan antropologi Amerika, sejalan dengan berbagai pandangan bahwa
metode-metode antropologis harus digunakan untuk mempelajari budaya milik
antropolog sendiri, tidak hanya budaya-budaya di luar budaya antropolog. Sejak
Perang Dunia II, para antropolog di Amerika Serikat mencurahkan tenaga lebih
banyak untuk mengkaji budaya Amerika (lihat, misalnya, terbitan khusus American Anthropologist, vol. 57, no. 6,
1955), dan para peneliti dengan latar belakang budaya lain mulai bekerja dalam
budaya mereka sendiri. Munculnya kesarjanaan musik yang demikian juga terjadi
di negara-negara dengan masyarakatnya yang non-literasi sehingga memungkinkan
mahasiswa etnomusikologi (di negara-negara tersebut) untuk bekerja dalam
budayanya sendiri. Seperti halnya para antropolog yang menjadi bertabrakan
dengan para sosiolog, sejarawan, psikolog musik, dan lain sebagainya keika
mengikuti minat ini, para etnomusikolog dapat berjalan dengan saudara mereka,
para sejarawan musik Barat kontemporer, psikolog musik, dan lainnya. Akan
tetapi para etnomusikolog di Amerika Serikat umumnya sangat merasa bahwa berbagai
metode dan pendekatan yang mereka pelajari untuk menghadapi musik di luar
kebudayaan mereka akan sangat berguna ketika diaplikasikan pada musik seni Barat,
dan metode-metode ini dapat mengungkap hal-hal yang umumnya tidak dapat
dilakukan oleh para musikolog. Apakah ini benar tampaknya perlu dilihat
kembali; akan tetapi, terutama dalam wilayah perbandingan dan berbagai studi
yang melibatkan musik sebagai sebuah konsep universal, sudut pandang etnomusikolog
akan berguna. Seperti halnya yang dilakukan sejumlah etnomusikolog pertama yang
mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang asing bagi mereka karena keinginan untuk
mencari tahu tentang perilaku musikal manusia secara umum, yang tidak dapat dilakukan
dengan berangkat dari kebudayaan para etnomusikolog itu, etnomusikolog modern,
yang tetap bertujuan untuk mempelajari budaya musik manusia, merasa perlu juga
untuk memasukkan kebudayaan paling kompleks dalam studi mereka, bersama-sama
dengan budaya-budaya non-barat dan budaya-budaya kerakyatan (folk cultures) yang secara tradisional
memang merupakan bagian dari disiplin ilmu ini.
Kecenderungan
ketiga adalah penyelidikan budaya musik tanpa analisis dan deskripsi gaya
musik, tetapi melalui penelitian lapangan, dimana peran musik dan aktifitas
musikal individual diteliti. Dampak antropologi dalam sikap ini telah
disebutkan di atas. Kita seharusnya juga melihat faktor lain, bertumbuhnya
industri rekaman yang tiba-tiba, sehingga tersedia rekaman-rekaman komersial
dari musik non-Barat dan musik rakyat dalam jumlah besar, yang umumnya memiliki
kualitas sebagai hasil penelitian yang sempurna. Salah satu dampak dari
menjamurnya rekaman-rekaman ini adalah perasaan frustasi pada sebagian
etnomusikolog yang harus menghabiskan berjam-jam untuk menotasikan sebuah lagu,
dan perasaan bahwa mungkin untuk menganalisis bagian yang cukup berarti dari
perilaku musikal tanpa perlu menggunakan notasi. Dengan demikian munculnya rekaman
yang bersifat massa cenderung melemahkan jenis studi yang detail terhadap
bagian-bagian individual dari musik, dan menguatkan kecenderungan, yang telah
ada dalam antropologi, yakni lebih condong mendeskripsikan perilaku musikal
daripada gaya musik. Ketika penekanan dilakukan pada konteks budaya dari sebuah
musik, diharapkan tidak terjadi penurunan yang substansial dalam studi teknis
musik itu sendiri.
Tiga
kecenderungan penting pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dijelaskan di sini
sangat tampak di Amerika Utara. Para etnomusikolog Eropa umumnya tetap
melakukan berbagai tradisi kokoh yang dikembangkan pada tahun 1920-an; dan
kontribusi-kontribusi mereka besar. Minat terhadap tipologi musik, terhadap
hubungan antara musik rakyat dan musik seni, serta terhadap persebaran
geografis gaya musik antara lain merupakan fokus dalam etnomusikologi Eropa
semenjak Perang Dunia II. Akan tetapi sejak tahun 1955, hubungan dan saling
ketergantungan antara para sarjana Eropa dan Amerika, seperti dalam hal teori
dan metode, telah bertumbuh dengan mantap.
Bibliografi
Chase, Gilbert (1958). “A Dialectical
Approach to Music History.” Ethnomusicology
2:1-8.
Dorson, Richard M. (1955). “The First
Group of British Folklorists.” Journal of
the Society of Arts 1885.
Herzog, George (1936). Research in Primitive and Folk Music in the
United States: A Survey. Washington: American Council of Learned Societies,
Buletin 24.
Hood, Mantle (1957). “Training and
Research Methods in Ethnomusicology.” Ethnomusicology
Newsletter 11:2-8.
_______ (1960). “The Challenge of
Bi-Musicality.” Ethnomusicology 4:55-59.
Hornbostel, Erich M. von (1933). “Das
Berliner Phoogrammarchiv.” Zetschrift für
Vergleichende Musikwissenscahft 1:40-47.
Kolinski, Mieczyslaw (1957).
“Ethnomusicology: Its Problem and Methods.” Ethnomusicology
Newsletter 10:1-7.
Kunst, Jaap (1959). Ethnomusicology, edisi ketiga. The
Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-66.
Merriam, Alan P. (1955). “The Use of
Music in the Study of a Problem in Acculturation.” American Anthropologist 57:28-34.
_______ (1960). “Ethnomusicology:
Discussion and Defitinion of the Field.” Ethnomusicology
4:107-114.
Merriam, Alan P., dan Linton C.
Freeman (1956). “Statistical
Classification in Anthropology ….” American
Anthropologist 58:464-472.
Nettl, Bruno (1956). Music in Primitive Culture. Cambridge:
Harvard University Press. Bacaan yang disarankan, Bab 1.
_______ (1961). Reference Materials in Ethnomusicology. Detroit: Information
Service.
Pulikowski, Julian von (1933). Geschichte des Begriffes Volkslied in
Musikalischen Schrifttum. Heidelberg: C. Winter.
Rhodes, Williard (1956). “Toward a
Definiton of Ethnomusicology.” American
Anthropologist 58:457-463.
Sachs, Curt (1959). Vergleichende Musikwissenscahft: Musik der
Fremdkulturen. Edisi Kedua. Heidelberg: Quelle und Meyer.
_______
(1962). The Wellsprings of Music. The
Hague: Martinus Nijhoff. Bacaan yang disarankan, pp. 1-16.
Schneider, Marius (1957). “Primitive
Music,” dalam Egon Wellesz, ed. Ancient
and Oriental Music. London: Oxford University Press (New Oxford History of
Music, Vol. I), pp. 1-82.
Seeger, Charles (1961). “Semantic,
Logical and Political Considerations Bearing Upon Research in Ethnomusicology.”
Ethnomusicology 5:77-81.
Stumpf, Carl (1886). “Leider der
Bellakula Indianer.” Vierteljahrschrift
für Musikwissenscahft 8:127-144.
Wachsmann, Klaus P. (1961). “Criteria
for Acculturation,” dalam International Musicological Society, Report of the 8th Congress, New York 1961. Kassel:
Baerenreiter, pp. 139-149.
“Whither Ethnomusicology?” (1959).
Panel Discussion. Ethnomusicology 3:99-105.
Jeff Todd Titon
_____________________________
2
Mengenal
Penelitian Lapangan
Epistemologi
adalah lapangan penyelidikan yang membahas asal-usul, sifat, dan batas-batas pengetahuan
manusia (lihat Rorty, 1979:140). Dengan demikian, epistemologi bagi
etnomusikologi adalah persoalan yang terkait dengan asal-usul, sifat, dan
batas-batas pengetahuan manusia yang berhubungan dengan musik dalam kehidupan
manusia. Sebuah epistemologi bagi etnomusikologi berusaha untuk menjawab dua
pertanyaan mendasar: Apa yang dapat kita ketahui tentang musik, dan bagaimana
kita dapat mengetahuinya?
Belum
lama ini, transkripsi musik merupakan ciri yang membedakan disiplin kita, bukan
hanya sebatas cara yang ditempuh (Hood, 1982 [1971]; McAllester, 1989),
melainkan sebuah praktek yang turun-temurun. Transkripsi mengungkapkan apa yang
dapat kita ketahui tentang musik dan bagaimana kita mengetahuinya. Musik
dijadikan sebagai objek, dikumpulkan, dan direkam agar dapat ditranskripsikan.
Transkripsi—yakni, mendengarkan sebuah musik dan menuliskannya dalam notasi
Barat—tidak hanya sebatas sebuah pekerjaan yang menuntut keahlian tetapi juga
sesuatu yang “menguraikan” pengalaman agar menjadi hidup, menghilangkan dunia
yang hidup, dan mentransformasikan apa yang telah berlalu (bunyi) ke dalam
sebuah representasi yang dapat dianalisis secara sistematis serta kemudian
dibandingkan dengan transkripsi-transkripsi lainnya untuk dapat menarik
generalisasi dan menguji berbagai hipotesis yang berkaitan dengan asal-usul dan
evolusi musik. Saat ini yang utama dalam etnomusikologi bukan lagi transkripsi,
melainkan penelitian lapangan. Penelitian lapangan tidak lagi dilihat secara
mendasar sebagai pengamatan dan pengumpulan (meskipun memang mencakup hal-hal
tersebut), melainkan sebagai jalan untuk memperoleh pengalaman dan memahami
musik (lihat Titon, 1992 [1984]:xvi). Penelitian lapangan yang baru membawa kita kepada pertanyaan seperti apakah
membuatmusik bagi seseorang dan untuk mengetahui musik sebagai pengalaman yang
hidup.
Apa
yang telah dilakukan oleh sebagian besar etnomusikolog tersebut telah dilakukan
dalam bidang musik sebelum diterapkan dalam etnomusikologi. Pada akhir tahun
1960-an, ketika mengawali studi formal etnomusikologi di University of
Minnesota, saya menjadi bagian dari sebuah komunitas musik blues yang diketuai
oleh Lazy Billy Lucas, seorang campuran Afrika Amerika yang lahir dai Arkansas
dan berkarir sebagai penyanyi blues di St. Louis dan Chicago sebelum akhirnya hijrah
ke Twin Cities pada awal 1960-an. Pemain harmonika bernama Mojo Buford yang
bergabung dalam band milik Muddy Waters, pemain bass Jojo Wiliams, pemain gitar
Sonny Boy Rogers, dan pemain piano serta penyanyi Leonard “Boby Doo” Caston
juga mengunjungi apartemen milik Billy yang merupakan pusat komunitas ini, dan
kami bermain musik bersama, menyantap ayam goreng sebagai menu makan malam yang
disajikan Billy (ia pemasak yang hebat), meminum bir Fox Deluxe, dan kamipun berteman. Saya menjadi kenal dengan mereka,
istri-istri mereka, serta kekasih-kekasih mereka, dan kami menghabiskan waktu
bersama, kemudian, dalam seminar Alan Kagan tentang etnomusikologi, saya belajar
tentang penelitian lapangan yang menekankan pada pengamatan terhadap orang dan
pada pengumpulan data melalui wawancara-wawancara yang terstruktur, sebuah
metode yang berasal dari seorang antropolog bernama Bronislaw Malinowski ketika
meneliti di pulau Trobriand semasa Perang Dunia ke-I.
Ketika
memikirkan rekan-rekan pemain blues, saya terhenyak, apakah saya telah
melakukan penelitian lapangan dengan
mereka. Kenapa tidak? Begitulah pikiran saya, dan saya melanjutkan mewawancarai
Bill untuk sebuah proyek kelas. Tentu saja, saya telah “mengobservasi” Bill dalam
waktu yang lama (dan sebaliknya). Saya tidak mengalami kesulitan berbicara
dengan mereka terkait kehidupan dan karir mereka, terutama karena mereka merasa
bahwa hal ini akan menghasilkan sesuatu, misalnya yang akhirnya menyebabkan
sekelompok penggemar blues asal Perancis memproduksi dua rekaman LP untuk musik
Bill (Titon, 1969; Lucas, 1971, 1972). Dalam wawancara-wawancara tersebut, saya
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti dimana mereka lahir, pekerjaan apa
yang digeluti oleh keluarga mereka, kapan mereka pertama kali belajar musik,
bagaimana perkembangan karir musik mereka, dan lain sebagainya; dan mereka
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Saya mengungkap sejarah lisan dan
berkeinginan untuk menemukan berbagai fakta dalam kehidupan mereka. Istilahnya,
saya sedang mengumpulkan data. Hasilnya, hubungan saya dengan mereka bertambah
satu dimensi lagi; saya menjadi seseorang yang mungkin dapat mempromosikan
mereka, menolong mereka dalam karirnya, hingga hanya sebatas seorang anak muda
diantara orang-orang tua dan mencoba belajar musik dari mereka. Disamping
persahabatan, kini saya dan mereka menjadi lebih saling mengenal.
Dalam
penelitian lapangan yang saya lakukan, saya diarahkan untuk merasakan berbagai hubungan
yang terbentuk, tidak hanya sebatas mengamati dan mengumpulkan. Selanjutnya,
saya juga menyadari bahwa wawancara terstruktur tidak selalu berguna untuk
memperoleh pemahaman yang terbaik. Penyanyi sekaligus pemain gitar blues Son
House datang ke Twin Cities untuk mengadakan sebuah konser, dan saya memperoleh
waktu selama satu jam bersamanya lengkap dengan sebuah alat rekam. Saya
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan, tetapi saya memutuskan untuk memulai dengan
memutarkan sebuah rekaman blues dari tahun 1920 yang dimainkan oleh rekannya,
Charley Patton, dan berharap memperoleh bantuan darinya guna menguraikan
lirik-lirik lagu Patton (House kemudian mengatakan bahwa anda bisa berjongkok
dan tidak akan pernah paham sepatah katapun yang ia nyanyikan). House
mendengarkan tape, dan saya bersiap
untuk mulai melontarkan berbagai pertanyaan, tetapi sebelum saya sempat
melakukannya, ia mulai berbicara dan mengenang “Papa Charley” dan masa-masa
itu. Saya menjadi lupa dengan pertanyaan-pertanyaan saya dan mendengarkan saja
apa yang ingin ia ungkapkan. Ia menceritakan sebuah kisah panjang dan
terperinci tentang bagaimana ia “memperoleh agama” ketika tinggal di delta
sungai Mississippi. Ia juga berbicara tentang masa-masa lalu, tentang wiskhey buruk yang mereka buat dan
minum, serta menceritakan juga sebuah kisah ketika ia dipenjara selama satu
malam karena ia tidak memberi jalan kepada sebuah bus besar yang akan
mendahuluinya ketika sedang mengemudi pulang dalam keadaan mabuk. Ia
menceritakan kepada saya bagaimana tuan tanahnya yang berkulit putih memohon
kepada sheriff dan hakim untuk
membebaskannya, meskipun biaya pembebasan dari sang majikannya itu kemudian dialihkan
menjadi hutang dalam pembagian hasil panen. Ketika mengisahkan cerita itu ia
memainkan peran bos dan sheriff. Boss
(House berbisik-bisik): “Biarkan dia keluar dari sini, ia bekerja sangat baik
dengan traktornya. Saya membutuhkannya pada Senin pagi.” Hakim (House
berbisik): “Baiklah, kami akan memberi tahu bahwa ia harus membayar sejumlah
denda.” House (suara normal): “Lihat, itulah cara mereka bersepakat satu dengan
yang lainnya” (Titon, 1976).
Saya
larut dan terus duduk mendengarkan, ingin mengetahui lebih banyak lagi. Ketika
House berhenti menceritakan kisah hidupnya, saya mengarahkan/mengendalikannya
melalui serangkaian pertanyaan sejarah oral,
berharap untuk mendapatkan lebih banyak lagi cerita; akan tetapi kini ketika saya
mengendalikan percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan,
House merasa tidak bebas lagi. Dan setelah dimulainya proses panjang dimana
saya merenungkan jenis-jenis pengetahuan yang berbeda muncul dari wawancara
terstruktur yang merupakan bagian dari penelitian lapangan kuno, versus
kisah-kisah kehidupan yang diceritakan untuk mempengaruhi pendengar atau teman
dalam sebuah situasi “kehidupan nyata”, yang selanjutnya tidak dapat dijabarkan
sebagai penelitian lapangan, dimana teks-teksnya saya yakin akan menjadi
bernilai, bukanlah sebagai sebuah bentuk pengumpulan data, melainkan sesuatu
untuk mencapai pemahaman (Titon, 1980).
Sejak
abad ke-19, filsafat di benua Eropa umumnya membedakan dua jenis pengetahuan:
penjelasan dan pemahaman (Dallmayr & McCarthy, 1977). Eksplorasi merupakan
khas dari ilmu-ilmu sains, dan pemahaman identik dengan ilmu humaniora. Kita
akrab dengan metode saintifik untuk menarik kesimpulan, hipotesis dan eksperimen;
penjelasan-penjelasan saintifik dalam bentuk terkuatnya mengekspresikan sebagai
hukum-hukum alam yang universal, misalnya hukum gravitasi. Penjelasan
memberikan jenis pengetahuan yang memungkinkan dilakukannya prediksi dan
kontrol (Carnap, 1966). Di sisi lain, pemahaman menghadirkan sebuah jenis
pengetahuan yang berbeda. Jika penjelasan diarahkan kepada objek-objek,
pemahaman ditujukan kepada orang-orang. Jika penjelasan diarahkan kepada hukum,
pemahaman diarahkan pada kesepakatan (agreement),
terkadang, meskipun tidak selalu, melalui pengalaman (Gadamer, 1992 [1975];
Schutz, 1962). Penjelasan diperoleh melalui analisis pema-haman diperoleh
melalui interpretasi. Penjelasan adalah suatu jenis “pengetahuan-bahwa” (knowledge-that), sementara pemahaman
adalah sebuah bentuk “pengetahuan-dari” (knowledge-of).
“Pengetahuan-bahwa” secara khusus terkait dengan para filsuf Amerika dan
Inggris penganut positivis abad ini, karena dalam pandangan mereka, semua pengetahuan-proposisi
yang bermakna dapat diungkapkan dalam bentuk proposional seperti “saya mengetahui
bahwa …” (tentu saja, tidak semua proposisi pengetahuan-bahwa” bermakna dalam
sebuah arti positivis). “Pengetahuan-dari” pemahaman, di sisi lain, lebih
karakteristik dari pandangan terdahulu: Pengetahuan dari berbagai subjek,
diungkapkan dalam pernyataan seperti ”saya mengetahui teman saya yang bernama
William” atau “ia mengetahui pekerjaan pipa” atau “kamu mengetahui
etnomusikologi” (Rorty, 1979: 141).
Sebagian
besar tulisan tentang etnomusikologi sebagai disiplin akademis cenderung
menjelaskan berbagai teori ilmu dimana musik dianggap sebagai suatu jenis
bahasa (lihat, misalnya, Nettl, 1964; Hood, 1982 [1971]; Kunst, 1959; Myers,
1992). Etnomusikologi disebut-sebut diawali pada tahun 1880-an ketika bidang
ini menjadi sebuah proyek saintifik. Pada saat itu, bidang ini tidak disebut
sebagai etnomusikologi, melainkan musikologi komparatif, merefleksikan hubungan
dekat dengan berbagai disiplin serupa seperti filologi (linguistik komparatif).
Sosok yang umumnya dianggap sebagai pendiri etnomusikologi adalah Alexander
Ellis, yang mengadakan pengukuran terhadap interval-interval musik dalam
musik-musik non-Barat yang telah dipilih. Umumnya orang Eropa berpikiran bahwa
musik-musik ini sedikit banyak “sumbang” (out
of tune) Ellis, menunjukkan tradisi terbaik etnomusikologi yakni
relativisme, dengan hipotesisnya yang lain: bahwa berbagai modus dan tangganada
dari bangsa-bangsa lain memiliki polanya sendiri, berbeda dengan yang ada di
Eropa Barat, tetapi berhubungan dengan ketentuan-ketentuan mereka sendiri. Pengukuran
interval-interval memperkuat hipotesisnya. Signifikannya, Ellis adalah seorang
yang cacat nada, dan melibatkan seorang asisten untuk melakukan pengukuran.
Artinya, Ellis tidak memperoleh pengalaman tentang interval-interval musik dan
mengandalkan peralatan di luar dirinya untuk melakukan hal tersebut.
Aplikasi
penjelasan teori ilmu pengetahuan yang paling jelas bagi etnomusikologi datang melalui teori-teori musik berbasis linguistik.
Baik musikologi komparatif maupun folklore
musik mengandalkan filologi (linguistik komparatif) untuk metode-metode mereka.
Pada abad ini linguistik berubah, tetapi apakah dalam musikologi sistematis
Charles Seeger, entnomusikologi transformasional John Blacking, rekan-rekan
etnomusikologibkognitf kita di Eropa, atau semiotika entnomusikologi
Jean-Jaques Nattiez, gagasan bahwa musik diperlukan dan harus dipelajari
sebagai sistim seperti bahasa sangat berpengaruh dalam membentuk disiplin kita,
sesuatu yang mempengaruhi karya-karya tulisan saya dan yang lain. Sebagai
sebuah paradigma, etnomusikologi memperoleh pengaruh besar dari antropologi—bagaimana
pun juga, Society for Ethnomusicology
mulanya direncanakan dalam pertemuan American
Anthropological Association—dan antropologi linguistik salah satu dari
empat bidang Antropologi Tradisional di Amerika. (Arkeologi, Antropologi fisik,
Antropologi budaya, dan diluar ketiga bidangnya)
Di
sisi lain, teori-teori ilmu yang lebih berdasar atas pemahaman dari pada
penjelasan, mendapati pembela mereka yang tidak begitu besar artinya dalam
tradisi filsafat, yakni diawali oleh Dilthey dan termasuk pula Husserl, Sartre,
Heidegger, Schutz, Merleau-Ponty, Gadamer, dan Ricoeur. Tradisi ini, sebuah alternatife
baik bagi positivism Anglo-Amerika maupun strukturalisme Eropa, terutama
meliputi dua jenis aktifitas: fenomenologi dan hermeneutika. Fenomenologi
menekankan pada kesegaran, konkrit, dunia yang ditangkap oleh panca indra, dan
berusaha untuk menjadi dasar pengetahuan dalam dunia pengalaman. (lihat Ihde, 1986
[1977]). Hermeneutika berasal dari sebuah cara menginterpretasikan kitab suci,
tetapi kemudian menjadi sebuah metode untuk menginterpretasikan teks secara
umum. Beberapa tahun belakangan, Paul Ricoeur berupaya mengintergrasikan dua
hal tersebut—fenemologi dan hermeneutika—menjadi apa yang disebutnya sebgai
hermeneutika fenomenologi. Bagi Ricoeur, tindakan apapun yang memiliki tujuan
dapat dianggap atau dibaca sebagai sebuah teks, dengan demikian, sebuah
pertunjukan, misalnya, dapat dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan teks
(1981b). Glifford Geertz menggunakan formulasi ini, menyamakan
kebudayaan-kebudayaan dengan “sebuah kumpulan teks”, dan karya-karya yang
dihasilkan yang berpengaruh besar terhadap etnomusikologi Amerika lima belas
tahun yang lalu dan seterusnya. Meskipun banyak karya saya sejak tahun 1980-an
bersarkan hermeneutika fenomenologi, kini saya menjadi lebih kritis dengan
kecendrungan poststrukturalis untuk mengtekstualisasikan segala hasil termasuk
pengalam musik, dan saya telah mengemukakan bahwakita telah menetang Ricoeur,
bahwa berbagai tindakan berarti yang dialami seperti musik misalnya, tidak
dibaca sebagai teks (Titon, 1995). Dengan kata lain, saya menyarankan bahwa
kita merubah metafora yang kita gunakan untuk melakukan interpretasi. Dunia
tidak seperti sebuah teks untuk dibaca, tetapi untuk dialami seperti halnya
pertunjukan musik. Saya akan menyisakan ini
sebagai karangan mendatang.
Etnomusikologi,
dalam pandangan saya, empat paradigma, atau seperangkat asumsi dasar pada abad
belakangan, dimana musikologi komperatif adalah paradigma yang pertama.
Paradigma yang kedua, dalam bahasa Inggris, dikenal dengan folklor musik. Ini
secara khusus meliputi pengumpulan, pentraskripsian, analisis, dan
membandingkan, ditambah dengan sebuah ideologi nasional, sebuah etnografi yang
menekankan pada survei konteks sosial, sebuah dimensi etis yang meliputi
pelestarian gagasan musik untuk menjadi tradisional berkembangnya di dunia
luar, serta sebuah aspek edukasi dimana musik menjadi bagian kurikulum sekolah
umum dan juga ditawarkan bagi kalangan dewasa. Pengumpulan, pengklasifikasian,
dan karya-karya analitis Bela Bartok dan Constantin Braiiloion mewakili folklor
musik.
Paradigma
ketiga adalah etnomusikologi itu sendiri, yang diasosiasikan dengan kelahiran Society for Ethnomusicology pada tahun
1950-an, yang didukung oleh American
Anthropology, dengan menitikberatkan pada penelitian lapangan dan masuk ke dalam
kebudayaan, tidak hanya sebatas survei; selain itu, para etnomusikolog
cenderung tidak mempercayai generalisasi komparatif yang luas dan justru
menghasilkan monograf yang didasarkan atas
studi-studi terperinci dari kebudayaan-kebudayaan musik tertentu. Para etnomusikolog
juga tidak mempercayai nasionalisme, menolaknya karena merupakan bentuk etnosentrisme,
dan mereka tidak menekankan pada pelestarian; agaknya, fokus mereka adalah
alkulturasi dan perubahan. Para etnomusikolog juga tidak mendapat antusiasme
yang banyak dari pendidikan di sekolah-sekolah umum, mereka berpikir bahwa
mereka adalah sarjana (belakangan Alan Merriam menggunakan untuk membukakan
rekan-rekan musik dunianya dalam pendidikan musik sebagai musikologi bak-pasir)
.” Sudut pandang penduduk asli” adalah
Benih
untuk fase keempat kita, yang hingga kini belum dinamai, ditebarkan oleh para
etnomusikolog yang membawa para seniman-seniman asli ke universitas-universitas
di Amerika untuk mengajar ansambel-ansambel non-Barat bagi para mahasiswa
sehingga mereka dapat memperoleh pengalaman musikal yang mendalam. Saya
menyebut paradigm baru ini sebagai studi tentang orang-orang yang bermusik (the study of people making music)
(Titon, 1989, 1992 [1984]), akan tetapi mungkin juga disebut dengan studi
tentang orang-orang yang memiliki pengalaman musik (the study of people experiencing music). Selain itu, ketika
dicermati kembali, jelas bahwa paradigma keempat ini berasal dari sebuah
generasi yang ditransformasikan oleh berbagai politik pada tahun 1960-an;
pergerakan kaum wanita, gerakan perdamaian, serta pergerakan hak-hak rakyat.
Karena keadaan yang demikian terus saja muncul, fase keempat ini menjadi sulit
untuk dideskripsikan secara sistematis, tetapi sejumlah konsekuensinya tampak
jelas. Penitikberatan yang lebih condong pada pemahaman (daripada terhadap penjelasan)
pengalaman tentang orang-orang yang menciptakan musik (termasuk kita sendiri)
merupakan puncaknya. Perhatian lainnya meliputi refleksifitas dan sebuah
peningkatan dalam representasi naratif yang deskriptif, interpretif, dan
evokatif (lihat, misalnya, Kisliuk, 1991); berbagi wewenang dan kewenangan
dengan “para informan” (yang kini dianggap sebagai guru, konsultan, teman, dan
sebagainya) (lihat von Rosen, 1992; Guilbault, 1993); sebuah perhatian terkait
sejarah dan dengan berbagai persoalan kekuatan hubungan-hubungan (relationships), etika-etika, identitas,
dan keyakinan; sebuah pendekatan dekonstruktif terhadap berbagai konsep batas
seperti ras dan etnisitas; perhatian yang dekat terhadap bagaimana kelas dan
gender terdapat dalam berbagai budaya musik; skeptisisme terhadap budaya ilmu
pengetahuan dan keterkaitan dengan kaum feminis dan berbagai perspektif dunia
ketiga; kesediaan untuk menjelajahi berbagai media, seperti museum, festival,
film, video, serta hiperteks, untuk
menggambarkan orang-orang yang membuat musik; dan kleterlibatan aktif sebagai
penasihat musik dan budaya yang mencoba untuk membantu orang-orang dalam
berbagai budaya-musik yang telah bekerja dengan kita agar memperoleh penghidupan
yang lebih baik sehingga musik mereka dapat berkembang (Sheehy, 1992). Semua
penekanan ini terimplikasi dalam “penelitian lapangan baru” dan umumnya muncul akibat perhatian terhadap hubungan manusia
daripada sekedar pengumpulan informasi. penelitian lapangan yang baru tidak
meninggalkan bunyi-bunyi musik serta berbagai struktur musik, hanya kini
memposisikan hal-hal tersebut sebagai “teks” (subjek interpretasi) dalam sebuah
lingkarang hermeneutik (Ricoeur, 1981a). Bunyi musik tetap didokumentasikan,
dan jika struktur musik merupakan sebuah aspek penting dari pengalaman musik,
seperti yang seringkali terjadi, maka hal tersebut perlu dianalisis dan diinter-pretasikan
sebagai bagian matrix makna. Pelaku penelitian lapangan baru juga tidak
meninggalkan dokumentasi; dokumentasi justru meningkat. Akan tetapi
doku-mentasi juga diposisikan ulang, dan kini dilihat secara refleksif sebagaib
sebuah hasil intersubjektif daripada sekedar laporan dan analisis tentang
sesuatu yang disaksikan.
Jika
kita memperluas sejarah disiplin kita untuk mencakup tipe-pemahaman berbagai
teori, maka pasti kita juga akan menyertakan tulisan-tulisan para penjelajah
dunia dan misionaris-misionari pertama di dunia yang memahami musik penduduk
asli yang terbentuk dari perjumpaan dengan musik tersebut. Jean de Lery,
misalnya, seorang misionaris abad ke-19, mengisahkan dalam sebuah tulisan
bagaimana “hatinya tertarik” oleh musik penduduk asli Amerika, dan ia menulis
kisahnya ini dengan penekanan ke arah pengalaman (Harrison, 1973). Dalam
peninjauan kembali sejarah, kita akan menekankan “bimusikalitas” (Hood, 1963,
1982 [1971]), dan mempertimbangkan sifat pengetahuan yang muncul dari berbagai
hubungan manusia melalui penelitian lapangan.
Karya awal David McAllester tentang suku Navajo dan berbagai nilai budaya
akan sangat penting (1973 [1954]; lihat juga Mitchell, 1978), dan berbagai artikel
Kenneth Gourlay tentang penelitian etnomusikologis menjadi
pernyataan-pernyataan teoretis awal yang pokok (1978; 1982).
Pendekatan
kita, apakah kita lebih menyukai penjelasan atau pemahaman, jelas akan
tergantung pada pikiran kita tentang apa itu musik. Dalam pandangan saya, musik
adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, merupakan fenomena budaya.
Berbagai konstruksi budaya yang beragam memungkinkan orang-orang untuk
mengalami musik sebagai bunyi-bunyi yang terpola, objek-objek estetis, unsur
ritual, bahkan sebagai sesuatu dalam wujudnya sendiri. Akan tetapi untuk
mengatakan bahwa musik merupakan sebuah fenomena yang dikonstruksi secara
kultural tidak berarti bahwa musik tidak memiliki eksistensi di dunia, seperti
yang umumnya diketahui, saya mengalami dunia saya melalui kesadaran saya, dan
saya mengalami musik sebagai sebuah bagian dari dunia kehidupan saya.
Pada
bagian tulisan ini selanjutnya, saya mengajukan jawaban-jawaban fenomenologis
dan refleksif untuk pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dapat kita ketahui
tentang musik, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya. Saya memulai dengan
menguji pengalaman-pengalaman musik seperti yang ada dalam kesadaran saya. Saya
melanjutkan dengan menguji pengalaman-pengalaman penelitian lapangan. Akhirnya, saya mendiskusikan sejumlah
strategi interaktif untuk menghadirkan pengalaman-pengalaman ini sehingga dapat
memperluas pemahaman kita tentang musik. Tentu saja, tidak ada fenomenologi
tunggal. Fenomena transendental Husserl secara signifikan berbeda dari
fenomenologi eksistensial Heidegger, yang berbeda dari hermeneutik fenomenologi
Ricoeur. Namun demikian, mereka mendukung sebuah tradisi dan memikliki
asumsi-asumsi umum dan penekanan tertentu. Selanjutnya, saya akan menarik
kesimpulan tanpa berusaha merepresentasikan berbagai versi tunggal fenomenologi
dari tradisi ini. Tentu saja, saya tidak menemui versi tunggal apapun dari hal
tersebut yang memuaskan secara keseluruhan.
“Fenomenologi
menuntut fenomena diselidiki sebagai sesuatu yang muncul menjadi kesadaran” (Stewart
& Mickunas, 1990: 91) Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu:
dalam hal ini, kesadaran musik. Bagaimana saya menyadari musik? Bagaimana saya
ada “di dunia” ketika kesadaran saya adalah kesa-daran musik? Pertama, tentu
saja, musik merupakan sebuah pengalaman dari musik tersebut, dan hal ini
dimediasi secara kultural; jelasnya, pengalaman saya tentang musik berbeda
dengan orang lain yang berasal dari kebudayaan lain, bukan orang lain dalam kebudayaan
saya sendiri. Dan saya mengalami berbagai musik yang berbeda sepanjang hidup.
Tetapi untuk saat ini, saya akan menyertakan kesadaran terkini tentang musik,
baik secara general maupun dalam kasus tertentu.
Saya
mengambil manusia menciptakan musik (people
making music) sebagai pardigma kasus musik “ada di dunia” (being-in-the-world). Bagi saya, menciptakan
musik belumlah lengkap ketika saya melakukannya seorang diri; akan menjadi
kompleks ketika dalam sebuah kelompok, saya menciptakan musik dengan orang
lain. Anda mungkin atau mungkin tidak merasakan hal yang sama. Tapi saya akan
mengambil penciptaan musik yang dilakukan oleh orang lain sebagai kasus dalam
paradigma saya. Saya memilih kuartet string, gamelan, dan sebuah band blues,
serta musik tua dari gereja Baptis Reguler, atau sebuah ansambel genderang dari
Ghana, tetapi untuk melakukan pengujian, saya memilih penciptaan musik dalam
band string lawas, dengan biola, banjo, dan gitar—sebuah puncak pengalman yang
saya cari dan saya temui secara sadar.
Saya
menjelaskan pengalaman ini secara fenomenologis. Keinginan mendorong saya untuk
menciptakan musik. Keinginan ini merupakan sebuah kemunculan yang efektif, sisa
dari kesenangan yang muncul dari pengalaman-penga-laman saya yang terdahulu
dengan musik dan tari yang membuat saya mencari tahu mengapa hal itu merupakan
sesuatu yang lebih baik. Adalah sebuah keunikan ketika keduanya melebur menjadi
satu: sebuah keunikan yang melebur. Mengetahui orang-orang menciptakan musik
diawali dengan pengalaman musik saya. Ketika memainkan biola, banjo, atau gitar
dengan orang lain, saya men-dengar-kan musik; saya merasakan musik itu hadir;
saya bergerak, secara internal; saya bergerak, secara eksternal. Selanjutnya,
musik menguasai diri saya. Saya merasa musik merupakan sebuah kekuatan yang
berpengaruh dalam diri saya. Berkaitan dengan hal ini, saya berbicara seperti
halnya para fenemenolog, yang menyebutnya sebagai “sikap yang wajar” (natural attitude), cara sehari-hari yang
normal di dunia, bukan sebuah cara analitis melainkan sebuah cara untuk
menya-darkan diri sendiri. Saya merasa bahwa musik memasuki diri saya dan
menggerakkannya. Dan kini musik menjadi bertambah keras, membesar hingga
hal-hal yang lain seolah adalah hal-hal yang tidak mungkin, semuanya mati.
Tubuh saya sendiri pun menghilang. Tidak ada analisis; tidak ada lagi kesadaran
diri. Matinya hal-hal tersebut merupakan reduksi fenomenologis, yang disebut
oleh Husserl sebagai epoche. Ini
merupakan sebuah bentuk suspensi yang radikal. Saya tidak lagi merasa terpisah;
melainkan, saya merasa diri sama menjadi “musik yang ada di dunia.”
Sesungguhnya musik membalikkan hasrat kepada diri saya sendiri. Artinya,
memiliki hasrat membawa saya kepada diri saya sendiri, menghadirkan kembali
kesadaran diri saya. “Saya” yang kembali; saya menyadari kembali diri saya,
saya melihat bahwa saya bersama mereka yang lain musik, musik yang saya dengar.
Ketika
saya melihat diri saya dan orang-orang lain menciptakan musik yang saya dengar
itu, saya ingin mengetahui orang-orang lain yang juga ada di situ. Bagi kami,
untuk memahami orang lain kita harus mengetahui orang lain tersebut. Bagaimana
kita bisa mengetahui orang lain? Siapakah anda? Jika anda menjadi objek, saya
akan mendatangi anda seperti objek-objek lain yang sudah saya ketahui. Akan
tetapi, anda adalah seseorang yang menciptakan musik, dan saya mendatangi anda
sebagai seseorang (lihat Code, 1991: 37). Kita mencari tahu orang lain melalui
pengalaman. Melalui hal-hal yang umum, misalnya pengala-man intersubjektif,
kita memasuki dunia interpretasi. Interpretasi beralih dari bunyi menjadi
musik, dari sesuatu menjadi sesuatu yang bermakna.
Ketika
kesadaran saya dipenuhi oleh musik, saya berada di dalam dunia musikal. Pikiran
saya yang berpengalaman mengatakan bahwa saya “berada dalam dunia” musik ketika
saya membuat musik, mendengarkan musik, dan bergerak karena musik yang memenuhi
diri saya. Saya menyebutnya sebagai menjadi musikal, dan ini merupakan sebuah
model yang menghadirkan diri saya sebagai sesuatu yang berbeda dari biasanya,
berbagai bentuk pengalaman sehari-hari, dari bentuk pengalaman diri saya yang
sadar, dan dari bentuk pengalaman saya yang dibuat menjadi objektif.
Saya
memberikan dasar untuk mengetahui musik—yakni,
pengetahuan tentang musik—dalam menjadi musikal.
Dengan kata lain, saya melihat sebuah epistemologi musik yang didasari oleh
sebuah pemisahan dan cara objektifikasi “menjadi ada di dunia,” tidak juga
dalam cara yang refleksif, cara berada di dunia yang penuh kesadaran diri,
tidak pula yang disebut oleh para fenomenolog sebagai “perilaku alami” atau
cara berada di dunia sehari-harinya. Akan tetapi, saya berpikir bahwa menjadi
musikal merupakan ontologi khsus dan bahwa untuk mengetahui musik kita perlu
memulai dari menjadi musikal.
Dengan
kata lain, saya menggiatkan pengetahuan musik dalam praktek musik, bukan dalam
praktek ilmu pengetahuan, atau linguistik, atau analisis introspektif. Dalam
kasus paradigma saya terkait masuk ke dalam dunia musikal, saya membatasi
secara sosial dengan orang-orang lain yang menciptakan musik dan ketika musik
dihadirkan secara penuh ke dalam kesadaran saya, yakni musik dari kelompok
tersebut secara utuh, bukan musik “saya” yang sederhana, meski-pun pada saat
puncak saya dapat merasakannya jika semua hal ini datang kepada saya.
Hal
ini membawa kita kepada pengalaman ketika melakukan penelitian lapangan, yang untuk hal ini juga merupakan
sebuah pengalaman diri sendiri dengan orang lain. Bagi banyak etnomusikolog,
penelitian lapangan merupakan sesuatu yang intersub-jektif dan transformatif
secara personal. Seperti banyak kolega saya yang lain, saya mengalami
penelitian lapangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan transkripsi, analisis,
interpretasi, dan representasi, meskipun hal-hal ini adalah sesuatu yang pasti
dalam penelitian lapangan itu sendiri, melainkan merupakan sebuah kesempatan
refleksif dan sebuah dialog yang sedang berlangsung dengan teman-teman saya
dimana, antara lain, mengulangi “pekerjaan” saya secara terus-menerus sebagai
pekerjaan “kami” (lihat juga von Rosen, 1993; Hutchinson, 1993). Terkait resiko
dari ketidaksopanan, saya mengajukan sebuah contoh terkini: sebuah surat dari
seorang teman lama di Gereja Baptis Reguler yang mengatakan, “Terima kasih atas
cara yang anda berikan kepada kami untuk melihat diri kami sendiri” (Elwood
Cornett, surat kepada Jeff Todd Titon, 18 Agustus, 1993). Dan sebaliknya saya
juga berterima kasih kepada mereka. Berbagai pengalaman penelitian lapangan saya biasanya benar-benar hidup; saya
menjadi benar-benar sadar dengan berbagai peran yang saya miliki, serta
identitas-identitas; saya merasakan kasih sayang, persahabatan, dan
kegelisahan. Tentu saja, sebagian besar wujud dari pengetahuan etnomusikologis,
tidak termasuk ekspresi dari pengalaman penelitian lapangan, tetapi sebuah pendekatan fenomenologis terhadap berbagai
perwujudan menuntut pencakupannya dan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang
dijalankannya.
Sebuah
pandangan refleksif terhadap berbagai tipe hubungan dalam penelitian lapangan
mengungkap bhwa para pelaku penelitian lapangan, dan mereka yang menjadi sasaran penelitian lapangan, membawa identitas-identitas ke dalam
sebuah pertemuan dan memainkan berbagai peran (Titon, 1985). Dengan memainkan
peran, saya tidak bermaksud untuk mengungkapkan secara tidak langsung tentang
ketidakaslian, akan tetapi lebih untuk menggunakan konsep seperti yang
dikembangkan olh sorang sosiolog bernama Erving Goffman, untuk menunjukkan
bagaimana orang-orang berperilaku secara sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia postkolonial, ketika melakukan pengumpulan semata dianggap sbagai sesuatu
yang sifatnya skploitatif, dan ketika sejumlah orang tidak bersikap koopertif
ketika dikunjungi oleh para etnomusikolog, adalah naif jika kita berpikir bahwa
hubungan yang ideal di lapa-ngan selalu berujung pada ikatan pertemanan.
Terkadang sebuah hubungan yang bersifat kontrak, baik secara eksplisit maupun
eksplisit, dimana orang membantu orang lain adalah sesuatu yang lebih efektif.
Terkadang perpaduan antara pertemanan dan kontrak diam-diam adalah bentuk yang
paling efektif. Dalam peran lain yang lebih sering pada penelitian lapangan baru, para etnomusikolog menjadi siswa
dan “informan” menjadi guru atau orang tua yang bijaksana. Peran yang jarang
dan tidak biasa meliputi perlawanan, kecurangan, kebohongan, dan
memata-matai—hal yang tidak etis di bawah berbagai keadaan, tapi menjadi
rasional ketika didasari oleh pemahaman bahwa budaya musik harus dipahami dan kemudian diungkap
merupakan hal yang haram dan merusak (lihat Pillay, 1994; Kings-bury, 1988).
Sebuah
epistemologi fenomenologis muncul dari pengalaman-pengala-man musik dan
penelitian lapangan yang kita lakukan, dari mengenal orang-orang yang
menciptakan musik. Jika kita meyakini bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang
sifatnya pengalaman dan produk intersubjektif dari interaksi-interaksi sosial
kita, maka apa yang dapat kita ketahui muncul dari hubungan-hubungan kita
dengan orang lain, baik di lapangan maupun di tengah-tengah kolega kita dimana
kita hidup dan bekerja, dan hubungan-hubungan ini memiliki sebuah aspek yang ineluctable dari diri mereka. Berbagai
dokumen (teks) yang kami gunakan di lapangan membutuhkan kesiapan tertentu
untuk membuka hubu-ngan-hubungan dengan mereka—catatan-catatan lapangan,
foto-foto, rekaman-rekaman—yang mengingatkan kita, ketika kita tidak lagi di
lapangan.
Ketika
kita bersama-sama dengan para teman, dokumen-dokumen muncul—dalam keadaan yang
terbaik, dan ketika tidak dapat menggunakan cara ini—tidak begitu objektif
tetapi merupakan perluasan dari hubungan-hubungan kita. Akan tetapi ketika kita
kembali dari lapangan, di universitas, di perpustakaan, atau mengkaji seorang
diri, terutama apabila rekan-rekan kita berada jauh, artefak-artefak lapangan
ini memiliki peran berbeda. Pertukaran pengalaman memunculkan memori-memori
kita tentangnya. Seperti sebuah foto yang diambil dari brosur yang dibawa dari
liburan di luar negeri, tetapi artefak-artefak tersebut merupakan dokumenter
sekaligus pembangkit ingatan. Mereka berlalu di dalam nostalgia. Dalam kehadirn
mereka tersebut, saya mengetahui ketiadaan orang-orang, saya mengalami kesendirian
dan berbagai keinginan. Tugas saya adalah untuk menghadirkan kembali budaya
musik dimana saya telah meneliti, tidak hanya untuk para siswa dan kolega saya,
tetapi juga untuk orang-orang dalam budaya musik itu. Saya mencari
bentuk-bentuk untuk representasi dari pengalaman-pengalaman sebelum saya dalam
ingatan, dan memunculkan para pencipta musik yang saya kenal. Dengan demikian,
saya menghadirkan mereka juga untuk diri saya. Representasi konvensional yang
menghadirkan pengalaman-pengala-man itu bagi saya merupakan etnografi musik
naratif; dua bentuk lainnya yang akan saya bicarakan adalah film etnografis dan
hiperteks/multimedia.
Tentu
saja, naratif merupakan cara yang umum digunakan untuk mengisahkan berbagai
pengalaman bagi kita dan orang lain, dan dengan demikian hal tersebut
memunculkan sebuah bentuk konvensional dalam representasi berbobot
fenomenologis dari para pencipta musik. Baiknya, sebuah naratif dalam etnografi
deskriptif budaya musik mengundang pembaca untuk berbagi, secara imajinatif,
dalam berbagai pengalaman yang dihadirkan. Karangan Anthony Seeger yang
berjudul Why Suyá Sing terutama
berasal dari kekuatan interpretifnya serta kekuatan naratif dari tulisan
tersebut (1987b). Tentu saja, tidak keseluruhan buku tersebut bersifat naratif.
Bagi Seeger dan mereka yang menulis etnomusikologi naratif, etnomusikologi
menjadi sebuah genre
berbobot—pengalaman dimana naratif meliputi informasi latar belakang,
interpretasi dan analisis, serta dimana pengetahuan muncul dari pengalaman:
seseorang menunjukan bagaimana sese-orang harus dimengerti (lihat juga Feld,
1990; Rice, 1994). Naratif bukanlah sesuatu yang baru dalam etnomusikologi.
Bagian naratif dalam buku berjudul The
Ethnomusicologist karangan Mantle Hood (1982 [1971]) dan kisah-kisah Bruno
Nettl dalam buku The Study of
Ethnomusicology (1983) antara lain merupakan karangan-karangan
etnomusikologi naratif. Selanjutnya, interpretasi naratif berdasarkan
pengalaman juga meningkat dalam antropologi budaya. Begitu banyak contohnya. Culture and Truth karangan Renato
Rosaldo, misalnya, diawali dengan artikelnya yang terkenal berjudul “Grief and
a Headhunter’s Rage” (1989:1-21). Rosaldo tidak dapat memahami bagaimana
kesedihan dan kemarahan “berjalan bersamaan dalam cara pembuktian diri” bagi
orang Ilongot di Filipina hingga ketika istrinya wafat saat “ia berjalan
sepanjang jalan setapak bersama dua orang teman, saat ia kehilangan jejak dan
jatuh ke jurang sedalam 65 kaki dan hanyut di sungai yang ada di bawahnya. Saya
menjadi marah segera setelah menemukan jasadnya. Bagaimana bisa ia meninggalkan
saya? Bagaimana ia bisa menjadi sebodoh itu hingga jatuh? Saya mencoba untuk
menangis. Saya menangis, tetapi kemarahan membendung air mata saya” (1989:9).
Rosaldo telah mengalami percampuran antara kesedihan dan kemarahan dirinya
sendiri sebelum ia merasa benar-benar memahami kebudayaan Ilongot.
Seperti
yang telah dikemukakan oleh Clifford Geertz, menulis etnografi yang baik
membutuhkan kemampuan retorika yng besar, dan hal tersebut memaksa kita untuk
berhadapan dengan kenyataan bahwa kita benar-benar penulis, bukan reporter.
Akan tetpi jika kita adalah penulis, kita beresiko untuk mengganti ketertarikan
pembaca dari para pencipta musik yang kita tulis untuk diri kita sendiri.
Etnografi biografis yang bersifat naratif memicu pertentangan dengan apa yang
kita sebut kemurahan diri dan sesuatu yang tidak profesional; istilah
populernya adalah “ruang pengakuan dosa” (confessional),
yang mengindikasikan permasalahan displecement
(pemindahan). Etnografi naratif tidak perlu mengalihkan ketertarikan dari
para pencipta musik kepada kesadaran penulis. Malahan, seorang penulis dapat
mengerjakan sesuatu dengan keahlian penuh dan memainkan peran sebagai seorang
pemain, yakni seseorang yang partisipasinya tidak penting selama kejadian
tersebut, tetapi yang terefleksi setelah kejadian tersebut sebagai sebuah interpretasi.
Hal inilah yang dilakukan oleh Geertz dalam karangannya yang terkenal tentang
adu ayam di Bali, meskipun seseorang dapat berhenti sejenak pada metode
penulisan Geertz yang memperkirakan makna dan berharap perkiraanya tersebut
akan sama dengan pandangan orang Bali. Pengantar dan bab pertama buku Powerhouse for God juga ditulis sebagai
etnografi naratif, yang dengan hati-hati juga menggunakan rekaman, foto, catatan
lapangan, dan pengumpulan kembali berbagai pengalaman saya untuk mencuptakan
kembali dan memunculkan suasana percakapan makan siang serta perayaan
kedatangan (Titon, 1988). Akhirnya, etnogrfi naratif sangat sesuai untuk menunjukkan
seorang etnomusikolog dalam dialog dengan para pencipta musik.
Gambar-gambar
film dan suara yang disinkronisasi merupakan cara konvensional yang dipahami
untuk menggambarkan para pencipta musik dan untuk menempatkan para penonton
pada posisi observer. Kekuatan yang ditimbulkan film sangat lur biasa: kita merasa
seperti sedang melihat sebuah kenyataan. Tentu saja, kiranya mungkin untuk
meninggalkan aspek-aspek pengalaman dalam film dengan membuat film yang
menirukan buku datau membuat film yng menghadirkan pengalaman saintifik, seperti
yang banyak diusahakan dalam pembuatan film etnomusikologis. Akan tetapi,
pendekatan fenomenologis dalam pembuatan film berusaha untuk menyertakan
penonton dengan memunculkan dan mereflek-sikan berbagai pengalaman dan hubungan
yang ditemui dalam komunitas musikal. Hubungan antara pembuat film dan penonton
dapat terwujud dalam satu bentuk dari tiga bentuk yang ada: pembuat film dapat
menempatkan diriny sendiri dlam posisi yang benar-benar berwenang, biasanya
melalui narator yang seolah mengetahui semuanya; pembuat film dapat berangkat,
seperti hantu, dari film, menunjukkan bahwa penonton hanya melihat semata pada
tindakan dan mendengarkan sesuatu secara diam-diam; atau pembuat film, dalam
filmnya tersebut, dapat berinteraksi dengan subjek-subjek dan penonton, dan
kedaunya dapat merefleksikan makna dari film tersebut. Jelas kiranya bahwa interaktifitas
dan refleksifitas sangat sesuai dengan pemahaman pengalaman yang muncul dari
penelitian lapangan dan penciptaan musik (van Rosen dan Francis, 1992; von Rosen,
1993).
Hiperteks
dan multimedia merupakan wujud representasi ketiga yang bagi saya tampak
seperti sebuah pengadilan bagi bias pengalaman
terhadap para pencipta musik. Mengingat sebuah teks naratif merupakan sebuah
bacaan linear, hiperteks dapat menjadi sebuah struktur jaringan yang
memungkinkan pembaca untuk memilih jalannya masing-masing melalui informasi
yang terkumpul. (Landow, 1992). Sebuah komputer tidak dibutuhkan untuk
hiperteks, tetapi sebuah komputer memungkinkan hiperteks menjadi sangat efisien.
Hiperteks interaktif memungkinkan pembaca (dalam istilah fiksi hiperteks
penulis bernama Michael Joyce, disebut “authors-who-are-to-be”)
untuk berkomentar informasi yang ada dan dengan demikian mengubahnya bagi
pembaca berikutnya. Multimedia sering-kali distukan dengan hiperteks untuk
menghadirkan rekaman suara, gambar, serta film. Sebuah hiperteks yang dibuat
secara teliti dapat merepresentasikan pengertian serta ambiguitas dari pengalaman
atas pengetahuan yang didapat dari penelitian lapangan. Sebagai contoh, dalam tumpukan hyper-card Davenport, seorang pembaca mendengarkan suara biola dan
ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut sangat mirip (Titon, 1991). Sebuah jalur
menarah pad analisis musik, dan transkripsi menunjukkan kesamaan nada-nada,
tetapi jalur lainnya mengarahkan pemain biola itu sendiri dan demontrasinya
bahwa nada-nada tersebut berbeda. Representasi ini meninggalkan pembaca untuk
menyelesaikan paradox. Atau tidak menyelesaikan-nya. Perkembangan yang lebih
jauh adalah fiksi hiperteks.
Tidak
semua proyek hipermedia memungkinkan interaktifitas yang bermakna. Banyak
hiperteks “pendidikan” tidak lebih dari sekedar kumpulan teks dan konteks
raksasa dengan hubungan-hubungan yang efisien, lebih diorganisasi secara
hirarkis daripada yang ada dalam semacam kebiasaan jaringan. Pengalaman
lingkungan hipermedia pendidikan yang demikian tidak cukup berbeda dari
pengalaman di perpustakaan, dimana seseorang mencari penjelasan. Akan tetapi
pengalaman seperti jaringan lebih seperti tahap awal memainkan sebuah
permainan: seseorang berusaha memahaminya.
Dalam
bab ini saya meneruskan apa yang biasanya kita lakukan dalam menjelaskan bunyi
musik, konsep, dan perilaku daripada memahami pengalaman musikal. Dan
pengetahuan kita yang paling memuaskan seringkali masih diperoleh melalui
pengalaman penciptaan musik dan berbagai hubungan yang muncul selama penelitian
lapangan. Bagi saya tampak bahwa cara
kita untuk menjadi musikal, dan dalam cara kita melakukan penelitian lapangan, kita, seperti halnya subjek-subjek
(masyarakat) yang kita pelajari terbuka bagi transformasi melalui pengalaman.
Lebih jauh lagi, ketika kami menanyakan teman-teman musikal kami ter-kait sudut
pandang “penduduk asli” (native) atau
mendengarkan apa yang mereka katakan, mereka sangat sering berbicara terkait
pengalaman perorangan dan pemahaman daripada memberikan penjelasan sistematis.
Jika
memang demikian adanya, maka sebuah epistemologi atas berbagai praktek
etnomusikologis terkait penciptaan musik dan penelitian lapangan sebagai kasus
paradigma dari keberadaan kita di dunia, bukan hanya sekedar pengumpulan,
transkripsi, dan analisis sebagai paradigma kasus, akan menempatkan pengetahuan
yang muncul dari pengalaman kita dan orang lain. Dan dalam representasi
eksternal kita dari pengalaman tersebut, kita mencari bentuk-bentuk tersebut
yang menghasilkan pemahaman terbaik. Jika kita harus mengatur representasi
tidak konvensional yang demikian sebagai fiksi atau pertunjukan musik, karena
hal ini tidak tersedia bagi para sarjana, paling tidak untuk saat ini, naratif
tidak memerlukan penulisan non-fiksi yang berpusat pada diri, lebih interaktif
dan refleksif daripada sekedar kewenangan atau film observasional semata, dan
seperti jaringan, hipermedia interaktif menjanjikan berbagai bentuk
representasi yang membawa pema-haman baik kepada kita, dalam proses
transformasi mereka, dan kepada mereka yang kita cari untuk berkomunikasi. Saya
tidak berharap mengeluarkan secara bersamaan dengan berbagai penjelasan sebagai
sebuah bentuk pengetahuan, hanya untuk mengistimewakan pemahaman. Saya sangat
berbahagia menerima bahwa untuk mempraktekan transkripsi dan analisis, serta
untuk mencari tahu terkait berbagai persoalan meliputi struktur musik, sejarah,
dan geografi. Sebuah epistemologi pengetahuan yang muncul dari ada di dunia musik mengedepankan pengalaman dan
pemahaman, akan tetapi hal terebut tidak mungkin dilakukan tanpa
penjelasan-penjelasan karena kita juga mengalami pengetahuan dalam artian
penjelasan, dan kita meletakkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana
masa depan penelitian lapangan? Seperti yang telah kita tegaskan, apabila
etnomusikologi kontemporer berhenti secara epistemologis pada penelitian
lapangan, maka tantangan
poststrukturalis terhadap penelitian lapangan harus dijawab jika disiplin ini
terus berlanjut. Memang, telah terjadi sejumlah penghapusan dalam
etnomusikologi. Kritik ini berada di atas beberapa dasar, tiga diantaranya
merupakan sentral. Yang pertama adalah kekuasaan, yang familiar sejak akhir
tahun 1960-an, dimana usaha berbasis penelitian lapangan berhenti
padaketidakseimbangan kekuatan, dan dengan demikian meliputi kekuasaan pelaku
penelitian lapangan yang tidak sah.
Dengan kata lain, pelaku penelitian lapangan
tidak memiliki hak legitimasi untuk menghadirkan informan mereka, untuk
tujuan mereka yang tidak netral—karir para etnomusikolog menunggangi
representasi-representasi ini. Para informan adalah orang dengan yang pantas
memiliki kewenangan, dan mereka seharusnya orang yang menulis—atau tidak
menulis—teks-teks etnomusikologis. Yang kedua adalah bahwa pelaku penelitian
lapangan memainkan sebuah versi
pencarian yang heroik, meskipun mereka tidak merealisasikan hal ini.
Konsekuensinya adalah bahwa etnografi musik terjerumus ke dalam pola
tunggal—pencarian naratif, implisit maupun eksplisit. Permasalahannya adalah bahwa
pencarian pola, bukannya kehidupan musik dari budaya yang sedang dipelajari,
mengatur reprsentasi dan interpretasi data. Dengan demikian, sebagai contoh,
budaya-budaya musik dipandang sebagai sebuah utopia dan distopia, dan para
etnomusikolog menjadi pahlawan-pahlawan, pahlawan yang memiliki kekurangan,
atau tokoh yang tak berwibawa (lihat misalnya, Hood 1982 [1971], dimana ia
menuliskan pentingnya peran etnomusikolog dalam membantu membuat gong ageng). Lebih dari itu, sebagai seorang
pahlawan dalam pencarian, etnografer jarang mengklaim kewenangan untuk
merepresentasikan budaya musik lainnya: pahlawan tersebut memiliki agenda yang
berbeda. Yang ketiga adalah tingkatan dasar-dasar epistemologis. Pemikiran post-strukturalis
menolak eksistensi otonomi diri. Gagasan bahwa penelitian lapangan merupakan
sebuah pertemuan antara diri dengan orang lain dianggap hanya sebuah khayalan,
padahal orang lain dianggap sebagai objektifikasi yang dirasionalisasikan.
Tidak
ada tantangan poststrukturalis maupun berbagai jawaban yang dapat dilihat
sebagai rincian yang pantas disini. Akan tetapi permulaan sebuah jawaban
epistemologis dapat ditemukan dalam tulisan tentang fenomenologis penciptaan
musik terdahulu. Ketika menciptakan musik, saya mengalami bahwa diri saya
menghilang; saya merasa musik memenuhi diri saya dan saya menjadi musik yanga
ada di dunia. Akan tetapi saya mengalami kembalinya pengenalan terhadap diri
saya. Dalam berbagi kedaan di berbagai budaya musik di dunia, engalaman menciptakan
musik merupakan pengalaman mengenali diri sendiri di tengah-tengah orang lain.
Ini merupakan pengalaman yang benar-benar bersifat komunal, dan saya meyakininya.
Saya meyakini bahwa representasi yang berlandaskan pengalaman ini akan mulai
menjawab tantangan poststrukturalis dengan menggabungkan gagasan para
etnomusikolog dengan apa yang mereka miliki, sehingga menjadi sesuatu yang
cukup otonom. Diri yang otonom memainkan mitos-mitos heroik. Memunculkan diri
di sisi lain berkaitan dengan diri itu sendiri, terjaring dalam resiprositas.
Keterkaitan merupakan sebuah nilai yang menantang ktirik masyarakat
kontempo-rer modern. Saya berkeinginan untuk meninjau nilai ekologis dan
hubungan dekatnya dengan penciptaan musik serta penelitian lapangan dengan
landasan bahwa kelangsungan hidup lebih dari apa yang menjadi ketergantungan
etnomusikologi.
Bibliografi
Carnap,
Rudolph. 1966. An Introduction to the
Philosophy of Science. New York: Harper Torchbooks.
Code,
Lorraine. 1991. What Can She Know?
Feminist Theory and the Construction of Knowledge. Ithaca: Cornell
University Press.
Dallmayr,
Fred R., & Thomas A. McCarthy. 1977. Understanding
and Social Inquiry. Notre Dame: Notre Dame University Press.
Feld,
Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds,
Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. Edisi Kedua. Philadelphia:
University of Pennsylvania Press.
Gadamer,
Hans-Georg. 1992 [1975]. Truth and Method.
Edisi Kedua yang direvisi. New York: Crossroad.
Gourlay,
K. A. 1978. ‘‘Towards a Reassessment of the Ethnomusicologist’s Role in
Research.’’ Ethnomusicology
22(1):1–35.
Guilbault,
Jocelyne 1993. Zouk: World Music in the
West Indies. Chicago: University of Chicago Press.
Harrison,
Frank, ed. 1973. Time, Place and Music:
An Anthology of Ethnomusicological Observation, c. 1550 to c. 1800.
Amsterdam: Frits Knuf.
Hood, Mantle. 1963. ‘‘Music, the
Unknown,’’ dalam Frank L. Harrison, Mantle Hood, & Claude V, Palisca. Musicology. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall, pp. 215-326.
_______. 1982 [1971]. The Ethnomusicologist. New Edition.
Kent: Kent State University Press.
Ihde,
Don. 1986 [1977]. Experimental
Phenomenology: An Introduction. Albany: State University of New York Press.
Kingsbury,
Henry. 1988. Music, Talent, and Performance:
A Conservatory Cultural System. Philadelphia: Temple University Press.
Kisliuk,
Michelle. 1991. ‘‘Confronting the Quintessential: Singing, Dancing, and
Everyday Life Among Biaka Pygmies (Central African Republic).’’ Disertasi
Ph.D., New York University.
Kunst,
Jaap. 1959. Ethnomusicology: A Study of
Its Nature, Its Problems, Methods, and Representative Personalities to Which Is
Added a Bibliography. Edisi Ketiga. The Hague: Martinus Nijhoff. [Pertama
kali diterbitkan dengan judul Musicologica
pada tahun 1950 oleh Royal Tropical Institute, Amsterdam.]
Landow,
George. 1992. Hypertext. Baltimore:
Johns Hopkins University Press.
Lucas,
William. 1971. Lazy Bill Lucas. Wild
12MO1. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
_______.
1972. Lazy Bill and His Friends. Lazy
12MO2. 12 in. long play record, Buc, Perancis.
McAllester,
David P. 1973 [1954]. Enemy Way Music: A
Study of Social and Esthetic Values as Seen in Navaho Music. Cambridge,
Mass.: Peabody Museum of American Archaeology and Ethnology, Harvard
University; New York: Kraus Reprint.
_______. 1989. Videotaped seminar, Brown University.
Mitchell,
Frank. 1978. Navajo Blessingway Singer.
Tucson: University of Arizona Press.
Myers,
Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology,’’ dalam Helen Myers, ed. Ethnomusicology: An Introduction. New
York: W. W. Norton.
Nettl,
Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York:
Free Press of Glencoe.
_______.
1983. The Study of Ethnomusicology:
Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press.
Pillay,
Jayendran. 1994. ‘‘Indian Music in the Indian School in South Africa: The Use
of Cultural Forms as a Political Tool.’’ Ethnomusicology
38(2):281–301.
Rice,
Timothy. 1994. May It Fill Your Soul:
Experiencing Bulgarian Folk Music. Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur,
Paul. 1981a. ‘‘What Is a Text? Explanation and Understanding,’’ dalam John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences. Terjemahan John
B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 145–164.
_______.
1981b. ‘‘The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text,’’
dalam John B. Thompson. Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human
Sciences. Terjemahan John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University
Press, 197-221.
Rorty,
Richard. 1979. Philosophy and the Mirror
of Nature. Princeton, N.J.:
Princeton University Press.
Rosaldo,
Renato. 1993 [1989]. Culture and Truth:
The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
von
Rosen, Franziska, & Michael William Francis. 1992. River of Fire. 1/2 in. VHS Videotape. Lanark, Ontario, Canada:
Franziska von Rosen.
von
Rosen, Franziska. 1992. ‘‘Micmac Storyteller: River of Fire—The Co-Creation of
an Ethnographic Video.’’ Canadian Folk
Music Journal 20:40–46.
Schutz,
Alfred. 1962. Collected Papers. The
Hague: Martinus Nijhoff.
_______.
1976. ‘‘Son House: Two Narratives.’’ Alcheringa:
Ethnopoetics NS 2(1):2–9.
Seeger,
Anthony. 1987b. Why Suya´ Sing: A Musical
Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy,
Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied
Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology
36(3):323–36.
Stewart,
David, and Algis Mickunas. 1990. Exploring
Phenomenology. 2nd ed. Athens: Ohio University Press.
Titon,
Jeff Todd. 1969. ‘‘Calling All Cows: Lazy Bill Lucas.’’ Blues Unlimited 60:10–11 (Mar. 1969), 61:9–10 (Apr. 1969), 62:11–12
(May 1969) 63:9–10 (June 1969).
_______.
1980. ‘‘The Life Story.’’ Journal of
American Folklore 93:276–92.
_______.
1985. ‘‘Role, Stance, and Identity in Fieldwork Among Folk Baptists and
Pentecostals in the United States.’’ American
Music 3:16–24.
_______.
1988. Powerhouse for God: Speech, Chant,
and Song in an Appalachian Baptist Church. Austin: University of Texas
Press.
_______.
1989. ‘‘Ethnomusicology as the Study of People Making Music.’’ Paper delivered
at the annual conference of the Northeast Chapter of the Society for
Ethnomusicology, Hartford, Connecticut, April 22.
_______.
1991. The Clyde Davenport HyperCard Stack.
[Tersedia via anonymous ftp di Internet dari EthnoForum sejak 1992. Untuk
informasi bagaimana mengunduhnya, kirimkan e-mail ke ethmus-l@umdd.umd.edu].
_______.
1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36 (3): 315–22.
_______.
1995. Early Downhome Blues. Edisi
Kedua. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Kay Kaufman Shelemay
_____________________________
3
Etnomusikolog,
Metode Etnografis,
dan Transmisi
Tradisi
Dengan cara
apapun mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, peneliti lapangan dan
subjek adalah yang pertama dan yang utama. Saling berbagi identitas membuat
penelitian lapangan, dengan berbagai
permasalahan dan pencapaiannya, sebagai sebuah model belajar yang saling
menguntungkan.
(George & Jones, People
Studying People, 1980:3)
Umumnya
persoalan etnomusikologis terkait transmisi tradisi dimaksudkan untuk
mendokumentasikan dan menginterpretasikan cara dimana musik dikomunikasikan
dari waktu ke waktu dalam sebuah latar tertentu, serta memperhatikan dinamika
interpersonal dan teknologi komunikasi dari proses ini.[1]
Kendatipun demikian, saya tidak akan memfokuskan penyelidikan terhadap
bagaimana para membawa tradisi, tidak juga terhadap materi-materi yang ada
dalam tradisi ini. Akan tetapi, saya akan merefleksikan dan mendiskusikan peran
etnomusikolog yang menjadi sebuah bagian dari transmisi tradisi tersebut ketika
mereka berada dalam pencarian dokumen terkait proses transmisi.[2]
Saya
akan mendekati permasalahan ini dengan mengambil contoh dari pengalaman saya
ketika berada di lapangan dan kisah rekan-rekan saya dalam literatur. Saya
berharap untuk mengarahkan diskusi ini di luar apresiasi terkait dampak dari
“pengetahuan relasional” (Rosaldo 1993 [1989]:206-8)[3]
terhadap interpretasi dan penulisan etnografis untuk mengupas lebih dalam suatu
jenis resiprositas dan tindakan yang bedasar, yang uniknya seringkali tumbuh
dari proses penelitian etnomusikologis. Saya akan menunjukkan bahwa sebuah
pendirian teoretis idiosinkratik dan metodologi kerja meningkatkan pertumbuhan
penelitian etnomusikologis dan kemungkinan besar berakar dari hubungan
etnomusikologi dengan berbagai disiplin lain meskipun dipermasalahkan.
Kiranya
penting untuk memberikan gambaran perspektif disipliner secara singkat, dimana
saya akan kembali ke permasalahan ini kemudian. Dalam kaitannya dengan sejaah
intelektual dan pelatihan para penelitinya, etnomusikologi seringkali dibentuk
oleh dunia-dunia yang saling bertentangan, yakni musikologi sejarah dan
antropologi. Bagi musikolog sejarah, transmisi tradisi seperti sebuah aspek
implisit dari aktifitas mereka yang meninggalkan penelitian secara cermat.
Siapapun yang benar-benr musikolog sejarah akan mengakui bahwa ia terlibat
dalamkeberlanjutan tradisi yang dipelajari.Dari kelahirannya pada tahun 1885
sebagai bagian dari bidang yang lebih besar—yakni keilmuwanan musik, termasuk
musikologi komparatif di dalamnya, musikologi sejarah memiliki tambahan penting
terkait misi keilmuwanannya, yakni penemuan/pene-muan kembali, interpretasi,
dan pengabadian musik-musik dari tradisi musik seni Eropa-Amerika. Memang,
Masyarakat Musikologis Amerika (American
Musicological Society) setiap tahunnya menganugerahkan penghargaan Noah Greenberg “untuk merngsang
keterlibatan aktif para ilmuwan dan pelaku [musik] dengan memberikan
penghargaan dan mendukung berbagai [pemikiran yang
dinilai dapat] sumbangan besar terhadap kesadaran pertunJukan secara
historis dan untuk studi historis praktek-paktek pertunjukan” (American Musicological Society Directory 1993:7).
Konferensi tahunan organisasi ini mengutamakan resital-resital khusus dan
berbagai konser untuk komposisi-komposisi, bukan sebaliknya, selalu
mendengarkan dan menyajikan.[4]
Dengan demikian, manuskrip-manuskrip musik diselamatkan hanya dengan
mengumpulkan kembali manuskrip yang berserakan, direkonstruksi, disunting, dan
ditampilkan oleh para musikolog sejarah sebagai bahan pelajaran. Mengutip
harapan Josep Kerman terhadap keilmuwanan musik dalam buku berjudul Contemplating Music, “setiap terbitan
musik yang sifatnya ilmiah adalah undangan bagi seorang pemusik, dan musikolog
seharusnya sadar untuk bersusah payah, mempengaruhi, mengkonsultasikan, serta
merencanakan/men-dalangi … konser-konser ketika mereka diberikan sebuah kesempatan”
(1985:185).
Tentu
saja, polemik sentral di kalangan para musikolog sejarah vis-à-vis dengan aksi pertunjukan dan peran yang mereka miliki
dalam mentransmisikan (dan bahkan menemukan kembali) tradisi tampaknya menjadi
pusat dari persoalan yang lebih besar terkait otentisitas dan kreatifitas dalam
tindakan merekonstruksi musik dan praktek pertunjukan.[5]
Para musikolog secara umum tidak mempermasalahkan apakah mereka seharusnya aktif dalam proses
pentransmisian tradisi musik; mereka agaknya lebih mempermasalahkan untuk
menjawab seberapa dekat mereka dengan
perjalanan historis dan dalam cara apa pertanyaan-pertanyaan muncul dari
ketiadaan sumber mereka. Sebagian besar etnomusikolog dididik sebagai mahasiswa
pada jurusan-jurusan musik yang beroperasi di bawah sistem yang baru saja dijelaskan
di atas, tempat yang sama dimana sebagian besar profesor dalam bidang
etnomusikologi menemukan lembaga sebagai rumah mereka.
Interaksi
yang lama antara dokumentasi yang sifatnya ilmiah dengan aksi pertunjukan telah
berpengaruh pada teori etnomusikologis, yang paling sering disebut dengan
“bi-musikalitas”, yang dikembangkan oleh Mantle Hood. Sebaga- pendiri dari
program Etnomusikologi di UCLA, Hood merasakan bahwa “melatih telinga, mata,
dan suara, hasilnya diyakini akan menambah pemahaman kajian teoretis yang
nyata. Hood juga memperhatikan bahwa pelatihan dan penyajian/pertun-jukan dalam
musik Barat membatasi para etnomusikolog untuk mempelajari tradisi-tradisi
lainnya. Hood tidak hanya menulis tentang pentingnya menjadi bi-musikal (atau
multimusikal) dan mengumpulkan/mem-peroleh pengalaman musik lintas-budaya
melalui pertunjukan. Ia menetapkan sebuah kurikulum etnomusikologi yang
melibatkan para pelaku asli, yang didatangkan ke UCLA untuk mengarahkan
mahasiswa dalam sejumlah tradisi musikal. Para mahasiswa petama Hood pergi
untuk mencari program-program lain di Wesleyan, Michigan, Seattle, dan
tempat-tempat lain. Menjadi bi-musikal kemudian seolah merupakan keharusan bagi
para etnomusikolog, yang mempertebal kemampuan bi-musikal mereka dengan menjadi
partisipan sesungguhnya dalam sebuah partisipasi observasi di lapangan.
Sebaliknya,
meningkatnya kemungkinan terlibatnya antropolog dalam transmisi tradisi
memunculkan sebuah respon yang cukup
berlawanan dari para musikolog sejarah. Para antropolog secara umum juga tidak
mengarah pada persoalan ini secara eksplisit; hanya yang paling belakangan,
revisi Dasar-dasar Tanggung Jawab Profesional American Anthropological Assosiation (1990) memperkuat dan
menyesuaikan pernyataan akan pertanggungjawaban terhadap “orang-orang yang
hidup dan berbagai kebudayaan yng
dipelajari oleh para antropolog,” untuk pertama kalinya menyebutkan kemungkinan
“konsekuensi positif dan negatif dari
berbagai aktifitan [para natropolog] dan publikasi-publikasi dari hasil aktifitas
ini (Fluehr-Lobban 1991:274).[6]
Tentu saja, meskipun catatan menunjukkan bahwa para etnomusikolog dan dididik
secara antropologis juga telah secara aktif berpartisipasi dalam pertunjukan
musik di lapangan, mereka telah sangat sering memastikan resiprositas dan/atau
untuk menguji pemahaman mereka terkait data musik yang telah mereka kumpulkan.
Mengutip sebuah contoh dari studi etnomusikologis yang dilaksanakan oleh
seorang ilmuwan yang berlatar belakang pendidikan antropologi, Steven Feld
mengijinkan dirinya sendiri untuk menyajikan sebuah “pria lagu” yang berasal
dari kebudayaannya dalam suku Kaluli (ia memainkan rekaman Charlie Parker)
(Feld 1990 [1982]:11). Feld juga menciptakan dan menampilkan lagu-lagu untuk
rekan penelitiannya guna menguji hipotesis tentang “keterbatasan atas bentuk”
(p. 13).
Bahkan,
hingga kini para etnomusikolog yang berlatar belakang pendidikan antropologi
terpengaruh pernyataan Hood. Dalam sebuah studi yang mendukung “antropologi
musikal,” Anthony Seeger agaknya melampaui Feld dalam hal menyatu dengan
pertunjukan musik guna tujuan-tujuan heuristik. Seeger mempersembahkan bukunya
yang berjudul Why Suyá Sing (1987b)
“untuk mengenang lagu-lagu yang kita nyanyikan,” dan menjelaskan secara cukup
detail terkait gaya-gaya musik dari bluegrass hingga lagu-lagu Afrika yang
ia dan Judy Seeger ajarkan kepada Suyá. Dalam beberapa hal, Seeger mengakui
bahwa ia menggubah lagu-lagu rakyat yang ia pelajari dari pamannya, Pete
Seeger, “untuk menyesuaikan dengan pola yang dianggap mudah oleh Suyá” (Seeger
1987b:20). Untuk menghormati permintaan Suyá terkait publikasi rekaman musik
kolaborasi mereka (pp. 23-24),[7]
kegiatan Seeger kenyataannya begitu dekat dengan jenis partisipasi
etnomusikologis dalam transmisi tradisi yang saya cari untuk dibahas di sini.
Dengan
demikian, aktifitas etnomusikologis dalam transmisi tradisi muncul dari
komitmen musikologis dengan pelestarian tradisi musik yang dipadukan dengan
perhatian antropologis dalam melihat resiprositas dan tanggung jawab sosial.
Terlepas dari berbagai implikasi disipliner dan pengetahuan/pema-haman terhadap
nilai-nilai dari bidang studi yang berbeda, diskusi tentang peran peneliti
lapangan dalam transmisi tradisi mengungkap sebuah aspek kesungguhan sifat
manusia dari fieldwork dan pada saat
yang bersamaan memunculkan persoalan etika-etika penelitian etnografi yang
telah sedikit dibicarakan.[8]
Sebagian besar pembicaraan tentang etika cenderung berpusat pada
hubungan-hubungan interpersonal baik selama fieldwork
dilakukan atau setelahnya, dan hanya secara insidental ditujukan terhadap
dampaknya pada tradisi musik itu sendiri.
Etnografi dan Transmisi
Perhatian
saya terhadap permasalahan ini awalnya tidak muncul pada tingkat teoretis. Akan
tetapi, sebuah pengalaman di lapangan beberapa tahun yang lalu mendorong saya
ke arah serangkaian pemikiran baru terkait peran etnomusikolog. Saya akan
menjelaskan peristiwa etnografis secara cukup detail beserta konteksnya yang
lebih luas, yang memungkinkan untuk membawa pemikiran ini dalam gambaran yang
nyata.
Satu
dekade yang belum lama berlalu, saya melakukan penelitian lapangan dalam masyarakat Yahudi keturunan Syria yang
tinggal di Brooklys, New York. Proyek ini berawal dari pekerjaan kelompok
bersama para mahasiswa saya di Universitas New York dan komunitas orang Syria
(lebih rinci dalam Shelemay 1988). Saya melanjutkan penelitian ini seorang diri
semenjak proyek kelompok ini berakhir pada tahun 1986 dan memperluas cakupannya
hingga meliputi penelitian lapangan terhadap
orang Yahudi Syria di Meksiko dan Israel.
Sejumlah
latar dibutuhkan sebagai kerangka diskusi berikut. Sekitar tujuh puluh tahun
setelah migrasi mereka dari Aleppo ke Dunia Baru, sebuah komunitas Yahudi Syria
yang berjumlah lebih dari 30.000 jiwa di wilayah New York menyambung keberadaan
identitas Yahudi Arab yang terekspresikan, sebagian, melalui berbagai aspek
pertunjukan musik. Repertoar musik pokoknya adalah sekumpulan himne
paraliturgis yang disebut dengan pizmonim
(tunggal: pizmon), yang telah
digubah, menggunakan teks berbahasa Yahudi dan melodi-melodi Arabik. Nada-nada pizmon diadopsi dari lagu-lagu populer
dalam tradisi musik Arab, sebaliknya teks-teks Yahudi mengandung
perumpamaan-perumpamaan dari kitab suci dan liturgi, serta maksud-maksud
terselubung serta juga ada yang dipersembahkan kepada individu-individu anggota
komunitas. Lagu-lagu yang multivokal dan berbagai kenangan dihadirkan lewat
beberapa alur teks yang terpisah dan nada-nada menjadi bahan analisis sosial
dan sejarah yang menarik, tetapi bukan itu permasalahan kita di sini. Fokus dari
proyek penelitian awalnya adalah pizmonim
yang muncul secara langsung para anggota komunitas yang mengetahui akan hal
ini (pizmonim) dan jika memungkinkan,
mereka ingin merekam hingga sebanyak 500 lagu yang masih ada. Kelompok proyek
penelitian terdahulu merekam pertunjukan hampir sebanyak 200 pizmonim, dan menyimpan seluruh
salinannya di arsip komunitas, dimana para anggota dari kelompok penelitian itu
juga membantu dalam membuat katalog dan menyusunnya.
Gambar 7-1. Program dalam Konser Pizmon untuk menghormati Meyer “Mickey”
Kairey. 14 Maret 1990, Shepardic Community Center, Brooklyn, New York.
Peristiwa
yang disoroti terkait persoalan transmisi ini diadakan dalam komunitas Syria
pada tanggal 14 Maret 1990, dan diadakan dalam rangka menghormati Meyer
“Mickey” Kairey, seorang pria berusia enam puluhan, yang selama bertahun-tahun
menjadi panutan dalam kehidupan religius komunitas Syria. Salah satu kegiatan
Mickey Kairey yang paling diingat adalah pengajaran pizmonim-nya bagi para pemuda Syria. Mickey Kairey memainkan peran
penting sebagai salah satu pendamping penelitian dalam proyek pizmonim dan pada berbagai kesempatan
yang membutuhkan keahliannya.[9]
Konser
ini, yang dibanjiri oleh kurang lebih 350 orang, diadakan di Pusat Komunitas
Shepardy (Shepardhic Community Center)
di Brooklyn, yakni pusat kelembagaan komunitas Yahudi Syria. Programnya[10]
meliputi dua “rangkaian” pizmonim yang
berbeda, yang dinyanyikan oleh sekelompok koor pemuda diiringi dengan sebuah
ansambel instrumen-instrumen timur tengah, dan yang ketiga, penampilan
lagu-lagu solo yang dibawakan oleh Isaac Cabasso (paman Mickey) serta ia
sendiri (Mickey), seorang pemimpin nyanyian yang dicintai oleh komunitasnya.
Puncak acara sore itu adalah pemberian serifikat berbingkai yang berukuran
besar untuk Mickey, memuat sekitar 1.000 tanda tangan muridnya yang ia latih
antara tahun 1955 hingga 1990. Lihat halaman 195 untuk contoh ucapan selamat
dalam sebuah buku persembahan yang dibuat oleh berbagai keluarga sebagai
ungkapan terima kasih atas peran Mickey dalam transmisi pizmonim.
Di
tengah acara, dihadirkan presentasi audio-visual tentang kehidupan dan karya
Mickey. Film tersebut menlusuri perjalanan karir Mickey, termasuk gambar-gambar
sinagoge serta guru dan pelatih pizmonim-nya,
Eliyahu Menaged. Ada juga gambar-gambar keluarganya, berbagai foto ketika ia
dalam dinas militer semasa Perang Dunia II, serta koleksi yang sangat banyak,
yang menunjukkan kecintaannya terhadap berbagai jenis musik, termasuk Stan
Kenton dan berbagai Big Band dari
tahun 1940-an. Film-film itu menunjukkan bagaimana Mickey melatih para pemuda
untuk Bar Mitzvah mereka, diiringi
dengan komentar dan rekaman-rekaman yang dibuat oleh para peserta pelatihan
ini. Tiba-tiba, dalam rekaman itu terdengar suara saya yang sedang melontarkan
sebuah pertanyaan tentang pizmon;
jelas suara itu diambil dari sebuah rekaman dalam kegiatan yang diadakan sekitar
lima tahun yang lalu ketika Mickey mengajarkan pizmonim kepada saya dan para mahasiswa saya. Meskipun konser itu
secara terbuka merayakan peran individu dalam transmisi tradisi, dalam hal ini
sumbangan besar Mickey Kairey dalam transmisi pizmonim, saya tidak menyangka bahwa saya menjadi bagian dari
pengalaman Mickey seperti halnya ia menjadi bagian dalam pengalaman saya.
Etnomusikolog telah terlibat ke dalam pengalaman Mickey dan komunitasnya,
sebuah hubungan yang sangat kecil dalam rangkaian transmisi dari masa lalu ke
masa depan mereka.[11]
Jika
saya memiliki sejumlah keraguan bahwa kehadiran secara etnomusikologis menjadi
sebuah faktor di balik transmisi tradisi, mereka telah menghilangkan keraguan
ini secara cukup kebetulan dalam sebuah wawancara yang saya lakukan sesaat
setelah konser. Seorang penyanyi muda Syria, yang saya ajak diskusi terkait
penghidupan kembali nyanyian pizmon, meyakini
bahwa pizmon hadir di tengah generasi
muda komunitas Syria saat ini. Lebih jauh ia menunjukkan bahwa sebuah katalis
untuk usaha penghidupan kembali pizmon adalah
peristiwa-peristiwa seperti konser sore tadi, bahwa sebuah genre pertunjukan telah dimunculkan pada awal proyek kelompok
(komunikasi pribadi, B. Zalta, 16 Maret 1991).
Jelas,
proyek musik Syria telah menjadi sebuah usaha penelusuran, bukan hanya sekedar
perekaman musik dan berbagai sejarah tradisi dalam sebuah arsip. Enam tahun
setelah dicetuskan, usaha ini telah meresap baik ke dalam aktifitas komunitas
maupun ingatan individu. Pada persimpangan antara kehidupan dan pertemuan
dengan keilmuwanan formal ini, berbagai hubungan institusional, seperti yang
muncul antara Pusat Komunitas Shepardy dengan Universitas New York berkaitan
dengan hak cipta dan kesepakatan royalti untuk rekaman yang kami produksi
bersama (Shelemay & Weiss 1985) serta sebuah jaringan pertemanan dekat
secra individual yang kompleks antara saya, beberapa mahasiswa saya, dan skitar
dua lusin orang dalam komunitas Yahudi Syria.
Setelah
melihat kembali jurnal saya, surat-surat selama proyek, dan sisa-sisa lain dari
hubungan kami yang cukup lama, saya mendapati contoh lain dari aktifitas saya
yang secara langsung bersentuhan dengan proses, personil, dan berbagai politik
transmisi. Berikut akan saya berikan beberapa contoh secara singkat.
Gambar 7-2. Penghargaan dalam Booklet Persembahan
bagi Meyer “Mickey” Kairey yang disebarkan pada tanggal 14 Maret 1990, Shepardic
Community Center.
Pada
bulan Juni 1986, saya diminta menulis surat untuk Kantor Pelayanan Imigrasi
Amerika Serikat terkait kedatangan seorang penyanyi tamu dari Israel, yang
berharap sinagoge Syria terbesarnya di Brooklyn dapat dibangun pada sebuah tempat secara permanen. Disini
saya memanfaatkan kewenangan saya sebagai seorang profesor dan menggunakan
pengetahuan yang saya miliki tentang tradisi untuk membantu komunitas ini
terkait sebuah hal yang sangat penting bagi mereka. Kenyataannya, sebagai
seorang etnomusikolog, saya benar-benar cukup memperhatikan peristiwa ini,
karena tradisi musik Aleppo yang ada di Brooklyn adalah sesuatu yang berbeda,
yang berada di bawah tekanan dan mengalami perubahan yang benar-benar
signifikan karena masuknya para penyanyi kelahiran Israel berbakat yang membawa
aliran-aliran tradisi Shepardy yang berbeda. Dalam surat saya, saya secara
sengaja menghilangkan informasi ini dan secara sadar memainkan sebuah peran
yang secara langsung berpengaruh dalam sebuah arah dimana secara pribadi
bertentangan dengan saya namun diinginkan oleh komunitas tersebut.
Pada
tahun 1987, saya diminta oleh seorang pemimpin komunitas tersebut untuk
memberikan informasi yang dapat menumbuhkan perhatian di kalangan pendeta lokal
terkait begitu banyak melodi yang digunakan dalam pizmonim Syria merupakan melodi-melodi sekuler dan/atau bahkan
berasal dari [nyanyian] Kristen atau Islam. Secara khusus permasalahan ini
misalnya terletak pada pizmon “Mifalot
Elohim,” yang meminjam melodi dari nyanyian Kristen yang sangat dikenal, yakni
“Oh Tannenbaum.” Kiranya hampir dapat dipastikan bahwa kesangsian ajaran nabi
tentang persoalan yang lebih luas sebagain dipicu oleh publikasi rekaman kami
dua tahun yang lalu serta kolaborasi setelahnya yang dikenal sebagai “proyek musik
Syria.” Untuk menanggapi permintaan ini, saya memberikan informasi tentang
beberapa kontroversi, melodi-melodi yang dipinjam, dan menyertakan sebuah
pemikiran yang dapat digunakan dalam membenarkan/menilai tradisi:
Saya tidak berpikir tentang
sumber-sumber asli dari melodi-melodi ini yang seharusnya menjadi perhatian
anda dan komunitas anda. Ada sebuah tradisi dalam musik Yahudi (baik sakral
maupun sekuler) dalam hal meminjam melodi-melodi dari masyarakat yang ada di
sekitar. Tradisi ini tersebar luas di lingkaran Ashkenazic seperti halnya dalam
tradisi pizmonim anda, hanya saja
sumber dari melodi-melodinya berbeda karena perbedaan latar geografis. Musik
selalu merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan di sekitarnya dan yang saya
tahu tidak ada tradisi yang “murni” dan tidak meminjam berbagai hal dari mereka
yang telah melakukan kontak [dengan kebudayaan itu]. Ekspresi musikal yang
sangat alami adalah yang ditransmisikan dari orang ke orang melewati
batas-batas geografis, sosial, dan budaya. (Kay K. Shelemay, surat tertanggal 9
Juni 1989 untuk seorang anggota komunitas Syria)
Selanjutnya,
dalam kasus ini, saya menjelaskan proses transmisi guna menilai/membenarkan,
dan akhirnya, untuk melestarikan/melindungi tradisi.
Publikasi
dari pizmonim yang direkam, mencakup pizmonim pilihan yang diambil dari
rekaman-rekaman selama tahun pertama proyek bersama kami, menimbulkan hasil
yang tidak dibayangkan.[12]
Rekaman ini dipilih oleh American
Folklife Center untuk Selected List-nya
(American Folk Music and Folklore Recordings:
A Selected List 1985), yang juga memenangkan penghargaan dari asosiasi
nasional komunitas Yahudi pusat. Kedua penghargaan ini merupakan sebuah kebanggan
bagi mereka yang terlibat di dalam proyek ini. Kendatipun demikian, publikasi
dari rekaman ini, serta “konser tahunan pizmon
yang pertama” yang diadakan kuang lebih bersamaan, yakni tahun 1985,
memunculkan persepsi di luar komunitas bahwa para pria Syria yang terlibat
dalam kegiatan musik merupakan sebuah grup musik.[13]
Interaksi
saya dengan individu-individu ini di luar kegiatan rekaman formal dan wawancara
meningkat ketika kami mulai memperoleh berbagai undangan dari intitusi
kebudayaan di wilayah itu dn berbagai universitas: Secara umum, pria Syria
diminta untuk tampil dan saya diminta untuk memberikan kuliah atau pengantar
panjang untuk menjelaskan musik yang dinyanyikan. Para pria yang bekerja dengan
saya tampak cukup nyaman dengan keadaan ini meskipun jelas tidak seimbang;
tentu saja, mereka mengundang saya untuk berbicara dalam konser pizmon yang pertama dan menunjukkan
kepada sponsor bahwa saya berpartisipasi ketika mereka menerima undangan pertama
untuk tampil di luar komunitas.
Kini
saya menyadari bahwa ini baru merupakan awal meningkatnya peran aktif saya
dalam proses transmisi, yang menyertakan ketergantungan pertemanan antara saya
dengan beberapa orang dalam komunitas.Sebuah peristiwa yang sangat penting
adalah yang diadakan pada tanggal 15 November 1987, dimana saya diundang untuk
memberikan sebuah perpaduan antara kuliah/konser di sebuah pusat komunitas yang
terletak di Lower East Side of Manhattan.
Ketika memulai bagian ini dengan pembicaraan yang menjelaskan tradisi musik
Syria, para peserta orang tua yang umumnya berasal dari para imigran Yahudi
keturunan Eropa Timur terlihat sangat gelisah. Setiap kali saya menyebutkan
hubungan antara tradisi Yahudi-Syria dengan musik Arab dan menggunakan istilah
“Arab,” sebagian dari para peserta berdesis/mencemooh.[14]
Setelah beberapa kali terjadi hal ini, Moses Tawil, pemimpin dari para pria
Syria yang kn menyanyikan pizmonim, berdiri
dari bangkunya, berdiri di belakang saya dan berbicara lewat mikrofon: “Kita
adalah orang-orang sibuk, dan tidak seharusnya berada di sini,” katanya dengan
berempati. “Kita tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh Profesor Kay dan
ingin mendengarkannya. Mohon untuk tenang.”
Saya
tidak dapat mengatakan bahwa teguran dari Tawil memperbaiki tingkah para
peserta—saya tetap menganggap ini sebagai satu-satunya pengalaman terburuk
dalam melakukan kuliah umum—akan tetapi itu merupakan sebuah saat yang sangat
penting terkait kehangatan dan ikatan antara saya denga orang Syria saat ini.
Setelah peristiwa itu, saya menerima berbagai undangan untuk perayaan-perayaan
keluarga, Bar Mitzvah, ulang tahun pernikahan, serta perayaan-perayaan liburan.
Kami menjadi lebih dekat, dan selanjutnya saya dipanggil untuk memainkan sebuah
peran dalam pengabadian tradisi.
Dengan
demikian, saya berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh para
etnomusikolog dengan terlibat dalam penelitian dengan tradisi-tradisi musik
yang hidup beserta mesyarakat pemiliknya, mereka secara sengaja maupun tanpa
disadari terlibat dalam proses-proses dan berbagai politik transmisi tradisi.
Terkadang intervensi mereka mendukung kesinambungan; terkadang mereka juga
menyebabkan perubahan. Saya meyakini bahwa interaksi-interaksi ini tidak
dikonseptualisasikan secara formal, sebagai tindakan yang ilmiah, tetapi
relatif dilakukan secara tidak sadar pada tingkatan yang lebih personal sebagai
studi pergeseran tradisi yang hampir tidak jelas kedudukannya dalam sebuah
ruang relasional yang terletak antara keilmiahan dan kehidupan. Sebagai
hubungan-hubungan “di lapangan” yang matang dari formalitas ilmuwan/informan
terdahulu (jika ada ketersediaan waktu dan akses yang besar) menjadi sesuatu
yang lebih kolektif dan personal, peneliti lapangan tidak dapat menghindari
pergerakan melewati manajemen modal kultural ke dalam negosiasi
hubungan-hubungan manusia di lapangan.
Transmisi dan Tradisi
Sejalan
dengan meninjau kembali peran aktif saya yang unik dalam pro-ses-proses
transmisi dalam komunitas Syria, saya melihat kembali proyek-proyek fieldwork lainnya yang pernah saya
lakukan—beberapa kali proyek penelitian urban dan pedesaan di Ethiopia, sebuah
perpaduan pengalaman pengarsipan/etno-grafis dalam sebuah sinagoge Amerika di
Houston, sebuah pengalaman yang dapat dikatakan tidak sukses selama enam bulan
bergelut dengan sebuah kelompok usik baru di kota New York—dan mencari
pola-pola serupa (peran aktif dalam proses-proses transmisi). Tentu saja,
pola-pola seperti itu ada dan saya hanya dapat berpendapat bahwa pola-pola yang
demikian merupakan suati kelaziman, lebih dari apa yang diakui oleh para
etnomusikolog pada umumnya. Berikut ini saya akan mengidentifikasi dan
mendiskusikan secara singkat tiga hal dimana peneliti lapangan seringkali
terlibat dalam proses transmisi: memelihara tradisi, mengenang tradisi, dan
menengahi tradisi. Tidak disangsikan kemungkinan hal-hal selain ketiga ini, dan
sebuah pengalaman etnografis dapat merupakan perpaduan ketiganya sekaligus.
Sebagai bagian dari proses definisi, lebih jauh saya akan memberikan sejumlah
contoh berdasarkan pengalaman saya dan yang terkumpul dari literatur
etnomusikologis. Hampir tak dapat diabaikan, situasi-situasi ini tak dapat
dielakkan pada titik pertemuan kehidupan dan keilmiahan—situasi ini bermula
ketika studi terhadap sebuah tradisi menjadi bagian dari kehidupan tradisi itu
sendiri dan berbagai hubungan di lapangan semakin diperdalam menjadi sebuah
model yang lebih interaksional.
Memelihara Tradisi
Jika
berbagai aspek catatan para etnomusikolog terkait proses transmisi umumnya
diakui, maka dapat diduga bahwa aktifitas pekerjaan etnomusikologis pada satu
tingkatan adalah memelihara. Meskipun etika pemeliharaan merupakan bagian proses
etnografis yang tidak dipermasalahkan, dan berbagai paradigma lawas mengarahkan
para ilmuwan terdahulu untuk mencari dan mempelajari tradisi-tradisi tertentu
sebelum tradisi-tradisi tersebut “menghilang,” kiranya jelas bahwa proses
mempelajari tradisi musik itu sama halnya dengan berpartisipasi dalam sebuah
tindakan pemeliharaan.
Seringkali
peran etnomusikolog sebagai pemelihara tradisi diakui atau bahkan diharapkan
oleh orang-orang dalam tradisi tersebut. Mengambil satu contoh dari literatur,
Barbara Smith mencatat bagaimana ia mempelajari tarian-tabuhan genderang bon dalam masyarakat imigran Jepang di
Hawaii, menjadi anggota dari sebuah perkumpulan, dan “menabuh genderang” dalam
tarian bon pada suatu musim panas
(1987:211). Beberapa hari setelah kedua kalinya ia menampilkan tarian bon, ia mengatakan bahwa seorang anggota
komunitas tersebut berkomentar: “Sekarang aman jika kita mati, karena jika
Profesor Smith bermain genderang maka artinya selalu akan ada seseorang yang
membunyikan genderang untuk jiwa kita” (p. 211). Smith kemudian menceritakan
bahwa permainan genderang yang ia lakukan mendorong sejumlah anak muda untuk
belajar memainkannya dan bahwa pemain genderang tidak akan habis setelah itu!
Ada
berbagai contoh dimana seorang “informan” secara terang-terangan membebani
“etnomusikolog” dengan tanggung jawab mentransmisikan tradisi. Sebuah contoh
yang jelas terjadi ketika saya melakukan pekerjaan dalam masyarakat Beta Israel
(Falasha) di bagian utara Ethiopia. Suatu hari, seorang pendeta tua Beta Israel
memerhatikan saya dengan seksama dan berkata: “Dalam dua puluh lima tahun,
hanya anda yang akan mengetahui orang-orang kami yang bersembahyang” (Shelemay
1989:xviii). Ia mengakui sebuah kenyataan proses transmisi di dalam komunitasnya
sendiri dan menyadarkan saya terkait tanggung jawab untuk memelihara tradisi.
Ini
menyadarkan saya bahwa pemeliharaan bukan hanya sebuah pertumbuhan seperti
dalam paradigma keilmiahan saat ini, tetapi paling tidak dalam keadaan-keadaan
tertentu, sebuah pengakuan terhadap realita perubahan musik dan sebuah bagian
dari kontrak implisit antara entomusikolog dengan masyarakat pemiliki tradisi.
Kontrak/keter-ikatan ini akan menjadi cukup krusial dalam kasus penelitian
seorang “insider”, ketika seorang sarjana memiliki keseluruhan atau sebagian
identitas yang ia pelajari.
Contoh
tarian-tabuhan genderang bon yang dikutip
terdahulu juga menyoroti sebuah jenis pemeliharaan yang tidak saya alami secara
pribadi,[15]
tetapi merupakan sesuatu yang sangat umum ditemui di lapngan. Meskipun seluruh
etnomusikolog mentransmisikan pengetahuan melalui berbicara dan merekam musik,
lebih jauh lagi berbagai transmisi tradisi musik dapat dilakukan melalui
menghadirkan kembali (re-creating)
pertunjukan itu sendiri. Dalam cara ini, unit studi sifat performatif yang
dimiliki etnomusikolog memungkinkan terjadinya replikasi, baik sebelum maupun
setelah masa penelitian etnografis. Banyak etnomusikolog kini mengajarkan musik
yang mereka pelajari ketika berada di lapangan. Meskipun seseorang dapat
memandang aktifitas ini sebagai sebuah sumbangan, saya meyakini bahwa tidak
secara umum dianggap demikian oleh masyarakat pemilik tradisi tersebut atau
oleh etnomusikolog. Agaknya, hal tersebut dapat juga dilihat sebagai bagian
dari proses seorang manusia melintasi sebuah dunia ekspresi yang benar-benar
pribadi. Bagaimana seseorang dapat membaca deskripsi John Miller Chernoff
tentang akusisinya tentang teknik permainan genderang Ghana (1979) dan tidak
mengakui bahwa, seperti gurunya, melakukan musik ini sebagai “sebuah kenangan
jasmaniah?” (Connerton 1989).[16]
Teori-teori seperti :bi-musikalitas” yang dikemukakan oleh Mantle Hood
memungkinkan lebih dari sekedar masuk ke dalam pembelajaran musik; secara
implisit ini mengarahkan etnomusikolog menuju pemeliharaan, replikasi, dan
transmisi tradisi secara aktif.[17]
Mengenang Tradisi
Meskipun
kita cenderung mengkoseptualisasikan transmisi dengan hal-hal komunal dan
sosial, kenyataannya proses ini berjalan dengan sangat personal dan
idiosinkratik, sumber dari tradisi menjadi guru (informan, atau lebih tepatnya,
rekan penelitian), sementara seorang siswa yang menerimanya (etnomusikolog).
Kecenderungan etnomusikologi untuk melihat mulai dari individu hingga kelompok
yang berpadu dengan tradisi-tradisi antropologis yang telah berlangsung lama
dalam hal menutupi subjek penelitian, bermuara pada sedikitnya kemungkinan
penelusuran terkait pengenangan (memorializing)
dalam litertur kita. Akan tetapi, ada beberapa contoh. Bruno Nettl menulis
sebuah ode untuk guru-guru favoritnya (1984) dimana ia mendiskusikan dan
mengenang orang yang dulu pernah ia sebut dengan informan.[18]
Demikian juga, otobiografi Frank Mitchell yang berjudul Navajo Blessingway Singer, merupakan bagian dari “sebuah realisasi
akan harapan Frank bahwa buku tentang hidupnya ini akan terus hidup” serta
sebuah rasa “kesatuan keluarga” yang muncul dari kebersamaannya dengan para
editornya selama bertahun-tahun (Mitchell 1978:5). Frisbie dan McAllester
mengakui bahwa hubungan mereka dengan Frank Mitchell adalah sesuatu yang penuh
dengah kasih, yang berawal dari pengembangan laporan terdahulu, melalui
pekerjaan berbgai proyek, hingga menjadi sebuah persahabatan yang berlangsung
lama dengan kewajiban mutual dan tanggung jawab (p. 5). Jadi bukanlah suatu
kebetulan jika buku ini dipersembahkan untuk mengenang Frank Mitchell.
Memediasi Tradisi
Navajo Blessingway Singer juga membawa kita
kepada mode transmisi ketiga—mediasi (mediation).
Selain untuk mengenang Frank Mitchell, Frisbie dan McAllester menjadi penengan
antara antara dirinya degan dunia yang lebih luas: “Frank, tentu saja,
merupakan penulis Navajo Blessing Singer.
Tugas kami adalah mengumpulkan data, menyunting narasi dan, dengan dukungan
para interpreter yang cakap, mengalih-bahasakannya ke dalam bahasa Inggris”
(Mitchell 1978:8). Artinya, setiap kali seorang sarjana mengutip atau
menafsirkan sebuah wawancara atau percakapan, ia menengahi/mem-perantarai
tradisi. Sejumlah peneliti pada kenyataannya seringkali merujuk pada diri
mereka sendiri sebagai perantara. Alan Lomax tidak menganggap dirinya seorang
“yang membangkitkan kembali sebanyak mereka yang ada di tengah-tengah [tradisi
tersebut],” merasakan bagian penting dari tanggung jawabnya untuk “menemukan
penyanyi rakyat terbaik … dan mendengarkan mereka di manapun” (dikutip dalam
Sheehy 1992:329). Beth Lomax Hawes lebih menekankan hal tersebut dalam komentarnya
pada pertemuan Folk Arts Panel tahun
1981: “Itu benar, kita adalah orang yang usil!” (Titon 1992:316).
Memediasi
dapat terwujud dalam berbagai bentuk dan kemungkinan tidak terbatas hanya pada
wilayah antara komunitas dengan outsider.
Selain “menengahi” orang-orang Syria yang merupakan rekan penelitian saya,
berbicara untuk memperkenalkan pertunjukan mereka kepada penonton yang tidak
familiar dengan repertoar pizmon, saya
juga diminta untuk memikul peran ini dalam komunitas tersebut. Dalm sebuah acara
perkumpulan keluarga besar Tawil dan beberapa ratus keluarga Syria lainnya di
Passover, sebuah resor wisata di pegunungan Catskill pada akhir tahun 1980-an,
Moses Tawil meminta saya untuk memberikan sebuah kuliah umum tentang tradisi
musik Yahudi-Syria; sebagian besar peserta dalam ceramah itu adalah orang
Yahudi Syria. Dengan demikian, mediasi tidak hanya sekedar menyampaikan sesuatu
untuk mereka di luar tradisi tersebut, tetapi juga berpartisipasi dalam
menumbuhkan kesadaran sebuah tradisi di dalam komunitas pemilik tradisi itu
sendiri.[19]
Berdasarkan
ini, saya menyarankan bahwa banyak (jika tidak seluruh etnomusikolog)
memelihara, mengenang, dan memediasi tradisi-tradisi berdasarkan kebiasaan yang
wajar, terutama karena apa yang saya istilahkan dengan “bracketed performativeness” dari bahan-bahan yang mereka pelajari.
Baik di dalam lapangan maupun setelah keluar dari lapangan, secara tegas ini
bukanlah persoalan teoretis. Seseorang mempelajari musik dengan melakukan dan
mengingatnya secara berulang-ulang, baik melalui pertunjukan langsung (live) ataupun rekaman. Data
etnomusikologis dalam domain (wilayah) musikal dapat direplikasi melalui cara
tertentu dimana jenis-jenis data etnografis lainnya tidak dapat demikian.
Dengan demikian, saya menyatakan bahwa keterlibatan etnomusikolog dalam
transmisi tradisi merupakan sebuah aspek lawas dan mendalam dari sebuah proses
penelitian etnomusikologis, yang terutama muncul karena sifat datanya.
Dari
perspektif disipliner, di sini kita berhadapan dengan identitas etnomusikolog
yang bercabang, yang terbentuk dari komitmen-komitmen musikologis hingga
pertunjukan dan keterlibatan prinsip-prinsip antropologis. Ketegangan antara
pendekatan-pendekatan ini terkadang muncul di permukaan dalam literatur,
menggugah seorang tokoh di masa lalu dalam bidang ini menuliskan bahwa
etnomusikolog “tidak mencari pengalaman estetis bagi dirinya sendiri sebagai
tujuan utama (meskipun kemungkinan secara personal ini dihasilkan dari
studi-studinya), tetapi untuk menemukan/merasakan makna dari pengalaman estetis
orang lain dari sudut pandang pemahaman perilaku manusia” (Merriam 1964:25).
Dalam tulisan etnomusikologis yang muncul belakangan, terdapat pengakuan secara
eksplisit terkait keterlibatan bersama di lapangan. Dalam kata-kata seorang
etnografer:
Tidak ada pengganti dalam penelitian
lapangan etnomusikologis bagi kedekatan yang melahirkan pengalaman musik
bersama. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang
menyenangkan dan sebuah metode yang bagus. Menjadi seorang penikmat yang
apresiatif adalah bentuk penting dari pertukaran musikal. Nikmatilah rasanya
menjadi seseorang yang kembali belajar; membentuk sebuah hubungan dengan para
musisi terkemuka adalah suatu pendekatan yang umum dan berhasil dalam etnomusikologi
(Myers 1992:31).
Akan
tetapi jika “bermain” di lapangan harus berangkat dari metode yang baik, oleh
karenanya para etnomusikolog membutuhkan panduan untuk situasi yang sarat
dengan permasalah etis dan praktis. Beralih ke perspektif lainnya, tampak bahwa
para etnomusikolog dan mereka yang terlibat dalam proses transmisi dapat
mempertimbangan butir-butir berikut:
· Jika kita
terikat secara eksplisit maupun implisit untuk memelihara apa yang telah
diajarkan orang kepada kita, kita harus mendokumentasikannya dengan baik dan
selalu menyimpannya sebagai arsip.
· Pekerjaan
kita harus ditentukan waktunya (lama penelitian), yang menungkinkan kita untuk melakukan
dialog dengan orang-orang yang masih hidup dan dengan berbagai kenangan yang
sangat bermakna dari mereka yang telah tiada.
· Kita harus
menghormati kepercayaan dan melindunginya ketika diperlukan, tetapu juga harus
siap untuk mengakui keahlian dan kesenimanan ketika mereka terbuka dan
memberikannya degan cuma-cuma.
· Kita harus
berbagi hasil dari tugas kita, apakah dengan memberikan hasil-hasil rekaman,
memberikan bahan-bahan untuk digunakan dalam komunitas dan/atau oleh
individu-individu dalam komunitas itu, atau melalui pembagian finansial yang diperoleh,
misalnya dari royalti.
· Jika
penelitian lapangan adalah sebuah pencarian/penye-lidikan yang humanistis, maka
kita harus mengapus apa yang disebut dengan “dikotomi yang keliru,” kesalahan
yang memisahkan penelitian akademis dengan sektor pekerjaan publik. Kita harus
memikul tanggung jawab tidak hanya sebagai dampak dari tindakan kita memasuki
lapangan, tetapi untuk hubungan kita yang terus-menerus dengan lapangan yang
kita datangi serta para guru setelah kita “meninggalkan” mereka (yakni,
penelitian yang tidak berkelanjutan).
· Jika kita
sebaya/seumur dengan mereka yang saat itu menjadi guru kita, maka kita harus
terlibat dalam proses-proses kolaboratif. Sebaliknya, kolaborasi dapat membantu
mengurangi kekuatan-kekuatan yang tidak seimbang dan memastikan kesepadanan
antara tujuan-tujuan etnografis dengan kepekaan individu atau komunitas.
· Kita harus
mengakui secara lebih terbuka bahwa dalam berbagai situasi, ilmuwan yang
memasuki lapangan saat itu dianggap seseorang yang memiliki otoritas
(kekuasaan/kewe-nangan) dan memposisikan sejumlah kekuatan yang pasti akan
terlibat dalam mengejar kehidupan yang nyata dari masyarakat yang diteliti.
Kita wajib untuk menggunakan pengetahuan dan kekuatan, karena sudah semestinya
demikian, dalam hal-hal terpenting dari orang-orang yang kita pelajari.
· Terkadang,
kita akan berhadapan dengan situasi-situasi dimana tujuan-tujuan kita tidak
sama dengan tujuan komunitas itu atau dimana kita dipercaya untuk menyimpan
bahan-bahan sehingga secara eksplisit kita menanggung beban untuk emnjaga
kerahasiaan. Dalam contoh yang jarang ini, tindakan kita yang terbaik adalah
dengan diam atau menarik diri. Kita perlu untuk memelihara sebuah tempat dalam
tradisi pedagogik oral dimana kita dapat berdiskusi tentang kegagalan dan
keterbuangan.
Akhirnya,
pengakuan bahwa penelitian lapangan merupakan sebuah permasalahan dalam
hubungan-hubungan manusia menawarkan sebuah jalan melalui semak belukar
persoalan yang mengelilingi proses etnografis dan berpotensial menggangu peran
peneliti lapangan. Ini tampaknya sama dengan sebuah tren baik dalam
etnomusikologi maupun antropologi, yakni untuk mengembangkan sebuah teori yang
diungkapkan secara praktis (practice-informed
theory).
Sebagian
besar dari kita menyadari bahwa kita tidak melakukan studi terhadap
konsep/barang mati yang disebut dengan “kebudayaan” atau sebuah tempat yang
disebut “lapangan,” melainkan menghadapi arus individu-individu yang sesudah
itu kita berhubungan dengan mereka dalam cara-cara yang baru. Dengan mengambil
apa yang disebut Arjun Appadurai dengan “deteritorialisasi,” saya menyarankan
bahwa hubungan-hubungan manusia kemungkinan merupakan sisa yang paling pasti
dari lapangan adalah apa yang disebut dengan lokal, stabil, dan terikat (Appadurai
1991:192). Kita dapat mulai dengan mengajar dan mempraktekkan etnografi yang
mengakui realitas kebersamaan dan interaksi, yang didasarkan pada hubu-ngan-hubungan
yang dapat dinegosiasikan.
Bibliografi
American Musicological Society Directory. 1993.
Philadelphia: American Musicological Society.
Appadurai,
Arjun. 1991. ‘‘Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational
Anthropology.’’ Dalam Recapturing
Anthropology: Working in the Present, disunting oleh Richard G. Fox, 191–210. Santa
Fe, N.Mex.: School of American Research Press.
Chernoff,
John Miller. 1979. African
Rhythm and African Sensibility: Aesthetics and Social Action in African Musical
Idioms. Chicago: University of Chicago Press.
Connerton,
Paul. 1989. How
Societies Remember. Cambridge: Cambridge University Press.
Dyen,
Doris. 1982. ‘‘New Directions in Sacred Harp Singing.’’ Dalam Folk Music and Modern Sound, disunting
oleh William Ferris & Mary L. Hart, 73–79. Jackson: University Press of
Mississippi.
Feld,
Steven. 1990. Sound and
Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Song in Kaluli Expression. 2nd
ed. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Fluehr-Lobban,
Carolyn, ed. 1991. Ethics
and the Profession of Anthropology: Dialogue for a New Era.
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Georges,
R. A., & M. O. Jones. 1980. People
Studying People: The Human Element in Fieldwork. Berkeley:
University of California Press.
Hood, Mantle. 1982 [1971]. The
Ethnomusicologist. New Edition.
Kent: Kent State University Press.
Kerman,
Joseph. 1985. Contemplating
Music: Challenges to Musicology. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Lomax,
John Avery, comp. 1910. Cowboy
Songs, and Other Frontier Ballads. Pengantar oleh Barrett Wendell. New York:
Sturgis and Walton.
Merriam,
Alan P. 1964. The
Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press.
Mitchell,
Frank. 1978. Navajo
Blessingway Singer, disunting oleh Charlotte Frisbie & David
McAllester. Tucson: University of Arizona Press.
Myers,
Helen. 1992. ‘‘Fieldwork’’ dan ‘‘Field Technology.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction,
disunting oleh Helen Myers. New York: W. W. Norton.
Neuman,
Daniel. 1980. The
Life of Music in North India: The Organization of an Artistic Tradition. Detroit:
Wayne State University Press.
Nettl,
Bruno. 1983. The Study of Ethnomusicology:
Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana:
University of Illinois Press.
_______.
1984. ‘‘In Honor of Our Principal Teachers.’’ Ethnomusicology 28 (2): 173–85.
Rosaldo,
Renato. 1993 [1989]. Culture
and Truth: The Remaking of Social Analysis. Boston: Beacon.
Seeger,
Anthony and a comunidade indígena Suyá. 1982. Música Indigena: A arte vocal dos Suyá. 12 inch LP disc with liner notes. São João
del Rei: Edições Tacape 007, serie ethnomusicologia. Reissued with revised
notes on CD as volume 75 of Music
of the Earth: Fieldworkers’ Sound Collections, Tokyo:
JVC Video Software Division, 1992.
_______.
1987. Why Suyá Sing: A Musical
Anthropology of an Amazonian People. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheehy,
Daniel. 1992. ‘‘A Few Notions about Philosophy and Strategy in Applied
Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36
(3):323–36.
Shelemay,
Kay Kaufman. 1988. ‘‘Together in the Field: Team Research Among Syrian Jews in
Brooklyn, New York.’’ Ethnomusicology 32(3):369–84.
_______.
1989. Music, Ritual, and
Falasha History. East Lansing: Michigan State University
Press.
Shils, Edward. 1981. Tradition. Chicago: University of
Chicago Press.
Slobin,
Mark. 1992a. ‘‘Ethical Issues.’’ Dalam Ethnomusicology: An Introduction, disunting oleh Helen
Myers, 329–36. New York: W. W. Norton.
Smith,
Barbara Barnard. 1987. ‘‘Variability, Change, and the Learning of Music.’’ Ethnomusicology 31
(2):201–20.
Taruskin,
Richard. 1982. ‘‘On Letting the Music Speak for Itself: Some Reflections on
Musicology and Performance.’’ Journal
of Musicology 1 (3):338–49.
Tick,
Judith, ed. 1993. A
Suite for Four Strings and Piano by Ruth Crawford.
Madison, Wisc.: A-R Editions.
Titon,
Jeff Todd. 1992. ‘‘Music, the Public Interest, and the Practice of
Ethnomusicology.’’ Ethnomusicology 36
(3):315–22.
Helen Myers
_____________________________
4
Penelitian
Lapangan
Mendefinisikan
etnomusikologi bukanlah sebuah pekerjaan Dalam penelitian lapangan, kita
membuka wajah manusia dari etnomusikologi. Apakah kita memilih sebuah kampung
terpencil di India, komunitas pedesaan di Eropa, kota yang dihuni oleh orang
Nigeria atau etnis-etnis yang hidup berdampingan di kota besar seperti Tokyo
atau Paris, apakah kita mempelajari keluarga kita sendiri atau sebuah suku yang
asing, negeri kita sendiri atau sebuah tempat yang eksotis, penelitian lapangan
merupakan pekerjaan personal yang dituntut dari seorang etnomusikolog.
Penelitian lapangan juga merupakan tahap paling kritis dalam penelitian etnomusikologis—laporan
pandangan mata, dimana semua hasil akan berangkat darinya. Rintangan besar dari
usaha etnomusikologis ini juga sekaligus merupakan hal yang sa-ngat memikat,
dan tidak sedikit sarjana yang tertarik de-ngan disiplin ilmu ini karena pesona
dan mistisme dari penelitian lapangan. Tantangannya cukup banyak, diduga-atau
tidak diduga, bisa saja membosankan namun dapat juga sangat artistik. Kekuatan
dan kelemahan para etnomusikolog diuji ketika kita beradaptasi dengan cara
hidup yang asing guna mendokumentasikan budaya musing yang tidak dikenal.
Situasi penelitian lapangan yang demikian memunculkan perasaan janggal dan
membuat etnomusikolog terkadang kehilangan orientasi, sebuah realitas yang
membi-ngungkan karena seharusnya sebuah pekerjaan yang berhasil berangkat dari
kealamian, kejujuran, sepenuh hati, dan kadangkala dengan perilaku yang
spontan. Para sarjana yang berhasil melewati permasalahan-permasalahan ini
membuktikan bahwa mereka menggunakan rencana yang cerdik, menikmati penelitian,
dan menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang yang diteliti.
Etnomusikolog Australia, Alice Moyle, merekam pemain
didjeridu di Oenpelli, wilayah Barat Laut, Dataran Arnhem, 1962.
Penelitian
lapangan merupakan salah satu karakteristik ilmu-ilmu sosial, termasuk
antropologi dan etnomusikologi. Ini merubah kebiasaan lama, yakni pekerjaan ‘di
belakang meja’, dimana para musikolog mentranskripsi dan menganalisis bahan
yang direkam oleh para etnolog. Para mahasiswa etnomusikologi kini diharap
menceburkan diri secara total dalam sebuah kebudayaan yang asing bagi mereka,
umumnya selama satu tahun atau lebih, dan memperoleh pengalam musik dari tangan
pertama dalam berbagai latar yang berbeda. Selama penelitian lapangan, etnomusikolog
mengumpulkan berbagai sumber primer: berbagai observasi yang dituangkan dalam
catatan lapangan, merekam musik dan wawancara, foto, film, serta bahan-bahan
video. Berbeda halnya dengan musikolog sejarah yang mengumpulkan data sedikit
demi sedikit dari arsip-arsip dan perpustakaan, etnomusikolog harus
mengumpulkan dan mendokumentasikan materi dari para informan yang hidup. Para
etnomusikolog yang bekerja dalam kebudayaan-kebudayaan yang nyaris tidak
memiliki rekaman-rekaman tertulis harus mengandalkan metode-metode yang
dirancang untuk menyelidiki sejarah lisan. Untuk kebudayaan-kebudayaan yang
telah memiliki rekaman tertulis, peneliti lapangan harus mempelajari
sumber-sumber historis, mengumpulkan pernyataan-pernyataan dari para informan
tentang praktik musikal, dan kemudian membandingkan teks dan hasil wawancara
tersebut dengan perilaku yang diamati sehari-hari.
Beberapa
dekade yang lalu, penelitian lapangan seolah merupakan sebuah ritus peralihan
yang harus dijalani para mahasiswa, dengan hanya sedikit hal yang diajarkan.
Ketika dituntut yang namanya objektifitas, kenyataannya penekanan diletakkan
pada wawasan, intuisi, ketertarikan personal, kejadian-kejadian yang kebetulan,
dan keberuntungan. Karena topiknya bersifat individual dan personal, para
sarjana enggan menulis dengan jujur tentang pengalaman-pengalaman mereka di
lapangan. Catatan-catatan lapangan dan buku harian, transkripsi-transkripsi wawancara
serta catatan aktifitas sehari-hari jarang dipublikasikan (beberapa
pengecualian antara lain Slotkin, 1952; buku harian Bronislaw Malinowski yang
diterbitkan anumerta, 1967; dan Merriam, 1969, ‘The Ethnographic Experience’; dan sebuah antologi potret-potret
para informan di Casagrande, 1960). Mulai tahun 1960-an dan 1970-an, wujud
tulisan-tulisan tentang pengalaman pribadi penelitian lapangan juga dipublikasikan
(Powdermaker, 1966; Henry dan Saberwal, 1969; Freilich, 1970; Golde, 1970;
Spindler, 1970; Anderson, 1971; Wax, 1971 dan 1977; Mead, 1972; Blacking, 1973;
Jones 1973; Pelto dan Pelto, 1973; Foster dan Kemper, 1974; Béteille dan Madan,
1975; Clarke, 1975; Geertz, 1976; Honingmann, 1976; Freilich, 1977; dan Dumont,
1978). Gerakan ini makin pesat pada tahun 1980-an,
seolah seperti sebuah pendulum yang berayun-ayun pada titik terjauhnya, dan
sebutan sebagai pendukung subjektifitas mulai dilontarkan kepada para
psikoanalisis sebelum penelitian lapangan dan pengakuan lewat autobiografi para
sarjana (dalam antropologi, Barley, 1983; Turner dan Bruner, 1986; Whitehead
dan Conoway, 1986; dalam etnomusikologi, Berliner, 1978; Keil, 1979; dan
Gourlay, 1978, yang menilai peran etnomusikolog di lapangan).
Teks
etnografis kemudian dikupas sebagai sebuah bagian dari literatur yang
sesungguhnya, dalam bentuk dan gayanya, dan cukup lama diakui, dan dilihat
kembali untuk menghidupkan humanisme baru ini (Bruner, 1986; Clifford dan
Marcus, 1986). Perdebatan mengarah pada teka-teki epistemologis yang disebut
‘refleksifitas’, dimana para antropolog berupaya mengevaluasi dan mengukur
dampak mereka terhadap topik yang juga mereka pelajari. Tindakan observasi antropologis
merupakan sesuatu yang menonjol, tidak dapat mengubah perilaku mereka yang
diamati; ‘lensa antropologis’ ini juga menjadi objek pnyelidikan (Mills, 1973;
Peacock, 1986). Ironisnya, para sarjana yang bekerja dalam bidang ilmu fisika
telah lama menerima penyimpangan ini, terutama elemen subjektif yang melekat
pada metode saintifik (banyak penemuan dihasilkan dari kebetulan atau
keberuntungan) dan elemen interaksi personal dengan data, termasuk hal-hal
menakutkan yang memenuhi diri, misalnya ahli geologi yang berteriak keras ‘avalanche’ (salju longsor) di sebuah
gunung yang bersalju (Kuhn, 1962; Popper, 1959, 1963, 1972; Myers, 1981).
Definisi: Penelitian Lapangan,
Lapangan, Informan,
Pertunjukan dan Rekaman
Penelitian
lapangan dapat didefinisikan sebagai ‘mengamati orang-orang in situ; menemukan mereka apa adanya,
tinggal dengan mereka dengan peran yang, ketika diterima oleh mereka,
memungkinkan terjadinya pengamatan yang lebih dekat terhadap perilaku-perilaku
tertentu mereka, dan melaporkannya lewat cara yang bermanfaat bagi ilmu sosial
namun tidak membahayakan mereka yang sedang diamati’ (Hughes, 1960, p.v.).
Laura Boulton sedang merekam para
penyanyi Haiti pada tahun 1938.
Di
manakah lapangan? Lingkup penyelidikan etnomusikologis luas dan beragam seperti
luas dan beragamnya dunia musik itu sendiri. Studi-studi terdahulu berfokus
pada bentuk-bentuk tradisi kerakyatan nasional dalam bentuk lisan,
masyarakat-masyarakat pedesaan di luar negeri si peneliti, dan musik dari masyarakat-kasyarakat
yang kemudian disebut ‘eksotis’ atau ‘primitif’, yakni, mereka yang hanya
memiliki sedikit kontak dengan orang Barat. Sistem-sistem musik klasik
Oriental, objek yang sangat mempesona selama berabad-abad, tetap menjadi subjek
yang populer dalam etnomusikologi modern. Pada tahun 1990-an, bidang ini sarat
berbagai topik, mulai dari studi-studi terhadap kelompok-kelompok etnis
terpencil di wilayah-wilayah pedalaman Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan
dan Asia Tenggara, hingga masyarakat yang telah mengalami modernisasi,
pembaratan (Westernization),
kehidupan musik urban, musik populer dan industri musik. Bagi etnomusikolog,
lapangan dapat berarti sebuah wilayah geografis atau linguistik; sebuah
kelompok etnis (kemungkinan tersebar di sebuah wilayah yang luas); sebuah
kampung, kota, pinggiran kota, kota besar; padang pasir atau hutan belantara;
hutan hujan tropis atau kawasan tundra di Arktik.
Situasi
setiap lapangan memiliki keunikan, tetapi semua proyek penelitian memiliki
ciri-ciri umum. Pertama adalah informan—orang yang memberikan informasi.
Istilah ini memiliki sejumlah konotasi yang bermasalah, dan banyak sarjana
lebih memilih untuk menggunakan istilah kolega, teman, responden, partisipan,
yang diwawancarai, sumber, atau guru. Kurang lebih, informan adalah istilah
yang digunakan sangat luas dalam ilmu sosial, yakni bagi orang-orang di lapangan
yang menceritakan tentang kehidupan dan musik mereka.
Kedua,
semua penelitian lapangan meliputi pertunjukan, baik pertunjukan musik maupun
pertunjukan budaya (berbagai ritual dan upacara kehidupan tradisional), serta
pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan khusus untuk para peneliti lapangan
(percakapan-percakapan informal, wawancara, dan sesi perekaman).
Ketiga
adalah rekaman, dalam bentuk catatan lapangan tertulis, rekaman musik,
kaset-kaset wawancara, foto, serta rekaman film dan video 16 mm. Berbagai
kelengkapan yang dibutuhkan di lapangan—buku, perekam, instrumen musik—juga
merupakan sebagian dari bentuk koleksi ini. Kesulitan utama dalam etnomusikologi
adalah pemeliharaan dan dokumantasi rekaman-rekaman, transportasinya ke
lapangan, dan selanjutnya pemrosesan dari lapangan ke rumah lalu masuk arsip
(dan seringkali kembali lagi ke lapangan untuk mengecek dan pendokumentasian
lebih jauh). Selama penelitian lapangan, menggunakan kereta atau bus lokal,
berdesakan dengan orang-orang desa dan hewan ternak mereka, para pedagang
asongan dan barang dagangan mereka, ibu-ibu yang menyuapi bayinya, anak balita
yang menghisap buah-buahan, orang tua yang berjongkok di gang antar kursi dan bagasi
penumpang yang diletakkan semrawut di atas atap bus, menyebabkan kesulitan
dalam membawa perlengkapan etnomusikologis. Di tempat pemeriksaan bandara, yang
cukup ketat dan dibatasinya bobot bagasi, membawa barang-barang yang retan ini
menjadi semakin sulit; ketika berhasil tiba dengan selamat di rumah, ini akan
menjadi harta, kenikmatan, serta sumber dari semua analisis kita. Etnomusikolog
profesional kemudian menjadi cakap dalam memindahkan segala jenis benda ini
dari desa A ke kota B, lalu ke kota C kemudian ke arsip D (untuk penggandaan
sebelum berangkat dari tempat penelitian), lalu ke bandara E ke bandara F (kota
tempat asal/rumah), kemudian ke arsip G (untuk penggandaan atau penyimpanan di
tempat asal)—ratusan pita rekam dan kaset, film peka cahaya (untuk perjalanan
ke luar negeri) dan film peka cahaya (perjalanan dalam negeri),
instrumen-instrumen musik, alat perekam, mikrofon, baterai dan pengisi baterai,
serta lain sebagainya. Pekerjaan ini sangat membutuhkan pikiran dan kemampuan
pengorganisasian yang cakap.
Panduan-panduan
untuk metode lapangan yang paling awal datang dari disiplin antropologi. Dalam Argonauts of the Western Pacific (1922),
antropolog Anglo Polandia bernama Bronislaw Malinowski (1884-1942) mengemukakan
sejumlah persoalan mendasar: hubungan teori dan metode, strategi penelitian
induktif versus deduktif; observasi
partisipasi; pentingnya membuka pikiran dan mengkritisi diri sendiri; hubungan
antara data-data yang tidak berkaitan; perbedaan antara observasi dengan
mengetahui secara mendalam, perbedaan antara observasi ilmiah dan
gagasan-gagasan yang diekspresikan oleh informan lokal (data ‘emik’dan ‘etik’);
keterisolasian petualangan antropologi, dan frustasi, kegelisahan, serta
keputusasaan karena terkejut dengan budaya yang dihadapi (culture shock): ‘Bayangkan diri anda tiba-tiba dikelilingi oleh
semua perlengkapan anda, sendirian di sebuah pantai tropis yang dekat dengan
sebuah kampung penduduk asli’, tulis Malinowski, ‘sementara kapal atau sampan
yang membawamu sudah berlayar menjauh dan hilang dari pandangan’ (p. 4).
Keterisolasian
dalam penelitian lapangan ini, menurut Malinowski:
memutus seseorang dengan lingkungan
orang kulit putihnya, dan meninggalkannya sedekat mungkin dengan para penduduk
asli, yang hanya akan tecapai dengan berkemah di kampung mereka … untuk bangun
setiap pagi dan menunjukkan diri pada mereka (pp. 6-7).
Seperti
kebiasaan dalam ilmu fisika, Malinowski merekomendasikan pendekatan deduktif
dalam penelitian lapangan, dimana latihan tentang teori dan metode yang
diperoleh oleh mahasiswa digunakan untuk memandu, tetapi tidak untuk
mendominasi observasi dan pengumpulan data yang sistematis:
Seorang etnografer tidak hanya harus
menebar jala di tempat yang tepat, dan menunggu hasilnya. Ia harus menjadi
seorang pemburu yang aktif, dan mengendalikan buruan ke arah sarangnya yang
tidak dapat dijamah dan mengikutinya … Latihan yang baik dalam teori, dan
kebebasan terkait hasil akhirnya, tidaklah identik dengan beban dari
‘gagasan-gagasan yang dipertimbangkan sebelumnya’. Jika seseorang melakukan sebuah
ekspedisi, ingin membuktikan hipotesis tertentu, namun ia tidak dapat mengubah
pandangan-pandangannya secara konstan dan membuangnya begitu saja di bawah
tekanan bukti yang ada, jelas bahwa pekerjannya sia-sia. Tetapi permasalahan
yang lebih besar adalah ketika ia membawa teori itu ke lapangan, membiasakan
membentuk teorinya dari fakta-fakta di lapangan, dan mencari fakta yang
menegaskan teori, merupakan sesuatu yang lebih baik bagi pekerjaannya. Gagasan-gagasan
yang dipikirkan sebelumnya merupakan sesuatu yang bersifat merusak dalam
pekerjaan saintifik apapun, tetapi membayangkan berbagai permasalahan yang akan
dihadapi merupakan sesuatu yang baik bagi seorang ilmuwan, dan berbagai permasalahan
inilah yang akan diungkap pertama-tama oleh sorang observer dalam kajian-kajian
teoretisnya (pp. 8-9).
Perencanaan
Memilih Topik Karena
seluruh dunia merupakan wilayah kita dan disiplin ilmu kita hanyalah sebagian kecilnya,
dimana sebagian besar musik yang belum dipelajari, maka untuk memilih sebuah
permasalahan dalam etnomusikologi bukanlah hal yang sulit. Ironisnya, beragam
topik yang unik dan wilayah penelitian yang tersebar di seluruh penjuru dunia
memunculkan kebingungan bagi seseorang yang baru. Berikut adalah beberapa saran
dalam melakukan pemilihan topik.
Pertama,
ketertarikan pribadi: pilihlah topik yang anda sukai dan yang akan terus
menarik bagi anda dan imajinasi anda selama penelitian berlangsung maupun
setelah itu. Topik yang selalu memunculkan permasalahan baru (open-ended topic) adalah topik yang terbaik.
Saya memilih proyek doktoral tentang musik kaum imigran India di Trinidad
karena memiliki potensi menjadi topik yang open-ended;
penyelidikan yang saya lakukan membawa pada berbagai permasalahan dan proyek
penelitian baru (Myers, 1984). Penelitian pos-doktoral yang saya lakukan
membawa saya ke wilayah timurlaut India, kampung halaman nenek-moyang para
informan saya yang berasal dari India Barat; penelitian ini selanjutnya
mengarahkan saya pada terhadap kelompok-kelompok orang India serupa di Fiji dan
Mauritius, dimana para orang India tersebut juga dibawa oleh Inggris selama
diberlakukannya sistem tenaga kerja kontrak, yakni antara tahun 1835-1919.
Memilih topik penelitian doktoral dengan cermat—dirumuskan dengan baik,
berfokus tajam dan berada dalam domain teoretis yang lebih luas—dapat menjadi
fase pertama untuk pekerjaan yang dapat dilakukan seumur hidup. Kesinambungan
dari sebuah proyek bergantung pada kemampuan bahasa yang dimiiki oleh peneliti,
bibliografi repertoar musik; ini penting untuk menarik badan-badan pendanaan;
serta pula dapat kembali dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana lokal.
Berbagai
proyek etnomusikologi umumnya bergelut de-ngan permasalahan tunggal, atau
sebuah perkampungan, wilayah-wilayah yang saling berdekatan, klompok etnis
urban, musi individual atau genre. Pra
etnomusikolog dengan kecenderungan antropologis memilih budaya-budaya musik
yang menampakkan berbegai persoalan teoretis: wilayah kebudayaan dalam musik
Indian Amerika Utara (Nettl, 1954), strukturalisme dalam masya-rakat dan musik
orang Indian Brazil (Seeger, 1987), estetika dalam masyarakat Navajo
(McAllester, 1954), dan model-model linguistik struktur dalam dan struktur
permukaan dalam musik Venda (Blacking, 1971). Para sarjana yang lebih dipengaruhi
oleh musikologi memfokuskan perhatian pada struktur-struktur musik (penelitian
Hood tentang patet [modus] dalam
musik Jawa, 1954), berbagai genre (survei
yang dilakukan Wade terhadap vokal khyāl di
India Utara, 1984), repertoar-repertoar instrumental (penelitian Berliner
tentang mbira [lamellaphone] Shona,
1978), atau reprtoar keseluruhan dalam sebuah kelompok etnis (etnografi Capwell
tentang orang Baul di Bengal, 1986). Sejak tahun 1950-an, studi-studi umumnya dibatasi
hanya pada satu kebudayaan; studi lintas-budaya, yang merupakan fokus
penelitian para sarjana Jerman pada abad ke-19, bukanlah hal yang umum,
meskipun para sarjana senior telah membuat tulisan-tulisan reflektif seperti ‘Two Cities’ milik Nettl (1985), yakni
sebuah perbandingan kehidupan musikal di Madras dan Teheran. Menjaga
kelangsungan hidup musik yang menuju ambang kepunahan merupakan hal penting
bagi etnomusikologi.
Studi-studi
ulang (restudies—seorang sarjana menelusuri
kembali apa yang pernah dikaji oleh sarjana lainnya) sangat umum ditemui dalam
antropologi, seperti perdebatan Robert Redfield-Oscar Lewis tentang desa
Tepoztlán di Meksiko, pengujian ulang yang dilakukan oleh Reo Fortune terhadap
data Margaret Mead tentang peran sosial dalam masyarakat Arapesh di New Guinea,
serta debat Ward Goodenough-John Fisher tentang pola residensi pasca-pernikahan
dalam masyarakat yang medniami sebuah atol di Pasifik (Agar, 1980). Dalam
etnomusikologi, studi ulang berpotensi khusus memperdalam kajian historis guna
memahami tradisi lisan; studi-studi yang demikian juga memberikan sudut pandang
baru terhadap wilayah-wilayah yang selama ini telah terasosiasi dengan
interpretasi dari sarjana-sarjana tertentu (belum pernah ada dua orang peneliti
memiliki perspektif yang sama). Peran interpretasi ganda terutama penting bagi
studi budaya ekspresif, tetapi secara lebih sempit, yakni kalangan
etnomusikologi akademis, kegunaan studi ulang belum ditempatkan secara
semestinya.
Mungkin atau
Tidaknya Penelitian Dilakukan
Dalam memilih sebuah topik, mahasiswa harus melihat semua aspek
kemungkinan.
Keilmiahan:
Apakah topik yang di[ilih relevan dengan persoalan-persoalan teoretis terkini
dalam etnomusikologi? Dapatkan kepentingan intrinsiknya yang merupakan
sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dibuktikan? Apakah pelajaran yang anda dapatkan
dalam etnomusikologi, antropologi, sejarah dan repertoar musik memungkinkan
untuk melakukan penelitian ini? Apakah anda memiliki akses terhadap
sumber-sumber literatur dan sumber-sumber musikal yang relevan (perpustakaan
dan arsip)? Apakah anda mengetahui bahasa setempat atau bermaksud mempelajarinya
di lapangan?
Politis:
Dapatkah visa yang dibutuhkan dan ijin penelitian diperoleh untuk penelitian
ini? Berbagai langkah harus dilalui untuk memperoleh ijin penelitian resmi dan
tersedia cukup waktu bagi instansi-instansi pemerintah untuk menyetujuai
proposal. Apakah anda memilih topik yang sensitif secara politis atau di
wilayah gografis yang sensitif? Kemungkinan proyek yang demikian ditunda hingga
waktu yang tepat.
Fisik:
Apakah studi yang dilakukan memiliki resiko dan membahayakan keselamatan,
apakah waktu dan biaya mencukupi? Apakah dapat diperoleh dana yang mencukupi?
Apakah anda memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan proyek ini? Apakah personil
tersedia (terutama asisten di lapangan)?
ETIKA
Berbagai metode baru, teori, dan topik telah memunculkan
berbagai permasalahan etika baru. Haruskah studi musik dilakukan olej ‘insider’—para ahli yang memiliki
pengetahuan tentang bahasa, budaya, dan musik lokal—atau oleh ‘outsider’—yang menuntut adanya
objektifitas dan keterbukaan pikiran? Para perintis (avant garde) dalam etnomusikologi mengembangkan kerjasama antara insider dan outsider dan membantu para seniman lokal untuk mengungkapkan
kisah-kisah hidup mereka (misalnya, Frisbie & McAllester, eds., Navajo Blessingway Singer: The Autobiography
of Frank Mitchell, 1978). Tuduhan imperialisme budaya, yang seringkali
dilekatkan dengan peneliti orang luar, dikurangi dalam sejumlah proyek seperti
yang dilakukan oleh Archives and Research
Center for Ethnomusicology, Delhi, yakni sebuah organisasi yang membantu
para peneliti tamu menyimpan salinan rekaman-reka-man lapangan mereka sebelum
meninggalkan India (Samuādi, 1984-).
Langkah positif lainnya adalah diseminasi materi-materi bidang
kebudayaan—rekaman dan dokumentasi—yang dikembalikan kepada komunitas-komunitas
pemiliknya, seperti yang dilakukan oleh Library
of Congress Federal Cylinder Project, dimana salinan-salinan lagu
tradisional (sebagian dikumpulkan beberapa dekade yang lalu dan telah lama
dilupakan) dikembalikan keoada para penduduk asli Amerika (Brady dkk., 1984-).
Jika
anda tidak mempelajari musik yang ada dalam masyarakat atau orang-orang kaya,
bersiaplah untuk menjadi orang kaya di negara yang miskin. Tiap sarjana harus
menghabiskan ribuan dolar untuk mempelajari musik, dimana uang sejumlah itu
dapat digunakan untuk memberi makan mereka yang kelaparan atau untuk berobat.
Pengetahuan untuk pengetahuan hanya akan memiliki sedikit asrti ketika anda
menyaksikan seorang bocah sekarat; persoalan ini membutuhkan refleksi sebelum
anda menjumpai orang-orang yang kelaparan dan sakit di lapangan. Saya mnghabiskan
beberapa minggu yang berharga di India, bergelut dengan etika dalam mempelajari
musik di sebuah negara miskin, heran mengapa tidak ada pengajar atau kolega
yang memperingatkan saya terkait konflik emosi yang akan saya alami.
Kemungkinan anda memang dapat menggunakan sebagian uang yang diperoleh untuk
tujuan-tujuan kemanusiaan, dan sebagai seorang pendatang dalam sebuah
kebudayaan, anda akan terpancing untuk datang dan membantu. Akan tetapi
berpikirlah cermat dan perhatikanlah kompleksnya permalahan kemanusiaan. Cara
yang tepat ketika mengikuti kata hati yang demikian adalah mengalokasikan
sejumlah dana untuk obat-obatan. Setelah memberikan tablet-tablet aspirin
kepada para penduduk desa yang sedang terserang demam, saya baru menyadari
bahwa permasalahan dapat saja muncul jika seorang pasien keadaannya semakin
buruk atau meninggal setelah memakai obat yang saya berikan.
Apakah
dapat membantu orang-orang yang menjadi objek studi anda atau tidak, yang pasti
anda tidak boleh menyakiti mereka. ‘Statement
on Professional Ethical Responsibilities’ (1983) yang dikeluarkan oleh Society for Applied Anthropology memberikan
pegangan terkait persoalan-persoalan utama, yang masing-masing harus
diperhatikan sebelum membuat sebuah rencana penelitian:
· Beritahukan
apa tujuan penelitian, metode-metode, serta sponsor penelitian kita kepada
masyarakat yang kita teliti. Masyarakat akan ikut serta dalam
aktifitas-aktifitas penelitian kita secara sukarela dan informatif. Kita
sebaiknya … menjaga rahasia yang dimiliki oleh mereka yang kita pelajari …
[akan tetapi mereka] tidak boleh
dijanjikan akan kadar kerahasiaan lebih dari yang realistis …
· Jagalah
martabat, integritas, dan keseimbangan komunitas yang akhirnya terpengaruh oleh
penelitian kita … Hindari untuk melakukan atau merekomendasikan tindakan kepada
sponsor yang kemungkinan akan berbahaya bagi kepentingan sebuah komunitas.
· Jangan
melakukan perbuatan yang mengganggu aktivitas profesi rekan-rekan peneliti ilmu
sosial lainnya … jangan mengganggu arus informasi tentang hasil penelitian dan
teknik-teknik praktis profesional … [dan] jangan membuat komunitas-komunitas
atau agen-agen menentang rekan sejawat kita demi kepentingan pribadi.
· Jangan
mempersulit akses para mahasiswa, orang asing, atau para pemula untuk
memperoleh pelatihan … Kontribusi-kontribusi para mahasiswa untuk profesi kita,
termasuk penelitian dan publikasi, juga harus dipertimbangkan.
· Berikan
laporan yang akurat kepada para pekerja dan sponsor … Kita memiliki kewajiban
untuk berupaya mencegah terjadinya distorsi atau penekanan terhadap hasil-hasil
penelitian atau rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan oleh agen-agen terkait.
· Berbagilah
keuntungan yang kita peroleh dari pengetahuan dan kemampuan kita dalam
menganalisis sistem-sistem sosiokultural kepada semua kalangan masyarakat.
Permasalahan
kerahasiaan yang didiskusikan pada butir 1 merupakan hal yang ambigu dalam
penelitian etnomusikologis., sebab para seniman yang menjadi objek studi kita
kemung-kinan ingin mencari pengakuan atas karya mereka. Stephen Slawek bersusah
payah memalsukan nama seniman yang terkenal di seluruh dunia, Ravi Shankar,
dalam studinya tentang repertoar sitar Hindustani, atau yang dilakukan oleh
Neil Sorell dalam studinya tentang pakar sārangī,
Ram Narayan (Sorell & Ram Narayan, 1980; Slawek, 1987). Para
etnomusikolog secara umum memiliki kebebasan untuk memberikan nama pada para
musisi yang menjadi objek studi mereka. Seringkali para etnomusikolog
mensponsori para seniman ini untuk melakukan konser di Barat. Para musisi
pedesaan juga senang menyaksikan nama mereka disebutkan dalam tulisan-tulisan
etnomusikologis. Kendatipun demikian, anonimitas terkadang tetap saja penting;
Edward Henry menutupi nama para informannya yang merupakan orang desa di India
Utara, sebab publikasi teks-teks pernikahan gāti
yang sifatnya evokatif yang ditranskripsikan dapat mempermalukan mereka (1988).
Bertanyalah terlebih dahulu bila perlu. Apakah para musisi menginginkan nama
mereka disebutkan? Apakah mereka ingin foto-foto mereka muncul dalam publikasi
anda? Apakah mereka akan memeriksa secara langsung kutipan-kutipan langsung
kata-kata yang diucapkan atau transkripsi-transkripsi musik mereka: akankah
kutipan-kutipan ini akan dicantumkan atas nama mereka?
Sebuah
permasalahan khusus muncul ketika etnomusikolog melakukan studi ulang di sebuah
dsa yang telah disebut dalam literatur antropologis yang menggunakan nama
samaran. Para musisi dari desa tersebut mungkin sangat menginginkan nama asli mereka
muncul, bersamaan dengan transkripsi repertoar-repertoar dan foto-foto
pertunjukan, sebuah keinginan yang bertentangan dengan aspek kerahasiaan dalam
studi terdahulu. Masalah yang lebih membingungkan muncul ketika para informan
dari desa-desa yang pernah dijadikan objek studi berkunjung ke Barat; persoalan
adalah salah satu yang tidak dapat dikesampingkan. Contohnya adalah ‘Karimpur’,
nama samaran dari sebuah desa di India Utara yang diteliti sejak 1925, yang
diawali oleh Charlotte dan William Wiser dan dilanjutkan setelah itu oleh
beberapa antropolog Amerika (Wiser & Wiser, 1930). Wiser menyamarkan nama
desa serta nama-nama para informannya. Beberpa tahun belakngan, ketika sejumlah
orang dari desa tersebut berkunjung ke kota-kota besar di India dan di Barat,
mereka menjadi bingung ketika melakukan kunjungan ke perpustakaan dan melihat
foto-foto mereka dipajang dengan teks-teks antropologis tanpa nama-nama mereka.
Seorang informan, yang bertindak sebagai asisten untuk beberapa generasi
antropolog, telah mengajar di sejumlah universitas di Inggris dan Amerika
tentang dampak antropologi bagi komunitasnya; ia menulis otobiografinya, yang
menekankan pada kesedihan yang dialami oleh penduduk desa ketika menjadi subjek
penelitian antropologis. Desa tersebut akan diberi nama apa? Haruskah para
antropolog yang bekerja dengannya disebutkan? Haruskah ia menggunakan namanya
sendiri sebagai judul buku tersebut? Permasalahan kerahasiaan membutuhkan
berbagai solusi, tidak hanya solusi tunggal.
Latar Belakang Para etnomusikolog senior mengingat
masa-masa ketika para kandidat doktor dituntut untuk membaca seluruh bahan
etnomusikologis guna ujian kualifikasi doktoral mereka. Ini tidak lagi menjadi
tuntutan yang beralasan, namun calon peneliti lapangan harus menguasai
literatur tentang wilayah studi mereka, baik daerah geografisnya maupun kajian-kajian
teoretis yang berkaitan. Pekerjaan ini membutuhkan penelusuran interdisipliner
dimana saat itu mahasiswa dapat menyusun sebuah bibliografi menyeluruh—dari
etnomusikologi, antropologi, sejarah, religi, politik, dan bidang-bidang lain
termasuk karangan fiksi (novel karangan V.S. Naipul merupakan sumber penting
bagi mereka yang ingin mengkaji permasalahan di Trinidad). Hari-hari yang
berharga di lapangan sebaiknya tidak diisi dengan bacaan yang tidak berguna
atau lakukanlah pembuatan anotasi bibliografi. Untuk penelusuran sistematis,
mahasiswa sebaiknya segera mengidentifikasi para sarjana terdahulu yang telah
meneliti di wilayah ini. Surat menyurat dengan para ahli ini merupakan sebuah
bentuk penghormatan yang bagus, mahasiswa dapat memperoleh saran serta
nama-nama orang yang akan dapat membantu ketika berada di lapangan;
hubungan-hubungan profesional yang menyenangkan, yang berangkat dari
ketertarikan yang sama terhadap sebuah penelitian, dimulai dari cara yang
sederhana ini.
Proposal
Penelitian Apakah calon
peneliti berencana atau tidak untuk mencari dana penelitian, menyiapkan sebuah
proposal penelitian formal sangat membantu dalam memulai sebuah proyek. Ini
akan mendisiplinkan program yang akan dilakukan, terutama dalam hal penyediaan
waktu, dana, dan tenaga. Melakukan rancana-rencana yang telah disusun ke dalam
tulisan akan memfokuskan topik, memberikan gambaran terkait tujuan-tujuan yang
terpenting, memberikan kerangka terkait relevansinya dengan etnomusikologi dan
potensi kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Anda akan dipaksa untuk
mengkalkulasikan anggaran dan merencanakan jadwal harian yang realistis
sehingga proyek yang dilakukan dapat membuahkan hasil dan mewujudkan
tujuan-tujuan intelektual anda yang sesungguhnya.
Menyiapkan
proposal penelitian dapat memakan waktu berbulan-bulan. Akrabkan diri anda
dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan pendanaan dalam bidang yang menjadi
minat anda. Banyak universitas memiliki badan-badan dengan sistem komputerisasi
untuk membantu menemukan badan pendanaan yang sesuai. Referensi panduan dasar
seperti The Grants Register (1991)
sangat membantu dan mudah digunakan. Ini biasanya dilihat tidak terlalu
akademis, dan tampak tidak dapat membantu calon peneliti memfokuskan dan
mengembangkan proposalnya.
Tulislah
proposal dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Hindari jargon. Buatlah
pokok-pokok yang mengarah langsung dan mudah dipahami oleh orang-orang dari
bidang ilmu lain. Formulasikan judul dengan cermat dan deskripsikan secara
ringkas penelitian anda melalui kata kunci dalam proposal yang akan diajukan
pada komite penilai dan pengambil keputusan. Berhasil memperoleh pendanaan
merupakan kemampuan khusus seperti yang dijelaskan dalam tulisan-tulisan
antropologis (Pelto, 1970; Agar, 1980; Jackson, 2987).
Observasi Partisipasi
Strategi
utama yang digunakan dalam penelitian lapangan etnomusikologis adalah observasi
partisipasi (participant observation);
peneliti tinggal dalam komunitas, ikut serta dalam kehidupan sehari-hari, terutama
dalam aktifitas-aktifitas musikal, merekam observasi yang dilakukan dan meminta
komunitas tersebut untuk menuturkan tentang diri mereka sendiri. Seorang
peneliti yang berpartisipasi (participant
observer) adalah orang asing yang memiliki kedudukan istimewa, seorang
‘penduduk lokal pinggiran’ (marginal
native), dan memiliki akses terhadap banyak data (Freilich, 1970, 1977). Observasi
partisipasi menambah validitas data, memperkuat interpretasi, memberikan
pemahaman terhadap kebudayaan, dan membantu peneliti untuk memformulasikan
pertanyaan-pertanyaan yang berarti. Karangan-karangan antroologis secara
tradisional mengidentifikasi empat tingkatan metode observasi partisipasi: (1)
partisipan penuh (aktifitas-aktifitas observer sungguh-sungguh ditutupi); (2)
partisipan sebagai observer (aktifitas-aktifitas observer ‘tetap
diselubungkan’); (3) observer sebagai partisipan (aktifitas-aktifitas obserfer
diketahui publik); dan (4) observer penuh (puncaknya, observer berada di balik
cermin searah) (Junker, 1960:35-37). Perhatikan, misalnya, peraturan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika
Serikat yang menyarankan keterbukaan proyek secara terperinci kepada masyarakat
yang menjadi subjek penelitian dan para informan, maksud peneliti dan
persetujuan dari para informan. Catatan-catatan demikian sebaiknya disimpan.
Pilihan 1, 2 dan 4 tidaklah etis jika melihat standar yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat di atas.
Keseimbangan antara partisipasi dan observasi tergantung pada kepribadian
peneliti, situasi lapangan, budaya yang didatangi serta sifat penelitian.
Bagian penelitian etnomusikologis umumnya, nomor 3 adalah satu-satunya pilihan.
Kepercayaan Peneliti
partisipan (participant observer)
yang semakin memiliki akses terhadap domain-domain pribadi kehidupan
sehari-hari komunitas seiring dengan munculnya kepercayaan dan saling mengetahui
rahasia antara mereka, terutama dalam penelitian jangka panjang (survei
ethnografis Raoul Maroll menunjukkan bahwa peneliti yang tinggal di lapangan
lebih dari satu tahun memperoleh lebih banyak data tentang persoalan-persoalan
sensitif—politik, seks, ilmu gaib [1962]). Berbagai permasalahan etika muncul
seketika itu: peneliti munkin menyaksikan tindak kriminal, mendengar rencana
penyelundupan obat-obatan, imigrasi ilegal. Ketika kepercayaan telah rusak,
peneliti dan informasn akan dirugikan serta kemungkinan kelangsungan penelitian
dapat terancam; tetapi dalam menjaga kepercayaan, peneliti tidak boleh melanggar
hukum. Melanggar kerahasiaan maupun pelanggaran terhadap hukum akan merusak
reputasi etnomusikologi dalam komunitas dan negara tersebut, membahayakan
studi-studi yang akan dilakukan selanjutnya dan membuat para peneliti
selanjutnya kesulitan mengakses tempat tersebut. Hati nurani harus digunakan
untuk fakta-fakta yang mendalam. Peneliti yang bijaksana menyadari bahwa banyak
saat menyakitkan yang tidak dapat ditemui dalam halaman tulisan mereka yang
dicetak.
PERAN Observasi partisipasi umumnya memperhatikan
pereduksian ‘reaktifitas’—kadar perubahan perilaku masyarakat karena mereka
sedang diamati. Para etnomusikolog seharusnya tidak menyalahi gagasan ini.
Gangguan tidak dapat dihindari ketika seseorang mengamati kehidupan pribadi
orang lainnya. Kendatipun dilakukan secara cermat, peneliti lapangan tidak akan
pernah dapat lepas dari situasi setempat. Berbagai etika menentang tindakan
penggangguan yang tidak terlihat: melalui perekaman terselubung (mikorofon yang
disembunyikan di dalam tas), atau seolah menjadi orang pribumi. Jangan pernah
biarkan rekan anda yang berasal dari desa itu melupakan bahwa anda sedang mempelajari
musik mereka. Hal ini akan menjadi mudah ketika peralatan kita—mikrofon, perekam
audio dan video, camera, lampu blitz—selalu membuat mereka ingat bahwa kita
datang untuk mengamati apa yang bukan milik kita. Apakah orang-orang yang
sedang diamati layak tidak perlu memperoleh kesempatan untuk menikmati hari
minggu mereka yang terbaik? Atau mereka membutuhkannya?
Peran
apapun yang disandang oleh peneliti, sikap seolah menjadi orang pribumi
sangatlah berbahaya:
Pada tahun 1967, sekelompok orang kulit
putih muncul lagi dari utara … mereka berjalan dengan mata yang liar mencoba
melihat semuanya … Mereka adalah sekelompok antropolog, dan mereka ingin
menguji berbagai teori baik yang luar biasa maupun yang dangkal pada kehidupan
masyarakat di negara saya (Salinas, 1975:71-72).
Meskipun
penampilan dan tingkah laku anda sesuai dengan norma-norma yang ada dalam suatu
komunitas, ilmuwan sosial tetap saja merupakan orang luar (outsider). Etnomusikolog yang seolah menjadi penduduk pribumi
meyakini bahwa mereka tidaklah bermaksud mengelabuhi orang pribumi. Penulis tentang
Sioux, Vine Deloria Jr., tidak sulit untuk dikenali ketika menjadi antropolog
di Dakota:
Antropolog mudah dikenali. Masuk ke
dalam kerumunan orang. Mengajak seorang pria kulit putih yang kurus, yang
mengenakan celana pendek Bermuda, jaket penerbang Angkatan Udara Amerika semasa
Perang Dunia II, sebuah topi rumput Australia, sepatu tenis, serta membawa
sebuah ransel yang disandang di punggungnya. Ia memiliki seorang istri yang
bertubuh ramping dan seksi denga rambut terurai, dengan IQ sekitra 191, dan
kosakata yang memiliki preposisi hingga sebelas suku kata … Sosok ini adalah
seorang antropolog (1960:79).
Para etnomusikolog lebih beruntung daripada para
antropolog dan sosiolog karena perasaan-perasaan pribadi yang kita pelajari
terekspresikan secara publik dalam pertunjukan musik. Berbagai rintangan
kultural menguap ketika musikolog bertemu musisi. Dalam penelitin lapangan
etnomusikologis, tidak ada yang melebihi begitu intimnya berbagi pengalaman
musikal. Belajar menyanyi, menari, bermain di lapangan adalah sesuatu yang
menyenangkan dan merupakan sebuah metode yang bagus. Menjadi pendengar yang
apresiatif adalah bentuk pertukaran musikal yang sangat penting. Merasakan
kembali senangnya menjadi seorang mahasiswa; membangun hubungan yang dekat
dengan seorang musisi yang mahir merupakan pendekatan yang umum dan berhasil
dalam etnomusikologi (Zonis, 1973; Berliner, 1978; Koning, 1980; Sorell dan Ram
Narayan, 1980; Slawek, 1987). Pada tahun 1960-an, para mahasiswa mendapati
adanya sistem formal terkait pembelajaran musik dalam masyarakat-masyarakat
literasi di India, Jepang, Iran dan Indonesia, yang dapat dengan mudah mereka
masuki (berbeda halnya dengan sistem Barat). Bimusikalitas menitikberatkan
partisipasi dengan observasi yang amat minim, dan pelajaran-pelajaran musik
dari seorang guru sangat memikat para mahasiswa. Kendatipun demikian,
etnomusikolog yang tetap merupakan orang asing—orang luar (outsider) yang sedang mencari sesuatu di dalam—tidak akan pernah
betul-betul masuk ke dalam subjeknya, yakni musik, yang pada dasarnya bersifat
personal, ekspresif, artistik, emosional, bahkan ekstatis. Peneliti lapangan
yang berhasil adalah yang dapat menyeimbangkan antara partisipasi dan observasi,
selalu bertujuan untuk melakukan penyelidikan yang saintifik, sistematis, dan
simpatetis terhadap seni musik.
LATIHAN DI RUMAH Observasi partisipasi hanya dapat dipelajari
di lapangan, akan tetapi banyak komponen keahliannya dapat dipelajari di rumah.
Kemampuan bahasa adalah yang terpenting. Berusahalah untuk mempelajari bahasa
yang dibutuhkan. Pelajaran-pelajaran di universitas dan perlengkapan belajar otodidak
tersedia bahkan untuk bahasa-bahasa yang sulit ditemui; pelajaran-pelajaran
intensif di musim panas dapat sangat berguna. Pemahaman kebudayaan akan
meningkat sejalan dengan kefasihan berbahasan ketika memasuki tingkat
komprehensi dan ekspresi yang lebih baik, para informan meningkatkan tingak wacana
mereka, dan pengetahuan terhadap kebudayaan terbuka dengan sendirinya. (Hal
yang serupa juga terjadi dalam kefasihan bahasa musikal lokal.)
Kemampuan-kemampuan observasi, ingatan dan
penulisan yang lebih mendalam juga dapat dilatih di rumah. Latihan ‘kesadaran
eksplisit’ yang berulang-ulang, kemampuan untuk mencatat dan mengingat
kehidupan sehari-hari dengan terperinci—tidak sesederhana bunyi-bunyiannya
(Spradley, 1980). Sebuah latihan: tanyakan kepada seseorang yang baru saja melihat
jamnya, ‘Jam berapa sekarang?’ Ia akan melihat jamnya lagi karena secara eksplisit
ia tidak menyadari jam berapa saat itu dengan sungguh-sungguh. Karangan-karangan
antropologis menawarkan berbagai latihan untuk meningkatkan kemampuan
observasi, ingatan dan penulisan (Agar, 1980; Spradley, 1980; Bernard, 1988).
Kemampuan-kemampuan ini menunjang kesuksesan observasi partisipasi.
Bagi para etnomusikolog, kemampuan yang paling
dasar adalah merekam dan memotret. Akrabilah peralatan anda sebelum terjun ke
lapangan; jangan membeli barang-barang tersebut dalam perjalanan menuju tempat
penelitian anda. Kamera dengan harga murah yang anda beli di New York mungkin
tidak akan berfungsi (anda akan kehilangan gambar-gambar penting ketika sedang
mencoba rol film jenis baru yang baru saja dijual). Perekam kaset yang anda
beli dengan tawar-menawar di Singapura saat dalam perjalanan mungkin tidak
memiliki baterai cadangan, tidak dapat menggunakan arus listrik langsung atau
tidak sesuai dengan mikrofon anda.
Berlatihlah dengan semua peralatan anda di rumah.
Jangan membawa peralatan yang belum dicoba dalam keadaan realistis di dalam dan
di luar ruang tamu anda. Rekamlah percakapan yang dilakukan di meja yang anda
gunakan untuk menjamu tamu. Setelah itu, bawalah peralatan rekaman anda untuk
dicoba merekam sesuatu yang diam—misalnya para pengamen di stasiun bawah tanah
atau pelayanan-pelayanan di gereja lokal. Selanjutnya, rekamlah peristiwa yang
bergerak dengan perekam yang digantungkan di bahu anda dan mikrofon dalam
posisi digenggam, sebaiknya di luar ruangan dan ada angin: sebuah parade
rakyat, marching band atau pasar jalanan (dalam kasus ini si perekam akan
bergerak, bukan sumber suara yang bergerak). Terakhir, rekamlah suasana yang
terdapat bunyi-bunyian keras—mungkin tempat disko. Masalah-masalah yang anda
antisipasi dan temukan penyelesaiannya di rumah (desah angin, isolasi
headphone, pengesetan volume, dan sebagainya) akan mengurangi permasalahan saat
terjun di lapangan.
TERJUN KE LAPANGAN Sebelum memasuki lapangan, berhentilah sejenak
untuk memperkirakan berbagai bias personal dan kultural dalam proyek penelitian
yang akan anda lakukan. Tidak ada penelitian yang sungguh-sungguh objektif
dalam etnomusikologi (ataupun bidang-bidang ilmu lainnya). Asumsi-asumsi
kultural dan idiosinkrasi personal mengarahkan observasi dan mewarnai berbagai
temuan kita. Sarjana yang menerima berbagai bias ini, bergelut dengannya
sebagai bagian dari metodologi dan mengakui pengaruhnya dalam penelitian.
Penelitian lapangan dapat dibagi ke dalam beberapa
tahay yang terprediksi: masuk, keterkejutan budaya (culture shock) dan keterkejutan kehidupan (life shock), pengumpulan data, masa-masa liburan sekaligus
mengumpulkan data-data lain dengan rasa lelah, dan meninggalkan lapangan.
Memasuki lapangan adalah saat yang mendebarkan, bahkan sangat mendebarkan,
ditambah rasa frustasi, menakutkan, dan mengusik.
Pertama, pilihlah komunitas yang reseptif.
Penelitian lapangan sarat dengan permasalahan; jika anda tidak disambut,
pilihlah komunitas lainnya.
Kedua, buatlah tulisan tentang diri anda
sendiri dan proyek penelitian anda, tujuan studi, lama waktu yang diberikan
oleh universitas atau pemberi dana untuk tinggal di lapangan. Tulisan-tulisan
ini akan membuat hubungan anda menjadi jelas dan anda tercatat secara resmi.
milikilah salinan dari dokumentasi-dokumentasi tersebut dalam bahasa lokal.
Juga foto anda di rumah bersama keluarga; menunjukkan anda sebagai seorang
manusia sekaligus seseorang yang resmi, terutama bagi teman-teman baru di
kampong yang anda datangi.
Ketiga, dalam memasuki sebuah komunitas baru,
disarankan untuk bekerja dengan urutan berkenalan, kunjungan kehormatan ke
lembaga-lembaga pemerintah (bahkan kepala daerah), melalui hirarki birokrasi
hingga kementerian kebudayaan. Dari sini anda kemungkinan dapat memperoleh sejumlah
arahan: sekolah-sekolah musik negeri, musisi-musisi profesional yang berkiblat
ke Barat, agen-agen radio dan TV—semuanya penting (bahkan jika tak terencana
dalam penelitian anda). Jika tujuan anda adalah wilayah pinggiran, anda
membutuhkan perkenalan yang lebih jauh lagi. Saya beruntung pada saat
minggu-minggu pertama saya di India karena berjumpa dengan Shri Ram Sagar Singh
dari Universitas Hindu Banaras, yang tinggal di kampong tak jauh dari tempat
tersebut, dan ia adalah seorang penyanyi terkemuka. Dalam waktu 24 jam saya
mempelajari dan tertarik pada musik dehātī
(‘kampung’), lalu ia mengumpulkan para wanita di kampung tersebut agar
menyanyi untuk saya. Jika anda tidak seberuntung itu, anda dapat memilih seorang
penduduk setempat untuk menemani anda pada kunjungan pertama ke sebuah kampung
atau komunitas—mungkin seorang pegawai pemerintah dari kota terdekat.
Pertimbangkan keuntungan dan kerugiannya: pegawai pemerintah mungkin
mengintimidasi para penduduk kampung dan mencap anda sebagai seorang agen
pemerintah; namun, perkenalan resmi dapat memunculkan perhatian terhadap
pekerjaan anda dan bahkan penduduk kampung akan melindungi keselamatan anda.
Kiranya bijak untuk memulai dengan mendatangi
orang-orang terkemuka terlebih dahulu. Ketika memasuki sebuah kampong di india,
misalnya, sebaiknya kunjungilah pradhān (‘pemimpin’)
terlebih dahulu dan mintalah padanya untuk mengenalkan anda kepada para musisi.
Saya menggunakan metode ini selama penelitian lapangan di Distrik Gorakphur,
India. Di Kampung Felicity, Trinidad, saya tiba seorang diri dan lengsung
menuju ke sekolah dasar Hindu; ini merpuakan permulaan yang lebih bersifat
informal, menyusuri jalanan Karibia, dengan gaya kasual dan mengasyikkan. Di
Southall, London, saya hanya mendatangi sebuah kuil Hindu. Perkenalan kita
dengan komunitas yang didatangi bergantung pada kebiasaan-kebiasaan setempat;
mintalan saran dari para ilmuwan yang telah bekerja di wilayah itu dan orang
yang memang menggeluti bidang tersebut.
Terakhir, bersiaplah menghadapi pertanyaan-pertanyaan
yang tak terduga: Siapakah anda? Apa yang anda lakukan di sini? Siapa yang
membayar anda? (Apakah anda adalah seorang mata-mata?) Apa yang akan anda
lakukan dengan uang yang anda peroleh dari penjualan rekaman? Mengapa orang
melakukan pekerjaan ini?
Putuskan bagaimana anda harus menunjukkan diri
dan jangan takut salah. Anda akan segera mengetahui mana yang sesuai (Jones,
1973). Masyarakat setempat kemungkinan akan menyandangkan sebuah peran bagi
anda, seringkali yang terjadi adalah pemberian hubungan kekerabatan. Dalam
masyarakat Mbuti di hutan Ituri, Zaire, Colin Turnbull dianggap sebagai anak
(terlepas dari usianya yang sesungguhnya) dari sepasang suami istri yang tidak
memiliki keturunan. Perkembangannya dari
anggapan sebagai anak-anak berubah dengan cepat; pada kedatangan berikutnya, ia
dianggap sebagai seorang pria lajang—seorang anggota masyarakat (1986). Di
Karimpur, india Utara, Charlotte Wiser, yang pertama dating ke tempat itu pada
tahun 1925, dipanggil dengan sebutan dādī
(ibu dari ayah); Susan Wadley, yang mendatangi tempat itu pada tagun 1968,
dipanggil dengan sebutan buā (saudara
perempuan ayah); ketika saya mengunjungi tempat itu pada tahun 1986, para gadis
memanggil saya dengan sebutan dīdī (anak
perempuan ayah).
Buatlah peta geografis lokasi yang anda
datangi pada hari-hari pertama di tempat itu; berkelilinglah dengan berjalan
kaki, jelajahi dan buatlah sketsa peta. Dalam lingkungan-lingkungan perkotaan,
petakanlah jaringan-jaringan sosial. Bersikaplah agar tindakan anda membuat
peta dan melakukan sensus tidak membuat anda dianggap sebagai mata-mata atau
pengumpul pajak. (Papan alas tulis dan pensil yang anda bawa membuat orang
menjadi tidak nyaman). Bersabarlah. Bersipak santai dan nikmatilah awal
petualangan baru anda. Catatlah semua hal pertama yang membuat anda tertarik,
yang baik ataupun yang buruk. Para etnomusikolog lebih beruntung dalam berbagai
hal daripada para antropolog. Berbagai permasalahan ketika terjun ke lapangan
menghilang ketika musik dimulai.
KETERKEJUTAN BUDAYA DAN KETERKEJUTAN KEHIDUPAN Selama bulan pertama, ketika peneliti lapangan
mulai memiliki rutinitas sehari-hari, ‘keterkejutan budaya’ (cultural shock) dan ‘keterkejutan
kehidupan’ (life shock) muncul.
[1]Dalam pengertian tertentu, “transmisi
tradisi” adalah sesuatu yang rancu, sebab etimologi dari kata traditum yang berasal dari bahasa latin
sendiri memiliki arti diteruskan dari masa lalu ke masa kini (Shils 1981:12).
Saya menggunakan istilah “transmisi tradisi” untuk mengacu pada pengkomunikasian
berbagai materi musik dari satu orang ke orang lainnya, baik secara oral, aural
(berhubungan dengan pendengaran), atau tertulis, tanpa mempertimbangkan waktu
terkait materi yang ditransmisikan. Untuk kepentingan diskusi ini, saya
terutama akan memfokuskan pada peran pertunjukan musik secara langsung (live) dalam proses “transmisi tradisi”
ini, selain juga pada materi-materi musik yang dimediasi dan disampaikan
menggunakan teknologi seperti LP, kaset, atau CD.
[2]Bab ini, yang ditulis dengan dana
beasiswa dari National Endowment for the
Humanities sekitar tahun 1992-1993, merupakan pengembangan dari artikel
sebelumnya yang telah diterbitkan dengan judul “The Ethnomusicologist and the
Transmission of Tradition,” The Journal
of Musicology 14 (1):35-51, 1996. Versi terdahulu dari tulisn ini, yang
berjudul “Intersection of Life and
Scholarship: Human Relations in the Field,” telah dikirim ke Universitas Brown
pada tahun 1992. Saya berterima kasih kepada Gregory Barz dan Timothy Cooley,
baik atas undangan merekakepada saya untuk datang ke Brown maupun untuk
komentar-komentar mereka selanjutnya yang menghasilkan bab ini.
[3]Rosaldo mengemukakan bahwa “pengetahuan
relasional,” yang merupakan bentuk ekspresif bersama pada “wilayah perbatasan”
antara etnografer dengan “subjek,” “seharusnya tidak hanya dilihat
sebagaiwilayah-wilayah transisi yang kosong secara analitis, melainkan juga
sebagai tempat-tempat kreatif produksi budaya yang perlu untuk diselidiki”
(Rosaldo 1993 [1989:208).
[4]Bahkan forum-forum yang membosankan
seperti pertemuan-pertemuan bisnis dapat menyelenggarakan
[6]Panduan etika atau kode etik yang
diadopsi oleh berbagai masyarakan antropologi di Amerika sejak tahun 1949
dicetak bersama untuk pertama kalinya dalam Fluehr-Lobban 1991:237-69.
[8]Mark Slobin menekankan bahwa
persoalan-persoalan etika tidak dibicarakan secara keseluruhan dalam literatur
etnomusikologi hingga tahun 1970-an, dan bahwa kesadaran etika di lapangan
tetap sebatas berbentuk “janin” (Slobin 1992a:331). Kendatipun demikian,
diskusi Slobin tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar